"Anak yang digugurkan biasanya langsung masuk surga. Mereka akan mengadu kepada Tuhan apa yang mereka alami selama di dalam kandungan."
Andrea menatap serius Jonathan sambil memeluk kepala boneka Doraemon kesayangannya seperti biasa. Begitu melihat Jonathan duduk santai di dalam kamarnya, ia langsung cerita mengenai Carla anak IPS yang berencana menggugurkan jabang bayinya.
"Tergantung dari usia kehamilannya, kalau tidak salah di usia kehamilan ke enam atau ke tujuh, si jabang bayi sudah ditiupkan roh. Nah kalau diusia gitu digugurkan si Jabang Bayi akan mengadu keras kepada Tuhan bahwa dirinya sudah disakiti."
"Kalau sebelum usia itu?"
"Malaikat pencatat amal buruklah yang bertindak."
Andrea mengusap perutnya yang rata. "Ngeri banget sih."
"Tentu saja, hukumannya berat untuk si ibu."
"Terus kalau tidak sengaja keguguran?" tanya Andrea antusias.
"Yah, kalau itu beda kasusnya. Bayi yang keguguran akan menjadi jalan untuk si ibu menuju surga."
Andrea berwajah muram. "Kasihan sekali sih, manusia itu memang tega. Eh, akukan juga manusia tapi-"
"Sudahlah, manusiakan punya sifat masing-masing jadi tidak perlu heran dengan sifat mereka yang tidak bertanggung jawab seperti itu."
"Seperti papa-"
"Sudahlah, tidak perlu membahas lagi orang itu. Sekarang kamu pikirkan masa depan kamu saja, jangan terlalu berharap dengan orang yang sudah membuang kamu."
"TAPI DIA SUDAH KETERLA-"
"Mbak!" Adik Andrea mengetuk pintu kamar Andrea.
Andrea menggoyangkan badan Jonathan. "Sembunyi! Menghilang!"
Jonathan menghalau tangan Andrea, "tidak ada yang bisa melihatku kecuali kamu."
Andrea membuka pintu dengan takut-takut. "Ya?"
"Andre pinjam kamus bahasa Inggrisnya."
Andrea mengambil kamus di atas meja belajar dan memberikannya ke adiknya dengan cepat. "Nih."
Andre mengambilnya. "Akhir-akhir ini kakak berisik sekali, teleponan sama siapa?"
Andrea menggeleng. "Bicara sendiri, biasa, latihan buat jadi artis."
"Ya tapi jangan teriak-teriak. Mengganggu sekali."
"Iya maaf."
Andre jalan masuk kamarnya yang berhadapan dengan tangga turun. Andre menoleh ke kakaknya. "Besok Andre bawa sekolah."
"Ya." Andrea mengangguk dan menutup pintunya.
"Tuhkan. Aku gak keliatan." Jonathan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
Andrea menatap tajam Jonathan. "Terus gimana dengan syarat selanjutnya?"
Jonathan berdiri dan kali ini ia memakai mantelnya. "Itu besok saja."
Andrea menatap sedih Jonathan. "Mas Jo gak nginep?"
"Kenapa? Berharap aku menginap?"
Andrea menggembungkan pipinya. "Tidak juga. Pergilah!"
Jonathan merentangkan tangannya lebar-lebar.
Andrea melirik Jonathan. "Apa?"
Kedua tangan Jonathan bergerak mengisyaratkan Andrea mendekat.
"Kita belum menikah." Andrea menggelengkan kepalanya. "Jadi tidak boleh..."
"Kamu baru mengatakannya sekarang?"
Andrea teringat apa yang mereka lakukan semalam. Meskipun hanya tidur berpelukan dibatasi selimut tebal. Andrea berdehem dan berjalan ragu.
"Satu kali saja ya."
Jonathan menggerakan tangannya kembali sambil tetap merentangkan tangannya.
Andrea berhenti tepat di depan dada Jonathan. Ini bukan kali pertamanya tapi tetap deg-degan juga kalau hanya berdua.
Jonathan memeluk Andrea dengan kaku.
Andrea membalas pelukan Jonathan dengan kaku. "Mas Jo."
"Hm?"
"Kalau syarat pertama yang muncul itu- tunangankan? Kita sudah bertunangankan?"
Jonathan memeluk erat Andrea dan menjatuhkan badan mereka di atas tempat tidur Andrea dengan Andrea di atasnya.
"Aduuuhhh sadis sekali!"
Jonathan memiringkan badan mereka berdua.
"Sepatu mas Jo belum dilepas, mantel juga." Andrea menatap mata hijau Jonathan.
"Tidurlah." Jonathan menyelimuti Andrea menggunakan satu tangan.
Mendengar suara lembut itu entah kenapa muncul rasa kantuk di benak Andrea. "Selamat tidur." Ucap Andrea setelah berdoa di dalam hati.
"Selamat tidur." Jonathan menjentikan jarinya untuk mematikan lampu kamar Andrea.
"Yanda, besok ada tugas dari bu guru, belikan cat." Rengek Ahmad - anak kedua ke ayahnya.
Jonathan melirik sebentar ruangan kantor yang pintunya terbuka, kantor itu terhubung masuk ke dalam ruang keluarga rumah ini. Setelah itu ia berjalan mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Dia melihat selingkuhan pria itu, istrinya yang sekarang sedang duduk di bawah dengan laptopnya.
"Yang! Kamu lagi apa?" Seru sang suami.
"Kerja!" Jawab istrinya.
Jonathan iseng masuk ke kamar dan mengintip laptop si istri. "Kerja untuk browsing film?"
Setelah itu Jonathan keluar dari kamar dan melihat sekeliling ruangan. "Dimana tempatnya?"
"Apa yang membuat malaikat pencabut nyawa berkeliaran disini?"
Jonathan balik badan, seorang nenek tua berdiri di depan kamar satunya. "Anda mengenal saya?"
"Kamu pernah kesini untuk mencabut nyawa tamu pemilik rumah inikan?"
"Itu tugas teman saya, saya hanya menggantikannya."
Nenek itu mengetuk-ngetuk tongkatnya. "Pencabut nyawa bukannya membawa tongkat sabit tapi tongkat jalan?"
"Anda penunggu rumah ini?" Tanya Jonathan mengabaikan sarkasme si nenek.
"Sudah lama aku tinggal di rumah ini bahkan sebelum rumah ini dibangun dan ditempati manusia."
"Berarti anda kenal pria penuh nafsu buruk di kantornya?"
Nenek itu tersenyum miring. "Aku suka dia, dia penuh nafsu yang disukai iblis."
Jonathan menaikan kedua alisnya.
Nenek itu menunjuk kepala keluarga manusia dengan tongkatnya. "Pria itu selalu bicara dengan pembantunya untuk meninggalkan selingkuhannya dan menikah kembali. Pria yang penuh dengan nafsu, aku dengar dia berusaha menumbalkan putrinya tapi gagal. Aku heran bagaimana pria itu masih hidup sampai sekarang."
"Itulah yang ingin saya ketahui."
Nenek itu memandang curiga Jonathan. "Siapa namamu?"
"Apa?"
"Jangan membuat aku mengulanginya!"
Jonathan terdiam.
"Malaikat pencabut nyawa yang memiliki nama." Tebak nenek itu sambil memicingkan matanya. "Untuk apa seorang malaikat pencabut nyawa bernama mendatangi tempat yang bukan tugasnya?"
"Ini bukan urusan anda!"
"Aku berani bertaruh, atasanmu tidak mengetahui hal ini."
Jonathan memejamkan matanya dan menghela napas. "Jangan membuat kesabaran saya habis."
"Apakah seorang budak iblis yang sekarang menjadi malaikat sudah melupakan tata kramanya?"
"Kami bukan hanya sekedar malaikat." Jonathan menautkan kedua tangannya di belakang. "Beritahu saya mengenai keluarga ini."
"Untuk apa aku membantu seorang malaikat pencabut nyawa?"
"Kalau begitu aku akan mencari tahu sendiri." Jonathan jalan lurus melewati si nenek tua dan memandang beberapa koper di atas lemari.
"Apakah putrinya yang tidak bisa ditumbalkan itu adalah tunanganmu?"
Jonathan balik badan. "Kau-"
"Jadi benar!"
"Malaikat pencabut nyawa yang memiliki nama dan tunangannya. Kabar itu beredar luas di kalangan kami."
Jonathan menipiskan bibirnya.
"Aku pernah bertemu dengan anak itu, tunanganmu. Aku berniat mengganggunya tapi gagal. Pelindungnya benar-benar kuat."
"Anda pernah bertemu pelindungnya?"
"Tidak pernah." Si nenek memandang Khansa yang sedang mengajari kedua adiknya belajar. "Aku bilangkan, pelindungnya sangat kuat. Seharusnya seorang malaikat pencabut nyawa seperti kamu juga tidak bisa menyentuh anak itu."
"Tapi aku menyentuhnya."
"Tidak punya jantung, tidak menarik."
Jonathan tertawa hambar. Makhluk seperti mereka memang sangat tertarik dengan hal itu.
Seolah bisa membaca pikiran Jonathan , nenek itu melanjutkan. "Aku juga tidak tertarik makan jantung."
Jonathan tersenyum.
"Yah, aku juga tidak bisa bicara seperti itu sementara cerita mengenai jantung itu menyebar di kalangan kami, tentu saja makhluk seperti kalian sangat waspada terhadap kami meskipun... tidak pernah jatuh korban sama sekali."
"Baik. Kita lupakan tentang itu, sekarang aku sedang mencari sesuatu."
"Aku tidak diijinkan membantu seorang malaikat meskipun itu malaikat pencabut nyawa. Malaikat adalah musuh alami kami." Nenek itu menghilang dari pandangan.
Jonathan mendecak kesal. "Membuang-buang waktu saja." Ia mendongak ke tumpukan koper di atas lemari. Salah satu koper itu berisi koleksi orang itu.
Jonathan mengangkat tangannya ke atas. "Itu memang koleksinya tapi bukan ini yang aku cari."
"Yanda! Besok minggu kita jalan-jalan ke pantai ya." Seru salah satu anak kembar.
Jonathan menoleh.
"Iya." Jawab si ayah.
"Yanda catnya..." Rengek Ahmad.
"Haduh... kamu kok bilangnya sekarang? Kenapa gak siang tadi?"
"Lupa."
"Kamu ada waktu main game tapi lupa mengerjakan tugas. Sudah jam segini, toko mana buka."
Jonathan melirik jam di dinding. Sudah jam sepuluh malam.
"Yang, jadi beli mobil?" Tanya si istri.
"Kamu coba tanya, bisa nyicil nggak." Jawab si suami.
"Aku coba hubungi salesnya, ya." Si istri mengeluarkan handphone mahalnya.
Jonathan memandang muak mereka dan menjatuhkan semua koper di atas lemari sebelum pergi dari sana.
Semua orang menoleh ke arah koper yang sudah jatuh dari atas lemari pakaian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments