"Tama! itu Tama...!"
Suara pekik seperti silih berganti mengerubungi di bawah Tama yang sedang berada di atas Pohon.
"Itu Tama! Iya itu...!"
Tama melihat ke bawah. Lalu memetik tangkai Rambutan yang baru saja di tunjuk oleh teman Sekolahnya.
Menjatuhkanya ke bawah.
Semua terus berulang, Tama terus mengikuti setiap kali teman-nya meminta Buah Rambutan yang di setiap cabang dan ranting yang ada.
Cuaca cerah menguntungkan-nya dengan mudah memanjat dan memetik Rambutan.
Semua sudah terbiasa Ia lakukan, tubuhnya yang kecil sedang membuatnya ringan dalam batang dan cabang, meski di ranting kecil dan jauh dari jangkauan tangan.
Ia pun harus juga menggunakan alat seperti galah dari kayu yang dipatahkan dari pohonya untuk memetik Buah Rambuan.
Ada juga teman sekelasnya yang juga ikut naik ke pohon namun hanya sebatas di batang pokok dan cabang yang sedang memanjat.
Tidak semua anak lelaki berani akan ketinggian tentunya.
"Siapa yang berada di atas?"
Semua Siswa dan Siswi yang ada terdiam, begitu juga Tama yang masih memegang segerombol Rambutan.
Tama melihat ke bawah tepatnya di suara yang baru mengagetkan.
Tama menyeringai tertahan dengan melepaskan Buah Rambutan.
Semut-semut merah menggigit jemarinya dan ada yang sampai masuk ke dalam lengan kaos tangan panjang-nya.
Dengan cepat pula turun.
Banyak mata melihatnya, semua seperti tertegun.
terlihat begitu cepat dan lincah dan ringan pergerakan Tama.
Ginsul yang sejak tadi hanya memberi komando di mana letak Buah yang akan di petik dan juga tiada henti memakan Buah Rambutan, bungkam dengan masih tersisa biji Rambutan di mulutnya, tersembul seperti bisul di pipinya.
"Tama Bu...!!!"
Serentak suara yang terdengar saat wanita dengan berpakian PNS berjalan mendekati.
"Tama?"
Mendekati tama.
Semua yang ada menyingkir rapih.
"Tama, Kau ...."
Mengamati wajah Tama terutama Rambutnya yang panjang.
Tama mengangguk hormat.
Bu Warna adalah Guru Bahasa inggrisnya yang selalu memberi nilai jauh dari kata cukup.
"Bu." Seyum Tama.
"Tama? Rambutmu?" Bu Warna mengerutkan keningnya. Membaut kaca mata yang di pakai pun terlihat ikut bergerak.
Tama nyengir malu.
Semalu warna jilbab Bu Warna.
"Tama kan, sedang kuliah Bu, jadi gondrong."
Sebuah celetukan terdengar.
Tama melihat seorang Siswi berhijab putih.
Terdengar suara tawa yang menyahuti dari sebagian yang ada.
"Apa yang tengah kalian tertawakan?" Bu Warna dengan menatap satu-persatu wajah Siswa-Siswinya
Tiada suara yang terdengar. Tertunduk dengan saling menyalahkan.
"Apa seperti ini... Kelaukan teman yang terpuji?" Dengan mengelilingi satu persatu Muridnya.
Tiada yang menjawab.
"Pantas? Apa yang kalian lakukan ke pada Tama?" Dengan melihat Tama lagi.
"Tapi itu pekerjaan Tama sekarang Bu, kami tidak bermaksud untuk menghina-nya."
Seoarang Siswi yang juga berkaca-mata bersuara menjelaskan.
"Tapi sorakan kalian yang bermaksud!"
Bu Warna menatap dalam Siswi yang berdiri di dekat Ginsul.
"Bu,Kami minta maaf. Semua yang kami lakukan atas dasar ... Kami kan, telah lama juga tidak bertemu Tama," ucap Siswi di dekat Ginsul dengan menyikut pelan lengan nya, seperti mengajaknya untuk turur berbicara.
"I-ya Bu, anggap saja Kami tengah reunian."
Ginsul pelan.
"Selain itu juga Gins, tengah merayakan HBD-nya Bu!" Timpal teman di belakang Ginsul.
Semua wajah nampak senyum-senyum.
Namun Wajah Bu Warna semakin berwarna setengah dari warna hijabnya.
"Pada ingin makan rambutan Bu."
Suara Siswanya menimpali kemudian.
Ginsul tersenyum malu.
"Tama! ikut Ibu," ucap Bu Warna melihat Tama.
"Dan kalian semua, bersihkan sampah yang kalian buat! Hingga seperti tulisan yang ada di depan sekolah...."
Bu Warna meningalkan Siswa-Siswinya di ikuti Tama dengan senyum-senyum kepada Teman-teman lamanya.
Wajah Ginsul cemberut berat. Menatapi langkah Bu Warna dan Tama yang menjauh.
Suara teman-temanya saling berebut rasa gerutu masing-masing.
"Sudah jangan pada ribut! Semuanya tanpa terkecuali, bersihkan semua! Seperti apa yang tertulis di depan sekolah!"
Teriak teman Ginsul melihat teman-teman saling menyalahkan.
"Buang sampah pada tempatnya!"
"Jagalah kebersihan!"
Satu-persatu berteriak.
"Kebersihan sebagian dari Iman!"
Siswi yang memakai hijab berseru.
"Bersih pangkal kaya!"
Teman lelaki di sebelahnya menyahuti.
"Masa? buktinya Kita tidak kaya-kaya setiap hari bersih-bersih!"
Siswi berhijab mengomentari.
Semua pun langsung menyorakinya.
Ginsul meski dengan berat hati terpaksa ikut memunguti kulit dan biji Rambutan yang banyak berserakan.
Hari Ultahnya pun berubah jadi tugas piket yang bukan menjadi jadwalnya.
Hampir semua Siswi berteriak, semut-semut merah banyak yang menggigit mereka, tentunya hal itu membuat para Siswa tertawa kegirangan.
*
Sementara Tama yang mengikuti langkah Bu Warna menuju ruangan-nya, seperti merasa kembali bersekolah.
Satu persatu ruang yang Ia lewati tiada luput dari penglihatan-nya.
Nampak sepi, karena memang semua Siswa dan Siswi telah pulang. Hanya tinggal Ginsul dan teman-teman lamanya.
Senyum-nya mengembang, melihat pintu ruangan kelasnya dahulu yang tertutup.
Tama menghetikan langkahnya. Berdiri sungkan di depan pintu.
"Tama, masuk."
Bu Warna yang baru duduk.
Tama mengangguk pelan.
Matanya sepintas memperhatikan seisi ruangan Bu Warna.
Sepertinya sama dengan terakhir kali Ia memasukinya.
Duduk perlahan di depan Bu Warna.
"Tama, apa benar Kau telah bekerja?"
Tama mengangguk.
"Untuk memetik buah Bu... apa saja," ucapnya pelan.
Sebuah tatapan pun meniliti wajahnya.
"Apa tidak berbahaya Tama?" Bu Warna seperti ngeri melihat Tama yang tadi berada di atas Pohon.
"Bahaya Bu, Tapi Tama sekarang sudah terbiasa." Jelas tama lagi.
Sebuah senyuman terlihat dari bibir Bu Warna kepadanya.
Tama tertunduk malu.
"Bu, Tama yang menyetujui permintaan Ginsul,"
"Anggap saja reuni juga Bu." Senyum Tama menerangkan.
"Ya, sudah Tama." Dengan menarik nafas lega.
"Ibu hanya tidak ingin mereka...?"
Bu Warna tersenyum lebar menatap.
"Tama tidak apa-apa Bu."jelas Tama meyakinkan.
Bu Warna memang baik padanya, meski tidak pernah memberi nilai baik untuknya. Tapi seperti seorang kakak baginya. Setidaknya sering menasehatinya jika berkelakuan-nya di sekolah keluar zona dari perilaku yang baik.
"Tapi, benar Tama tidak apa-apa?"
Bu Warna seperti kurang yakin.
"Benar Bu, memang pekerjaan Tama."
Tama kembali meyakinkan.
"Iya, sudah. Ibu ijinkan kalina reuni di bawah pohon rambutan. Tapi jangan lupa, bersihkan semua setelah selesai."
Tama mengangguk senang. Tersenyum berdiri.
"Tama permisi Bu," ucapnya membungkuk hormat.
Bu Warna senyum mengangguk.
Dengan sedikit cepat Tama bergegas keluar ruangan.
Terus berjalan di mana Ginsul cs tadi Ia tinggalkan.
Tama tertegun.
Bersih sekali terlihat di bawah pohon, bahkan Teman-teman lamanya pun seperti tiada pernah mengotori tempat itu.
Tama melepas ikatan Rambutnya, kemudian merapihkan rambutnya dengan menguncitnya kembali.
"Kemana Ginsul?" tanya hatinya melihat kembali ke sekeliling.
Ginsul seperti di telan Bumi, atau terbuang ke tempat sampah? hilang tanpa bilang-bilang, atau setidaknya menunggunya. Karena pergi tadi bersamanya.
Tama segera bergegas, memang Ginsul sepertinya telah pulang terlebih dahulu, mengingat tiada lagi terdengar satu pun suara dari Gins cs.
Langkahnya semakin Ia percepat.
Hampir saja Ia berteriak.
Ginsul dengan menutupi mulutnya tiba-tiba muncul dari gapura Sekolah.
Tama mengurut-urut dadanya.
"Gins!Gins!" Kesalnya seperti tercurah di depan Ginsul.
"Cepat kita pulang." Dengan paksa menarik tangan Tama.
Segera menaiki Motor matic Ginsul yang tadi di bawanya berboncengan.
Tama mengamati Ginsul yang masih menutupi mulutnya.
"Kenapa dengan mulutmu?" tanya Tama setelah Ginsul naik di belakangnya.
Ginsul hanya diam, memukul kedua pundak Tama untuk cepat pergi.
"Gingsulmu copot?" Tama lagi.
Kembali Ginsul memukul pundaknya.
"Karena terlalu banyak makan biji rambutan?" Geli Tama membayangkan.
Kembali Ginsul memukul pundak Tama, kini lebih keras.
Tama mengaduh.
"Buruan jalan!" Seru Ginsul dengan suara tertahan tangan.
"Kurang jelas Gins,bicaralah dengan sopan."
Wajah Ginsul seperti ingin menangis dengan menggerakan-gerakan tubuhnya.
Tama segera menghidupakan Motor.
"Cepat Tama, bibirku sakit!"
Tama yang akan menarik tuas gas, menoleh ke kebalakang.
Ginsul memukul kesal pundaknya kembali.
"Di gigit semut," ucap Ginsul malu bercampur jengkel.
Tama termangu sesaat.
Menarik tuas gas perlahan. Tawanya kecilnya seiring laju Motor yang perlahan-pelahan semakin membuat Ginsul membuka mulutnya untuk menjerit.
"Tama! jangan kebut-kebut!!"
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments