Hampir tiga minggu ini, aku tidak pernah membiarkan Kirana keluar dari rumah. Sekalipun hanya satu meter dari pintu depan rumah. Selama itu juga, aku tidak pergi ke mana pun.
Termasuk ke restoran. Aku percayakan urusan restoran pada Galang. Dia dapat diandalkan, kinerjanya sangat bagus. Hanya jika ada kepentingan yang memang memerlukan aku untuk datang, aku akan pergi.
Selain itu, aku tak akan membiarkan jauh dari jangkauanku. Ke mana pun aku pergi, Kirana selalu ada di dekatku. Firasatku, sesuatu yang buruk sedang mengincar aku dan Kirana.
Setiap pagi, selesai Kirana berjemur, aku langsung membawa dia kembali ke dalam rumah sebelum bertemu dengan Alexa. Aku tahu Alexa memiliki rutinitas menyiram bunga setiap pagi sebelum dirinya berangkat kerja.
“Menurutku, kakak terlalu berlebihan dalam menjaga Kirana, terlebih sejak kecelakaan itu,” ucap Rama suatu ketika saat kami sedang bersantai di ruang tamu.
Aku mengakui hal itu tapi ini semua demi kebaikan Kirana.
Bagaimana jika aku lengah lalu terjadi sesuatu pada Kirana?
Mengenai perkembangan Kirana. Kini Kirana sudah aku perkenalkan makanan pendamping. Aku konsultasi ke dokter anak, karena banyak informasi di internet mengenai makanan pendamping asi yang simpang siur dan saling bertentangan.
Akan tetapi dalam prakteknya, Kirana selalu melepeh makanan yang aku suapi. Aku bertambah stres dengan menurunnya berat badan Kirana. Tidak banyak penurunan sebenarnya, tapi cukup membuat aku overthinking.
Ponselku berdering dan nama Frans tertera di layar ponselku.
“Hai, Bro. Bagaimana kabar?” tanya Frans begitu aku mengangkat telepon.
“Ada apa, Frans?” tanyaku to the point.
“Bisa tidak kamu ke restoranmu hari ini? ada yang perlu aku bahas. Kita ketemu di sana.”
“Oke, aku akan datang ke restoran sekarang juga.”
Aku menutup telepon dan mengambil tas bepergiannya Kirana dari dalam lemari. Mengisinya dengan botol susu, popok dan barang-barang lain.
Begini rasanya punya anak. Pergi keluar sebentar saja seperti hendak pindah rumah.
Sewaktu aku masih bujangan. Eits, sekarang pun aku masih bujangan. Maksudku, sewaktu aku belum mempunyai Kirana, barang bawaanku hanya tiga. Dompet, ponsel, dan kunci mobil.
Aku keluar dari kamar sambil menggendong Kirana. Pada saat yang sama, Rama juga keluar dari kamar. Bersiul dengan tangan yang sibuk menata rambut. Tas ransel bergelantung di satu bahunya. Dia berhenti menata rambut ketika melihatku.
“Kak Balin, mau pulang kampung?”
Aku tak menjawab, malah balik bertanya, “kamu berangkat ke kampus sekarang? Ayo, sekalian.”
Kami naik ke mobil yang telah selesai diperbaiki. Sesaat sebelum aku melajukan mobil, Alexa keluar sambil memakai sepatunya dengan terburu-buru.
Dari kursi pengemudi, aku melihat dia melambaikan tangan ke arahku. Lalu berlari menyeberangi halaman rumah.
Alexa memohon untuk menebeng di mobilku menuju tempat dia bekerja. Dia mengatakan bahwa dia sudah terlambat dan akan semakin lama jika dia memesan taksi atau naik kendaraan umum.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah hendak meraih pintu mobil. Namun, terhenti karena nampaknya Alexa teringat sesuatu.
“Ya Tuhan, aku baru ingat. Dompetku ketinggalan di kamar. Tunggu dulu sebentar ya?”
Alexa berlari lagi masuk ke dalam rumah. Selagi dia mencari dompetnya, kulajukan mobil tanpa peduli Alexa akan terlambat masuk kerja. Lalu terlihat dari pantulan kaca spion, Alexa keluar.
Satu pot bunga pecah tertubruk Alexa yang tidak hati-hati berlari. Dia berdiri mematung di tepi jalan memandangi mobilku.
Bibirku membentuk senyum puas, tapi Rama tidak. Adikku malah menggelengkan kepala melihatku sengaja meninggalkan Alexa.
“Kak Balin ini ada masalah apa dengan Kak Alexa sih? Sampai begitu teganya tidak mau menunggu Kak Alexa sebentar saja,” keluh Rama yang duduk di sampingku.
Aku memilih untuk diam, fokus menyetir, dari pada menanggapi ucapan Rama.
“Tidak hanya satu dua kali, tapi Kak Balin selalu bersikap dingin pada Kak Alexa. Padahal Kak Alexa sudah baik dan sabar menghadapi sifat Kakak. Bahkan sering mengajak Kirana main.”
Rama menoleh sekilas ke belakang, memeriksa Kirana yang duduk anteng terikat kursi bayinya.
“Aku curiga. Bisa saja dia kaki tangannya Harsa. Aku tidak mau dia dekat-dekat dengan Kirana,” jelasku.
“Astaga, Kak Balin. Sejak kejadian kecelakaan itu, Kakak jadi mudah curiga ke semua orang. Apa-apa dikaitkan dengan Harsa. Harsa. Dan Harsa. Bisa saja kecelakaan itu hanya kebetulan dan tidak ada sangkut pautnya dengan Harsa.”
“Hei, diam kau!” gertakku sambil menoleh sebentar pada Rama, lalu fokus lagi ke jalanan, “Ini masalahku. Jangan ikut campur.”
Aku membuang napas dan memijit keningku yang terasa pusing memikirkan semua ini. Emosiku yang labil akhir-akhir ini juga menular pada Rama. Biasanya dia akan diam jika aku menyuruhnya diam, tapi kali ini dia berani membuka mulut.
“Sampai kapan Kakak akan seperti ini terus?” raung Rama tiba-tiba.
“Sampai Kirana dewasa? Sampai mati Kakak akan mencurigai orang yang ingin dekat dengan Kirana. Kalau begini jadinya, kondisi mental Kirana akan terganggu. Dia tidak akan punya teman, Kak. Dan Kakak akan menjadi ayah yang dibenci Kirana.”
Mobil menepi ke sisi jalan. Mendadak menginjak rem, hingga mengeluarkan bunyi decitan dan kami semua sedikit terpelanting ke depan.
Aku menatap penuh amarah pada Rama yang juga membalas tatapanku dengan tak kalah marahnya.
“Oh, sekarang kamu berani melawan kakak kamu sendiri. Siapa yang mengajarimu begitu? Apa tetangga sok tahu itu?”
Aku menggeram marah, terdengar bunyi gemeletuk dari gigiku. Sedangkan Rama memalingkan muka dan melipat kedua tangan di depan dada.
“Apa yang aku katakan memang benar kan, Kak? Hingga Kirana beranjak dewasa nanti, dia tidak akan memiliki teman, hanya karena ayahnya seorang yang over protektif.”
Aku meraih kaos depan Rama, meremas dan menariknya dengan kasar. Memaksa agar Rama menatap mataku yang sudah dipenuhi rasa jengkel.
Tidak pernah sebelumnya aku bersikap begitu marah pada adikku sendiri. Aku memang sering memukul, mencubit dan melemparinya sesuatu, tapi kami menganggapnya sekedar candaan belaka.
Tangan dan suaraku bergetar hebat. Menahan diri untuk tidak meninju pipi Rama.
“Coba bayangkan kalau kamu juga berada di posisiku. Aku melakukan ini demi Kirana,” terikku.
“Aku harus hati-hati dalam melangkah. Andai saja Karina menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan aku memiliki bukti bahwa Harsa terkutuk itulah pelaku penyebab Indra Irawan kecelakaan, aku sudah dari dulu menjebloskannya ke penjara, tahu.”
Kulepaskan cengkeraman tanganku dari pakaian Rama. Adikku itu terdiam seribu bahasa. Beberapa menit berlalu, kami masih saling terdiam.
Hanya terdengar suara ocehan tidak jelas Kirana yang berasal dari kursi belakang. Aku menoleh, melihat Kirana menghisap jempol tangannya.
“Tapi aku dapat melihat ketulusan hati Kak Alexa dalam... “
“Jangan sebut nama itu lagi!” aku memotong ucapan Rama.
“Kenapa Kakak hanya curiga pada Kak Alexa?” tanya Rama dengan nada cepat, tak akan membiarkan aku memotong ucapannya lagi.
“Bisa jadi, ada orang lain yang memata-matai Kak Balin, tanpa Kak Balin sadari.”
Sesaat aku termenung.
Lalu kembali aku menyalakan mesin mobil. “Turun dari mobilku sekarang juga!”
Rama membanting pintu mobil sampai menimbulkan bunyi yang keras. Kemudian mobilku berjalan meninggalkan Rama seorang diri. Dia menendang dedaunan yang tercecer di sepanjang tepi jalan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Ⓝⓨⓐⓘ Ⓖⓐⓑⓤⓣ
Waspada perlu sih yaa
2022-05-26
1
Ⓝⓨⓐⓘ Ⓖⓐⓑⓤⓣ
Sabar sabar Balin
2022-05-26
1
Nana
Serba salah juga ya kasihan Balin dan Rama sama Kirana
2022-05-15
1