Episode 5

POV Leon.

Beberapa bulan yang lalu, aku tidak sengaja bertemu dengan Shena. Tidak kusangka setelah dua tahun aku pulang kesini baru hari ini aku melihatnya lagi.

Rindu, iya pasti. Shena adalah satu-satunya orang yang selalu ingin aku lihat.

Aku berusaha mendekat ke tempatnya, tapi dia sedang bertengkar dengan seseorang. Mungkin itu pacarnya, sudah lima tahun berlalu namun Shena masih betah dengan lelaki itu.

Memang aku pernah melihat lelaki itu berapa kali, mengantar Shena ke pos Bapaknya saat mereka masih memakai seragam putih abu-abu dulu. Shena memang tidak sadar, namun aku selalu memperhatikan dia.

Lima tahun yang lalu aku tidak sengaja bertemu dengannya. Bibirnya tersenyum sendu, mengingatkan aku pada seseorang yang sudah lama sekali kurindui.

Pandangan matanya terlihat begitu menenangkan, aku melihat sosok seorang ada pada mata itu.

Dia yang berjalan melewatiku dan sekadar tersenyum ramah saat berpas-pasan padaku, membuat aku baper sendiri. Aku tahu maksudnya, tapi hatiku berdetak lebih cepat karena senyumnya itu.

Apalah aku ini yang hanya mahasiswa biasa, yang masih pengangguran. Bahkan untuk makan saja aku pontang panting cari uang.

Karena aku tidak ingin membebani kehidupan tante Ranti. Tidak ada keberanian untuk aku mendekat padanya. Apalagi semenjak aku melihat dia sering diantar oleh lelaki itu. Aku semakin tidak berani, walaupun hanya sekadar menyapanya.

Bertahun-tahun aku menghilang dari pandangannya, berusaha untuk melupakan tatapan matanya. Namun aku malah semakin sering menyebut namanya dalam doa.

Tak masalah bagiku, dia akan kusimpan sebagai kenangan manis pertama dalam hidup ini.

Tapi malam ini, setelah sekian lama menghilang. Aku kembali dipertemukan dengannya, dan keadaannya tidak baik-baik saja. Ada air mata yang menghiasi matanya. Bibirnya tidak lagi terbuka karena senyum. Namun terbuka karena tangis.

Aku berusaha untuk menyapanya, eh malah gak tega ninggalin dia dengan keadaan begitu. Niat baik cuma mau ajakin makan. Eh malah keterusan melamar.

Ada wajah bingung saat dia pertama kali mendengar lamaranku. Mungkin dia gak percaya sama perasaanku, tapi aku gak pernah modus. Apalagi sama dia, orang yang selama ini gak pernah aku bayangin bakalan jadi pendamping aku.

Memang kalau orang lihat, cantiknya Shena itu biasa saja. Tapi bagiku Shena ini bukan cuma cantik, dia juga penyembuh luka masa lalu. Wajahnya semakin terlihat bingung saat aku bilang kalau aku serius ingin menikahinya.

Aku tahu, kemungkinan besar memang pasti ditolak. Siapa aku buat dia? Mungkin dia juga gak ingat siapa aku?

Aku hanya hadir sebentar dalam hidupnya, gak berharap diingat juga. Dari pada dia makin bingung mending aku ajakin dia pulang saja. Pikirku.

Sepanjang perjalan ia hanya melihat keluar jendela. Aku tahu dia sedang patah hati saat ini. Aku juga gak bermaksud buat perasaan dia campur aduk. Aku cuma ingin menghibur dia. Tapi aku bukan laki-laki yang pintar menghibur. Hidupku datar saja selama ini.

mau ngomong melamar saja harus susah payah nelan ludah. Sekarang mau mundur juga gak mungkin, sudah terlanjur ngomong, ya syukur-syukur kalau dia mau nerima.

Dia turun dari mobilku dan menjejaki laman bebatuan rumahnya dengan cepat.

Seperti ingin cepat-cepat saja dia menghilang dari pandanganku. Ku starter mobil dan memainkan setir untuk mundur. Namun kakiku menginjak rem dengan cepat, saat melihat dia masih bediri di depan pintu rumah.

Kuperhatikan gerak-gerik wajahnya itu, pasti ada masalah. Pikirku.

Dan tak lama dia berbalik dan melihat kearah mobil. Lalu datang mendekat ke arahku dan mengetuk kaca mobil.

Kuturunkan kaca mobil dan mengeluarkan wajah untuk mendekati wajahnya.

"Ada apa, Shena? Ada yang ketinggalan?" tanyaku padanya.

"Tidak, Mas, bukan begitu," jawabnya ragu.

"Kamu ... kamu ... berani gak ngomong langsung ke bapak soal niat kamu, mas?"

Ya Allah ini beneran? Dia menantang aku buat ngomong sama orang tuanya?

Oke, siapa takut!

"Baiklah," jawabku cepat.

Wajahnya seperti terpaku, percaya dan tak percaya melihat kesiapanku.

Sebenarnya memang tidak ada persiapan sih, tapi nekat saja demi kamu.

Mana tahu ini jawaban atas doa-doaku selama ini.

***

Dan benar saja, kemarin di hadapan kedua orang tuamu, saksi pak penghulu, para tamu dan juga Allah aku resmi menjadikanmu istri.

Shena memasuki masjid menggunakan kebaya hijau muda. Sangat anggun dan manis. Aku tidak mampu memalingkan pandanganku darinya.

Sebelum ijab kulihat Shena yang begitu menangis tersedu. Namun dengan cepat Shena menghapusnya, mungkin orang lain tidak sadar. Tapi aku tahu Shena sedang menangis sedari tadi.

Aku tidak tahu mengapa Shena memilihku menjadi suaminya, kalau aku hanya pelarian kamu saja, aku ikhlas.

Kupandang sekali lagi wajahnya sebelum mengucapkan ijab. Kulihat Shena yang menunduk seakan tahu maksudku. Aku tidak tahu itu adalah tanda darinya, atau Shena yang tidak mau memandangku?

Biarlah, saat ini mungkin Shena tidak mau memandangku. Namun kedepannya wajah aku yang akan selalu kamu rindukan.

"Saya terima nikah dan kawinnya Shena Zein Assegaf dengan mas kawin  emas 9 gram di bayar tunai." Sekali napas namun dengan sejuta detakan dari jantungku, yang bertabuh dengan kencang. Hampir membuat aku mati karena terlalu tegang.

"Sah .... " Semua berteriak riuh.

Aku melepaskan napas sedikit lega. Kulihat lagi wajahnya Shena di seberang sana, terlihat sedikit lega. Syukurlah jika dia tidak menangis lagi. Aku pikir setelah ijab terucap dia akan menangis lebih keras lagi.

Aku memandangi langit-langit kamar di rumah tante Ranti. Dulu aku tinggal di sini beberapa bulan. Dan karena beberapa bulan masa itu, aku bertemu dengan Shena.

Setelah lima tahun aku kembali lagi ke kamar ini, namun sekarang Shena adalah istriku.

Dulu aku berpikir bahwa rasaku pada Shena hanyalah sebuah cerita indah yang akan kukenang dalam hati. Tapi semua kenangan indah itu akan aku jalani sekarang.

Selama ini aku hanya memikirkan kuliahku dan menggapai mimpiku. Setelah mimpiku tercapai, aku malah memilih tetap sendirian dan berusaha untuk hidup mapan.

Tak kusangka Tuhan malah menyatukan aku dengan cinta yang selama ini kujaga dan kusimpan dengan sangat rapi, sampai tidak ada satu pun yang tahu.

Memang Tuhan selalu punya caranya sendiri untuk menyatukan dan memisahkan orang. Aku tak menyangka dari sakit hatinya Shena, terbuka peluang untuk aku masuk kedalam hidup Shena.

Kuambil ponselku dan mengirim pesan untuknya.

[Selamat tidur, Shena. semoga kamu bahagia menikahi aku.]

Ya semoga saja, Shena. Karena tidak kulihat wajahmu bahagia di acara ijab kita tadi.

***

Pagi ini resepsi akan diadakan, aku bersiap dengan jas hitam yang disiapkan tante Ranti.

Ku lihat Shena yang sudah siap dengan rambutnya yang berhiaskan mahkota, menggunakan gaun berwarna baby blue.

Memang tidak terlalu glamour, tapi Shena sudah terlihat menawan walau tidak memakai perhiasan mahal ataupun baju mewah. Dia memang bukan cantik karena riasan, namun dia sudah cantik dari hatinya.

Dia hanya terdiam sepanjang resepsi ini. Ekspresinya selalu datar, aku tahu dia tidak bahagia. Tapi aku tidak pernah memaksa dia, aku hanya menerima umpan yang dilemparnya. Dan semua berjalan sendiri mengikuti keadaan.

Ekspresinya mulai berubah saat teman-temannya datang dan menyalami dia. Apalagi saat mantan pacarnya mendekat ke kami, kulihat wajahnya mulai tegang.

"Tega ya, kamu,"

Aku mendengarnya, tapi aku berusaha menahan diri di sini. Demi wanitaku, aku tidak ingin membuat suasana resepsi ini lebih mencekam buatnya.

Kulihat wanitaku tersenyum getir dan perlahan tangisannya mulai pecah. Di tariknya badanku dan membenamkan wajahnya di dalam dada.

Dia menangis, aku tahu dia terluka. Tapi kenapa aku seperti tidak bisa berbuat apa-apa untuk menenangkannya?

Makin lama dia semakin erat memelukku. Aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya. Tidak tega, ini hari yang sangat bahagia untukku tapi aku telah merenggut kebahagiaan wanitaku.

Maafkan aku istriku, aku janji padamu, aku tidak akan merenggut apapun lagi darimu.

Betapa egoisnya aku, masih bisa bahagia di atas tangisanmu. Apa aku masih bisa mengharapkan cintamu?

Setelah aku menyakitimu begitu dalam?

Aku berjanji setiap air matamu ini akan kubayar. Setiap air matamu akan aku ganti dengan tawa. Beri aku kesempatan untuk membuatmu bahagia.

Akan aku buat kau lupa, bagaimana pedihnya hari ini. Akan kubuat kamu  bahagia sampai menembus setiap sendimu, sampai kau lupa bahwa aku pernah membuatmu menangis sampai sedalam ini.

"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku yang tidak mampu menahan emosi." Suaranya terdengar parau.

Aku yang meminta maaf atas semua ini. Aku yang membuatmu begini. Seharusnya aku yang meminta maaf padamu, wanitaku.

"Kamu tidak marah padaku, Mas?" tanyanya dengan wajah polos.

Apa hakku memarahimu? Aku yang membuatmu sehancur ini. Andai aku tidak hadir, mungkin kamu masih bisa bersamanya.

Apa masih bisa aku marah di atas ketidak berdayaanmu itu?

Beri aku alasan kenapa aku harus marah padamu?

Sedangkan posisimu yang seperti ini aku yang menciptakannya.

Dia mengambil tanganku dan menciumnya dengan takzim.

Apalagi ini?

Kenapa dia begitu polos?

Dia wanitaku tapi dia memperlakukan aku seperti seorang ayah. Ingin tertawa tapi takut dia terluka.

Aku hanya berusaha menggodanya, agar terpancar keceriaan dari wajahnya, yang tidak pernah aku lihat semenjak aku kembali kesini.

Dia mencubit lengan tanganku dengan lembut. Aku menyipitkan mata dan menyeringai kesakitan. Dia tertawa dengan polosnya. Oh ya ampun, Shena.

Syukurlah jika kamu masih tidak meninggalkan senyummu itu, di waktu lima tahun silam.

Dia kembali mencubit lenganku, kali ini lebih keras. Aku benar menahan sakit kali ini, namun tawanya meledak. Sebagian para tamu melihat ke arah kami.

"Sssttt ... para tamu melihat kita." Aku meletakan satu jariku di depan bibir.

Dia menunduk seakan tersipu malu, tidak tahan melihat ekspresinya, aku mencium keningnya.

Namun dia menolak dadaku dengan lembut.

Ya ampun, aku tidak bermaksud menakutinya. Aku hanya kelepasan ingin menyentuhnya.

"Maaf mas, aku ... aku tidak bermaksud menolakmu." Wajahnya terlihat ketakutan.

Aku tidak akan menyakitimu wanitaku. Sudah cukup luka yang membuatmu menangis selama dua hari ini. Aku tidak akan membuat luka lagi di hatimu karena ulahku.

Maafkan aku wanitaku, kamu tidak tahu bagaimana selama ini aku berusaha melupakanmu dan menyimpan perasaanku ini hanya untukku saja.

Sekarang saat kau ada di hadapanku, aku hanya ingin menyentuhmu. Agar aku tau kau nyata bagiku.

***

Aku membawamu kerumah yang kubeli dengan hasil kerjaku selama ini. Memang tidak cukup besar, namun ini nyaman jika kita tinggali berdua saja.

Aku membeli rumah ini setahun yang lalu. Iya aku memang pisah rumah dengan tante Ranti semenjak pulang kembali kesini.

Terbiasa hidup sendiri dan menyendiri. Jadi aku tidak suka kalau campur dan terlalu berisik.

Aku masih banyak belajar tentang cardiology sampai saat ini. Karena itu aku butuh suasana tenang untuk mengisi otakku.

"Maaf ya rumahnya kecil, uang aku cuma cukup beli rumah ini."

"Gak apa-apa Mas, ini saja sudah cukup kok," jawabnya dengan tersenyum manis.

Wanitaku memang gadis yang sederhana, gaya bicaranya yang lembut dan penurut. Tidak salah aku menjadikannya istri.

Ia memasuki rumah ini dengan mata yang melihat sekeliling, tidak ada barang yang mewah di sini. Tapi matanya menunjukan binar takjub.

Dasar ... polos sekali dia.

"Kamu kalau mau istirahat langsung ke kamar saja, aku mau mandi dulu."

"Baiklah," ucapnya menurut.

Aku memasuki kamar dan kulihat dia yang sedang asyik bercengkrama dengan kasurku. Kasur yang biasa aku tiduri sendiri, kini harus berbagi dengan nya.

Jangankan kasur bahkan jika dia meminta berbagi semua yang kumiliki, aku bersedia.

Bukan, semua milikku adalah miliknya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya, kulihat binar matanya yang mulai ketakutan.

Ekspresi wajahnya yang mulai tegang, dia memang belum siap menerimaku, tapi dengan nekat menikahiku.

Bagaimana jika aku ini jahat? Bagaimana jika dia menikahi pria modus?

Bisa malang sekali nasibnya, mungkin Tuhan menyatukan aku dengannya karena kepolosannya ini.

Dia terlalu polos untuk disakiti, wajahnya selalu terlihat jujur.

Dasar ... Wanitaku.

Aku berjalan dan semakin dekat, wajahnya terlihat semakin tegang. Dia meremas-remas ujung selimutnya.

Wajahnya itu membuat aku tidak tahan untuk menggodanya.

Kenapa wanitaku ini bisa sepolos ini, di umurnya yang sekarang?

"Bisa tolong keringkan rambutku?" tanyaku saat aku berada di depannya.

"Hah? apa?" tanya dengan wajah yang kaget.

Aku tahu, wanitaku ini pasti lagi memikirkan hal yang lain. Wajahnya langsung berubah saat mendengar perkataanku.

Andai wajahnya ini bisa kuabadikan maka akan kusimpan setiap ekspresi wajanya itu.

Kenapa kamu begitu menarik, Shena?

Kenapa saat sudah menjadi milikku pun kau masih tidak bisa kusentuh?

Kau nyata saat ini bagiku, namun kau juga seperti mimpi. Bisa kupegang dan kupeluk, namun kau tak mampu kusentuh.

Aku telah sah menjadi milikmu, aku rela kau perlakukan bagaimanapun. Demi menghapus benteng tinggi di antara kita.

Namun kau membangun benteng itu lebih tinggi lagi sekarang.

Aku harus bagaimana menghadapi kamu yang seperti ini?

Haruskah aku menurutimu? Atau aku menuruti keinginan egoku?

Pasti kau akan terluka jika menurutiku.

Baiklah wanitaku, selama aku mampu, maka aku akan menurutimu.

Untuk mengganti setiap air mata yang kau jatuhkan semenjak bersamaku, untuk menebus semua salahku.

Aku rela menunggumu, menunggu kesiapanmu untuk mencintaiku.

Terpopuler

Comments

Erni Fitriana

Erni Fitriana

masyaAllah ceritamu thor...tersentuh aku...semoga putri ku Allah takdirkan berjodoh dengan leon di dunia nyata🤲🤲🤲🤲🤲

2023-08-01

0

Maryani Sundawa

Maryani Sundawa

koq POV nya Leon bikin sedih ya...ayo dong Shena buka hatimu utk Leon

2023-03-19

0

alone

alone

ad cwok spt leon...shena sgt beruntung...

2020-09-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!