“Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu ini?” Tanya CEO perusahaan tempatku bekerja.
Pak Bambang.
Itulah nama yang biasa digunakan semua karyawan untuk memanggil CEO kami.
Pria gemuk yang rambutnya setengah botak itu mengetuk-ketukan pena ke meja dan satu tangan lagi memegangi surat pengunduran diriku. Di samping bos besar, duduk pula sang HRD yang menatapku secara intens.
Sekarang kami bertiga berada di ruangan Pak Bambang. Lantai tertinggi di gedung perusahaan. Dari ruangan Pak Bambang, aku dapat melihat pemandangan kota dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
Awan putih yang menggantung di langit tengah menaungi aktivitas warga kota. Jika melirik ke bawah, terlihat deretan kendaraan yang mengular di jalanan.
“Ya, Pak. Niat saya untuk berhenti bekerja dari perusahaan ini sudah bulat.”
“Tapi kenapa mendadak begini? Saya terkejut sekali menerima surat pengunduran diri ini.”
Pak Bambang melambaikan surat pengunduran diriku, lalu menjatuhkannya ke meja. Melirik sekilas ke arah HRD.
Aku telah memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku karena aku harus mengurus Kirana kecilku.
Ya, anak Karina aku namai dia dengan nama yang hampir mirip nama ibunya. Jam kerjaku yang berangkat pagi pulang petang, tidak memungkinkan untuk dapat mengurus Kirana.
Jikalau aku memperkerjakan seorang pengasuh, aku tidak yakin Kirana akan diurus dengan baik.
Lagi pun, aku harus menyembunyikan identitas Kirana dari orang lain.
“Sudah tiga hari kamu absen dari pekerjaan. Lalu tiba-tiba kamu datang ke kantor hanya untuk memberikan surat ini. Ada apa, Balin? Apa ada masalah pribadi?” Pak Bambang mengeram.
“Tidak, Pak.”
“Lalu?” Gumam Pak Bambang berdiri dari kursinya yang besar.
Dia mengitari meja, berjalan menuju ke arah jendela. Memandang ke luar. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Raut wajahnya mencerminkan beliau sedang berpikir.
Pasti tengah menerka-nerka alasan aku berhenti bekerja.
Aku merasa sedang disidang di pengadilan. Aku ingin segera pulang. Teringat terus pada Kirana di rumah. Aku titipkan dia pada Rama untuk sementara waktu.
Kirana sedang apa ya? menangis tidak ya? Apakah Rama mengurusnya dengan baik.
Aku menghela napas jenuh.
“Balin Mahendra,” Pak Bambang tiba-tiba menyebut namaku.
Membuatku tersentak dari lamunanku pada Kirana. Memecah keheningan yang tercipta.
“Aku akui kamu ini salah satu karyawan terbaikku. Sangat berat bagiku untuk melepasmu begitu saja dari perusahaan ini. Selama ini gaji dan tunjanganmu aku rasa sudah sebanding dengan pekerjaanmu.”
Aku mengangguk, “Tapi alasan saya resign, karena saya ingin membuka bisnis, Pak. Itu sudah jadi cita-cita saya sejak dulu.”
“Sejak dulu?” Pak Bambang tersenyum.
Sepertinya beliau tahu aku berbohong. Namun aku tidak berbohong. Aku memang akan membuka usaha restoran. Aku hanya menyembunyikan fakta bahwa sekarang aku memiliki anak adopsi.
Pak Bambang berjalan perlahan mendekatiku. “Kalau itu impianmu sejak dulu, kenapa kamu membuat surat pengunduran diri secara mendadak?”
Glek. Aku menelan salivaku. Aku harus menjawab apa.
“Maaf, Pak Bambang, saya tidak bisa menceritakan secara detail. Tapi alasan utama saya berhenti bekerja memang karena saya ingin membuka usaha.”
Pak Bambang tertawa, “Bukankah bisa kamu tetap bekerja sambil kamu merintis usaha. Sudahlah, Balin. Membuka usaha hanya alibimu saja kan? Atau ada yang membuatmu tidak nyaman bekerja di sini?”
Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Saya sangat senang bekerja di perusahaan ini.”
“Tidak ada memaksamu keluar?”
“Tidak,” Jawabku tegas.
“Oh, aku tahu. Kamu pasti begini karena ingin tawar menawar denganku. Baik. Kamu ingin naik gaji? Berapa?”
“Tidak, Pak.”
“Kalau begitu naik jabatan?”
Aku menggeleng kuat, “Tidak, Pak. Sama sekali tidak.”
“Menjadi direktur keuangan di perusahaan ini?” Pak Bambang menaikkan alis dua kali.
Sesaat aku ragu. Namun, bayangan Kirana kecilku sekali lagi melintas di benak. “Saya tetap pada keputusan awal saya, Pak.”
Pak Bambang mengela napas lesu. Berkacak pinggang. Melirik HRD yang sejak tadi duduk di sudut ruangan, lalu mengangguk.
“Baiklah, tapi kamu tahu peraturan perusahaan kan, Balin. Pemberitahuan pengunduran diri seharusnya tiga puluh hari sebelum kamu resmi keluar.”
Ah ya, aku lupa soal yang satu itu.
Tapi apa boleh buat. Kirana sekarang adalah tanggung jawabku. Jika terjadi sesuatu pada Kirana, aku tidak dapat memaafkan diriku sendiri.
“Saya siap menerima konsekuensinya, Pak.”
“Baiklah kalau itu kemauanmu. Sungguh disayangkan. Padahal kamu ini salah satu karyawan terbaikku. Kamu bisa memiliki jenjang karier yang jelas kalau tetap bekerja padaku.” Pak Bambang menepuk-nepuk pundakku. Aku tersenyum sekaligus terharu.
Sang bos besar alias CEO mengapresiasi kinerjaku selama ini. “Saya berterima kasih atas kontribusimu di perusahaan ini. Sukses selalu di luar sana dan jika kamu ingin kembali bekerja, hubungi saya saja.”
Yang aku tangkap dari ucapan Pak Bambang, beliau mengira aku akan bekerja di perusahaan kompetitor.
Setelah berbasa-basi dengan Pak Bambang, aku keluar dari ruangan direktur utama dan langsung menjadi sorotan semua karyawan.
Ada yang berbisik-bisik pelan dengan temannya. Ada yang mengalihkan pandangan dari layar komputer untuk melirikku sekilas. Ada pula yang terang-terang menyapa dan menanyakan rumor tentang aku yang berhenti bekerja.
Ah itu sudah bukan rumor lagi.
Aku berjalan ke mejaku untuk mengemasi barang-barang pribadiku. Memasukkan ke dalam kardus. Sesaat aku merasa seperti bukan diriku.
Aku merasa tidak profesional. Aku yang selalu memprioritaskan pekerjaan, kini terkalahkan oleh Kirana. Hanya Kirana satu-satunya alasanku.
Semua barang pribadiku sudah terkepak rapi di dalam kardus. Aku mengangkat kardus, dan berjalan keluar sambil memberikan salam perpisahan untuk rekan-rekan kerjaku.
Termasuk OB yang sering membuatkan kopi untukku sekaligus teman seperantuan, Joko.
Begitu terkejutnya dia ketika aku berpamitan hingga tidak sengaja dia menjatuhkan nampan yang sedang dia bawa.
Joko menangis, “Aku bisa kerja di sini itu berkat kamu. Kenapa kamu malah keluar?”
Aku menenangkan Joko. Lalu pergi ke mobilku. Kutaruh kardus di bagasi. Ketika hendak masuk ke mobil, aku menatap sejenak tempatku bekerja.
Banyak sekali kenangan di tempat ini. Joko masih berdiri di depan pintu, melambaikan tangan sambil terisak.
***
Di waktu yang sama, di sebuah ruang kerja.
Seorang pria memakai jubah tidur berbahan satin, tengah menikmati waktu santainya di kursi sandaran tinggi. Dia menghisap rokok, dan kemudian menghembuskan asapnya yang mengepul di udara.
Sebuah kalung dengan bandul berbentuk huruf H tergantung di leher pria itu.
Kemudian, seorang pelayan mengetuk pintu, dengan langkah penuh kehati-hatian, dia memasuki ruangan.
Berhenti di tengah ruangan.
“Tuan, polisi sudah berhasil menemukan mobil milik Indra Irawan,” lapor sangat pelayan.
“Yakinkan pada mereka kalau penyakitku bertambah parah dan kalau perlu buat berita palsu yang menjatuhkan nama baik keluarga Irawan.”
“Baik, Tuan. Akan tetapi...”
“Apa?” suara sang tuan meninggi.
“Di dalam mobil, tidak ditemukan jasad Karina. Hanya Indra Irawan saja.”
Sang tuan menggebrak meja yang sontak membuat pelayan terperanjat.
“Kerahkan anak buah kalian untuk mencari jejak perempuan jal**ng itu! Aku tidak akan percaya Karina meninggal jika aku belum melihat jasadnya.”
Pelayan menganggukkan kepala dengan badan gemetaran. Lalu meminta izin untuk keluar ruangan.
Sang tuan menekan putung rokok ke dalam asbak. Tangannya beralih mengambil ponsel yang ada di atas meja, mencari-cari kontak telepon yang sudah lama sekali tidak dihubunginya.
“Mungkin ini saatnya, aku menghubungi teman lamaku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Nandang Mahmudin
siapa nih?
2022-06-07
0
Senajudifa
tria aku mampir
2022-06-06
1
Eni pua
aku mampir lagi Kaka...semangat
2022-05-22
1