Aku Bukan Tarzan

Aku Bukan Tarzan

1.Amiiiiinnn..

Butir-butir air masih tersisa di kulit batang Pohon Rambutan yang berbuah lebat dengan warna mencolok di antara hijau-hijau dedaunan rindang di sekitarnya.

Merah merekah bergerombol di setiap cabang yang kian merunduk terbawa beban di rantingnya.

Karung putih bergaris biru terlipat bertumpuk menjadi alas duduk untuk menunggu hujan reda.

Seharusnya sejak tadi Tama sudah menyeselesaikan mengunduh Buah Rambutan ternyata hujan menundanya hingga hampir sore.

Licin yang nampak di batang pohon membuatnya menahan diri dari pada harus kembali tergelincir.

Hampir saja Ia benar-benar mencium tanah jika tidak berpegangan pada cabang yang di pijaknya. Beruntung baginya hari berpihak padanya, meski cuaca seperti menghianati kerjanya.

Memanglah pekerjaanya sebagai pengunduh Buah menuntutnya berjuntaian di pepohonan yang siap untuk di unduh untuk di jual.

Tama mengurut pergelangan tanganya yang sedikit memar, sempat tadi pemilik pohon berteriak melihatnya terjatuh.

Salahnya memang, memaksakan memanjat saat hujan baru reda, namun cuaca dimana hujan hanya sebentar-sebentar reda lalu turun lagi yang membuatnya nekat.

Gelas di dekatnya duduk sudah tersisa ampasnya saja, pemilik pohon menyuguhkan kopi panas sembari menunggu hujan benar-benar reda, namun hingga hampir seharian pekerjaan-nya belum menampakkan hasil. Seharusnya Karung yang tengah Ia duduki sudah berisikan Rambutan jika hari terik.

Jakun-nya pun acap kali turun naik bukan karena melihat merahnya buah Rambutan tapi ampas kopi yang serasa menempel di tenggorakan.

Matanya tertuju pada gerumun Rambutan yang berada di pucuk batang paling tinggi Pohon Rambutan, bukan ketinggian yang Ia takuti yang tengah bergelayut dalam pikiranya, karena hal itu sudah biasa Ia kerjakan.

Masalahnya kini bila Ia harus memanjatnya di waktu gelap, sempat melihat lampu di teras Rumah, sepertinya tidaklah cukup menerangi pucuk Pohon Rambutan yang berada di hampir di tengah Kebun samping Rumah, dan senter Ponsel pun sepertinya kurang menerangi jika harus menggunakan-nya.

Tama mengamati, seperti mengukur puncak Pohon hingga ke bawah tanah di mana akarnya ada yang tersembul di atas tanah, lebih mudah baginya jika ada galah atau tangga.

Kedua alat tersebut memanglah tidak pernah Ia bawa, hanya bermodalkan parang dan karung-karung bekas, jika harus membawanya tentulah lebih sulit dari pada mengunduh Buah-buahan mengingat Ia dan Pak Amin membawa sepeda motor sebagai pengangkut hasil mengunduh, lagi pula tempat yang di kerjakan pun tidak lah berada dalam satu lokasi yang sama. Terkadang butuh waktu perjalanan berkendara untuk sampai tujuan.

Tama menutupi mulutnya yang akan menguap dengan melihat gelas kopinya, menunggu reda malah membuatnya mengantuk. Menyandarkan tubuhnya di dinding Rumah seiring Uapan di mulutnya.

Menunggu pacar yang akan datang mungkin lebih mengasikan dari pada harus menunggu waktu kerja yang hampir lewat, yang ada di benaknya dengan mendongak ke atas teras. Meski Ia tidak pernah merasakannya seperti sandal kanan tanpa yang kiri.

Perlahan melihat ponselnya, jam digital sudah hampir memanggil kumandangnya Azan Ashar namun reda memang reda tapi licin yang menundanya.

Tama segera meletakkan ponselnya.

Suara Motor Pak Amin yang Ia hafal terdengar mendekati, dan Ia tidak mau lagi di katakan Pak Amin,

"Tama, siapa yang tengah kau chat di atas pohon? setahu Ku Wa-mu tiada satupun nama Wanita!."

Kata yang di ucapkan Pak Amin dari bawah Pohon jika melihatnya tengah membuka Ponsel hanya untuk melihat Jam.

Tama mengusap tanganya, meski tidak berkeringat.

Nampak Pak Amin mesem dari samping Rumah dengan kepulan asap yang keluar dari Knalpot Motornya.

Jika di lihat sepintas Pak Amin tengah mesem tapi jika di teliti lebih dalam hanya rumpun kumis yang menutupi bibirnya.

Ia pun sempat terpedaya juga awalnya ketika baru-baru mengenalnya.

Ia sempat membalas mesem Pak Amin waktu itu, seolah tengah mesem kepadanya dan tidak dinyana sama sekali, murka di balik rumpun hitam ternyata.

Pak Amin tengah marah kepadanya.

"Tama."

Panggilan Pak Amin membuatnya segera berdiri.

"Sepertinya esok Kita kembali lagi, hari ini begitu berisiko untuk memanjat Tama!"

Pak Amin sambil mengambil karung yang baru saja Ia duduki.

"Bukanya esok Kita harus...," ucap Tama seperti ingin bertanya.

"Terpaksa Kita tunda juga!"

Pak Amin memotong ucapan-nya.

Entah senang atau pegal yang membuatnya mesem juga.

Senang tanpa kerja malam dan pegal seharian menunggu hanya kata esok yang datang.

Mesemnya, melihat lembaran hitam Pak Amin kian merekah geram di bibir nan kelam yang sering tersulut asap-asap kretek.

Tama segera membawa peralatan-nya, melihat Pak Amin sudah lagi berada di motor. Motornya pun Ia letakan di samping Rumah pemilik Pohon Rambutan.

Hujan rintik kembali turun perlahan, menandakan memang esok untuk kembali lagi.

Kupluk ninja Pak Amin pun sudah terpakai seperti Helm full face di wajahnya, yang biasanya hanya untuk menutupi kepala atasnya.

Asap dari Knalpot kembali keluar dengan tarikan gas di tangannya.

Ia pun hanya menyeringai melihat geber yang baru berlalu.

Sesaat mengamati sekeliling Rumah, "kemana pemilik Rumah yang tadi memberikan kopi ? mengapa Pak Amin pergi tanpa permisi dahulu? " tanya hati dengan sedikit rasa heran.

Belum sempat tanganya memutar kunci kontak motornya,hujan lebat turun membasahinya. Ia pun mengurungkan menghidupkan Motornya dengan berlari kembali ke tempat tadi berteduh.

Hujan yang datang kini sertai angin yang deras, membuat pepohon sekitar Rumah nyaris seperti bayang-bayang hitam yang bergerak-gerak, air hujan pun kini masuk hingga ke dalam teras hingga membuatnya merapat di dekat pintu.

Terdengar samar seperti sebuah pohon atau batang yang roboh, matanya mencari asal suara di balik derasanya hujan, diantara kencanganya angin.

Kembali melihat pintu Rumah yang tertutup rapat, sepertinya memang tiada orang di dalamnya, jika ada tentunya Ia pun bisa kembali menunggu hujan di dalam tanpa ke basahan, dengan segelas kopi lagi pastinya. Pikirnya seolah masuk dari atas ventilasi pintu.

Hujan seperti mengamuk tanpa memberi ampun pada setiap Batang-batang Pohon yang tumbuh di sekeliling Rumah untuk terus begerak menumbangkannya ke tanah.

Suara mendesis angin yang masuk di bawah atap teras Rumah melingkari tubuh dengan hawa yang dingin.

Tama memeluk tubuhnya,melawan air yang jatuh dengan dingin.

Matanya tertuju pada sesuatu yang bergerak mendekat seperti berusaha payah menembus derasnya hujan.

Matanya semakin terbuka lebar, melihat seorang basah kuyup bernafas engap akibat baru berlarian.

Mengusap wajah dari Air hujan meski sisa air masih terjatuh di kumis yang super rimbun tengah melihatnya.

"Pak Amin?." kagetnya tidak percaya melihat Pak Amin dengan berbasah kuyup tanpa kupluk dan motornya.

Nampak jelas lapangan golf terhampar di kepalanya.

"Sial Tama! Motorku menabrak batu."

Pak Amin dengan mendekati,mengusap kepala dan wajahnya lagi.

"Batu?"

Memperhatikan tubuh Pak Amin.

"Iya! Batu bata di depan sana!." jelas Pak Amin lagi.

Jiika benar Pak Amin menabrak tumpukan batu bata di bawah anakan pohon Mangga, tentunya suara seperti pohon tumbang yang tadi Ia dengar adalah tumpukan batu bata yang jatuh, dan seharus nya Pak Amin menabrak pohon Mangga terlebih dahulu.

Tama termangu heran.

"Saat akan jatuh! Aku langsung belok, tapi malah menabrak...." tutur Pak Amin seperti menyesali kejadian yang baru di alami.

Tama mengangguk mengerti, melihat sekujur tubuh Pak Amin nyaris tanpa luka.

"Sepertinya senang sekali Kau melihatku Tama?"

"Iya tidak lah, Pak Amin. Masa Aku seperti itu terhadap orang yang memberiku uang." sangkal nya mengalihkan tatapan di lebatnya hujan. Dan sekuat tenaga pula menahan senyum di bibir yang mulai menggelitik.

"Justru Aku turut prihatin dengan yang baru menimpa Bapak." Menarik nafas berat.

" Entah bagaimana keadaan motor Pak Amin saat ini? apakah masih bisa hidup atau...."

"Mati dan rusak parah! Dan harus segera di bawa ke bengkel maksudmu!" Wajah Pak Amin terlihat berubah seiring rimba di atas bibirnya yang kian angker.

Tama hampir menggigit bibirnya.

Gelitik di hatinya semakin menjadi untuk membuatnya tertawa.

Andai saja Ia tadi sempat secara langsung melihat atraksi yang di lakukan Pak Amin saat menabrak. Pikirnya terarah ke Tempat Kejadian Perkara.

Tama menginjak kaki sendiri menahan tawa di bibirnya.

Tiba-tiba saura deru angin kencang berhembus bersamaan suara seperti pohon atau batang yang patah dan jatuh ke tanah.

Terkejut, Tama langsung melihat Pak Amin yang juga sama dengan baru Ia rasakan. Dan yang membuat matanya semakin terbuka, melihat Pak Amin perlahan duduk di lantai basah dengan bersandar di dinding Rumah, memukul pelan kepalanya.

"Sudahku bayar Tama," ucapnya seperti sedih.

Tama langsung menyandarkan kepala juga di dinding. Rasa terkejutnya tadi seketika hilang berganti rasa turut prihatin.

Batang pohon yang baru tumbang adalah Pohon Rambutan yang akan di unduh esok.

Tanpa melihat Pak Amin yang seperti tengah meratap, Ia pun merogoh saku celana melihat Jam digital di ponselnya.

Sudah satu minggu Ia tidak mengisi pulsa, dan sepertinya Ia harus menunda rencana untuk kasbon pulsa di konter langganannya.

Tama memasukan kembali ponselnya dengan melepas nafas berat.

Sepertinya upahnya akan kembali tertunda seperti masa-masa suram Pak Amin.

Tama memejamkan matanya perlahan, mencoba tersenyum dan meminta dingin dan jerit hati di sebelahnya agar cepat reda dan cepat berlalu.

Aminnnnnn

*************

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!