KEKASIH GRIM REAPER
"Uh, kenapa dia berdiri di depan pagar sekolah?" keluh Andrea pada dirinya sendiri.
"Drea, kamu nggak pulang?" sapa Aya di belakang Andrea dengan heran, dari tadi melihat Andrea hanya berdiri di parkiran sekolah sambil menatap pintu gerbang dengan wajah takut.
Andrea berbisik di telinga Aya. "Kamu lihat nggak cowok yang berdiri di depan pagar sekolah?"
Aya melihat kumpulan geng anak nakal di sekolah. "Maksud kamu si Giant and the gang?"
Yang dimaksud Aya, pria gemuk berbadan besar, anak jenderal di kota mereka tapi terkenal nakal dan gonta-ganti cewek. Nama aslinya Ronald tapi karena tubuh dan sikapnya yang mengintimidasi seperti Giant di salah satu karakter Doraemon makanya dipanggil itu.
"Bukan, bukan si Giant tapi cowok serba item!" Andrea mengibaskan tangannya di udara.
Aya menyipitkan mata dengan bingung ke depan pagar. "Kalau pakai baju mencolok gitu pasti keliatan lah Ndrea, tapi ini mah boro-boro keliatan, batang hidungnya aja gak ada."
Andrea menepuk jidatnya. Ah, percuma bicara dengan anak satu ini. "Udahlah kamu pulang aja," usir nya.
"Terus kamu mau di sekolah sampai kapan?"
"Terus kamu pengen aku ditangkap pria baju item?"
Aya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Jangan - jangan yang kamu lihat itu hantu?"
Andrea memukul lengan atas Aya. "Enggaklah, gak mungkin aku bisa liat hantu!"
"Buktinya kamu bisa lihat cowok berbaju item sementara aku nggak bisa lihat." Aya menakut-nakuti Andrea.
"Ay-" rengek Andrea dengan ketakutan.
Aya melepas pegangan Andrea. "Aku mau pulang! aku gak ikut-ikutan!"
"Gitu ya sama temen kamu ini-" rengek Andrea lagi.
"Ya udah pura-pura aja gak liat!"
Andrea menggigit bibir bawahnya, melirik pria yang berdiri memunggunginya. "Ok. Tapi aku jalan di sebelah kiri kamu ya. Dia berdiri di sisi kanan soalnya."
"Iya."
Andrea jalan beriringan bersama Aya melewati gerbang sekolah. Begitu mereka berdua sudah melewatinya, diam-diam Andrea bernapas lega.
"Percuma pura-pura tidak tahu!"
Andrea terkejut. Pria itu sudah berdiri di hadapannya. "A- a-"
"Halo, Andrea." Pria itu menunjukan senyum tampan sementara Andrea merinding melihat senyum maut itu.
Andrea menutup mata sebentar dan menggigit bibir bawah. Percuma, pura-pura lagi.
"Ay, kamu pulang duluan deh. Aku ada urusan-"
"Terus cowok yang kamu takutin?"
Andrea tersenyum sambil melambaikan tangannya. "Sudah enggak ada kok. Makasih ya."
Aya melambaikan tangannya dan naik ke angkot.
"Jadi-"
"Usia kamu sebentar lagi 17 tahun."
"Tidak perlu menghitung! aku sudah tau!"
Andrea sengaja memunggungi pria itu berpura-pura mencari angkot di depan sekolah, supaya tidak ada yang tahu dirinya bicara dengan makhluk tak nampak.
"Tidak ingin merayakannya?"
Bibir Andrea bergetar, buat apa merayakan ulang tahun kalau itu perhitungan mundur hari kematiannya. Menjadi tunangan malaikat pencabut nyawa sama dengan matikan? Atau-
"Tidak!"
"Sayang sekali, padahal anak-anak seusia kamu selalu merayakannya."
"Aku berbeda dengan anak-anak lainnya, lagipula-" Andrea menghela napas berat. "Lagipula aku sudah menjadi target malaikat pencabut nyawa."
Pria itu menahan tawanya. "Terserah. Hati-hati kalau pulang, seharusnya kamu bawa payung tadi."
Andrea mendongak. Matahari bersinar terang, saat akan menjawab, pria itu sudah tidak ada di sana lagi.
Andrea mengangkat kedua bahunya dan memutuskan pulang dengan jalan kaki. "Hujan apanya, matahari terik gini dibilang hujan, huh!"
Andrea menendang batu di depan kaki,
tak lama muncul awan mendung.
Andrea mendongak sekali lagi. "Gawat!" serunya sambil berlari mencari tempat aman. "Aku tidak percaya ini!"
Setelah Andrea duduk di emperan toko, hujan turun dengan deras. "Bagus, malaikat pencabut nyawa yang bisa meramal cuaca."
______
Setelah hujan reda, Andrea segera pulang ke rumah, mandi dan makan siang bersama mama di ruang makan, saat makan tiba-tiba mama bertanya. "Apa cita-citamu?"
Andrea mengedipkan mata ketika ditanya mama. "Cita-cita?"
"Kamu sudah kelas 3 SMA sudah saatnya menentukan pilihan kamu."
Andrea menaikan salah satu alisnya. "Baru kelas 3 SMA, kan?"
"Tahun depan kamu sudah lulus sayang, saatnya menentukan pilihan."
"Pilihan apa? Memangnya papa akan membiayai sekolah Andrea?" tanya Andrea tidak mengerti.
"Setidaknya kita berusaha sayang." Harap mama Andrea
"Ma, papa saja tidak mau membiayai sekolah SMA Andrea buat biaya melahirkan perempuan gatal itu! Ini saja kalau tidak minta tolong Budhe-"
"Mama tahu sayang," potong mama Andrea tidak sabar, "Tapi cobalah bicara dengan papa kamu, biar bagaimanapun ini menyangkut masa depan kamu."
Andrea memainkan makanannya. "Papa bilangnya Andrea harus masuk jurusan ekonomi kan?"
"Ya." Angguk mama Andrea dengan antusias.
"Tapi Andrea pengennya kedokteran."
"Andrea, papa kamu tidak punya uang sebanyak itu."
Andrea menghela napas. "Terus kenapa mama tanya masa depan Ndrea sementara mama sudah tahu jawabannya dari papa. Mama sadar gak sih kalau papa itu sudah punya wanita lain? dia sudah membuang kita ma!"
"Andrea, jangan bilang seperti itu tentang papa kamu!"
"Terus Andrea harus bicara apa? Dia bahkan tidak pantas disebut papa!" seru Andrea.
"Ndrea!" bentak mama Andrea.
Andrea menghela napas panjang. "Maaf."
"Telepon papa kamu kalau kamu ingin kuliah, masuk jurusan Ekonomi tak apa yang penting papa biayain kuliah kamu."
Andrea menatap tajam mamanya. "Andrea kenyang!"
Mama Andrea menghela napas pasrah, ia hanya ingin memperjuangkan masa depan putrinya. Setidaknya papa Andrea juga harus memikirkan masa depan anak kandungnya sendiri.
Andrea membawa piring yang masih berisi penuh makanan ke bak cuci dan mencucinya. "Andrea bicara nanti saja ma."
Mama Andrea menghela napas. "Ya."
Selesai mencuci piring. Andrea naik ke kamarnya.
"Bertengkar lagi?"
Andrea terkejut. "Bisakah tidak membuatku serangan jantung?"
Pria itu sedang memiringkan badannya di atas tempat tidur Andrea sambil membuka majalah fashion, dia bahkan tidak sungkan melepas jubahnya di kaki tempat tidur.
Di luar dugaan Andrea kalau pria itu memakai kemeja putih dan celana panjang hitam. "Khas anak muda, suka fashion."
Andrea menyeret langkahnya dan duduk di samping tempat tidur. "Ngomong-ngomong kamu ini siapa? Aku hanya tahu malaikat pencabut nyawa saja."
Pria itu menatap lurus Andrea. "Andre."
Andrea menaikan salah satu alisnya.
"Aku tidak ingat namaku." Pria itu menyerah.
"Aneh."
"Itu tidak aneh, seorang malaikat pencabut nyawa tidak memiliki nama, kalau kamu ingin memanggilku, panggil saja Andre, aku suka nama itu."
Andre adalah nama adik Andrea. Andrea yang duduk di lantai kayu kamarnya menopang dagu di atas tempat tidur. "Kamu punya dosa berat ya?"
"Tidak," jawab pria itu, "Darimana pemikiran konyol itu muncul?"
"Dari drama korea."
"Drama apa?"
Andrea tidak mau membahas drama lebih lanjut, lalu menunjuk pria itu. "Gimana kalau namamu Bruno? guk guk."
Pria itu memukul kepala Andrea. "Kamu kira aku gak tahu anjing, hah?"
Andrea mengelus kepalanya. "Sakit-"
"Kalau tidak mau sakit, jangan suka menyakiti orang lain." Pria itu kembali konsentrasi dengan majalah Andrea. "Kamu ada bacaan lagi?"
"Enggak ada!"
"Kalau tidak salah ada komik di bawah laci meja, kan?"
"Apa tugas malaikat pencabut nyawa membaca majalah dan komik?" Andrea menggeser badan pria itu hingga jatuh dari tempat tidur.
"Kamu-" Pria itu mengelus lengannya yang terjatuh lebih dulu. "Berani sekali dengan malaikat pencabut nyawa!"
Andrea cepat-cepat naik tempat tidurnya dan menaikan selimut. "Ini jamnya aku tidur."
Pria itu menggeser badan Andrea. "Aku juga tidur disini!"
"Siapa yang kasih izin? Ini kamarku!" seru Andrea pelan.
"Sebelum kamu dan keluargamu tinggal disini, aku sudah tinggal disini ratusan tahun." bohong pria itu. Sebenarnya dia tidak begitu ingat pernah berkunjung ke tanah sekitar sini, setelah Andrea pindah kesini baru dia sering kesini untuk mengawasi kekasih kecilnya.
Andrea yang tadinya memejamkan mata, membuka matanya. "Ratusan tahun?"
"Sebenarnya hanya sekitar 500 tahun."
"Wait, wait! 500 tahun? Jadi selama ini- kamu kakek? Meski tampangnya kayak anak muda gitu?"
"Memangnya tidak ada yang pernah cerita ke kamu ya?" Pria itu merangsek masuk ke selimut Andrea sehingga Andrea terjepit di dinding.
"Cerita apa?"
"Kamu itu dulunya bisa dibilang tumbal."
Andrea terduduk di tempatnya. "Tumbal?"
Pria itu tidur memunggungi Andrea. "Sewaktu kamu masih bayi, papa kamu membuat perjanjian dengan raja jin untuk menukar nyawanya dengan nyawa kamu. Yah, itu karena papa kamu nekat mengambil barang berharga milik salah satu raja jin."
"Jadi seharusnya orang itu mati?" Andrea tersenyum sinis. Gagasan pria itu mati sungguh melegakan hatinya.
"Kamu senang?"
"Tentu saja!" Andrea mengangguk cepat.
"Terus-terus kenapa orang itu masih hidup?" tanya Andrea sambil menggoyang-goyang badan pria itu.
"Kamu pernah diceritakan tentang papa kamu yang pulang gatal-gatal?"
"Mama sering cerita, sewaktu pulang bersama temannya mencari keris atau apalah badannya gatal-gatal gitu."
"Nah itu-"
"Itu apanya?" tanya Andrea tidak mengerti.
"Ayah kandungmu membuat suatu perjanjian pada saat itu," kata pria itu sambil membalik badannya untuk menatap Andrea.
"Perjanjian pertukaran nyawa?"
"Ya."
Andrea terdiam. Suasana kamar menjadi hening. Sejahat apapun ayahnya, dia tidak menyangka kalau ayah kandungnya melakukan hal yang lebih kejam lagi dengan menumbalkan darah dagingnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments