Papa Untuk Kirana
Aku menonton televisi yang menyiarkan acara sepak bola meski sebenarnya bukan pertandingan tim favoritku. Mataku setengah mengantuk, tapi malas beranjak dari sofa yang empuk ini.
Di samping tempat duduk, tergeletak piring dan gelas kotor bekas makan malamku tadi. Aku memang tidak begitu rajin dalam berbenah rumah. Tapi percayalah adikku, Rama, jauh lebih berantakan.
Ngomong-ngomong di mana adik konyol itu? Dia belum pulang ke apartemen. Padahal sudah hampir tengah malam.
Aku melirik ke jendela yang sejak tadi bersuara berisik karena tiupan angin malam yang kencang. Sepertinya akan turun hujan. Aku mencari-cari ponselku yang akhirnya aku temukan di bawah badanku sendiri.
Kubuka ponsel, ternyata setengah jam yang lalu Rama mengirim pesan kalau dia tidak akan pulang ke apartemenku. Dia akan menginap di rumah temannya yang bernama Doni karena dia sudah terlalu lelah dan khawatir kehujanan jika pulang ke apartemen. Dia berjanji akan pulang besok pagi.
Ya, aku dan adikku tinggal di apartemen yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Aku bekerja sebagai manajer keuangan di sebuah perusahaan manufaktur yang cukup ternama.
Dari gajiku sebagai manajer, aku dapat membiayai kuliah adikku dan membeli sepetak sawah di desa agar orang tuaku bisa bertani di lahannya sendiri. Aku pernah meminta orang tuaku untuk pindah tinggal bersamaku. Akan tetapi mereka lebih betah di desa.
Di mata orang, hidupku hampir sempurna. Hanya tinggal mencari pasangan dan lalu menikah. Tapi aku masih menempatkan rencana menikah di prioritas hidup nomor seribu satu.
Beberapa bulan sekali, ibuku datang ke apartemen untuk melihat keadaan kedua putranya sekaligus menceramahiku agar cepat menikah. Ibu bercerita tanpa henti tentang gadis-gadis lajang yang dikenalnya.
“Kamu masih ingat Dara, teman masa kecilmu dulu. Dia sekarang sudah sukses menjadi dosen. Apa kamu masih memiliki kontaknya? Coba kamu hubungi dia. Sekedar menyapa begitu," oceh ibuku sambil merajut.
Dia selalu membawa alat rakitannya kemanapun pergi, “Oh ya, ibu kemarin bertemu teman ibu. Dia punya anak perempuan yang belum menikah. Sudah cantik, sopan, lemah lembut lagi. Kalau kamu mau, ibu akan mencoba mengenalkannya padamu.”
Rama selalu meledekku pria abnormal. Aku tidak peduli akan gurauan Rama atau tentang cerita ibu. Aku selalu pura-pura tidak dengar. Sesungguhnya aku sangat menikmati masa lajangku ini.
Hawa dingin mulai memasuki ruangan. Aku menarik selimut dan meringkuk di bawahnya. Di saat itulah ponselku berdering. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor yang tak dikenal. Aku mengabaikannya.
Membiarkan ponselku berdering sesuka hati. Nanti juga akan berhenti sendiri. Aku memang sering mengabaikan panggilan jika dari nomor asing. Tapi ponselku terus berdering hingga membuat telingaku sakit. Sepertinya si penelepon benar-benar ingin bicara denganku.
Aku penasaran siapa yang ingin bicara denganku larut malam begini. Jadi aku angkat telepon itu.
“Halo, Balin," ucap sebuah suara di seberang.
Mataku yang tadinya sudah lima watt, seolah mendapatkan pasokan listrik yang besar ketika mendengar suara itu.
Seketika aku kenal siapa yang ada di seberang telepon. Tak mungkin salah lagi. Suara itu. Suara dari seorang perempuan yang pernah mengisi relung hatiku.
Apakah ini mimpi? Ini pasti mimpi. Aku tertidur di sofa depan televisi dan bermimpi ditelepon Karina.
“Halo, Balin. Kamu ada di sana?” kata Karina sekali lagi membuatku tersentak.
Aku berdeham, “Ya, Karina. Tumben kamu meneleponku. Ada apa?”
“Bisa tidak kamu menemuiku di Taman Merpati sekarang juga.”
Taman Merpati jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggalku. Untuk apa Karina memintaku menemuinya di sana?
Tunggu dulu! Aku mendengar dari telingaku yang tajam isakan kecil dan suara Karina yang parau. Apakah Karina menangis?
“Kumohon, Balin. Aku sedang sangat membutuhkan pertolongan," ucap Karina memelas.
“Iya. Iya, kamu tunggu sebentar, aku akan segera ke sana.”
“Cepatlah, Balin! Aku tunggu.”
Aku menutup telepon. Huft. Ternyata aku masih Balin yang dulu. Tidak bisa menolak jika Karina yang meminta bantuan.
Lima tahun ternyata belum cukup untuk menghapus Karina dari dalam hatiku. Kuambil jaket tebal dari dalam lemari dan kunci mobil yang berada di laci nakas. Hujan gerimis turun ketika mobilku baru saja keluar dari apartemen.
Ada apa dengan Karina? Dari suaranya di telepon, jelas Karina sedang menangis. Tapi kenapa dia menangis? Kenapa dia tidak meminta bantuan saja ke suaminya?
Ah ya, suami. Aku baru ingat Karina punya suami. Di mana suaminya Karina? Kalau aku menemui Karina tengah malam begini, apakah nanti tidak akan menimbulkan fitnah?
Aku takut suami Karina salah paham terhadapku. Atau mungkin Karina sedang ada masalah dengan suaminya. Kalau iya, kenapa Karina meminta bantuanku? Kenapa aku? Kenapa bukan ayah Karina?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang di dalam benakku selama aku menyetir mobil ke Taman Merpati. Sesaat aku ragu, tapi ada keyakinan yang besar dalam diriku bahwa Karina sedang tidak baik-baik saja.
Suara decitan dari mobilku ketika berhenti di Taman Merpati membuat kaget sesosok perempuan yang tengah duduk lemas di bangku taman. Aku turun dari mobil dan mendekatinya.
Karina memakai baju tidur model kimono yang dibalut jaket hitam. Tertunduk lemas sambil memegangi perutnya yang besar. Dia segera mengusap kedua pipi saat aku telah berada di depannya.
Aku memandang sekeliling. Tak ada seorang pun kecuali kami berdua.
“Karina, ada apa? Apa yang terjadi?”
Karina masih saja terisak. Dia mencoba mengatur napas agar bisa bicara. Aku ikut merasakan kegelisahan yang dialaminya. Aku bersimpuh di depan Karina sambil menggenggam kedua tangannya yang dingin.
Persetan dengan Karina yang telah bersuami. Abaikan apa itu move on.
“Balin, bawa aku pergi dari sini. Aku sudah tidak tahan lagi," Karina menangis histeris.
Aku duduk di sampingnya, memeluknya dan mengusap lembut lengannya agar dia sedikit lebih tenang. Andai suami Karina datang saat itu juga, akan semakin runyam masalahnya. Tapi aku tidak peduli.
Jika laki-laki itu pantas disebut sebagai seorang suami, dia tak akan mungkin membiarkan istrinya menangis sendirian di taman malam-malam begini.
“Tenang, Karina! Tenang! Cerita padaku ada apa? Kenapa kamu berada di sini sendirian? Mana suamimu?”
“Balin, sebenarnya aku...” wajah Karina mengernyit seperti telah menelan pil pahit. “Aku kabur dari suamiku.”
“Apa? Bagaimana bisa? Kenapa?”
“Dia laki-laki yang jahat.”
“Jahat bagaimana maksudmu, Karina?”
Karina tak menjawab. Dia malah merintih kesakitan. Kedua tangan Karina langsung meraba perutnya. Dia menggigit bibir bawah. Tanda dia menahan rasa sakit.
“Karina, kamu baik-baik saja?” pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutmu begitu saja.
“Nanti akan aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sekarang perut aku terasa sakit. Aauuw.”
“Perut?” mataku tertuju pada perut Karina yang besar. “Maksudmu kandunganmu...”
Karina mengangguk dan mengaduh sekali lagi. Napasnya naik turun. Wajah pucat Karina terlihat jelas di kegelapan malam. Aku gelagapan panik bercampur bingung.
Menikah saja belum, apalagi punya pengalaman menangani ibu hamil yang kesakitan. Aku menoleh kiri kanan. Tak ada orang lewat untuk dapat dimintai bantuan.
“Apa yang bisa aku lakukan, Karina? Apa perlu kita ke rumah sakit?”
“Tolong bawa aku. Sepertinya aku mau melahirkan, Balin," rintih Karina.
“Apa?”
Aku semakin panik dan bergemetar hebat saat kulihat di bawah baju tidur Karina mengalir darah. Bermuara di kaki Karina dan menetes ke atas rerumputan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Wirda Lubis
lanjut
2023-08-02
0
Ranran Miura
baru juga ketemu, udah dibikin jantungan, nasib, jadi jomblo 😅
2022-06-28
0
Ranran Miura
Hai kak, aku mampir.
Udah aku fav, tapi bacanya nyicil, ya 😁
2022-06-28
1