NovelToon NovelToon

Aku Bukan Tarzan

1.Amiiiiinnn..

Butir-butir air masih tersisa di kulit batang Pohon Rambutan yang berbuah lebat dengan warna mencolok di antara hijau-hijau dedaunan rindang di sekitarnya.

Merah merekah bergerombol di setiap cabang yang kian merunduk terbawa beban di rantingnya.

Karung putih bergaris biru terlipat bertumpuk menjadi alas duduk untuk menunggu hujan reda.

Seharusnya sejak tadi Tama sudah menyeselesaikan mengunduh Buah Rambutan ternyata hujan menundanya hingga hampir sore.

Licin yang nampak di batang pohon membuatnya menahan diri dari pada harus kembali tergelincir.

Hampir saja Ia benar-benar mencium tanah jika tidak berpegangan pada cabang yang di pijaknya. Beruntung baginya hari berpihak padanya, meski cuaca seperti menghianati kerjanya.

Memanglah pekerjaanya sebagai pengunduh Buah menuntutnya berjuntaian di pepohonan yang siap untuk di unduh untuk di jual.

Tama mengurut pergelangan tanganya yang sedikit memar, sempat tadi pemilik pohon berteriak melihatnya terjatuh.

Salahnya memang, memaksakan memanjat saat hujan baru reda, namun cuaca dimana hujan hanya sebentar-sebentar reda lalu turun lagi yang membuatnya nekat.

Gelas di dekatnya duduk sudah tersisa ampasnya saja, pemilik pohon menyuguhkan kopi panas sembari menunggu hujan benar-benar reda, namun hingga hampir seharian pekerjaan-nya belum menampakkan hasil. Seharusnya Karung yang tengah Ia duduki sudah berisikan Rambutan jika hari terik.

Jakun-nya pun acap kali turun naik bukan karena melihat merahnya buah Rambutan tapi ampas kopi yang serasa menempel di tenggorakan.

Matanya tertuju pada gerumun Rambutan yang berada di pucuk batang paling tinggi Pohon Rambutan, bukan ketinggian yang Ia takuti yang tengah bergelayut dalam pikiranya, karena hal itu sudah biasa Ia kerjakan.

Masalahnya kini bila Ia harus memanjatnya di waktu gelap, sempat melihat lampu di teras Rumah, sepertinya tidaklah cukup menerangi pucuk Pohon Rambutan yang berada di hampir di tengah Kebun samping Rumah, dan senter Ponsel pun sepertinya kurang menerangi jika harus menggunakan-nya.

Tama mengamati, seperti mengukur puncak Pohon hingga ke bawah tanah di mana akarnya ada yang tersembul di atas tanah, lebih mudah baginya jika ada galah atau tangga.

Kedua alat tersebut memanglah tidak pernah Ia bawa, hanya bermodalkan parang dan karung-karung bekas, jika harus membawanya tentulah lebih sulit dari pada mengunduh Buah-buahan mengingat Ia dan Pak Amin membawa sepeda motor sebagai pengangkut hasil mengunduh, lagi pula tempat yang di kerjakan pun tidak lah berada dalam satu lokasi yang sama. Terkadang butuh waktu perjalanan berkendara untuk sampai tujuan.

Tama menutupi mulutnya yang akan menguap dengan melihat gelas kopinya, menunggu reda malah membuatnya mengantuk. Menyandarkan tubuhnya di dinding Rumah seiring Uapan di mulutnya.

Menunggu pacar yang akan datang mungkin lebih mengasikan dari pada harus menunggu waktu kerja yang hampir lewat, yang ada di benaknya dengan mendongak ke atas teras. Meski Ia tidak pernah merasakannya seperti sandal kanan tanpa yang kiri.

Perlahan melihat ponselnya, jam digital sudah hampir memanggil kumandangnya Azan Ashar namun reda memang reda tapi licin yang menundanya.

Tama segera meletakkan ponselnya.

Suara Motor Pak Amin yang Ia hafal terdengar mendekati, dan Ia tidak mau lagi di katakan Pak Amin,

"Tama, siapa yang tengah kau chat di atas pohon? setahu Ku Wa-mu tiada satupun nama Wanita!."

Kata yang di ucapkan Pak Amin dari bawah Pohon jika melihatnya tengah membuka Ponsel hanya untuk melihat Jam.

Tama mengusap tanganya, meski tidak berkeringat.

Nampak Pak Amin mesem dari samping Rumah dengan kepulan asap yang keluar dari Knalpot Motornya.

Jika di lihat sepintas Pak Amin tengah mesem tapi jika di teliti lebih dalam hanya rumpun kumis yang menutupi bibirnya.

Ia pun sempat terpedaya juga awalnya ketika baru-baru mengenalnya.

Ia sempat membalas mesem Pak Amin waktu itu, seolah tengah mesem kepadanya dan tidak dinyana sama sekali, murka di balik rumpun hitam ternyata.

Pak Amin tengah marah kepadanya.

"Tama."

Panggilan Pak Amin membuatnya segera berdiri.

"Sepertinya esok Kita kembali lagi, hari ini begitu berisiko untuk memanjat Tama!"

Pak Amin sambil mengambil karung yang baru saja Ia duduki.

"Bukanya esok Kita harus...," ucap Tama seperti ingin bertanya.

"Terpaksa Kita tunda juga!"

Pak Amin memotong ucapan-nya.

Entah senang atau pegal yang membuatnya mesem juga.

Senang tanpa kerja malam dan pegal seharian menunggu hanya kata esok yang datang.

Mesemnya, melihat lembaran hitam Pak Amin kian merekah geram di bibir nan kelam yang sering tersulut asap-asap kretek.

Tama segera membawa peralatan-nya, melihat Pak Amin sudah lagi berada di motor. Motornya pun Ia letakan di samping Rumah pemilik Pohon Rambutan.

Hujan rintik kembali turun perlahan, menandakan memang esok untuk kembali lagi.

Kupluk ninja Pak Amin pun sudah terpakai seperti Helm full face di wajahnya, yang biasanya hanya untuk menutupi kepala atasnya.

Asap dari Knalpot kembali keluar dengan tarikan gas di tangannya.

Ia pun hanya menyeringai melihat geber yang baru berlalu.

Sesaat mengamati sekeliling Rumah, "kemana pemilik Rumah yang tadi memberikan kopi ? mengapa Pak Amin pergi tanpa permisi dahulu? " tanya hati dengan sedikit rasa heran.

Belum sempat tanganya memutar kunci kontak motornya,hujan lebat turun membasahinya. Ia pun mengurungkan menghidupkan Motornya dengan berlari kembali ke tempat tadi berteduh.

Hujan yang datang kini sertai angin yang deras, membuat pepohon sekitar Rumah nyaris seperti bayang-bayang hitam yang bergerak-gerak, air hujan pun kini masuk hingga ke dalam teras hingga membuatnya merapat di dekat pintu.

Terdengar samar seperti sebuah pohon atau batang yang roboh, matanya mencari asal suara di balik derasanya hujan, diantara kencanganya angin.

Kembali melihat pintu Rumah yang tertutup rapat, sepertinya memang tiada orang di dalamnya, jika ada tentunya Ia pun bisa kembali menunggu hujan di dalam tanpa ke basahan, dengan segelas kopi lagi pastinya. Pikirnya seolah masuk dari atas ventilasi pintu.

Hujan seperti mengamuk tanpa memberi ampun pada setiap Batang-batang Pohon yang tumbuh di sekeliling Rumah untuk terus begerak menumbangkannya ke tanah.

Suara mendesis angin yang masuk di bawah atap teras Rumah melingkari tubuh dengan hawa yang dingin.

Tama memeluk tubuhnya,melawan air yang jatuh dengan dingin.

Matanya tertuju pada sesuatu yang bergerak mendekat seperti berusaha payah menembus derasnya hujan.

Matanya semakin terbuka lebar, melihat seorang basah kuyup bernafas engap akibat baru berlarian.

Mengusap wajah dari Air hujan meski sisa air masih terjatuh di kumis yang super rimbun tengah melihatnya.

"Pak Amin?." kagetnya tidak percaya melihat Pak Amin dengan berbasah kuyup tanpa kupluk dan motornya.

Nampak jelas lapangan golf terhampar di kepalanya.

"Sial Tama! Motorku menabrak batu."

Pak Amin dengan mendekati,mengusap kepala dan wajahnya lagi.

"Batu?"

Memperhatikan tubuh Pak Amin.

"Iya! Batu bata di depan sana!." jelas Pak Amin lagi.

Jiika benar Pak Amin menabrak tumpukan batu bata di bawah anakan pohon Mangga, tentunya suara seperti pohon tumbang yang tadi Ia dengar adalah tumpukan batu bata yang jatuh, dan seharus nya Pak Amin menabrak pohon Mangga terlebih dahulu.

Tama termangu heran.

"Saat akan jatuh! Aku langsung belok, tapi malah menabrak...." tutur Pak Amin seperti menyesali kejadian yang baru di alami.

Tama mengangguk mengerti, melihat sekujur tubuh Pak Amin nyaris tanpa luka.

"Sepertinya senang sekali Kau melihatku Tama?"

"Iya tidak lah, Pak Amin. Masa Aku seperti itu terhadap orang yang memberiku uang." sangkal nya mengalihkan tatapan di lebatnya hujan. Dan sekuat tenaga pula menahan senyum di bibir yang mulai menggelitik.

"Justru Aku turut prihatin dengan yang baru menimpa Bapak." Menarik nafas berat.

" Entah bagaimana keadaan motor Pak Amin saat ini? apakah masih bisa hidup atau...."

"Mati dan rusak parah! Dan harus segera di bawa ke bengkel maksudmu!" Wajah Pak Amin terlihat berubah seiring rimba di atas bibirnya yang kian angker.

Tama hampir menggigit bibirnya.

Gelitik di hatinya semakin menjadi untuk membuatnya tertawa.

Andai saja Ia tadi sempat secara langsung melihat atraksi yang di lakukan Pak Amin saat menabrak. Pikirnya terarah ke Tempat Kejadian Perkara.

Tama menginjak kaki sendiri menahan tawa di bibirnya.

Tiba-tiba saura deru angin kencang berhembus bersamaan suara seperti pohon atau batang yang patah dan jatuh ke tanah.

Terkejut, Tama langsung melihat Pak Amin yang juga sama dengan baru Ia rasakan. Dan yang membuat matanya semakin terbuka, melihat Pak Amin perlahan duduk di lantai basah dengan bersandar di dinding Rumah, memukul pelan kepalanya.

"Sudahku bayar Tama," ucapnya seperti sedih.

Tama langsung menyandarkan kepala juga di dinding. Rasa terkejutnya tadi seketika hilang berganti rasa turut prihatin.

Batang pohon yang baru tumbang adalah Pohon Rambutan yang akan di unduh esok.

Tanpa melihat Pak Amin yang seperti tengah meratap, Ia pun merogoh saku celana melihat Jam digital di ponselnya.

Sudah satu minggu Ia tidak mengisi pulsa, dan sepertinya Ia harus menunda rencana untuk kasbon pulsa di konter langganannya.

Tama memasukan kembali ponselnya dengan melepas nafas berat.

Sepertinya upahnya akan kembali tertunda seperti masa-masa suram Pak Amin.

Tama memejamkan matanya perlahan, mencoba tersenyum dan meminta dingin dan jerit hati di sebelahnya agar cepat reda dan cepat berlalu.

Aminnnnnn

*************

2.Si Puham

Belum saja nyenyak rasanya mata yang baru terpejam suara memanggil dari balik jendela kamar membuat kaget untuk terbangun. Dengan rasa perih yang mengganjal di mata **T**ama pun membuka jendela.

Hampir hilang rasa kantuknya karena melotot.

Nyaris berteriak dengan mundur menjahui jendela melihat kepala bertopeng ninja langsung nongol saat jendela terbuka. Tama mengurut dadanya menahan rasa kagetnya.

Nafasnya Ia lepaskan cepat ke arah lantai.

"Malas sekali Kau Tama! Belum juga bangun siang begini!"

Suara di balik kupluk coklat membuatnya kembali menaiki tempat tidurnya.

" Tama! **A**pa Kau tidak mendengar?"

"Dengar Pak Amin! Hari ini kan, tiada unduhan!" Seperti malas melihat rumpun kumis Pak Amin yang baru terbuka dari balik kupluknya.

"Tama-tama! Aku baru dapat callingan, Kita akan mengunduh hari ini!"seru Pak Amin kesal.

Tama langsung bangun, bukan karena ketukan tangan Pak Amin pada daun jendelanya, tapi aroma kupluk Pak Amin yang basah membuatnya ingin kembali menutup jendela. Terlihat kepala Pak Amin sudah tidak terlihat lagi.

Dengan rasa malas Ia pun menutup jendela. Mendekati pintu kamar yang masih tertutup, mengambil handuknya yang tergantung di pintu lalu membukanya.

Nampak merakah rimbun hitam di depan pintu, dengan tangan siap mengetuk pintu.

"Kita akan mengunduh, emmmhhh! Bukan buah!"

Pak Amin dengan duduk di kursi.

Tama menutup pintu kamarnya dengan menahan uapan di mulutnya.

Ucapan Pak Amin sudah biasa Ia dengar. Selain buah-buahan apa saja kerja-an, asalkan itu adalah acara unduh-mengunduh Pak Amin pasti akan menyanggupinya.

Hanya mengunduh video di internet yang belum pernah Ia di ajaknya.

"Ngunduh bengkoang Pak?" Melihat Pak Amin yang tengah menyulut kereteknya. Kepulan asap terlihat memenuhi rimba di bibirnya. Bisa-bisanya orang merokok keluar dari kumis? Bisa lari semua ketombe. Geli di hatinya melihat asap Rokok seperti menempel di sela-sela kumis Pak Amin.

"Ayyyyyy! Ikut saja, nanti Aku tahu sendiri!" Dengan kembali menghisap kreteknya. Tama melebarkan bibirnya, kata itu juga sudah pasti terucap jika Ia bertanya.

Dengan menutupi mulut menggunakan handuk Ia pun duduk di sampingnya.

Aroma menyengat dari kretek Pak Amin membuat Ia menutupi juga hidungnya.

Pak Amin menolehnya.

Namun tiada terdengar suruhan kepadanya untuk cepat mandi seperti biasanya.

Sempat melihat jam tadi, hampir mendekati angka sebelas, mendekati jam makan siang. Tentunya hal itu yang membuat Pak Amin tidak terburu-buru menyuruhnya untuk mandi dan langsung berangkat tugas, kata yang Pak Amin pakai jika akan bekerja. .

"Aku pulang dulu, sehabis makan siang Kau ke rumahku!"

Tama hanya memperhatikan Pak Amin yang mengisap kreteknya dengan berjalan keluar Rumah.

Seperti biasanya, Ia pun sudah menduganya. Pak Amin tidak akan membiarkan kantongnya robek dengan nasi bungkus.

Tama menutupi wajahnya dengan handuk, memejamkan matanya lagi.

Hampir pagi Ia tidak bisa tertidur, Chat WA dari seseorang yang tidak Ia kenal mengganggu pikiranya.

Hanya Pak Amin yang biasa ngerjain-nya, namun Ia sudah melewatinya karena ketikan Pak Amin tidak lah serapat kumisnya.

"Tama!"

Hampir saja handuk yang menutupi wajah Ia lemparkan karena kaget.

"Kretek-ku tertinggal!"

Tama memejamkan matanya dengan jengkel, Pak Amin sengaja meninggalkan kreteknya untuk membangunkanya lagi. Hal yang sering di lakukan padanya jika Ia tertidur.

"Tama ingat Tama! Sehabis makan siang!"

Terdengar suara Pak Amin di depan pintu.

"Tama!"

Tama membuka kedua matanya dengan mendongkol.

"Iya Pak! Iyaaaa!" Serunya dengan kembali masuk ke kamar.

Kantuk dan jengkel yang teramat sangat membuatnya begitu keras menghempaskan tubuhnya di kasur yang tak empuk.

"Manjat lagi! Manjat lagi!" gerutu kantuknya di bantal.

Suara Kucing yang mengeong di dapur terdengar lapar membuat matanya terbuka sebelah.

"Tama!"

Kini kedua mata Tama terbuka keduanya, dengan sigap Ia pun bangun dan lekas berlari ke arah dapur.

Neneknya pasti marah padannya, Ia lupa merebus air untuk minum yang setiap hari dilakukan setiap pagi.

Tama mengucek-ngucek matanya yang masih terasa perih.

Suara kucing mengeong tengah berdiri di atas meja makan dengan tudung saji yang terbuka tersandar di dinding.

Nampaknya Neneknya akan makan.

"Tama, apa Kau belum merebus air minum?"

Sambil membuka tutup ceret.

Tama mengusap-usap rambutnya dengan handuk layaknya orang yang baru saja berkeramas.

"Belum Nek," ucapnya seperti malas.

"Sampai kapan Kau pelihara rasa malasmu Tama?"

Sang Nenek dengan mengambil Air yang di wadahkan di ember bekas Cat Rumah.

Tama melebarkan bibirnya dengan menghidupkan kompor.

"Tama pikir, hari ini tidak bekerja Nek."

"Lantas, Kau bebas bangun siang hari?" Dengan menaruh ceret berukuran sedang di atas tungku kompor.

"Tapi tadi Pak Amin memberitahu, siang ini Tama kerja Nek."

Tama menggendong kucing kesayanganya, berwarna hitam dengan putih yang mendominasi tubuhnya.

Jenis Kucing liar yang Ia pelihara, dan di beri nama Si Puham, meski aslinya Neneknya yang memberi nama berdasarkan singkatan Putih dan hitam.

"Nek, apa tidak ada ikan Nek?"Tama melihat-lihat setiap bungkusan yang di keluarkan Neneknya dari karung kecil.

"Hari ini biar si puham makan tempe, uangnya pas-pasan Tama!"

Sang Nenek dengan melipat karung hingga seukuran Buku Tulis.

Tama melebarkan bibirnya dengan mengusap-usap kepala si puham.

"Puham hari ini ikan teri lagi langka, Kita makan tempe saja."

Tama dengan menggendong si puham kedalam ruang tamu.

"Tama, kapan Kau akan mencukur rambutmu?"

Memperhatikan Rambut Tama yang terurai hampir melewati bahunya, terlihat acak-acakkan.

"Nanti-lah, Nek." Tanpa menoleh Neneknya.

Sang Nenek menarik nafas dalam.

Cucu satu-satunya Tama memang susah sekali jika di suruh potong Rambut.

Tubuhnya yang kecil sedang hampir seperti wanita, terkadang jika sepintas wajahnya pun mirip seperti wanita.

Terdengar suara Si Puham mengeong.

Nek Imah segera menyusul Tama.

Basimah sebenarnya nama Nenek Tama, namun kebanyakan orang memanggilnya dengan panggilan Nek Imah.

Nek Imah menatapi Tama yang duduk membelai kepala Si Puham.

Terdengar kembali Si Puham mengeong, dengan meloncat mendekati kaki Nek Imah.

"Puham!" Panggil Tama.

Si Puham kembali mengeong dengan mengelus-elus kaki Nek Imah dengan kepalanya.

"Tama, cukur-lah Tama!"

Nek Imah masih berdiri mengamati Tama.

Tama mengucek Rambutnya dengan handuk.

"Nanti-lah,Nek," jawabnya seperti malas.

"Nanti? Sampai kapan Kau berpenampilan cantik seperti itu ... Kau kan, lelaki Tama?"

"Banyak Nek, anak lelaki yang gondrong."

Tama melihat Neneknya.

"Iya Tama,tapi kesan-nya urakan, apa lagi Kau sering manjat pohon."

"Terus Nenek ingin Tama tampil Diplomat gitu? Kan,tak pantas Nek,"ucap Tama seperti ingin di mengerti Neneknya.

Nenek Imah melepaskan Nafas beratnya.

Tama langsung tersenyum.

"Nek,bagaimana jika rambut Tama tetap panjang?"

Tama berdiri mendekati Neneknya, menggendong kembali Si Puham yang mengeong di kakinya.

"Tenang Nek." Senyum Tama dibibir tipisnya yang merah.

Jika di perhatika pun Bibir Tama yang tipis dan merah sangat mirip sekali dengan seorang wanita.

"Nenek sudah merawat Tama dengan baik, jadi jangan takut ada yang bilang bahwa Tama tidak di urus Nenek." jelasnya lagi.

Senyum merah Tama semakin merekah bagai seorang Gadis.

Nenek Imah kembali melepaskan nafas beratnya.

Terdengar kembali suara mengeong.

"Lapar?"

Tama mendekatkan bibirnya ke telingan Si Puham.

Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan, Kucing dengan warna Putih dan Hitam itu pun kembali mengeong.

"Nek?"

Tama menatap Neneknya.

"Katakan padanya, belum masak,"ucap Nek Imah dengan berjalan ke arah belakang.

Tama menatap langkah Neneknya dengan lemas.

Lemas karena Ia pun belum makan.

"Aku juga belum makan."

Tama saat melihat Kucingnya yang tengah melihat kepadanya.

Tiba-tiba Si Puham berontak, langsung loncat ke luar Rumah.

Tama mengejarnya.

"Puham!"

Sambil berlari.

Tama mengentikan larinya. Berdiri terpaku di depan warung, mengusap wajahnya dengan handuk.

"Celaka!"

Suara hatinya dengan wajah mulai gelisah.

"Eh! Tama, ingin bayar pulsa ya?"

Seorang gadis berpakaian SMA dengan rambut tomboy keluar warung dan dengan menggendong Si Puham.

Tama mengusap keras wajahnya dengan handuk kembali, sambil menelan ludahnya.

Melihat wajah Si Puham yang tengah mengeong.

"Itu ... kucingku lagi cari makan."

Tama dengan menunjuk Si Puham.

"Kasiiiihannn!"

Dengan mendekati Tama.

Tama menutupi setengah wajahnya dengan handuk.

"Sepertinya dia marah padaku, karena belumku berikan makan,"ucap Tama di balik handuk.

"Kejam sekali?"

Tama memalingkan wajahnya mendengar ucapan gadis di depanya dengan membelai kepala Si Puham.

"Oke, kebetulan sekali Ibuku tengah menggoreng ikan jadi kau kerumahku saja."

Tangan Tama seperti tertahan untuk menghentikan dan mengambil Si Puham yang langsung di bawa kembali ke dalam warung oleh Si gadis tomboy

"Tama! Kau bisa membawanya pulang, setelah tagihan pulsamu terbayar!"

Tama terpaku diam.

Lemas terasa olehnya sekujur tubuhnya.

Hatinya pun mulai menyalahkan Si Puham,

jika saja Kucing kesayangan-nya itu tidak berlari ke Warung Gingsul. Tentunya Ia tidak akan di tagih.

"Puham!Puham! Tahu saja jika orang punya utang!" Gerutu kesalnya dengan kembali pulang.

*******

3. Gingsul

Tama mengurungkan langkahnya untuk keluar dari kamar, suara seorang gadis yang sangat sering Ia dengar tengah lantang memanggil namanya.

"Tama!"

Terdengar kembali suara lantang di depan Rumah.

Tama hanya terdiam dengan berjalan mondar-mandir dengan memikirkan sesuatu.

"Tama!"

Tama sedikit terkejut.

Suara Neneknya turut memanggilnya.

Pikirnya tadi akan berpura-pura tidur, tapi panggilan Neneknya?

Sedangkan Ia baru saja berbicara padanya.

"Iya Nek! sebentar!"

Dan dengan malas Ia pun keluar kamar.

Terlihat olehnya Neneknya tengah bicara pada Ginsul.

Anak pemilik warung yang tidak jauh dari Rumahnya.

"Tama."

Tama tersenyum lebar, mendekati Neneknya dan Ginsul yang memanggilnya.

Ginsul pun tersenyum lebar, tentunya dengan terlihat gigi ginsulnya.

Rambut tomboynya yang halus lebat nampak berkilauan di bawah cahaya sinar Bohlam listrik di atas kepalanya.

"Tama? Dipanggil orang kok, diam saja."

Nek Imah kepadanya.

"Itu Nek ... Enghh, lagi salin." Tama dengan tertawa kecil pada Ginsul.

"Salin? Bukankah tadi Kau baru salin?"Nek Imah menatap heran Tama.

Tama berdecak dalam hatinya.

"Itu Nek, teman Tama berkata lewat handphone. Ibunya tengah bersalin."

Tama dengan menunjukan Handphone yang di bawanya.

"Tama tadi lagi terima panggilan teman Nek," jelas Tama berdusta.

Wajah Nenek Imah yang tadi terlihat marah, mulai surut kembali dengan tertawa kecil ke pada Ginsul.

"Ginsul dengar sendiri kan, Tama ada di dalam tadi," ucap Nek Imah.

Ginsul manggut-manggut tersenyum.

"Bicaranya di luar atau di dalam?" Nek Imah kepada keduanya.

"Nenek akan menghangatkan sayur tadi siang," ucapnya lagi.

"Iya Nek, kebetulan,"sahut Tama cepat.

"Seingat Nenek tadi Kau baru saja makan Tama?"

Wajah Nek Imah heran.

"Maksud Tama, kebetulan ada perlu dengan Ginsul,"

"Nenek marah-marah terus." Tama dengan menggandeng Neneknya masuk ke dalam Rumah.

"Maaf iya Nek, mengganggu." Ginsul seperti tidak enak hati.

"Tidak ... Kalian bicara saja." Nek Imah dengan memegang bahu Tama, lalu masuk ke arah belakang Rumah.

Tama memperhatikan wajah Ginsul.

Sepertinya Ia tidak menemukan tanda-tanda penagihan yang terlihat cantik seperti biasanya jika tengah menagih.

Kembali mendekati Ginsul.

"Ada apa malam-malam begini? Apa tidak bisa besok siang menagihnya?" Tama pelan dengan sempat menoleh ke arah Neneknya menghilang.

"Siapa yang ingin menagih?"

"Lalu?" Tama meski hatinya terasa lega.

"Malam kan, tidak enak menagih hutang. Aku hanya ingin bilang, malam ini si puham tidur di rumahku." Senyum Ginsul ramah.

Tama menatap gigi ginsul di antara bibir Ginsul yang merekah.

Biasanya ginsul di matanya seperti taring Harimau yang hendak menerkamnya jika sedang menagih.

Tama terseyum tenang.

"Masuk dulu Gins,"ucapnya kemudian.

Menirukan panggilan teman-teman sekolah Ginsul.

"Tidak usah-lah, sudah malam."Ginsul dengan ramah.

Tama mengusap dadanya dengan rasa bersyukur. Setidaknya malam ini tiada tagihan yang berarti untuknya.

"Oh iya, Tama. Aku pulang dahulu."Ginsul tersenyum lebar.

Tama mengangguk pelan.

"Inginku antarkan?" Tama berbasa-basi.

Ginsul menggelengkan kepalanya tertawa kecil.

Tama kembali mengusap dadanya.

"Oh iya Tama, besok jika Kau akan membawa si puham, Aku sudah menyiapkan buku catatan kasbonmu."

Senyum Tama yang tadi melebar di bibir tipisnya, seperti karet gelang yang tertarik kembali sebelum di jepretkan.

"I-iya," jawabnya pelan.

Wajahnya kini termenung melihat Ginsul yang pergi dengan berlari kecil.

Ingatan-nya seperti ikut berlari menyusul akan hari tadi siang hingga pulang menjelang gelap. Setengah hari hanya untuk berputar-putar mencari pohon berbuah yang siap di unduh. Tanpa hasil.

Siapa yang mengcalling Pak Amin pun tiada jelas di mana Rimba berbuah yang di maksud.

Tama membenarkan kuncitan Rambutnya.

Terbayang jelas wajah Ginsul esok, dan pastinya dengan secarik kertas beberapa minggu.

Lama juga untuk sebuah Kasbon pulsa, Ia pun menyadarinya.

Mungkin Ginsul memahaminya atau juga karena tetangganya.

Ginsul juga teman sekolahnya satu SMA, Tapi karena keadaan yang membuat Ia harus putus sekolah. Mungkin karena itu pula Ginsul memberikan tenggang yang cukup lama untuknya jika hutang sesuatu padanya.

"Tama!"

Tama terkejut kesal, baru saja Ia akan melangkah ke dalam Rumah.

Ginsul hadir lagi dengan senyum khas penagih hutang.

"Tama besok ada acara manjat tidak?"

Tama melebarkan bibir tipisnya.

"Sepertinya belum." Dengan memberi lihat Handphone di tanganya.

Seperti biasanya menanti kabar dari Pak Amin yang belum lagi memberi jadwal tugas.

"Kebetulan dong!" Mata Ginsul berbinar.

Wajah Tama berubah pucat.

"Kebetulan?" Pikirnya melancong ke dalam hutan yang penuh dengan buah-buahan beraneka ragam, tapi tiada satu pun yang bisa di unduh.

Jika Ia tidak ada tugas bagiamana dengan bon?

Tama berusaha menenangkan pikiranya dengan melihat wajah tomboy dengan Gigi ginsul yang selalu terlihat saat tertawa dan terseyum lebar.

"Besok antarkan Aku ke sekolah,"ucap Ginsul sedikit riang.

Tama hampir membuka bibirnya untuk terbengong tidak percaya.

Bagaimana mungkin Ia harus kembali ke sekolahnya? Lagi pula Ginsul memiliki kendaran sendiri, yang biasanya di pergunakan-nya untuk ke sekolah.

"Aku tidak bisa Gins... Aku malu ke sekolah," ucap Tama tegas.

"Bagaimana jika Aku bertemu dengan teman satu kelas kita?"

Tama dengan duduk di sopa lawas yang butut, penuh dengan busa yang tersembul keluar karena telah banyak yang sobek, di dekat pintu Rumah.

"Reuni lah!" Ginsul seperti mengingatkan.

"Reuni?" Tama dengan melengos kesamping.

Sudah lewat Dua Tahun memang, Ia lama tidak lagi ke sekolah, seharusnya Ia sudah kelas Tiga SMA bersama Ginsul.

Selama itu pula Ia jarang kembali bertemu teman-temanya.

"please-lah Tam... Aku ada tugas penting."

Ginsul dengan wajah memelas.

Tama menatapinya.

"Aku tidak bisa Gins!" Dengan akan masuk kedalam Rumah.

"Bon-nya lunas! plus satu plastik ikan teri, deal?"

Wajah ginsul melengos ke samping.

Tama berdiri terdiam di ambang pintu.

Sepertinya tawaran Ginsul membuatnya berpikir.

"Deal!"

Tama dengan membalik tubuhnya.

Wajah Ginsul semakin melengos bersama tubuhnya, seperti malas melihat Tama.

"Oh iya! tiba-tiba kok, Aku tidak mendengar suara si puham ya?"

Tama dengan tingak-tinguk ke dalam ruangan.

"Puham sudah tidur," ketus Ginsul, melihat

Tama sengaja berpura-pura mencari.

"Tidak baik mengganggunya,"ucapnya lagi, melihat Tama mendekatinya.

"Bangun-kan sebentar, deal?"

Tama dengan menjulurkan tanganya.

Ginsul menatapinya.

Tama tersenyum, menanti tangannya di jabat oleh Ginsul.

Ginsul kembali melengos.

"Rugi! Aku jika begini," ucapnya seperti menyesal.

"Aku yang rugi! jika malam ini pak Amin memberi tugas besok?"

"Kau kan, sering tidak mengerjakan tugas waktu sekolah. Jadiku rasa itu tiada ruginya bagimu. Aku sering memberikan contekan padamu,"gerutu Ginsul tidak ingin kalah.

"Tugas sekolah dengan tugas kerja-kan, lain Gins," sangkal Tama menanggapi.

"Sama dong! sama pekerjaan!"

Tama menurunkan tanganya dengan menghela nafasnya, melihat wajah Ginsul yang enggan melihatnya.

Rambut ginsul seperti model lelaki korea yang di belah tengah.

Tama mengusap ekor kuncir rambutnya.

"Deal!"

Ginsul dengan berlari pulang.

Tama terbengong.

Melihat tangan-nya yang baru di jabat paksa Ginsul. Matanya pun melihat tubuh Ginsul yang berlari kecil pulang.

"Rezeki memang kadang datang sendiri."

Bisik hatinya lega.

Tama senyum-senyum dengan kembali duduk di sopa butut.

Senyum kian mengembang laksana Raja yang tengah melihat sebuah kemenangan di atas singgasananya

Terdengar suara mengeong di kejauhan.

Tama terbahak.

******

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!