2.Si Puham

Belum saja nyenyak rasanya mata yang baru terpejam suara memanggil dari balik jendela kamar membuat kaget untuk terbangun. Dengan rasa perih yang mengganjal di mata **T**ama pun membuka jendela.

Hampir hilang rasa kantuknya karena melotot.

Nyaris berteriak dengan mundur menjahui jendela melihat kepala bertopeng ninja langsung nongol saat jendela terbuka. Tama mengurut dadanya menahan rasa kagetnya.

Nafasnya Ia lepaskan cepat ke arah lantai.

"Malas sekali Kau Tama! Belum juga bangun siang begini!"

Suara di balik kupluk coklat membuatnya kembali menaiki tempat tidurnya.

" Tama! **A**pa Kau tidak mendengar?"

"Dengar Pak Amin! Hari ini kan, tiada unduhan!" Seperti malas melihat rumpun kumis Pak Amin yang baru terbuka dari balik kupluknya.

"Tama-tama! Aku baru dapat callingan, Kita akan mengunduh hari ini!"seru Pak Amin kesal.

Tama langsung bangun, bukan karena ketukan tangan Pak Amin pada daun jendelanya, tapi aroma kupluk Pak Amin yang basah membuatnya ingin kembali menutup jendela. Terlihat kepala Pak Amin sudah tidak terlihat lagi.

Dengan rasa malas Ia pun menutup jendela. Mendekati pintu kamar yang masih tertutup, mengambil handuknya yang tergantung di pintu lalu membukanya.

Nampak merakah rimbun hitam di depan pintu, dengan tangan siap mengetuk pintu.

"Kita akan mengunduh, emmmhhh! Bukan buah!"

Pak Amin dengan duduk di kursi.

Tama menutup pintu kamarnya dengan menahan uapan di mulutnya.

Ucapan Pak Amin sudah biasa Ia dengar. Selain buah-buahan apa saja kerja-an, asalkan itu adalah acara unduh-mengunduh Pak Amin pasti akan menyanggupinya.

Hanya mengunduh video di internet yang belum pernah Ia di ajaknya.

"Ngunduh bengkoang Pak?" Melihat Pak Amin yang tengah menyulut kereteknya. Kepulan asap terlihat memenuhi rimba di bibirnya. Bisa-bisanya orang merokok keluar dari kumis? Bisa lari semua ketombe. Geli di hatinya melihat asap Rokok seperti menempel di sela-sela kumis Pak Amin.

"Ayyyyyy! Ikut saja, nanti Aku tahu sendiri!" Dengan kembali menghisap kreteknya. Tama melebarkan bibirnya, kata itu juga sudah pasti terucap jika Ia bertanya.

Dengan menutupi mulut menggunakan handuk Ia pun duduk di sampingnya.

Aroma menyengat dari kretek Pak Amin membuat Ia menutupi juga hidungnya.

Pak Amin menolehnya.

Namun tiada terdengar suruhan kepadanya untuk cepat mandi seperti biasanya.

Sempat melihat jam tadi, hampir mendekati angka sebelas, mendekati jam makan siang. Tentunya hal itu yang membuat Pak Amin tidak terburu-buru menyuruhnya untuk mandi dan langsung berangkat tugas, kata yang Pak Amin pakai jika akan bekerja. .

"Aku pulang dulu, sehabis makan siang Kau ke rumahku!"

Tama hanya memperhatikan Pak Amin yang mengisap kreteknya dengan berjalan keluar Rumah.

Seperti biasanya, Ia pun sudah menduganya. Pak Amin tidak akan membiarkan kantongnya robek dengan nasi bungkus.

Tama menutupi wajahnya dengan handuk, memejamkan matanya lagi.

Hampir pagi Ia tidak bisa tertidur, Chat WA dari seseorang yang tidak Ia kenal mengganggu pikiranya.

Hanya Pak Amin yang biasa ngerjain-nya, namun Ia sudah melewatinya karena ketikan Pak Amin tidak lah serapat kumisnya.

"Tama!"

Hampir saja handuk yang menutupi wajah Ia lemparkan karena kaget.

"Kretek-ku tertinggal!"

Tama memejamkan matanya dengan jengkel, Pak Amin sengaja meninggalkan kreteknya untuk membangunkanya lagi. Hal yang sering di lakukan padanya jika Ia tertidur.

"Tama ingat Tama! Sehabis makan siang!"

Terdengar suara Pak Amin di depan pintu.

"Tama!"

Tama membuka kedua matanya dengan mendongkol.

"Iya Pak! Iyaaaa!" Serunya dengan kembali masuk ke kamar.

Kantuk dan jengkel yang teramat sangat membuatnya begitu keras menghempaskan tubuhnya di kasur yang tak empuk.

"Manjat lagi! Manjat lagi!" gerutu kantuknya di bantal.

Suara Kucing yang mengeong di dapur terdengar lapar membuat matanya terbuka sebelah.

"Tama!"

Kini kedua mata Tama terbuka keduanya, dengan sigap Ia pun bangun dan lekas berlari ke arah dapur.

Neneknya pasti marah padannya, Ia lupa merebus air untuk minum yang setiap hari dilakukan setiap pagi.

Tama mengucek-ngucek matanya yang masih terasa perih.

Suara kucing mengeong tengah berdiri di atas meja makan dengan tudung saji yang terbuka tersandar di dinding.

Nampaknya Neneknya akan makan.

"Tama, apa Kau belum merebus air minum?"

Sambil membuka tutup ceret.

Tama mengusap-usap rambutnya dengan handuk layaknya orang yang baru saja berkeramas.

"Belum Nek," ucapnya seperti malas.

"Sampai kapan Kau pelihara rasa malasmu Tama?"

Sang Nenek dengan mengambil Air yang di wadahkan di ember bekas Cat Rumah.

Tama melebarkan bibirnya dengan menghidupkan kompor.

"Tama pikir, hari ini tidak bekerja Nek."

"Lantas, Kau bebas bangun siang hari?" Dengan menaruh ceret berukuran sedang di atas tungku kompor.

"Tapi tadi Pak Amin memberitahu, siang ini Tama kerja Nek."

Tama menggendong kucing kesayanganya, berwarna hitam dengan putih yang mendominasi tubuhnya.

Jenis Kucing liar yang Ia pelihara, dan di beri nama Si Puham, meski aslinya Neneknya yang memberi nama berdasarkan singkatan Putih dan hitam.

"Nek, apa tidak ada ikan Nek?"Tama melihat-lihat setiap bungkusan yang di keluarkan Neneknya dari karung kecil.

"Hari ini biar si puham makan tempe, uangnya pas-pasan Tama!"

Sang Nenek dengan melipat karung hingga seukuran Buku Tulis.

Tama melebarkan bibirnya dengan mengusap-usap kepala si puham.

"Puham hari ini ikan teri lagi langka, Kita makan tempe saja."

Tama dengan menggendong si puham kedalam ruang tamu.

"Tama, kapan Kau akan mencukur rambutmu?"

Memperhatikan Rambut Tama yang terurai hampir melewati bahunya, terlihat acak-acakkan.

"Nanti-lah, Nek." Tanpa menoleh Neneknya.

Sang Nenek menarik nafas dalam.

Cucu satu-satunya Tama memang susah sekali jika di suruh potong Rambut.

Tubuhnya yang kecil sedang hampir seperti wanita, terkadang jika sepintas wajahnya pun mirip seperti wanita.

Terdengar suara Si Puham mengeong.

Nek Imah segera menyusul Tama.

Basimah sebenarnya nama Nenek Tama, namun kebanyakan orang memanggilnya dengan panggilan Nek Imah.

Nek Imah menatapi Tama yang duduk membelai kepala Si Puham.

Terdengar kembali Si Puham mengeong, dengan meloncat mendekati kaki Nek Imah.

"Puham!" Panggil Tama.

Si Puham kembali mengeong dengan mengelus-elus kaki Nek Imah dengan kepalanya.

"Tama, cukur-lah Tama!"

Nek Imah masih berdiri mengamati Tama.

Tama mengucek Rambutnya dengan handuk.

"Nanti-lah,Nek," jawabnya seperti malas.

"Nanti? Sampai kapan Kau berpenampilan cantik seperti itu ... Kau kan, lelaki Tama?"

"Banyak Nek, anak lelaki yang gondrong."

Tama melihat Neneknya.

"Iya Tama,tapi kesan-nya urakan, apa lagi Kau sering manjat pohon."

"Terus Nenek ingin Tama tampil Diplomat gitu? Kan,tak pantas Nek,"ucap Tama seperti ingin di mengerti Neneknya.

Nenek Imah melepaskan Nafas beratnya.

Tama langsung tersenyum.

"Nek,bagaimana jika rambut Tama tetap panjang?"

Tama berdiri mendekati Neneknya, menggendong kembali Si Puham yang mengeong di kakinya.

"Tenang Nek." Senyum Tama dibibir tipisnya yang merah.

Jika di perhatika pun Bibir Tama yang tipis dan merah sangat mirip sekali dengan seorang wanita.

"Nenek sudah merawat Tama dengan baik, jadi jangan takut ada yang bilang bahwa Tama tidak di urus Nenek." jelasnya lagi.

Senyum merah Tama semakin merekah bagai seorang Gadis.

Nenek Imah kembali melepaskan nafas beratnya.

Terdengar kembali suara mengeong.

"Lapar?"

Tama mendekatkan bibirnya ke telingan Si Puham.

Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan, Kucing dengan warna Putih dan Hitam itu pun kembali mengeong.

"Nek?"

Tama menatap Neneknya.

"Katakan padanya, belum masak,"ucap Nek Imah dengan berjalan ke arah belakang.

Tama menatap langkah Neneknya dengan lemas.

Lemas karena Ia pun belum makan.

"Aku juga belum makan."

Tama saat melihat Kucingnya yang tengah melihat kepadanya.

Tiba-tiba Si Puham berontak, langsung loncat ke luar Rumah.

Tama mengejarnya.

"Puham!"

Sambil berlari.

Tama mengentikan larinya. Berdiri terpaku di depan warung, mengusap wajahnya dengan handuk.

"Celaka!"

Suara hatinya dengan wajah mulai gelisah.

"Eh! Tama, ingin bayar pulsa ya?"

Seorang gadis berpakaian SMA dengan rambut tomboy keluar warung dan dengan menggendong Si Puham.

Tama mengusap keras wajahnya dengan handuk kembali, sambil menelan ludahnya.

Melihat wajah Si Puham yang tengah mengeong.

"Itu ... kucingku lagi cari makan."

Tama dengan menunjuk Si Puham.

"Kasiiiihannn!"

Dengan mendekati Tama.

Tama menutupi setengah wajahnya dengan handuk.

"Sepertinya dia marah padaku, karena belumku berikan makan,"ucap Tama di balik handuk.

"Kejam sekali?"

Tama memalingkan wajahnya mendengar ucapan gadis di depanya dengan membelai kepala Si Puham.

"Oke, kebetulan sekali Ibuku tengah menggoreng ikan jadi kau kerumahku saja."

Tangan Tama seperti tertahan untuk menghentikan dan mengambil Si Puham yang langsung di bawa kembali ke dalam warung oleh Si gadis tomboy

"Tama! Kau bisa membawanya pulang, setelah tagihan pulsamu terbayar!"

Tama terpaku diam.

Lemas terasa olehnya sekujur tubuhnya.

Hatinya pun mulai menyalahkan Si Puham,

jika saja Kucing kesayangan-nya itu tidak berlari ke Warung Gingsul. Tentunya Ia tidak akan di tagih.

"Puham!Puham! Tahu saja jika orang punya utang!" Gerutu kesalnya dengan kembali pulang.

*******

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!