5. Mendadak Jungle

Tama menggelengkan kepalanya dengan tertawa kecil mendengar ucapan Pak Amin barusan.

"Ayyyyy! Tama!Tama!"

Rimbun hitam semakin terbuka kelam.

Kepulan asap Rokok Kretek kian membumbung tinggi layaknya sebuah cerobong Pabrik.

Pak Amin terlihat marah.

"Tugas Kau lakukan sendiri,"ucapnya lagi.

"Harus-nya Kau lapor kepadaku terlebih dahulu." Pak Amin memukul-mukulkan Kupluknya di pahanya.

Terlihat debu tipis berterbangan.

Tama tersenyum lebar.

"Itu bukan tugas Pak Amiiiin!" Tama bangkit dari duduknya.

Memegang batang Pohon Mangga yang cukup besar.

"Ayyyyyyy! Tama-tama!"

"Berapa yang Kau dapatkan kemarin?" Sungut Pak Amin mendekati.

Tama menyandarkan punggung-nya.

Ternyata Pak Amin marah kepadanya hanya karena memetik Rambutan di Sekolahnya.

"Aku hanya memenuhi permintaan Gins, Pak!"

Tama melihat kumis Pak Amin yang rimbun.

Pak Amin menghisap kembali kreteknya.

Tama tersenyum geli.

Seperti Rimba yang terbakar, saat kepulan asap memenuhi mulut Pak Amin.

"Ingat Tama, Kau tidak akan mendapatkan uang jika bukan karena Aku,"ucap Pak Amin mengingatkan.

Bibir tipis Tama kembali bergerak pelan.

"Iya Pak, tapi kemarin karena Gins yang memaksa," jelas Tama.

Wajah Pak Amin terlihat tidak percaya.

"Iya, Gins memberikan penawaran yang baik untuk-ku." Tama kembali menjelasakan.

Senyum dan anggukan Pak Amin terlihat dengan rona kebenaran hatinya.

"Sudah Ku duga!" Serunya dengan membalikan badan.

"Aku punya hutang pada Gins, Pak... Sedangkan Pak Amin belum juga memberikan tugas." Tama dengan menyusulnya.

Pak Amin menaiki motornya.

Tama melebarkan bibirnya.

"Aku kan, tengah berusaha Tama!"

Wajah Pak Amin terlihat kesal.

"Gins kan, tengah merayakan Ha-Be-De nya Pak, iya anggap saja yang Aku lakukan untuk hadiah ulang tahun-nya Pak."

Tama mencoba mejelaskan lagi.

"Tapi kan, Kau dapat nilai juga."

Tama nyengir. Nilai, kata pengganti untuk upah yang di terima setelah bekerja, yang lazim Pak Amin gunakan padanya.

"Anggap saja bonus, dapat tambahan cuan Pak dari tugas mulia."

Tama dengan berkelakar.

"Ayyyyyy! Bilang saja Kau ingin nilai besar tanpa mengikut sertakanku Tama!"

Wajah Pak Amin masih terlihat kesal.

Tama melebarkan bibir tipisnya.

Pak Amin benar-benar tidak mempercayainya, buktinya masih saja berasumsi bahwa Ia telah melakukan kecurangan dalam pekerjaan.

"Oke-lah Pak, Aku minta maaf." Tama tersenyum tulus.

Pak Amin membuang puntung kreteknya setelah hisapan dalam dari bibirnya yang rimbun. Melihat Tama dari ujung kaki ke ujung kepala.

Tama menahan geli di hatinya, puntung kretek Pak Amin yang baru di buang hampir membakar merek warna dari kreteknya.

Pertanda tengah surut di dalam kantongnya. Karena biasanya Pak Amin akan membuang puntungnya sebelum batas dari merek Rokoknya, jika lagi padat kantongnya.

Meski masih terlihat kesal Pak Amin mengangguk tanpa bersuara. Hanya rimbun angker di rimba bibirnya yang nampak berseri.

"Terus kita akan ke mana Pak?"

Tama yang merasa sejak tadi hanya berputar-putar tanpa jelas.

"Bensinku hampir habis Pak,"ucapnya lagi.

Mengingat memang tadi sebelum berhenti Ia sempat melihat indikator di speedometernya tinggal satu strip.

Pak Amin kembali memukulkan kupluknya.

Tama kembali menahan geli.

"Aku sedang berpikir Tama!"

Jawaban Pak Amin membuat Tama memendam rasa dongkolnya.

Selalu saja bila berpikir Pak Amin di lakukan sambil muter-muter tidak jelas. Mengapa tidak sebelumnya?

Tama merasakan gatal di kepalanya, perkataan Pak Amin yang selalu sama yang ingin membuatnya cukur Rambut,.G**erah ! mendengarnya.

Seharusnya pula sebelum berangkat Pak Amin sudah memikirkan ke mana dan di mana mereka akan mencari Buah.

Bukanya saat bensin hampir habis! Dongkol Tama melihat kelam rimba Pak Amin.

"Aku rasa di sekitar sini Tama?" Pak Amin dengan mata berkeliling.

Tama mencibir pelan.

"Harta karun?" Tama dengan menaiki motornya.

Pak Amin seperti tidak memperdulikan celetukan Tama, tetap melihat sekeliling.

Sesekali membuka kupluk dengan menggaruk kepala lapangan golfnya.

Tama mendesah kesal, sebenarnya apa yang tengah Pak Amin cari di pinggir Hutan.

"Ini janggal Tama! Ini janggal!"

Pak Amin memainkan jari telunjuknya.

Semakin kesal kesah di Tama.

"Benar Pak Amin, Aku pikir ini memang lah, jungle. Lebat!" Tama menarik keras daun di dekatnya. Dengan mata melihat ke arah kumis Pak Amin.

"Aku pernah memanjat buah di sini, benar katamu Tama. Lebat! lebat sekali! tapi?"

Pak Amin berpikir.

Tama melengos pelan.

Mendadak Jungle semua terasa sepi, bagai tersesat dalam belantara liar tanpa Tuan. Suara seram dari taring atau cakar seperti siap memangsa di saat lengah.

Tiada jalan tanpa rasa celaka saat salah melangkah, berlindung pun dalam bahaya yang mengintai.

Mendadak Jungle, seperti di temani se-ekor gorila besar yang mengawasi.

Mendadak Jungle, kesana-kemari di kejar-kejar Suku Kanibal.

"Tama!"

Tama benar-benar terperanjat. Hampir terjitak kepala gundul sebagian Pak Amin olehnya.

"Ini pohon-nya Tama!" Pak Amin dengan menunjuk Pohon Mangga.

Tama mengurut keras dadanya dengan menarik nafas sabar.

Pohon Mangga yang memang sejak tadi Ia pegang, masa iya? Pak Amin sejak tadi tidak melihatnya.

Pohonnya besar, berusia lebih tua sekali dari Pak Amin.

Rimbunya? Rimbun sekali, buahnya yang tidak ada.

Tama loncat dari motornya, mendekati Pak Amin yang tengah memegang batang besar yang sangat kokoh.

Wajah Pak Amin termangu, mendongak ke atas.

"Pak, sebaiknya kita pulang saja."

Tama seperti malas melihat ke atas.

"Benar Tama, selain geratis Aku pernah dapat nilai banyak dari pohon ini," ucap Pak Amin.

Nampak rimba di bibirnya terbangun mengembang.

Tama benar-benar tidak habis pikir. Ingin rasa hati marah tapi kurang sopan terhadap yang lebih tua darinya. Seperti sebuah misi imposible! Mencari harta karun yang telah habis di jarah, dari sisa perbuatan-nya sendiri.

Akan di Unboxing ulang! Gerutu di pikiran-nya.

"Pak, lebih baik Kita ke sekolahan," ucap Tama pelan. Pelan menahan rasa kalut di hatinya.

"Ayyyy! untuk apa Tama?"

Pak Amin merogoh saku bajunya.

Menyulut kembali kreteknya.

"Setidaknya hari ini Kita ada nilai sedikit Pak." Tama meninggalkan Pak Amin.

"Ayyyyyy! Tama! Apa maksudmu?"

Pak Amin menyusul Tama dengan asap kretek di bibir berhamburan di sibak angin.

"Kemarin Aku belum tuntas-kan semua," jawab Tama menghidupkan motornya.

Wajah heran Pak Amin semakin berimba liar.

"Mengapa Kau tidak katakan padaku sejak tadi!" Pak Amin mematikan kreteknya di batang pohon kecil.

Memasukan kembali puntung ke dalam bungkus di saku bajunya.

Segera menghidupkan motornnya.

"Sejak tadi Pak Amin yang mengajak? Yang punya orderan dan callingan. Aku kan, hanya mengikuti." jengkel Tama meski masih tertahan.

"Ayyyyyy!" Seru Pak Amin tidak mau di salahkan.

"Iya sudah, Pak Amin jalan terlebih dahulu."

Tama memundurkan Motornya.

Pak Amin terdiam memalingkan wajah.

Tama tersenyum mengejek.

Pak Amin memiliki masa suram dengan penjaga sekolah, yang membuatnya tidak pernah lagi memantau Pohon berbuah di dalamnya.

Tama tersenyum dengan menjalankan Motornya.

Sepertinya Pak Amin harus rela di belakang-nya, yang biasannya Pak Amin tidak akan sudi berada di belakang, apalagi sebuah kekalahan.

Salah tidak salah, benar saja.

Rugi tidak rugi, untung saja.

Senyum Tama semakin bertiang kapal pinisi berkembang menjulang setinggi Pohon Mangga tua, melihat Pak Amin menutupi wajahnya dengan kupluk.

Mirip Bandit.

******

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!