Anda tidak capek berkeliaran tidak jelas gitu?" tanya Jonathan sambil bersandar di dinding. "Anda mau pamit atau inspeksi?"
Si pemabuk itu menatap tajam Jonathan. "Seorang malaikat pencabut nyawa tidak akan bisa merasakan perasaan seorang ayah."
Jonathan tersenyum sinis. "Jika anda menyadari sudah menjadi seorang ayah, seharusnya menghentikan kebiasaan mabuk."
"Itulah penyesalan saya, tidak bisa menghentikannya." Pemabuk itu menatap melamun istrinya yang memeluk anak balita mereka sambil menangis. "Saya menyesal sudah membuat istri dan anak saya susah."
"Itulah manusia. Menyesal belakangan."
"Saya hanya bisa melihat pemandangan ini selama 40 hari."
"39 hari." Koreksi Jonathan.
Pemabuk itu balik badan dan menatap Jonathan. "Siapa nama anda?"
"Saya-" Jonathan menghentikan kalimatnya. "Saya hanya malaikat pencabut nyawa."
Pemabuk itu kembali menatap anak dan istrinya. "Nama saya Chairul, orang-orang biasa memanggil saya Irul."
"Saya tahu itu." Jonathan mengangkat telapak tangan kanan dan menunjukannya ke Irul. "Nama anda ada di tangan saya." Setelah menunjukannya, Jonathan memasukan tangan kanannya ke saku mantel.
"Gak panas pakai jubah setebal itu?" tanya Irul yang melihat Jonathan memakai jubah panjang dengan kaos dibaliknya.
"Malaikat tidak akan merasakan panas. Anda sendiri tidak merasakan panas bukan?" Jonathan memang sengaja memakai jubah panjang hari ini demi fashion.
Irul berpikir sejenak, melihat sekeliling ruangan yang sudah penuh sesak dengan pelayat berbaju hitam. Para perempuan sesekali mengipasi dirinya sementara para pria mengusap wajahnya dengan lengan baju.
"Saya tidak merasakan panas," gumam Irul dengan heran.
"Seharusnya kamu rajin membaca kitab suci."
Irul mendengus kasar. "Gini, gini saya sudah khatam. Kena pergaulan bebas makanya jadi kayak gini."
"Ya, ya. Masih mau keliling memberi tanda?"
Irul menggeleng. "Tidak, saya ingin melihat anak dan istri saya saja."
Jonathan mengangguk singkat dan menghilang dari hadapan Irul. Pekerjaan selanjutnya sudah menanti .
Jonathan berdiri di depan pintu dapur yang terbuka dan masuk, ia melihat papa Andrea sedang makan cemilan buah sambil browsing di depan laptop sementara selingkuhannya sedang duduk di dalam kamar sambil browsing juga.
Jonathan menggeleng muak. Ah, ternyata sekarang di rumah papa Andrea.
Tiba-tiba terdengar seruan papa Andrea. "Yang! Ini ada mobil yang dijual murah."
Ina – nama selingkuhan papa Andrea. Jalan mendekati suaminya. "Mana?"
Suaminya menunjukannya di depan laptop. "Murahkan?"
"Iya yang, murah. Beli tah?"
"Beli lagi?"
"Uangnya, kan cukup."
Jonathan melihat pemandangan itu dengan miris. Ia teringat isakan Andrea, 'papa lebih memilih membeli mobil daripada membiayai sekolah Andrea.' Kalimat itu terngiang di kepalanya.
Temannya sesama malaikat pencabut nyawa menepuk bahu. "Bukan mereka yang akan menjadi target selanjutnya, sebentar lagi keduanya akan datang."
"Dua?"
"Pasangan suami istri juga." Temannya melihat jam di lengan. "Satu jam lagi, kamu bisa gantikan aku sebentar? aku mau menemui atasan."
Jonathan mengangguk. "Ya."
"Ngomong-ngomong selamat ya, akhirnya kamu tahu nama kamu."
Jonathan tersenyum. "Terima kasih."
Temannya tersenyum dan menghilang di hadapan Jonathan.
Jonathan bersandar di dinding rumah keluarga ini, ia melihat sekeliling ruangan yang terlihat seperti kantor. Di pojokan, seorang anak perempuan berkuncir dua duduk di meja besar sedang mengetik sesuatu di laptop yang terlihat baru, lalu di depan anak perempuan itu terdapat anak laki-laki yang sedang bermain game dengan laptop besarnya.
Jonathan menghela napas miris, duduk bersila di pojok ruangan.
"Khansa, kamu mau makan apa nak?" tanya ayahnya.
"Pengen makan KEPALA IKAN!" Seru Khansa dengan semangat.
"Yanda masakin sekarang ya." Ayahnya melepas kaca mata sementara sang istri - Andrea menyebutnya selingkuhan karena papa Andrea belum bercerai dengan mamanya secara hukum sedang membaca artikel yang ditunjuk suaminya.
Jonathan mendengus kasar. "Apa kamu tidak tahu kalau istri sahmu saja mau makan susah!"
Jonathan teringat dengan kalimat Andrea saat akan tidur.
'Aku tidak sedih dengan kehidupan ayahku yang sekarang bersama dengan selingkuhannya dan anak-anaknya tapi aku sedih- aku sedih karena dia sudah membuang aku dari kehidupannya.'
Jonathan mengikuti sang ayah ke dapur dan melihat pemandangan yang membuat dadanya sesak. Dapur yang berhubungan langsung dengan garasi yang berisikan mobil lalu sang ayah memasak untuk anaknya.
Jonathan selalu berpikir, apakah laki-laki ini pernah memasak untuk putrinya? tidak, Andrea tidak sentimental seperti itu. Kalau dulu memang Andrea mempermasalahkannya tapi sekarang? sepertinya Andrea sudah mulai kebal.
Jonathan duduk di tangga yang terbuat dari kayu, di atas ia mengintip pembantu rumah ini sedang menyetrika tumpukan pakaian. "Bahkan mereka memiliki pembantu."
Jonathan menghela napas. "Andrea, kalau kamu melihat semua ini, yang ada kamu menangis keras."
______
Telinga Andrea berdengung di sebelah kanan, tanpa sadar Andrea mengorek kupingnya. "Haduh, siapa yang ngomongin aku?"
Aya melirik Andrea yang sedang sibuk mencatat di waktu istirahat. "Pasti malaikat pencabut nyawa."
Andrea menatap kesal Aya. "Mulutnya itu ya."
Aya buru-buru menutup mulutnya. "Maaf, kelepasan."
Andrea melanjutkan menulis catatan dari papan ke bukunya.
"Jadi kamu tahu siapa nama malaikat pencabut nyawa itu?"
"Ya tahu, lihat." Andrea menunjukan jari manis tangan kirinya.
Aya menyipitkan tangannya di jari manis Andrea. "Tahu kalo telapak kamu warnanya putih."
Andrea mengerutkan kening. "Kamu tidak bisa melihat tulisan di jari manisku ini?"
"Memang tulisannya apa?"
"Nama si malaikat pencabut nyawa."
Aya menarik tangan kiri Andrea dan meneliti sambil sesekali menggosok telapak jari manis kiri Andrea. "Gak kelihatan, siapa namanya? tulisannya gimana sih?"
Andrea menarik tangan kirinya dan menulis dengan tangan kanannya di buku catatan setelah itu ditunjukannya ke Aya.
"Jonathan Henry I?" baca Aya, "seperti nama bule?"
"Memang nama bule."
"Memangnya bule bisa ya jadi tumbal?"
"Aku gak tahu persis ceritanya karena yang aku dengar hanya semacam bisikan 'dia anak kita' lalu seruan nama si malaikat pencabut nyawa itu, sebenarnya banyak sih bisikan-bisikannya tapi bercampur dan tidak terlalu jelas jadinya yang aku tangkap sebagian."
Aya mengangguk. "Aku tidak mengerti dengan ceritamu, tapi mungkin saja itu benar terjadi."
Andrea bertopang dagu. "Aku jadi maju-mundur menjadi tunangan malaikat sarap satu ini."
"Jangan gitu, bagaimanapun itu calon suami kamu."
Andrea menatap curiga Aya. "Kamu bela terus dia. Akukan teman kamu, seharusnya bela dong teman kamu setidaknya dukung kek pernyataanku."
"Aku selalu mendukungmu, tapi bukan berarti aku mendukung hal-hal yang tidak baik. Kamu sudah memilih, tidak baik mundur sekarang apalagi ada semacam nama di jari manismu. Gak banget sih, aku kira cincin atau apa."
Andrea mengangkat kedua bahunya. "Mungkin malaikat pencabut nyawa tidak mengenal konsep pertukaran cincin."
"Ya iyalah keles."
"Terus sekarang gimana?"
"Apanya yang gimana?"
"Ah, tau ah."
"Ya elah nih anak. Makin gak jelas, ngomong yang jelas biar aku ngerti."
"Bodo amat!"
"Pokoknya ya, kalo ada apa-apa wajib ngomong ke aku! Terus kamu juga harus maju, jangan mundur. Semua pilihan selalu ada resiko jadi mau gak mau kamu harus maju!" tegas Aya.
"Iya, bu Ustadzah."
"Andrea, Aya. Kalian belum selesai menulis catatan?" tanya Nina yang duduk di bangku samping Andrea.
"Aku sih udah, tapi Andrea belum." Aya menunjuk Andrea dengan dagunya.
"Lama amat sih, kalau tidak niat tidak usah mencatat." Nina tertawa.
"Ya iyalah lama, catatannya arab semua. Coba kalau bukan arab sudah cepat selesai dari awal." Andrea memutar bola matanya.
"Titipanku sudah dibeli?"
Nina memberikan satu mangkuk berisi mie goreng ke Andrea, begitu juga dengan Aya. "Bisnis kamu gimana Ndrea?"
"Bisnis yang mana? Yang nasi goreng atau roti bakar?" tanya Andrea sambil berusaha menyelesaikan catatannya.
Nina tertawa keras. "Dua-duanyalah, sudah seminggu kamu gak bawa nasi goreng dan roti bakar."
"Kamu mau? besok aku bawain." tawar Andrea.
"Mau, aku pesan nasi gorengnya ya 1 bungkus." Pesan Nina.
"Aku roti bakar." Pesan Aya.
"Mau rasa apa yang roti bakarnya?" tanya Andrea, tangan dan matanya tetap focus di buku catatan dan papan tulis.
"Adanya rasa apa?"
"Rasa cokelat dan mentega-gula."
"Cokelat aja deh."
"Sip." Andrea mengangkat salah satu jempolnya.
"Ngomong-ngomong kalian sudah dengar belum kalau si Carla anak IPS hamil?"
"Hah? Serius?!" seru Aya.
Nina mengangguk. "Iya, dan kalian tahu siapa bapaknya?"
"Siapa?" tanya Aya penasaran.
"Teman sekelas kita. Angga!"
"What?!" seru Aya dan Andrea bersamaan.
"Positif bapaknya si Angga?" tanya Andrea.
"Iya dan katanya sih mau digugurkan." Nina memakan kacangnya.
Andrea mengusap-usap perutnya. "Sayang sekali kalau digugurkan, kasihan si jabang bayi."
Aya melihat Andrea bersikap sentimental. Aya tahu penyebabnya, si malaikat pencabut nyawa adalah anak yang dicuri dari rahim ibunya. "Gak takut dosa ya," gumam Aya.
"Ih. aku ngeri bayanginnya, kalau memang tidak sanggup punya anak ngapain melakukan hal yang terlarang gitu." Andrea mengusap-usap perutnya.
Nina melirik perut Andrea. "Kamu hamil?"
Andrea melirik Nina. "Enggaklah! Siapa lawan mainnya? Kamu?"
Nina menepuk perutnya dan meja sambil berseru, "Amit-amit jabang bayi!"
"Kamu sih nanyanya aneh-aneh, aku sebagai perempuan juga miris mendengar anak bayi di dalam rahim dan tidak berdosa akan digugurkan, kan sakit!" seru Andrea dengan kesal. "Selain itu pasti sedihkan kalau si bayi ternyata tidak diharapkan lahir."
"Ya, maaf. Kamu ngusap perut pas kita bicara gini jadinya ya gitu." Nina tertawa.
"Orang tuanya tahu?" tanya Aya.
"Gila aja kalau orang tua mereka berdua tahu! Justru mereka berdua mau menggugurkan bayinya supaya tidak ketahuan orang tua mereka!" kata Nina.
Aya dan Andrea saling melirik penuh arti. Di kepala mereka berdua jadi bertanya-tanya, kemana jabang bayi itu pergi? Ke Surga? Atau ada proses lainnya?
"Heboh banget di kelas IPS," ujar Nina.
"Kamu nasehatin gih Nin, siapa tahu mereka berubah pikiran," nasehat Aya.
"Beh, mana mau mereka dengerin? Yang ada maki aku! Minggu lalu aja aku nasehatin soal cara pacaran mereka malah marah-marah bilang sok tau," tolak Nina.
"Ya udahlah kalau mereka tidak mau dinasehati, toh nasi sudah menjadi bubur, mereka jugakan yang dapet dosanya." Andrea meletakan bolpoinnya dengan frustasi, "Ay, kamu saja deh yang catat, aku benar-benar menyerah!"
Aya mengambil buku catatan Andrea dan menulis. "Makanya rajin baca."
"Udah," cengir Andrea. "Baca komik udah tiap hari."
Aya memutar bola matanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments