Tama mengurungkan langkahnya untuk keluar dari kamar, suara seorang gadis yang sangat sering Ia dengar tengah lantang memanggil namanya.
"Tama!"
Terdengar kembali suara lantang di depan Rumah.
Tama hanya terdiam dengan berjalan mondar-mandir dengan memikirkan sesuatu.
"Tama!"
Tama sedikit terkejut.
Suara Neneknya turut memanggilnya.
Pikirnya tadi akan berpura-pura tidur, tapi panggilan Neneknya?
Sedangkan Ia baru saja berbicara padanya.
"Iya Nek! sebentar!"
Dan dengan malas Ia pun keluar kamar.
Terlihat olehnya Neneknya tengah bicara pada Ginsul.
Anak pemilik warung yang tidak jauh dari Rumahnya.
"Tama."
Tama tersenyum lebar, mendekati Neneknya dan Ginsul yang memanggilnya.
Ginsul pun tersenyum lebar, tentunya dengan terlihat gigi ginsulnya.
Rambut tomboynya yang halus lebat nampak berkilauan di bawah cahaya sinar Bohlam listrik di atas kepalanya.
"Tama? Dipanggil orang kok, diam saja."
Nek Imah kepadanya.
"Itu Nek ... Enghh, lagi salin." Tama dengan tertawa kecil pada Ginsul.
"Salin? Bukankah tadi Kau baru salin?"Nek Imah menatap heran Tama.
Tama berdecak dalam hatinya.
"Itu Nek, teman Tama berkata lewat handphone. Ibunya tengah bersalin."
Tama dengan menunjukan Handphone yang di bawanya.
"Tama tadi lagi terima panggilan teman Nek," jelas Tama berdusta.
Wajah Nenek Imah yang tadi terlihat marah, mulai surut kembali dengan tertawa kecil ke pada Ginsul.
"Ginsul dengar sendiri kan, Tama ada di dalam tadi," ucap Nek Imah.
Ginsul manggut-manggut tersenyum.
"Bicaranya di luar atau di dalam?" Nek Imah kepada keduanya.
"Nenek akan menghangatkan sayur tadi siang," ucapnya lagi.
"Iya Nek, kebetulan,"sahut Tama cepat.
"Seingat Nenek tadi Kau baru saja makan Tama?"
Wajah Nek Imah heran.
"Maksud Tama, kebetulan ada perlu dengan Ginsul,"
"Nenek marah-marah terus." Tama dengan menggandeng Neneknya masuk ke dalam Rumah.
"Maaf iya Nek, mengganggu." Ginsul seperti tidak enak hati.
"Tidak ... Kalian bicara saja." Nek Imah dengan memegang bahu Tama, lalu masuk ke arah belakang Rumah.
Tama memperhatikan wajah Ginsul.
Sepertinya Ia tidak menemukan tanda-tanda penagihan yang terlihat cantik seperti biasanya jika tengah menagih.
Kembali mendekati Ginsul.
"Ada apa malam-malam begini? Apa tidak bisa besok siang menagihnya?" Tama pelan dengan sempat menoleh ke arah Neneknya menghilang.
"Siapa yang ingin menagih?"
"Lalu?" Tama meski hatinya terasa lega.
"Malam kan, tidak enak menagih hutang. Aku hanya ingin bilang, malam ini si puham tidur di rumahku." Senyum Ginsul ramah.
Tama menatap gigi ginsul di antara bibir Ginsul yang merekah.
Biasanya ginsul di matanya seperti taring Harimau yang hendak menerkamnya jika sedang menagih.
Tama terseyum tenang.
"Masuk dulu Gins,"ucapnya kemudian.
Menirukan panggilan teman-teman sekolah Ginsul.
"Tidak usah-lah, sudah malam."Ginsul dengan ramah.
Tama mengusap dadanya dengan rasa bersyukur. Setidaknya malam ini tiada tagihan yang berarti untuknya.
"Oh iya, Tama. Aku pulang dahulu."Ginsul tersenyum lebar.
Tama mengangguk pelan.
"Inginku antarkan?" Tama berbasa-basi.
Ginsul menggelengkan kepalanya tertawa kecil.
Tama kembali mengusap dadanya.
"Oh iya Tama, besok jika Kau akan membawa si puham, Aku sudah menyiapkan buku catatan kasbonmu."
Senyum Tama yang tadi melebar di bibir tipisnya, seperti karet gelang yang tertarik kembali sebelum di jepretkan.
"I-iya," jawabnya pelan.
Wajahnya kini termenung melihat Ginsul yang pergi dengan berlari kecil.
Ingatan-nya seperti ikut berlari menyusul akan hari tadi siang hingga pulang menjelang gelap. Setengah hari hanya untuk berputar-putar mencari pohon berbuah yang siap di unduh. Tanpa hasil.
Siapa yang mengcalling Pak Amin pun tiada jelas di mana Rimba berbuah yang di maksud.
Tama membenarkan kuncitan Rambutnya.
Terbayang jelas wajah Ginsul esok, dan pastinya dengan secarik kertas beberapa minggu.
Lama juga untuk sebuah Kasbon pulsa, Ia pun menyadarinya.
Mungkin Ginsul memahaminya atau juga karena tetangganya.
Ginsul juga teman sekolahnya satu SMA, Tapi karena keadaan yang membuat Ia harus putus sekolah. Mungkin karena itu pula Ginsul memberikan tenggang yang cukup lama untuknya jika hutang sesuatu padanya.
"Tama!"
Tama terkejut kesal, baru saja Ia akan melangkah ke dalam Rumah.
Ginsul hadir lagi dengan senyum khas penagih hutang.
"Tama besok ada acara manjat tidak?"
Tama melebarkan bibir tipisnya.
"Sepertinya belum." Dengan memberi lihat Handphone di tanganya.
Seperti biasanya menanti kabar dari Pak Amin yang belum lagi memberi jadwal tugas.
"Kebetulan dong!" Mata Ginsul berbinar.
Wajah Tama berubah pucat.
"Kebetulan?" Pikirnya melancong ke dalam hutan yang penuh dengan buah-buahan beraneka ragam, tapi tiada satu pun yang bisa di unduh.
Jika Ia tidak ada tugas bagiamana dengan bon?
Tama berusaha menenangkan pikiranya dengan melihat wajah tomboy dengan Gigi ginsul yang selalu terlihat saat tertawa dan terseyum lebar.
"Besok antarkan Aku ke sekolah,"ucap Ginsul sedikit riang.
Tama hampir membuka bibirnya untuk terbengong tidak percaya.
Bagaimana mungkin Ia harus kembali ke sekolahnya? Lagi pula Ginsul memiliki kendaran sendiri, yang biasanya di pergunakan-nya untuk ke sekolah.
"Aku tidak bisa Gins... Aku malu ke sekolah," ucap Tama tegas.
"Bagaimana jika Aku bertemu dengan teman satu kelas kita?"
Tama dengan duduk di sopa lawas yang butut, penuh dengan busa yang tersembul keluar karena telah banyak yang sobek, di dekat pintu Rumah.
"Reuni lah!" Ginsul seperti mengingatkan.
"Reuni?" Tama dengan melengos kesamping.
Sudah lewat Dua Tahun memang, Ia lama tidak lagi ke sekolah, seharusnya Ia sudah kelas Tiga SMA bersama Ginsul.
Selama itu pula Ia jarang kembali bertemu teman-temanya.
"please-lah Tam... Aku ada tugas penting."
Ginsul dengan wajah memelas.
Tama menatapinya.
"Aku tidak bisa Gins!" Dengan akan masuk kedalam Rumah.
"Bon-nya lunas! plus satu plastik ikan teri, deal?"
Wajah ginsul melengos ke samping.
Tama berdiri terdiam di ambang pintu.
Sepertinya tawaran Ginsul membuatnya berpikir.
"Deal!"
Tama dengan membalik tubuhnya.
Wajah Ginsul semakin melengos bersama tubuhnya, seperti malas melihat Tama.
"Oh iya! tiba-tiba kok, Aku tidak mendengar suara si puham ya?"
Tama dengan tingak-tinguk ke dalam ruangan.
"Puham sudah tidur," ketus Ginsul, melihat
Tama sengaja berpura-pura mencari.
"Tidak baik mengganggunya,"ucapnya lagi, melihat Tama mendekatinya.
"Bangun-kan sebentar, deal?"
Tama dengan menjulurkan tanganya.
Ginsul menatapinya.
Tama tersenyum, menanti tangannya di jabat oleh Ginsul.
Ginsul kembali melengos.
"Rugi! Aku jika begini," ucapnya seperti menyesal.
"Aku yang rugi! jika malam ini pak Amin memberi tugas besok?"
"Kau kan, sering tidak mengerjakan tugas waktu sekolah. Jadiku rasa itu tiada ruginya bagimu. Aku sering memberikan contekan padamu,"gerutu Ginsul tidak ingin kalah.
"Tugas sekolah dengan tugas kerja-kan, lain Gins," sangkal Tama menanggapi.
"Sama dong! sama pekerjaan!"
Tama menurunkan tanganya dengan menghela nafasnya, melihat wajah Ginsul yang enggan melihatnya.
Rambut ginsul seperti model lelaki korea yang di belah tengah.
Tama mengusap ekor kuncir rambutnya.
"Deal!"
Ginsul dengan berlari pulang.
Tama terbengong.
Melihat tangan-nya yang baru di jabat paksa Ginsul. Matanya pun melihat tubuh Ginsul yang berlari kecil pulang.
"Rezeki memang kadang datang sendiri."
Bisik hatinya lega.
Tama senyum-senyum dengan kembali duduk di sopa butut.
Senyum kian mengembang laksana Raja yang tengah melihat sebuah kemenangan di atas singgasananya
Terdengar suara mengeong di kejauhan.
Tama terbahak.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments