"Mas ... kamu--" Belum sempat aku menyelesaikan kalimat.
"Aku serius, Shena," ucapnya serius.
"Tapi, Mas. Aku kan, maksud aku, kita ..." Duh bingung mau bilangnya bagaimana?
Mas Leon menarik napas panjang. Napasnya terdengar sangat berat. Aku hanya terdiam, tak bisa kucerna kata-katanya. Bahkan di mimpi pun aku tak pernah membayangkan hari ini terjadi.
"Aku tahu kita tidak terlalu mengenal satu sama lain. Aku juga tidak meminta kamu untuk menjawabnya sekarang."
"Tapi Mas, apa kamu gak salah?"
"Aku beneran serius, Shena. Aku sudah suka padamu dari dulu, waktu pertama kali kita ketemu."
"Mas a-a-aku ... aku." Aku tak tahu mau menjawab apa. Kacau, itu yang kurasakan saat ini.
Hati yang sedang tak karuan dan dihadapkan kenyataan seperti ini. Andai yang di hadapanku adalah Randy dengan cepat aku pasti menjawab 'Ya', tapi pada kenyataannya yang di hadapanku saat ini adalah orang lain.
Kenapa juga aku mengharapkan dia? Ia juga bukan lelaki yang baik kan. Sadarlah, Shena. Jangan butakan pikiranmu karena cinta.
"Jangan kamu jadikan ini beban, Shena. Apapun jawabanmu kelak, aku akan terima."
Ya kali dia ngomongnya gampang. Nah aku ini gimana?
Perasaan aku gimana?
Hati aku juga gimana?
"Aku cuma ingin menyampaikan rasa yang sudah aku simpan selama bertahun-tahun, Shen."
Aku melihat wajah mas Leon yang begitu sendu. Tak sengaja mata kami saling bertatapan. Sejenak suasana semakin menjadi canggung.
Hening, itu lah suasana di antara kami bedua.
"Yasudah ... kita pulang yuk, Shen."
Aku mengangguk dan beranjak dari kursi cafe. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai kerumahku. Tapi entah kenapa suasana di dalam mobil membuat jarak rumahku terasa sangat panjang.
Sepanjang perjalanan aku hanya memandang keluar jendela mobil, mas Leon juga tak mengatakan sepatah kata pun.
Ku buka pintu mobil dan langsung menjejaki jalan bebatuan di depan rumahku. Ingin rasanya segera masuk ke kamar dan tidur, berharap semoga besok pagi semua kembali seperti semula. Belum sempat aku masuk, aku mendengar percakapan ibu dan adik kembarku.
"Bu," panggil Shima lembut kepada wanita yang sedang duduk didepan mesin jahit.
"Opo, Nduk?" tanya Ibu yang matanya masih berkutat dengan kain yang terbentang di atas mesin jahit.
"Tahun depan Shima lulus kan. Shima mau masuk Universitas tempat Mbak kuliah, ya, Bu."
Terdengar suara helaan napas dari ibu.
"Gimana ya, Nduk. Ibu dan bapak gak sanggup kalau harus membiayai kuliah kalian berdua." Wajah Shima mulai cemberut mendengar jawaban Ibu.
"Jadi aku cuma lulus SMA saja dong, Bu?"
"Gak apa ya, Shima. Nanti lulus sekolah aku akan cari kerja biar kamu bisa kuliah," ucap Shine, saudara kembar Shima.
"Ibu memang ada simpanan uang, tapi Ibu mau pakai uangnya untuk terusin kuliah Mbak kamu dulu. Gak apa-apa, ya," bujuk Ibu lembut.
"Gak apa-apa lah, Shima. Aku nanti usaha kerja buat biaya kamu kuliah, ya." Hibur Shine.
Ya Tuhan tak tega rasanya jika harus melihat kedua adik kembarku harus bekerja dan tidak melanjutkan kuliah. Cukup aku saja yang putus kuliah dan bekerja, jangan kedua adik kembarku. Mereka harus kuliah dan hidup lebih baik dari pada aku.
Kubalikan badan dan masih kulihat mobil mas Leon terparkir di jalan depan rumahku. Entah kenapa rasanya langkah ini ringan menuju kesana.
Ku ketuk kaca jendela mobilnya, dan ku bungkukkan badan. Mas Leon menurunkan kaca jendela dan mengeluarkan sedikit wajahnya. Membuat wajahnya berhadapan denganku dari jarak yang sangat dekat. Bahkan wangi gel rambutnya dapat tercium olehku.
Masya Allah ... begitu indah ciptaanmu ini ya Tuhan. Setiap inchi wajahnya Kau ciptakan dengan keindahan. Aku bahkan dapat melihat warna bola matanya yang agak kebirun. Hidung yang begitu mancung bagai perosotan, bibir atas yang tipis dan dagu yang terbelah. Wajahnya yang lebih dominan Eropa di bandingkan Asia menambah pesona tersendiri dari wajahnya.
"Ada apa, Shen? ada barang yang ketinggalan ya?"
"Bukan mas. Tapi--" Aku menggantungkan kalimatku.
"Ada apa?" tanyanya bingung.
Kembali aroma dari parfumenya mengusik ketenangan hidungku. Membuat aku terus masuk dan terjebak oleh harumnya itu.
"Kamu ... kamu ... Mas, kamu berani gak ngomong langsung sama bapak soal niat kamu, Mas?" Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa yang aku katakan barusan?
"Baiklah,"jawaban mas Leon ringan tanpa beban.
Oh Tuhan apa yang baru saja aku katakan? Sejenak aku terpana oleh wajah mas Leon. Bau harum dari tubuh mas Leon yang senada dengan wangi gel rambutnya semakin membuat aku masuk kedalam pesona dia.
Seperti ada sihir dari aroma tubuhnya yang membuat aku tidak sadar dengan ucapanku.
Mas Leon menarik napas dan segera turun dari mobilnya. Seperti dia sudah mempersiapkan segalanya.
Aku mengikuti langkah cepat mas Leon yang menjejaki bebatuan halaman rumahku. Bagaimana ini? Hatiku terus bertanya-tanya, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mas Leon mengucapkan salam begitu sampai di depan pintu rumah. Terdengar sahutan dari dalam rumah dan tak lama Ibu keluar dan mempersilahkan mas Leon masuk.
Sementara aku menyusuli bapak yang sedang santai di meja makan, meminta untuk ikut bergabung sama ibu dan mas Leon.
Kusiapkan teh hangat dan beberapa kue kering. Terdengar suara bapak dan mas Leon mengobrol ringan. Tak kusangka bapak dan mas Leon seakrab itu.
Kusajikan teh dan kue kering di meja. Suasana hening ketika aku datang. Mas Leon meneguk sedikit teh itu, kulihat kedua lututnya sedikit bergetar.
"Ada apa ini, tumben nak Leon main kesini?" tanya Bapak, saat melihat ekspresi wajah mas Leon yang mulai tegang.
"Saya mau silatuhrahmi saja Pak, maaf jika waktunya kurang tepat," jawabnya sopan.
"Tidak apa, toh Bapak juga lagi santai. Bukan nya kemaren itu nak Leon kuliah ke luar negeri ya? Kemana itu namanya? Lando, Lando apa gitu?"
"London, Pak."
"Iya itu, maklum Bapak orang kampung Nak, jadi gak ngerti."
Mas Leon tersenyum kecil, tapi wajahnya masih terlihat sangat tegang.
"Kapan kamu pulang, Nak?" sambung Bapak. Kebiasaan, Bapak memang sering banyak tanya sama orang.
"Sudah ada dua tahun yang lalu, Pak."
"Oh, njeh. Gimana kabar tante kamu?"
"Alhamdulillah baik, Pak. Loh ... bukan nya Bapak masih jadi satpam disana ya?"
"Ha... ha ... ha. Iya yah, Bapak lupa." Ampun dah Bapak, masa gitu banget sih pikunnya.
Aku menepuk dahi dan menggeleng. Basa-basi Bapak terlalu basi sepertinya.
"Eh, silahkan diminum teh nya, Nak. Lupa Bapak jadinya."
Mas Leon meneguk sedikit tehnya, dan ku lihat tangannya sedikit gemetaran.
"Maaf sebelumnya, Pak. jika saya tidak sopan, maksud saya kesini ... hmmm ... hmmm--" Mas Leon menatap kearahku, serasa berhenti jantung ini saat menatap matanya.
"Ada apa toh, Nak? Kok bingung gitu?" Terlihat wajah Bapak juga ikut bingung.
"Saya kesini niat baik, ingin melamar putri Bapak."
Seketika tanganku mendingin. Seperti ada air yang menghujani hatiku, aku tahu maksud mas Leon, tapi aku tidak menyangka dia seserius ini.
Kulihat wajah Bapak dan Ibu mulai bingung bercampur kaget. Mereka saling berpandangan, aku tahu mereka tak kalah bingungnya denganku. Mereka telah lama mengenal Randy sebagai pacarku. Mengapa malah orang lain yang datang melamarku?
"Begini Nak, Bapak terserah Shena saja. Toh dia yang akan menjalaninya, tapi Bapak gak tahu, jika selama ini Shena ada hubungan dengan Nak Leon?"
"Enggak Pak, saya dan Shena tidak pernah berhubungan. Saya baru ketemu Shena hari ini, setelah lima tahun, Pak."
Wajah Bapak semakin terlihat bingung setelah mendengar pernyataan mas Leon. Bagaimana mungkin mas Leon melamar wanita yang bahkan tidak dia kenal dengan dekat?
"Begini, Nak. Apa Nak Leon tahu? Shena itu sudah punya pacar? Ya Bapak gak mau nanti ada masalah antara kamu dan pacar Shena."
"Shena, sudah putus sama Randy, Pak," sahutku. Menjelaskan keadaan ini.
"Sebenarnya dari dulu saya sudah suka sama Shena, Pak. Tapi saya sadar dulu saya hanyalah mahasiswa. Tidak ada yang bisa saya berikan untuk anak, Bapak."
Mas Leon meneguk sedikit teh nya. Mengambil napas dan melanjutkan kalimatnya.
"Karena dari itu, dulu saya tidak pernah bilang apa-apa, Pak. Sekarang saya sudah bekerja dan ada penghasilan sendiri. Walaupun tidak banyak, tapi Insha Allah cukup untuk menghidupi Shena, Pak."
Bapak menarik napas cukup panjang. Bapak melihatku seakan ingin menanyakan pendapatku tentang masalah ini.
Ibu mengambil kedua tanganku yang dari tadi kuremas-remas. Seperti mengerti akan kecemasanku.
"Nduk." Suara lembut Ibu menyadarkanku.
Bagaimana ini? Itu yang dari tadi ada di dalam pikiranku. Haruskah aku terima?
"Ummm ... Pak, Bu. Tidak perlu terburu-buru--"
"Aku terima, Pak," ucapku memutuskan kalimat mas Leon.
"Aku setuju menikahi mas Leon," sambungku.
Aku harus konsekuen sama ucapan. Jelas tadi aku yang mengundang mas Leon masuk. Aku harus bertanggung jawab dengan umpan yang aku lempar sendiri.
kulihat wajah Bapak dan Ibu terkejut, jelas aku pun tak kalah kaget. Tapi ini sudah terlanjur, aku sudah tidak bisa mundur lagi.
"Alhamdulillah." Suara haru terdengar dari mulut mas Leon.
Bibirnya menyeringai, tersenyum dengan puas. Sementara Ibu dan Bapak hanya tersenyum kaku. Dan tak lama kemudian mas Leon pamit pulang. Karena malam sudah semakin larut. Dia akan kembali Minggu sore nanti untuk melamarku secara resmi.
Aku merebahkan badan diatas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar, masih teringat jelas kejadian hari ini.
Seperti tak masuk dalam akal pikiranku.
Hatiku yang saat ini sedang terluka pun, seperti sudah tak mengeluarkan rasa perih lagi.
***
Kulihat jam dinding kamar, menunjukan pukul setengah tiga sore. Terdengar suara ricuh dari luar rumah.
Kulihat dari jendela kamar, benar saja, suara cempreng tante Ranti dan keluarganya telah sampai.
Sesuai janji, mas Leon akan datang minggu sore ini untuk melamarku secara resmi.
Acara lamaran pun berjalan sesuai perkiraan. Tanggal pernikahan telah ditentukan, segala persiapaan pernikahan dan resepsi pernikahan, tante Ranti yang mengurusnya.
Kubereskan piring-piring kotor sisa acara tadi. Kurasakan lelah yang teramat sangat. Bukan hanya badan, hati dan pikiranku juga sangat lelah. Selama berhari-hari aku tidak bisa tertidur dan makan dengan baik. Peristiwa ini selalu mengganggu pikiranku.
Kuraih ponsel dan melihat jam yang tertera pada layar ponsel menunjukan pukul sepuluh malam. Tak ada satu pun pesan dan telepon dari Randy semenjak kami putus.
Mungkin dia sudah mendapatkan pengganti aku. Bukan hal yang besar putus dari aku, dia bisa mencari pengganti dengan cepat. Toh belum lagi putus, dia juga sudah dapat pengganti aku.
Apalagi yang ku harapkan? aku sudah di khitbah orang lain saat ini.
'Tolong lah, Shena. Kendalikan hati dan pikiranmu. Jangan sampai kamu mempermalukan Bapak dan Ibu nanti. Kamu harus bisa memantapkan hati untuk meninggalkan masa lalu kamu,' gumamku dalam hati.
Aku terus memarahi diri sendiri, sekadar untuk menenangkan perasaan gundah yang kurasakan beberapa hari belakangan.
Aku baru sadar bahkan sampai saat ini aku tidak ada menyimpan nomor ponsel mas Leon. Oh Tuhan pernikahan macam apa ini?
***
Keringat dingin telah mengucur deras membasahi kebaya hijau muda pengantinku. Kujejaki tangga mesjid yang indah nan mewah itu satu persatu.
Aku berjalan memasuki ruang masjid. Telah berkumpul semuanya di dalam masjid. Aku duduk dibagian para wanita.
Telah tersusun rapi sebuah meja dan beberapa bingkisan pernikahan di hadapanku. Sedangkan mas Leon, Bapak, Pak penghulu dan beberapa orang saksi duduk mengelilingi meja.
Bercengkrama ringan sembari mencairkan ketegangan mas Leon.
Kutatap dalam-dalam wajah mas Leon. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi. Andai laki-laki itu Randy, mungkin aku akan menjadi pengantin yang paling bahagia.
Andai Randy hadir di sini, andai Randy ...
ah sudahlah, tak ada gunanya memikirkan dia lagi.
Kenapa aku harus selalu mengharapkannya? Jelas yang saat ini duduk di hadapanku jauh lebih baik fisiknya di bandingkan Randy. Tapi aku tidak tahu bagaimana dengan sifatnya, mungkin kah lebih baik? Atau malah lebih buruk.
Entahlah, semoga saja dia laki-laki yang baik. Selama ini dia tidak banyak berbicara padaku. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selama ini selalu lembut dan menyejukan. Semoga sifatnya tidak akan berubah setelah ijab nanti.
Siap dan tidak siap, namun apa yang bisa aku lakukan. Tidak mungkin aku menghentikan ini semua, bisa malu Bapak dan Ibu. Tapi, bagaimana jika nanti dia menyakiti aku?
Terlalu banyak hal yang aku pikirkan, membuat hatiku gelisah sendiri.
Ingin rasa hati berteriak mengucapkan aku belum siap. Tapi untuk apa aku menyesali? Toh ini keputusanku, kan?
Sudahlah jalani saja semuanya, setelah ini semua akan baik-baik saja bukan?
Semoga, semua akan baik-baik saja. Semoga aku tidak salah memilih pasangan hidup. Kata orang memilih pasangan hidup itu bukan hal yang mudah. Akan menyesal jika pasangan kita bukan lelaki yang baik.
Aku bahkan tidak sempat melakukan istikharah, aku terlalu terburu-buru menerima lamarannya. Ya Allah, akan kah aku menyesali pernikahan ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Suci Aulia
kenapa ya noveltoon ku ga bisa pake wifi
2024-12-11
1
Erni Fitriana
buang yg lama sambut yg baru
2023-07-31
0
Maryani Sundawa
bismillah yakin Shena
2023-03-19
0