Perpustakaan adalah tempat terbaik bagi Habib untuk melepaskan kejenuhan. Buku-buku yang tertata rapi dan tampak menggodanya untuk membuka serta membaca isinya. Ia lekas menjelajahi berbagai macam genre buku yang berbeda-beda di sana.
Buku-buku yang ia pilih di antaranya adalah buku agama, filsafat, baik itu fiksi maupun non-fiksi. Semuanya ia baca tanpa pilih-pilih.
Bola matanya mulai menelusuri setiap inci buku yang ia baca. Di sela-sela waktu ketika ia tengah membaca. Ia kembali teringat akan pembicaraannya dengan Adnan tadi.
“Apa sebaiknya aku ikut serta dalam seminar itu? Tapi, bagaimana dengan tugas-tugasku yang belum selesai ini? Nanti sajalah aku ke sana. Ada baiknya aku siapkan pekerjaan yang memang harus aku selesaikan.
...----------------...
Kampus terdengar semakin bising di kala sang 'Bintang Kampus' berjalan di koridor. Tak lupa gadis cantik itu pun bertegur sapa dengan semua orang yang sudah menunggu kedatangannya.
“Halo, Semua ...!” sapa gadis cantik berhijab itu dengan keramahannya.
“Halo, juga.” balas semua orang yang di sapa olehnya.
Khadijah Amelia kini telah memasuki ruang seminar yang telah di siapkan oleh pihak kampus.
Betapa banyaknya orang yang telah berkumpul di sana. Ruangan itu seakan penuh sesak. Hingga bernapas pun serasa sulit. Fenomena ini sejatinya baru terjadi hari ini saja.
“Wah-wah ... tampaknya hari ini terjadi fenomena alam yang menggemparkan dunia per-kampus-an, nih.” celetuk Vikal dengan gayanya yang nyentrik dan unik.
“Bisa aja kamu. Eh, kok si Habib belum kelihatan, ya? Ke mana tuh anak? Di sini udah rame kayak gini, do'i malah asyik dengan dunianya sendiri.” celoteh Adnan yang cemas akan keberadaan Habib.
“Tenang, aja! Dia, ‘kan bukan anak kecil. Lagian dia juga tau kali tempat seminar di adakan. Jadi, kamu jangan cemas begitu, oke?” sambar Vikal yang memang tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi situasi.
“Ayo, masuk!” ajak Vikal tanpa basa-basi.
“Tapi, Kal ... Habib--”
“Udah, masuk aja dulu.” Kali ini Vikal tak ingin ada bantahan lagi dari Adnan.
...----------------...
Seoul, Korea Selatan 2022 ....
Hamparan bunga sakura terlihat cantik memenuhi pinggiran jalan raya maupun taman. Di sebuah kursi panjang yang ada di taman, terlihat seorang gadis dengan pakaian musim dinginnya.
Hembusan nafas panjang terdengar memburu dari balik bibir mungilnya. Tangan di bawa melingkarkan tubuh yang terasa begitu dingin. Akan tetapi, ia enggan untuk beranjak meninggalkan bangku taman.
“Chuwileul gyeondimyeo yeojeonhi yeogie meomulgo sipseubnikka?” tanya seseorang yang baru saja datang.
{Apa kamu masih ingin tetap bertahan di sini sambil menahan rasa dingin?}
“Mwoya... yeogiseo mwohae? Dasi naleul ttalawa, al-assji? Naega yeoleo beon malhaessji, geuleohji? Nal ttalaoji ma!” makinya pada pria yang di anggapnya sebagai penguntit.
{Kau ... sedang apa di sini? Mengikuti ku lagi, ya? Sudah aku katakan berkali-kali padamu, ‘kan. Jangan ikuti aku!}
“Mi Kyong, nae gamsiha-e iss-eo. geulaedo abeojilobuteo jayuleul eodgo sipdamyeon. Yeoleo beon seolmyeonghaeya habnikka, heum?”
{Mi Kyong, sebaiknya kau tetap berada di bawah pengawasan ku. Jika, kau masih ingin diberikan kebebasan oleh ayahmu. Apa aku harus jelaskan berkali-kali hal itu padamu, hmm?}
Gadis cantik itu bernama Lee Mi Kyong. Gadis yang selalu membuat seorang bos mafia kewalahan dalam mengasuh dan mendidiknya sampai sekarang.
“Hago sipji anhda. Naneun na jasin-eul dolbol su issseubnida. Geuleoni nahante jansoli jom geumanhae. Nan deo isang aiga anieyo. Ihaehaessnayo?!” jeritnya makin menjadi-jadi.
{Aku tidak mau. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jadi, berhenti mengomeli ku dalam hal ini. Aku bukan anak kecil lagi. Apa kau paham?!}
Tak ingin berdebat lebih lama, pria itu menggendong paksa Mi Kyong. Ia lekas membopong tubuh kecil Mi Kyong ke atas pundaknya.
Bagaimanapun Mi Kyong menolaknya, pria itu tetap tidak mempedulikan protes yang di layangkan Mi Kyong padanya.
“Naelyeo jwo! Seodulleo... jigeum gaja!” pekik Mi Kyong sembari memukul-mukul punggung pria tampan yang membopongnya.
{Turunkan aku! Cepat ... lepaskan aku sekarang!}
...----------------...
Kediaman keluarga Lee Joon Woo ....
Rumah megah bak istana yang hanya di tinggali oleh seorang pria paruh baya, beserta anak dan antek-anteknya.
Lee Joon Woo adalah seorang pria lajang yang sudah memiliki anak. Aneh memang. Tapi, itulah fakta yang ada. Sudah sejak lama dia menyandang status itu di tengah-tengah masyarakat. Tapi, tak ada satu orang pun yang berani menanyakan perihal tentang asal-usul Lee Mi Kyong padanya.
“Jigeumcheoleom goyohan sigan-eul jeulgineun geosdo olaenman-ida.” ucapnya sembari meneguk teh hijau yang menenangkan pikiran.
{Sudah lama sekali aku tidak menikmati waktu tenang seperti sekarang.}
Waktu tenang yang di impikan Lee Joon Woo, tampaknya tak akan berlangsung lama. Ya, bagaimana bisa hal itu berlangsung lama? Jika, sang perusuh dan biang onar telah tiba.
“Dohyeon-a...! Naelyeo jwo...! Dangsin-eun gwimeogeoli, eung?!” Lagi-lagi Mi Kyong berteriak di telinga Do Hyun.
{Do Hyun ...! Turunkan aku ...! Apa kau tuli, hah?!}
“Sesang-e, na-ege joyonghi sigan-eul jul su eobs-seubnikka?” ujar Lee Joon Woo tampak geram pada Mi Kyong dan Do Hyun.
{Astaga, tidak bisakah kalian memberikan aku sedikit waktu tenang?}
“Malhae juseyo! Ije geuneun mueos-eul haessseubnikka?”
{Katakan padaku! Sekarang apalagi yang sudah dia perbuat?}
Do Hyun pun menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa menunggu lama, Mi Kyong pun di berikan nasihat oleh Lee Joon Woo.
“Migyeong, Dohyeon-i majseubnida. Bakkat nalssiga johji anhseubnida. Dohyeon-ineun hal il-eul jalhaessda. Geuege hwaleul naeji mal-aya habnida. Teughi deo iljjig ssaulyeomyeon.” Mi Kyong sama sekali tidak mau mendengarkan omongan ayahnya. Dia menganggap itu bagaikan angin berlalu.
{Mi Kyong, Do Hyun benar. Cuaca di luar sedang tidak bagus. Do Hyun sudah benar menjalankan tugasnya dengan baik. Kamu tidak seharusnya marah padanya. Apalagi sampai melawan seperti itu tadi.}
“Oneul-eun jib-e iss-eoya habnida. Geudeul-i il-eul cheolihage hasibsio.” tambah Lee Joon Woo lagi sebelum Mi Kyong pergi meninggalkannya.
{Hari ini sebaiknya kamu tetap di dalam rumah saja. Biar urusan pekerjaan mereka yang handle.}
“Mueos-ideun.”
{Terserah saja.}
Tanpa ada rasa ragu, Mi Kyong lekas berlalu. Sedangkan Do Hyun yang berada di sebelah Lee Joon Woo, pria itu hanya menatap iba pada sang majikan yang di perlakukan tak beretika oleh putrinya. Hilang sudah wibawa seorang Lee Joon Woo bila sudah berhadapan dengan anak gadisnya.
“Do Hyun,”
“Ne, Sajangnim.”
{Ya, Pak Bos.}
“Iliwa, nawa hamkke i chaleul masige.”
{Kemarilah, temani aku minum teh ini.}
“Joh-a, Sajangnim.”
{Baik, Pak Bos.}
...----------------...
UNESA, Surabaya ....
Akhirnya, selesai sudah tugas kuliah Habib. Ia pun lekas menuju ruang seminar di adakan.
“Sepertinya masih belum selesai seminarnya. Aku masih punya sedikit waktu untuk mengikuti seminar itu.” gumam Habib ketika ia memandangi jam yang melingkar di tangannya.
Usai berkemas-kemas, Habib mempercepat langkahnya dengan sedikit berlari. Pelarian pun terhenti tepat di depan ruang seminar di adakan.
Nafas masih coba ia atur dengan perlahan-lahan. Kemudian ia mulai masuk dan mendekati perkumpulan. Lalu, ia duduk dengan posisi nyaman. Tentunya demi mendapatkan ilmu yang di sampaikan oleh seseorang yang sedang berbicara di depan.
Samar-samar ia mendengar di tengah kericuhan. Bahwa, sang moderator tengah menyampaikan sebuah pesan.
“Apapun yang menjadi tujuan. Maka berusahalah untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Dengan tekad yang kuat, serta niat yang sungguh-sungguh. Saya yakin semua orang yang ada di sini, bisa meraih kesuksesan yang sama seperti yang telah saya alami.” Begitulah kira-kira yang mampu di tangkap oleh indera pendengaran Habib dari kejauhan.
Seminar hari ini pun telah selesai. Sepanjang acara sungguh tak henti-hentinya kegemparan terjadi. Antusiasme yang terlampau tinggi, membuat para mahasiswa/mahasiswi menjadi berebut posisi. Semua orang ingin berada pada posisi paling depan. Sehingga, tak bisa di hindari keributan tadi sempat terjadi.
Ketika Habib hendak keluar dan pergi, langkah kakinya tertahan oleh sebuah genggaman seseorang. Pundaknya di tekan, sehingga membuat tubuhnya tertahan.
“Eh, Bib. Kami mencari-cari mu sejak tadi. Syukurlah, akhirnya kita bertemu juga di sini.”
“Ada apa?” jawab Habib sedikit acuh.
“Kapan kamu datang? Tadi, terjadi keributan yang menggemparkan di sini apakah kamu tau?” tanya Vikal memburu.
“Aku belum lama tiba di sini. Jadi, mana mungkin aku tau peristiwa itu.”
“Wah, asal kamu tahu, ya, Bib. Di sini tadi kacau sekali. Semua orang pengen posisi paling depan. Alasannya bikin kita gak nahan. Hanya karena supaya bisa melihat dan di lihat sama si mbak Moderator. Gak masuk akal, ‘kan?”
“Memangnya, sehebat itukah si mbak itu?” Habib mulai penasaran.
“Dengar-dengar, sih ... dia memang hebat dan jago banget, Bib. Eh, apa kita samperin dia, hmm?” usul Adnan.
“Buat apa? Gak usah lah, biarin dia pergi. Pasti dia capek banget, 'kan? Apa kalian masih mau mengganggu waktu istirahatnya, hmm?”
“Sebentar aja, Bib. Yuk!” Adnan dan Vikal pun menarik tangan Habib dengan paksa.
“Eh-eh ....”
Ketiga pria itu segera berlari mengejar Khadijah Amelia.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
anan
aku hadir k👋
2022-12-24
0
Bayangan Ilusi
MGO thorr, lidahku kelipet² bacanya😂🤭..
tp salut bgt buat kamu, kereen
2022-10-08
1
Bayangan Ilusi
habib mah emg beda dr yg lain..
aplgi aku,, yg ada ngntuk klo ngadep buku😂😂🤭
2022-10-08
3