NovelToon NovelToon

Takdir Cinta Nirmala

Luka

...Kisah tak sempurna di antara ribuan cerita. Bagai daun yang kering di tengah-tengah bunga indah. Tertiup angin, melayang tinggi. Mencari tempat pelabuhan terakhir untuk menggenapkan apa yang tersirat dan tersurat di Lauhul Mahfudz....

...(Senja Merona)...

...***...

Dua puluh tahun yang silam

Di atas tanah pemakaman yang masih basah, seorang pria meratap dan merintih. Dia mengantarkan sang istri tercinta, yang pergi selamanya menuju alam baka. Tangisnya pecah di tengah kesedihan dan juga rasa kehilangan. Namun, satu yang membuatnya terpuruk. Sang istri merenggang nyawa saat ia berusaha melahirkan putri keduanya.

Kebencian demi kebencian ia tanamkan di dalam hati. Kebencian pada anak tak berdosa, anak yang tak tahu bagaimana kejamnya dunia. Anak yang tidak pernah meminta untuk terlahir ke alam fana. Anak yang menginginkan kucuran kasih sayang dari sang ayah, tetapi yang ia dapatkan hanya siksaan dan perlakuan tidak adil.

"Sudahlah Arman... mau sampai kapan kamu seperti ini? Meski kamu meratap hingga menangis darah, Azizah tidak akan kembali!"

"Lagi pula kasihan anak-anakmu, sedari tadi menangis. Mereka haus membutuhkan susu. Apa kamu tega melihat mereka menderita?"

Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar, bagai buih tak berarti di telinga Arman. Dia tidak peduli tentang nasib anak-anaknya. Rasa sayang sebagai ayah musnah, turut terkubur ke dalam pusara sempit nan gelap.

Hujan kembali turun, membasahi jiwa lemah yang tidak bisa menerima suratan takdir. Mungkin ia lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki guratannya masing-masing. Manusia hanya sebagai wayang, bukan dalang yang bisa mengatur segala sesuatu sesuka hati.

Arman meremas tanah lantas menengadah menatap langit. Membiarkan tetesan hujan membasahi wajah menyamarkan tangisan. "Kenapa Engkau menghukumku seperti ini Tuhan? Lebih baik aku mati saja dan menyusul Azizah ke liang lahat...."

Angin bertiup kencang, hujan semakin deras, petir menggelegar menumbangkan pohon di dekatnya. Namun, Arman tidak jua beranjak. Dia asyik memeluk pusara yang diam membisu.

"Arman... ayo bangunlah Arman!"

Pria yang tengah terpuruk, terlengar di atas tanah. Wajahnya pucat pasi, tubuh lemah kian membeku. Dingin bagai tak bernyawa.

...***...

"Minggir!" Nala menubruk bahu saudara kembarnya, lalu duduk di atas kursi makan. "Apa-apaan ini? Tahu lagi, kangkung lagi. Loe pikir gue kambing apa, tiap hari disuguhi daun-daun ijo?!" Nala menendang kaki-kaki meja, menimbulkan suara kegaduhan.

Arman menarik langkah lebar dari dalam kamar dengan raut wajah murka. "Ada apa lagi ini, pagi-pagi kalian sudah ribut?!"

Nala beringsut dan mendekati sang ayah. "Itu Pa si Mala ... masa masak tahu lagi, kangkung lagi. Bukannya Papa ngasih dia uang belanja ya? Nala yakin, dia nilep uang dari Papa tuh!"

Arman melotot, seraya berkacak pinggang dia melihat makanan yang tersaji. Tangan kekarnya menggebrag meja, Mala terhenyak dan tubuhnya bergetar.

"Mana duit?" Arman menggerak-gerakkan jemarinya ke arah Nirmala.

"Uang apa Pa?" tanya Nirmala tidak mengerti. Dahinya mengernyit. Namun, dia tidak berani untuk menatap wajah sang ayah.

"Duit yang gue kasih seminggu yang lalu, mana hah?" sentak Arman garang.

"U-uang itu sudah habis Pa... kan dipakai buat makan. Belum lagi kemarin Nala minta uang katanya mau beli buku," jawab Nirmala gemetaran.

"Eh ... kapan gue minta uang? Nggak ada ya... loe jangan seenaknya ngejadiin gue kambing hitam!" sergah Nala melimpahkan kesalahan pada saudara kembarnya. "Palingan duit itu loe pake sendiri." Nala tersenyum sinis. Dia yakin sebentar lagi sang ayah akan memberi Nirmala pelajaran. Dan benar saja, Arman sudah siap dengan ikat pinggang di tangan.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Anak tidak tahu diri! Anak pembawa sial! Ibu loe mati, gara-gara loe!" Arman mencambuk tubuh Nirmala menggunakan ikat pinggangnya. Gadis itu hanya bisa menangis dan meratapi nasib diri yang tidak seberuntung gadis lain.

"Mala berani sumpah demi Allah, Pa... Mala nggak menggunakan uang itu sedikit pun. Percaya sama Mala, Pa." Nirmala terisak, sembari menelungkup tubuhnya sendiri. Dia tidak mengerti kenapa sang ayah selalu menyebutnya anak pembawa sial.

"Gue nggak mau tahu, loe mesti balikin duit gue! Terserah loe mau ngemis atau jadi tukang pungut sampah sekali pun!" Arman melempar ikat pinggang ke arah Nirmala, gadis itu terhenyak.

Sementara itu, Nala mulai merajuk pada Arman. "Papa... Nala minta duit dong Pa. Nala mau pergi kuliah. Masa anak Papa yang cantik ini madesu, nanti cowok-cowok pada nggak mau dekat-dekat aku." Nala gelayutan di lengan Arman, agar pria tua itu mau mengabulkan keinginannya.

Arman mengeluarkan dompet dari dalam saku celana dan menarik beberapa lembar uang seratus ribuan. "Nih ambil! Kalau habis, jangan malu untuk minta lagi sama Papa."

Nala mengecup pipi ayahnya. "Thankyou so much Papa... Nala pergi kuliah dulu ya. Tapi seperti biasa, Nala nongkrong dulu sama temen-temen di diskotik. Otak Nala mumet dipake mikir terus."

Arman mengusap-usap bahu putri sulungnya. "Pergilah! Tapi ingat, jangan pulang lewat jam satu malam. Di jalanan banyak preman."

"Siap Bos!" Nala memiringkan telapak tangan di atas kening, memberi hormat. "Nala berangkat dulu ya Pa... pacar Nala udah ngejemput," ungkap Nala tanpa malu.

Arman tersenyum senang dan mengantarkan putrinya itu ke depan rumah. Sedangkan Nirmala, dia menghela napas merutuki nasibnya yang menyedihkan.

"Jangan menangis Mala... kuatlah! Kamu masih punya Allah... ayo kuat gadis tangguh!"

Nirmala menguatkan dirinya sendiri lalu memilih untuk menyantap sarapan yang telah dia masak sejak tadi pagi.

"Bagus... enak-enakan loe ya di sini. Itu cucian masih numpuk di belakang!" bentak Arman.

"Semua pekerjaan rumah sudah selesai Pa... maaf Mala sarapan duluan karena harus mengantarkan pesanan gorengan ke ibu Ina" jawab Nirmala pada sang ayah.

Arman mengecek satu per satu pekerjaan rumah dan ternyata sang anak berkata apa adanya. "Oke... gue kali ini percaya sama loe. Tapi sekali lagi loe berani menipu gue. Rasakan nanti akibatnya!"

"Ampun Pa... Mala nggak akan berani berbohong sama Papa. Ma—"

"Udah, udah! Gue pusing denger loe ngomong! Mending loe cepet-cepet pergi, nyari duit yang banyak!" Arman menarik lengan Nirmala dan mendorongnya kasar.

"Iya Pa... Mala pamit." Gadis berjilbab ungu merundukkan punggung lalu menarik jemari Arman untuk dikecupnya. Arman mengibaskan tangan, tidak ingin putri keduanya itu menyentuhnya.

"Nggak usah loe cium-cium tangan gue. Alergi!" Arman melengos dan menarik tangan ke belakang pinggang. "Kenapa masih berdiri di sini?" bentak Arman lantaran Nirmala berdiri terpaku menatapnya.

"I-iya Pa... Mala pergi." Nirmala mengangkat wadah plastik berisikan gorengan dari atas meja. Gorengan yang dia buat tadi pagi sebagai pesanan seseorang.

...*****...

...Novel ketiga 🙈 Mumpung lagi Bulan Ramadhan, mencoba sesuatu yang baru. Semoga teman-teman suka🤗...

Yusuf

Di depan sebuah warung nasi, gadis berkerudung ungu memarkirkan kendaraan roda duanya. Senyuman manis menutupi mata sembab, dia berjalan penuh semangat.

"Assalamu'alaikum, bu Ina..." teriak Nirmala dengan mata mencari keberadaan pemilik warung nasi tersebut.

"Wa'alaikumsalam..." jawab seseorang. Namun, bukan orang yang gadis itu cari. "Eh ada masa depan gue, nyari emak ya?" tanya seorang pemuda kepada Nirmala.

"Iya Bang, Mala mencari emak. Ini Mala bawain gorengan pesenan emak." Nirmala mengangkat wadah plastik, memperlihatkan pada pemuda di hadapannya.

Pemuda yang mengenakan kaos putih, mengangguk-anggukkan kepala. "Sebentar ya, gue panggilin dulu nyonya bos!"

"Apaan Nyonya Bos-Nyonya Bos?" Bu Ina tiba-tiba keluar dari arah dapur lalu memilin telinga putranya.

"A-ampun Mak... sakit..." keluh pemuda itu. "Mak, lepasin atuh malu sama si Neng geulis."

Bu Ina terkekeh, "Makanya nggak usah goda-godain anak gadis Emak. Sana pergi kuliah! Biar hidup kamu nanti nggak susah macam Emak!"

"Tuh Bang, ayo nurut sama Emak. Pergi kuliah sana! Mala juga kepengen kuliah, tapi... uang buat biaya masuk kuliah masih kurang," lirih Nirmala.

"Kamu jadi anak harus pandai-pandai bersyukur. Lihat tuh Neng Nirmala ... pengen kuliah aja harus banting tulang, peras keringat. Kamu modal minta duit sama Emak aja, lagu-laguan malas kuliah!" cerocos ibu Ina pada putranya.

"Iya Mak, iya... Yusuf pergi kuliah. Biar bisa ngawinin Neng Mala," canda Yusuf membuat sang ibu geleng-geleng kepala.

Nirmala turut tertawa melihat tingkah ibu dan anak itu. Namun, batinnya tiba-tiba terasa hambar karena dia merindukan kasih sayang orang tua yang tidak pernah dia dapatkan.

"Neng, kenapa merengut?" tanya ibu Ina yang melihat riak perbedaan di wajah Nirmala. "Anak Emak nyinggung hati kamu ya?" tanyanya lagi.

Nirmala geleng-geleng kepala. "Enggak kok Mak, Nirmala cuman lagi kangen sama mama. Semenjak lahir, Nirmala kan nggak ngerasain kasih sayang mama...."

Ibu Ina mendekat, lantas memeluk tubuh gadis bekerudung ungu. "Anggap aja Emak ini mamamu. Emak sayang... sama Neng Nirmala. Kamu gadis baik juga salihah... Emak beruntung kenal sama Neng."

"Terima kasih ya Mak," balas Nirmala yang turut merengkuh ibu Ina.

"Ini siapa sih yang naruh bawang di mari?" kelakar Yusuf sembari menggosok-gosok matanya. Dia lekas-lekas keluar dari warung karena tidak ingin ketahuan menangis oleh siapa pun.

"Woy Yusuf... tumben nggak minta uang bensin sama Emak?" teriak ibu Ina karena anaknya pergi begitu saja. Yusuf hanya menoleh sekilas lantas melajukan sepeda motornya.

"Nangis dia tuh!" ungkap ibu Ina sembari membuka tutup wadah plastik. "Yusuf kelihatannya aja slengean, tapi sebetulnya dia anak yang baik. Hatinya gampang kesentuh. Buktinya barusan, mewek!" Ibu Ina memindahkan gorengan dari dalam wadah ke atas nampan yang berada di dalam gerobak nasi.

"Iya Mak... bang Yusuf emang baik kok," sahut Nirmala membantu mengeluarkan gorengan. "Mala seneng bertemu orang-orang baik seperti Emak juga bang Yusuf."

Ibu Ina menghentikan aktifitasnya lalu meletakkan tangan kanan di atas bahu Nirmala. Dia berbicara dengan nada serius. "Percayalah Nak... orang baik itu akan bertemu dengan orang baik juga."

"Insya Allah ya Mak..." sahut Nirmala mengusap-usap bahu wanita paruh baya di depannya. "Ayo kita lanjutin lagi Mak, gorengan masih banyak di dalam wadah." Nirmala mengambil capitan dan mengeluarkan makanan itu hingga tak bersisa.

"Totalnya berapa ini Neng?" tanya Ibu Ina sembari mengingat-ingat jumlah gorengan yang dia pesan.

"Seratus ribu aja Mak ... seperti biasa," jawab Nirmala sopan.

"Eh ... harga gorengan 'nggak naik emang? Kan minyak goreng lagi mahal-mahalnya, Neng!" Ibu Ina mengeluarkan uang tiga lembar lima puluh ribuan dari dalam dompet. "Ini Neng, ambilah...."

Nirmala mengernyit dan memperlihatkan uang yang diberikan oleh ibu Ina. "Ini kebanyakan Mak, gorengannya cuman seratus ribu aja."

"Nggak apa-apa, anggap aja itu bonus dari Mak." Ibu Ina menggenggam tangan Nirmala lalu menepuk lembut. "Emak lagi ada rezeki sedikit. Anggep aja buat uang jajan," tambahnya dengan raut bersahaja.

Mata Nirmala berkaca-kaca, baginya uang lima puluh ribu itu sangatlah besar. "Terima kasih ya Mak. Semoga rezeki Emak semakin lancar ... semakin berkah."

"Aamiin..." sahut ibu Ina dengan tangan menengadah lalu diusapkan ke atas wajah. "Habis ini mau ke mana Neng? Masih kerja di toko bunga milik uni Ara?"

"Masih Mak... lumayan uangnya buat nambah-nambah biaya kuliah. Udah gitu uni Ara orangnya baik banget, Nirmala betah kerja di sana."

"Ya udah sok sana, jangan bikin si uni nunggu lama," kata ibu Ina menepuk bahu Nirmala sekali.

"Iya Mak... tapi wadah plastiknya Mala titip dulu ya Mak. Nanti pulang dari toko, Mala ambil ke sini," sahut Nirmala menarik lengan ibu Ina. "Nirmala pergi dulu ya Mak." Gadis berparas syahdu mengecup punggung tangan wanita di depannya dengan penuh hormat.

Ibu Ina terharu dan mengusap-usap punggung anak gadis yang tengah membungkuk. "Iya Neng... Emak doain, suatu hari Neng Nirmala jadi anak yang sukses. Bisa sekolah yang tinggi...."

"Aamiin... makasih ya Mak doanya." Nirmala menjeda beberapa detik ucapannya. "Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikumsalam..." balas ibu Ina. "Hati-hati ya Neng, jangan kebut-kebutan!" teriak ibu Ina saat Nirmala mulai mengenakan helm-nya. Nirmala menganggukkan kepala lalu membawa diri ke tempat yang dituju selanjutnya.

...*** ...

Universitas Cahaya Bangsa

"Wuih... duit loe banyak terus ya?" tanya teman wanita pada Nala.

Nala mengipas-ngipaskan beberapa lembar uang seratus ribuan di depan wajah. "Iya dong, gue kan anak sultan. Tinggal nadahin telapak tangan, bokap langsung ngasih gue duit yang banyak."

"Bisa dong, 'ntar siang traktir kita-kita makan di kantin? Gue lagi pengen makan yang enak!" sahut salah satu teman Nala.

Nala menggeleng-gelengkan kepala. "Sorry gengs, duit ini buat clubbing tar malem. Kalian ikutan, kan?"

Kedua temannya saling beradu pandang lalu menganggukkan kepala. "Ikut dong! Kapan lagi kita diajak clubbing. Gratisan, kan?"

"Aman!" sahut Nala lalu memasukkan kembali uang yang dia pamerkan. Karena dosen mata kuliah seni rupa telah masuk ke dalam ruangan.

Sepanjang perkuliahan berlangsung, Nala tidak memperhatikan apa yang dipaparkan oleh sang dosen. Dia asyik sendiri mengikir kuku-kuku cantiknya tanpa peduli berpasang-pasang mata memperhatikan dirinya.

"Nala Susanto!" bentak sang dosen sembari memukul meja. "Kalau kamu tidak ingin mengikuti perkuliahan saya, silakan keluar dari kelas!" usir dosen tersebut geram.

Nala nampak tak acuh dengan gertakan dosennya. Dia menggantungkan tas slempang lalu beranjak dari atas kursi. "Terima kasih ya Prof. ini yang saya tunggu-tunggu dari tadi!"

Tanpa rasa malu dan bersalah sedikit pun Nala melewati sang dosen lalu keluar dari kelas. Dosen tersebut menggeram dan mengeratkan telapak tangan. "Awas saja kamu mahasiswa kurang ajar. Saya akan membalas sikap tidak hormatmu kali ini!"

...***** ...

...Novel masih baru, semoga teman-teman suka 🤗...

Bara Biantara

...Wahai hati, engkau bukan milikku tapi milik-Nya. Bukan kuasaku menjadikan rasa ini ada. Tak pernah aku pinta, tak sekali pun aku berharap. Duhai pemilik hati, cabutlah rasa ini. Biarkan ia hampa, hingga Engkau temukan ia dengan dermaganya....

...*****...

Pagi ini seperti pagi sebelumnya. Mentari bersinar cerah dengan arakan mega, bagai kapas putih di antara bentangan cakrawala. Panorama indah dari lukisan Tuhan Yang Maha Sempurna. Matahari, awan dan langit adalah satu kesatuan yang Allah hadirkan, sebagai perwujudan bahwa Dia ada dan berkuasa atas alam semesta.

Seorang gadis dengan senyuman mengembang, berdiri di antara bunga-bunga bermekaran. Senyumnya mampu menggetarkan dan memporak porandakan hati lelaki mana pun. Tidak terkecuali, pemuda yang menjadi pengagum rahasianya selama ini.

"Pagi cantik," sapa seorang laki-laki berjaket hitam. Ia melempar senyuman, gadis di depannya tertunduk malu.

"Mau mencari bunga apa, Mas?" tanya Nirmala memberanikan diri.

Pemuda itu berdecak sebal. "Jangan panggil aku Mas. Aku ini masih muda...."

"Lalu?" sahut Nirmala menarik alis ke atas.

"Panggil saja aku Bara..."balas laki-laki tersebut cingak-cinguk seakan mencari sesuatu.

Nirmala menepuk jidat. "Aku sampai lupa, mau membeli bunga apa, Mas? Ups, maksudku ... Bara. Apa bunga untuk seseorang?"

"Yups, aku ingin membeli bunga buat seseorang. Tapi aku bingung bunga apa yang cocok. Bisa kamu pilihkan?" tanya Bara kepada Nirmala.

Gadis berjilbab ungu nampak berpikir sesaat. "Kalau boleh tahu, apa dia pacar kamu? Terus gimana karakternya? Pendiam, sweet atau—"

"Dia pendiam, manis dan lemah lembut. Tapi dia bukan pacarku," sahut Bara melihat-lihat bunga segar di sekitarnya.

Nirmala manggut-manggut, lalu masuk ke dalam toko untuk beberapa saat. Kini dia kembali bersama sekuntum bunga di genggaman. "Bagaimana kalau mawar putih?"

Bara mengerutkan dahi kemudian menatap dalam manik mata cokelat muda. "Mawar putih, apa kamu suka?"

Sekarang giliran Nirmala yang mengernyitkan dahi. "Kalau aku yang ditanya, ya... suka. Mawar putih emang bunga kesukaanku."

"Baiklah, aku ambil mawar putih. Berapa harganya?" Bara mengeluarkan dompet lalu menunggu jawaban Nirmala.

"Mawar itu lima belas ribu aja," jawab Nirmala.

Bara mengeluarkan satu lembar uang sepuluh ribu dengan lima ribu lalu menyerahkan kepada Nirmala. "Ini uangnya... ambil aja kembaliannya."

Nirmala membolak-balikkan dua lembar uang yang diberikan oleh Bara. "Ini kan, uang pas. Mana ada kembaliannya?"

Bara tergelak yang menampilkan lesung pipi. Dia merasa senang karena telah membuat gadis di depannya melongo dengan raut polos. "Ini buat kamu. Ambilah...."

Nirmala menatap ke arah Bara lalu ke arah bunga yang disodorkan kepadanya. "Maksud ambilah?"

Bara menarik tangan Nirmala lanjut memberikan bunga tersebut. "Ini untuk kamu, untuk pertemuan pertama kita. Mungkin nanti akan ada pertemuan kedua, ketiga, keempat dan selanjutnya."

Setelah memberikan mawar putih kepada sang gadis pujaan, Bara pergi begitu saja tanpa sepatah atau duapatah kata pun. Meninggalkan gadis yang belum pernah merasakan jatuh cinta dengan perasaan campur aduk dan detak jantung tak beraturan.

"Ya Ampun...!" Nirmala menekan dada, merasai debaran yang baru pertama kali dia alami. "Ada-ada aja ya cowok zaman sekarang." Nirmala tersenyum sendiri lantas menghirup aroma khas bunga mawar.

"Ehm... awas 'ntar kesambet loh senyam-senyum sendiri." Uni Ara tiba-tiba muncul dari balik punggung mengejutkan Nirmala. Membuat gadis itu jadi salah tingkah.

"Eh Uni... ngagetin aja," sahut Nirmala kikuk. "Mala ke belakang dulu ya Uni ... mau ngerapihin pupuk ke dalam rak." Secepat kilat gadis itu menghilang dari hadapan Ara. Ingin segera menyembunyikan wajah yang kian memerah.

"Hati-hati jangan sambil ngekhayal, 'ntar setan lewat ... kesurupan dah tuh, mana masih muda!" teriak Ara menggoda Nirmala. Dia cekikikan sembari menggeleng-gelengkan kepala. Namun, pikirannya diliputi penasaran kepada pemuda yang memberikan pegawainya mawar putih. Karena dia hampir setiap hari melihat laki-laki itu berdiam diri di seberang toko.

Nirmala pura-pura tidak mendengar teriakan Ara, dia terus berjalan lurus tanpa menyahut celotehan Ara. Dipikirannya saat ini ingin sesegera mungkin menyembunyikan muka sembari meredakan degup jantung yang bertalu-talu.

...***...

Hingar bingar malam, di antara dentuman musik yang memekikkan telinga dan suara teriakan yang mengisyaratkan sebuah kebebasan. Raga-raga yang tidak tahu akan arah tujuan hidup, tengah menikmati dunia fana dengan cara yang berbeda. Bersenang-senang dalam tegukan alkohol yang amat memabukkan.

"Girl, ada om-om ngeliatin loe tuh!" teriak Mona sahabat Nala.

Gadis dengan panjang rambut sebahu menggulirkan kepala melihat ke titik yang ditunjukkan oleh Mona. Nampak olehnya kini seorang pria paruh baya melambaikan tangan sembari mengerdipkan mata ke arahnya.

"Wuih... ini sih bukan sembarangan om-om, Mon!" imbuh Nala. "Gile... udah tua tapi muka sama body-nya ... yahut bener...!" lontar Nala menatap nakal pria tersebut seraya membentuk bibir sesensual mungkin.

Mona mendorong punggung sahabatnya. "Ayo Nal, sikat!! Porotin duitnya!"

Nala menoleh ke arah Mona. "Tenang aja, bukan Nala Susanto namanya kalau 'nggak bisa morotin duit om itu. Apa sih yang 'nggak bisa aku lakuin?"

Nala dengan penuh percaya diri berjalan mendekati pria yang hampir seumuran dengan ayahnya dan tanpa rasa malu sedikit pun dia duduk begitu saja di atas pangkuan. "Hai Om... kenalin nama aku Nala...."

Pria tersebut menarik bibir ke salah satu sudut. "Cantik-cantik, nakal!"

Gadis bersurai hitam terkekeh lantas melingkarkan lengan ke atas leher. "Kalau cewek baik-baik mana mungkin nongkrong di diskotik, Om. Adanya di mesjid, ngaji!"

Pria yang mengenakan setelan jas hitam mencolek dagu Nala. "Kamu bisa aja cantik. Om jadi gemas nih. Ngamar yuk!"

Nala turun dari atas pangkuan lalu duduk di samping laki-laki tersebut. "Maaf Om, Nala masih segel. Bukan cewek bookingan juga. Khusus buat nemenin minum atau sekedar jalan-jalan."

"Cih! Dasar jual mahal!" cibir pria tersebut sembari meremass dada Nala. "Ntar juga kamu pasti ketagihan kalau udah ngerasain sekali," ucapnya kesal.

Nala merebahkan kepala di atas bahu sembari gelayutan manja. "Jangan marah dong Om... Nala masih polos. Selama ini om-om lain bayar aku cuman buat ditemenin minum sama main golf!"

Lelaki buaya darat itu menghela napas. "Baiklah... kalau gitu temani aku minum sampai pagi. Aku bayar kamu satu juta, deal?"

"Deal, Om!" Nala menyambut riang jabatan tangan pria itu. "Eh iya, Om kan belum ngasih tau aku nama Om siapa," cicit Nala yang mengelus-elus dada lelaki tersebut.

Pria beristri itu merogoh saku celana dan mengeluarkan sekeping kartu nama. "Ini kartu nama Om. Simpan baik-baik, siapa tau suatu saat berubah pikiran."

Nala mengeja nama yang tercantum di atas kartu nama tersebut. "Sak-ti Hen-dra-wan. Direktur PT Semesta Batubara."

"Wow... Om pasti konglomerat!" pekik Nala senang. Matanya bersinar karena di dalam otaknya saat ini hanya uang dan uang.

Sakti tersenyum miring. "Simpan ya... kalau butuh apa-apa hubungi aja nomor Om yang tertera di situ."

Nala mengangguk. "Pasti Om, aku pasti akan menyimpan kartu ini dengan baik. Om mau minum lagi?"

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!