Takdir Cinta Nirmala
...Kisah tak sempurna di antara ribuan cerita. Bagai daun yang kering di tengah-tengah bunga indah. Tertiup angin, melayang tinggi. Mencari tempat pelabuhan terakhir untuk menggenapkan apa yang tersirat dan tersurat di Lauhul Mahfudz....
...(Senja Merona)...
...***...
Dua puluh tahun yang silam
Di atas tanah pemakaman yang masih basah, seorang pria meratap dan merintih. Dia mengantarkan sang istri tercinta, yang pergi selamanya menuju alam baka. Tangisnya pecah di tengah kesedihan dan juga rasa kehilangan. Namun, satu yang membuatnya terpuruk. Sang istri merenggang nyawa saat ia berusaha melahirkan putri keduanya.
Kebencian demi kebencian ia tanamkan di dalam hati. Kebencian pada anak tak berdosa, anak yang tak tahu bagaimana kejamnya dunia. Anak yang tidak pernah meminta untuk terlahir ke alam fana. Anak yang menginginkan kucuran kasih sayang dari sang ayah, tetapi yang ia dapatkan hanya siksaan dan perlakuan tidak adil.
"Sudahlah Arman... mau sampai kapan kamu seperti ini? Meski kamu meratap hingga menangis darah, Azizah tidak akan kembali!"
"Lagi pula kasihan anak-anakmu, sedari tadi menangis. Mereka haus membutuhkan susu. Apa kamu tega melihat mereka menderita?"
Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar, bagai buih tak berarti di telinga Arman. Dia tidak peduli tentang nasib anak-anaknya. Rasa sayang sebagai ayah musnah, turut terkubur ke dalam pusara sempit nan gelap.
Hujan kembali turun, membasahi jiwa lemah yang tidak bisa menerima suratan takdir. Mungkin ia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki guratannya masing-masing. Manusia hanya sebagai wayang, bukan dalang yang bisa mengatur segala sesuatu sesuka hati.
Arman meremas tanah lantas menengadah menatap langit. Membiarkan tetesan hujan membasahi wajah menyamarkan tangisan. "Kenapa Engkau menghukumku seperti ini Tuhan? Lebih baik aku mati saja dan menyusul Azizah ke liang lahat...."
Angin bertiup kencang, hujan semakin deras, petir menggelegar menumbangkan pohon di dekatnya. Namun, Arman tidak jua beranjak. Dia asyik memeluk pusara yang diam membisu.
"Arman... ayo bangunlah Arman!"
Pria yang tengah terpuruk, terlengar di atas tanah. Wajahnya pucat pasi, tubuh lemah kian membeku. Dingin bagai tak bernyawa.
...***...
"Minggir!" Nala menubruk bahu saudara kembarnya, lalu duduk di atas kursi makan. "Apa-apaan ini? Tahu lagi, kangkung lagi. Loe pikir gue kambing apa, tiap hari disuguhi daun-daun ijo?!" Nala menendang kaki-kaki meja, menimbulkan suara kegaduhan.
Arman menarik langkah lebar dari dalam kamar dengan raut wajah murka. "Ada apa lagi ini, pagi-pagi kalian sudah ribut?!"
Nala beringsut dan mendekati sang ayah. "Itu Pa si Mala ... masa masak tahu lagi, kangkung lagi. Bukannya Papa ngasih dia uang belanja ya? Nala yakin, dia nilep uang dari Papa tuh!"
Arman melotot, seraya berkacak pinggang dia melihat makanan yang tersaji. Tangan kekarnya menggebrag meja, Mala terhenyak dan tubuhnya bergetar.
"Mana duit?" Arman menggerak-gerakkan jemarinya ke arah Nirmala.
"Uang apa Pa?" tanya Nirmala tidak mengerti. Dahinya mengernyit. Namun, dia tidak berani untuk menatap wajah sang ayah.
"Duit yang gue kasih seminggu yang lalu, mana hah?" sentak Arman garang.
"U-uang itu sudah habis Pa... kan dipakai buat makan. Belum lagi kemarin Nala minta uang katanya mau beli buku," jawab Nirmala gemetaran.
"Eh ... kapan gue minta uang? Nggak ada ya... loe jangan seenaknya ngejadiin gue kambing hitam!" sergah Nala melimpahkan kesalahan pada saudara kembarnya. "Palingan duit itu loe pake sendiri." Nala tersenyum sinis. Dia yakin sebentar lagi sang ayah akan memberi Nirmala pelajaran. Dan benar saja, Arman sudah siap dengan ikat pinggang di tangan.
"Dasar anak tidak tahu diuntung! Anak tidak tahu diri! Anak pembawa sial! Ibu loe mati, gara-gara loe!" Arman mencambuk tubuh Nirmala menggunakan ikat pinggangnya. Gadis itu hanya bisa menangis dan meratapi nasib diri yang tidak seberuntung gadis lain.
"Mala berani sumpah demi Allah, Pa... Mala nggak menggunakan uang itu sedikit pun. Percaya sama Mala, Pa." Nirmala terisak, sembari menelungkup tubuhnya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa sang ayah selalu menyebutnya anak pembawa sial.
"Gue nggak mau tahu, loe mesti balikin duit gue! Terserah loe mau ngemis atau jadi tukang pungut sampah sekali pun!" Arman melempar ikat pinggang ke arah Nirmala, gadis itu terhenyak.
Sementara itu, Nala mulai merajuk pada Arman. "Papa... Nala minta duit dong Pa. Nala mau pergi kuliah. Masa anak Papa yang cantik ini madesu, nanti cowok-cowok pada nggak mau dekat-dekat aku." Nala gelayutan di lengan Arman, agar pria tua itu mau mengabulkan keinginannya.
Arman mengeluarkan dompet dari dalam saku celana dan menarik beberapa lembar uang seratus ribuan. "Nih ambil! Kalau habis, jangan malu untuk minta lagi sama Papa."
Nala mengecup pipi ayahnya. "Thankyou so much Papa... Nala pergi kuliah dulu ya. Tapi seperti biasa, Nala nongkrong dulu sama temen-temen di diskotik. Otak Nala mumet dipake mikir terus."
Arman mengusap-usap bahu putri sulungnya. "Pergilah! Tapi ingat, jangan pulang lewat jam satu malam. Di jalanan banyak preman."
"Siap Bos!" Nala memiringkan telapak tangan di atas kening, memberi hormat. "Nala berangkat dulu ya Pa... pacar Nala udah ngejemput," ungkap Nala tanpa malu.
Arman tersenyum senang dan mengantarkan putrinya itu ke depan rumah. Sedangkan Nirmala, dia menghela napas merutuki nasibnya yang menyedihkan.
"Jangan menangis Mala... kuatlah! Kamu masih punya Allah... ayo kuat gadis tangguh!"
Nirmala menguatkan dirinya sendiri lalu memilih untuk menyantap sarapan yang telah dia masak sejak tadi pagi.
"Bagus... enak-enakan loe ya di sini. Itu cucian masih numpuk di belakang!" bentak Arman.
"Semua pekerjaan rumah sudah selesai Pa... maaf Mala sarapan duluan karena harus mengantarkan pesanan gorengan ke ibu Ina" jawab Nirmala pada sang ayah.
Arman mengecek satu per satu pekerjaan rumah dan ternyata sang anak berkata apa adanya. "Oke... gue kali ini percaya sama loe. Tapi sekali lagi loe berani menipu gue. Rasakan nanti akibatnya!"
"Ampun Pa... Mala nggak akan berani berbohong sama Papa. Ma—"
"Udah, udah! Gue pusing denger loe ngomong! Mending loe cepet-cepet pergi, nyari duit yang banyak!" Arman menarik lengan Nirmala dan mendorongnya kasar.
"Iya Pa... Mala pamit." Gadis berjilbab ungu merundukkan punggung lalu menarik jemari Arman untuk dikecupnya. Arman mengibaskan tangan, tidak ingin putri keduanya itu menyentuhnya.
"Nggak usah loe cium-cium tangan gue. Alergi!" Arman melengos dan menarik tangan ke belakang pinggang. "Kenapa masih berdiri di sini?" bentak Arman lantaran Nirmala berdiri terpaku menatapnya.
"I-iya Pa... Mala pergi." Nirmala mengangkat wadah plastik berisikan gorengan dari atas meja. Gorengan yang dia buat tadi pagi sebagai pesanan seseorang.
...*****...
...Novel ketiga 🙈 Mumpung lagi Bulan Ramadhan, mencoba sesuatu yang baru. Semoga teman-teman suka🤗...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments
Heppi Meizar
awal baca saja sdh sangat terharu..saya suka...suka...dan suka..
2022-05-28
0
Watik Yd
ayah yg kejam
2022-05-23
1
pat_pat
Arman nama iparku kak😅
2022-05-13
1