Lebih dari seabad yang lalu, Klan Vyro dari Kaum Elemental mulai menajamkan taringnya. Mereka mengembangkan sebuah proyek gila yang sangat berbahaya. Dengan proyek itu, mereka dapat meluluhlantakkan klan-klan lain di sekitarnya.
Pada saat itu, sebagian besar Klan Zarah dari Kaum Aklali juga masih tinggal di permukaan bumi. Mereka sedang memulai pengembangan teknologi mutakhir yang memungkinkan dirinya untuk menjelajahi langit, tidak hanya dengan satu tim kecil, tapi dengan seluruh Klan Zarah di dalamnya.
Kondisi geopolitik yang sangat panas karena ulah Klan Vyro saat itu membuat Klan Zarah di bawah kepemimpinan Kekaisaran Altair mempercepat penelitian mereka. Sembari menunggu, Kekaisaran Altair aktif di kancah internasional untuk mencegah konflik yang lebih berbahaya.
Sayang, sungguh disayang. Klan Vyro benar-benar serakah. Mereka mulai menginvasi negeri-negeri di sekitarnya demi mewujudkan dominasi mereka. Aliansi besar yang terdiri dari Kaum Elemental pun didirikan untuk melawan mereka.
Meskipun Kekaisaran Altair tidak tergabung secara langsung dengan aliansi itu, mereka cukup erat menjalin komunikasi dengan para pemimpinnya. Hal itu membuat Klan Vyro awas dan mengecam tindakan Klan Zarah. Mereka takut kekaisaran sebesar Altair akan bergabung ke dalam aliansi yang tidak sekaum dengannya. Hal itu akan sangat mengancam eksistensi Klan Vyro.
Karena ketakutan itu, Klan Vyro melakukan langkah yanng ceroboh. Mereka meluncurkan puluhan hulu ledak nuklir untuk menghancurkan seluruh benua tempat tinggal Klan Zarah sekaligus. Ada yang bilang bahkan sampai ratusan hulu ledak nuklir diluncurkan. Karena peristiwa itu, klan-klan dari Kaum Aklali pun merasa terancam dan ikut terseret ke dalam perang dunia. Mereka tidak terima dengan tindakan semena-mena dari klan dari Kaum Elemental itu.
"Begitulah awal mula terjadinya perang dunia terakhir antar klan," Profesor Surya menepuk tangannya sekali. Tepukannya terdengar sangat keras sampai membuat murid yang terkantuk-kantuk tersentak. "Semuanya berawal dari hancurnya benua tempat klan kita tinggal."
"Apa karena itu kita hidup di dirgantara sekarang?" seorang siswi mengangkat tangannya, "Bagaimana para leluhur menghindari puluhan hulu ledak nuklir yang menghancurkan benua kala itu?"
"Aku baru akan menjelaskannya. Buka halaman 457," kata profesor ahli sejarah itu sambil menggeser halaman di gawai tipisnya. Layar pada papan tulis digital di depan kelas pun berganti, "Kalian akan melihat bagaimana kita bisa selamat di halaman itu."
Kaisar Altair yang berkuasa saat itu memprediksi bahwa perang yang mungkin terjadi akan sangat berbahaya dan berpotensi meruntuhkan teknologi yang telah susah payah mereka kembangkan. Ia memutuskan untuk tidak terlibat perang. Mereka pun membuat skema "Menghilang dari Muka Bumi" dengan berbagai pertimbangan. Saat Klan Vyro meluncurkan puluhan hulu ledak nuklirnya ke Benua Altair, kekaisaran langsung mengaktifkan tabir benua guna menahan ledakannya untuk sementara.
Dalam waktu singkat yang tersisa, semua lempeng dan pasak bumi artifisial dilepas. Ini adalah langkah pertama untuk menerbangkan seluruh Klan Zarah ke langit. Para pemimpin Klan Zarah pun mengaktifkan peluncuran mereka ke langit bersamaan.
Lompatan besar terjadi pada benua. Dalam sekejap, seluruh permukaan Benua Altair menghilang dari bumi, menyisakan lapisan di bawah lempeng artifisial. Saat itulah tabir benua hancur. Nuklir-nuklir yang diluncurkan oleh Klan Vyro berjatuhan ke tanah yang tersisa. Akibatnya, tampak seolah Benua Altair telah lenyap total.
Kehancuran itu sangat menggemparkan dunia. Klan Vyro sendiri juga tidak menyangka bahwa senjatanya akan semengerikan itu. Namun, peristiwa itu membuat Klan Vyro semakin digdaya.
"Itulah yang orang-orang permukaan ketahui," Profesor Surya mengetukkan penanya di meja. Sekejap kemudian, meja anak-anak di kelas berdenting. Anak-anak yang tidur pun kembali terbangun. "Klan Zarah sudah musnah. Zarahian telah punah. Mereka sudah tidak ada lagi. Belakangan ini, generasi baru mereka bahkan tidak percaya dengan eksistensi Klan Zarah yang familiar dengan kekuatan partikelnya. Mereka menganggap kita seperti Klan Peri dari Kaum Elemental yang umumnya dianggap fiksi."
"Kenapa begitu?" kali ini, seorang bocah berkaca mata yang bertanya, "Apa sejarah kita dihapuskan oleh sebagian oknum mereka?"
"Bukan," Profesor Surya menggeleng, "Kita sendirilah yang menghapus sejarah itu dari mereka. Keluarga kekasiaran yang tinggal di bumi mengemban tugas untuk menjalankan penghapusan itu."
"Buat apa kita menutupi sejarah dari mereka?" tanya anak rajin yang duduk di meja paling depan, "Bukannya kita harus menjalin hubungan dengan mereka?"
"Simpel saja," Profesor Surya menggeser papan tulis digital di depan kelas. Halaman baru yang bersih dari coret-coretan pun muncul. Di halaman yang baru itu, Profesor Surya menulis besar-besar dua buah kata.
"Pertumpahan Darah."
"Dengan eksplorasi kita yang maju, Klan Zarah tidak perlu terlalu bergantung pada klan-klan lain," Profesor Surya melingkari kata-kata yang ditulisnya dengan lingkaran besar. Ia tak perlu menjabarkan maksud dari tulisannya. Murid-murid akademi yang cerdas pasti bisa mengerti dengan mudah, "Namun, kita juga tetap menjalin kerja sama dengan sebagian dari mereka melalui mekanisme yang rumit. Kalian akan mempelajarinya di Kelas Hubungan Internasional nantinya. Itu kalau kalian mengambilnya."
"Profesor, kalau alasannya berhubungan dengan pertumpahan darah," seorang murid bermata malas ingin mengkritik, "Bukankah berarti kita adalah klan yanng pengecut? Apa militer kita sangat lemah sampai harus bersembunyi demi kedamaian?"
"Tidak, kita sama sekali tidak lemah," Profesor Surya menatap si mata malas itu dengan tatapan yang dingin, "Bisa dibilang, kita adalah salah satu klan terkuat sejak dulu. Hanya saja, kita tidak perlu berambisi untuk menguasai klan lain, 'kan? Kalau kita bisa hidup dengan damai, buat apa kita berkonflik dengan mereka?"
Diskusi di kelas terus bergulir. Profesor Surya telah sukses memancing murid-muridnya untuk aktif bertanya. Ia dicecar dengan banyak pertanyaan kritis dari anak-anak di kelas ini sampai waktu pelajaran pun berlalu tanpa terasa.
"Baiklah," Profesor Surya bertepuk tangan sekali, "Kelas kita hampir usai. Cukup dulu untuk diskusi hari ini. Silakan cek laman pesan kalian. Aku sudah mengirimkan tugas di sana."
Sebagian murid langsung mengecek gawainya. Benar saja. Sebuah tugas baru telah diberikan kepada mereka. Saat file tugas itu dibuka, mata mereka langsung terbelalak. "Profesor, ini ...."
"Jika Kalian tidak menyelesaikannya tepat waktu, Kalian tidak akan boleh masuk ke kelasku Minggu depan," sela Profesor Surya yang kemudian melirik salah seorang murid yang mengulang kelas, "Kalian pasti tahu risikonya, bukan?"
"Tapi, Profe ...," sebelum seorang murid selesai mengajukan negosiasi, Profesor Surya kembali memotongnya, "Saya tidak menerima penolakan. Jika Kalian ingin mengulang kelas, lakukan sesuka Kalian. Oh, apa mungkin Kamu ingin meminta tugas tambahan?"
Pertanyaan terakhir sang profesor disambut hening oleh para murid yang kompak menggeleng. Tak ada orang yang terlampau rajin untuk membuat resensi seluruh bab hari ini ditambah dengan analisis akademisnya. Membaca buku sejarah yang tebal itu saja sudah membuat mereka kewalahan. Apalagi menyalin setiap babnya.
Penyalinan bab mungkin bisa dimanipulasi dengan berbagai trik, tapi analisis akademis butuh buah pikir sendiri untuk melakukannya. Profesor Surya sangat teliti. Ia tidak sungkan membaca seluruh tugas muridnya yang ia minta. Nol besar akan muncul di laman anak-anak yang ketahuan saling menyalin jawaban.
Arjuna menghela napas lega saat Profesor Surya keluar dari ruang kelas. Rasanya seperti ada sebuah tekanan yang diangkat. Rasa kantuknya pun hilang seketika.
Itu benar-benar aneh. Pemuda bercelak itu mulai mengantuk saat profesor datang dan memberi salam. Apa lagi saat di tengah pelajaran. Cara Profesor Surya menyampaikan sejarah sudah seperti dongeng pengantar tidur saking uniknya. Saat tersadar dari kantuk itu, pelajaran telah selesai dan setumpuk tugas pun diberikan bagai gunung yang mencuat ke permukaan tiba-tiba.
"Kamu terlalu hiperbolis, Jun. Jangan banyak dipikir beban," ucap Ats sambil merapikan alat belajarnya. Pelajaran hari ini telah berakhir. Ia ingin segera kembali ke asrama dan mengetes kemampuan Arselan.
"Bukannya dipikir beban, tapi kan memang beban," keluh Arjuna bersikukuh, "Kamu mah enak. Sudah terbiasa nulis dari dulu. "
"Yah, itu kan investasi 'kecil' buat masa depan. Nggak masalah dong. Makanya aku mau masuk Kelas Penelitian Ilmiah," balas Ats. Di Akademi Altair, ada berbagai macam kelas tambahan yang konsisten dijalankan oleh para guru berkompeten. Para murid dapat memasuki kelas apa saja selama dapat mengatur waktu dengan baik.
"Kelas Penelitian Ilmiah, ya?" Arjuna jadi memikirkan kelas-kelas tambahan itu. Seingatnya, ia belum memilih satu pun kelas tambahan, "Aku mau ambil Kelas Menembak deh. Kayaknya bakal seru."
"Nggak sekalian Kelas Reserse," canda Ats, "Kamu suka main jadi detektif kan dulu. Barangkali kamu bisa beneran jadi detektif kalau masuk ke sana."
"Hm, boleh juga, tapi ...," Arjuna mengangguk. Ia membuka gawai di mejanya. Terdapat profil mengenai kelas-kelas tambahan di sana. Matanya yang bercelak menilik dengan jeli ke kelas yang dimaksud. "Agak sulit sih masuknya. Dari sekian banyak pendaftar, nggak lebih dari sepuluh persen yang lulus tes awal."
"Dicoba aja dulu," Ats menyemangati, "Barangkali keterima."
"Iya sih," Arjuna kembali mengangguk.
***
"Itu anak yang Kamu bilang?" tanya seorang pria berkumis panjang yang duduk di sebelah Profesor Han. Ini menatap foto Ats yang terdapat pada layar gawainya dan mengangguk takzim.
"Benar, aku tidak menyangka dia bisa menanggung beban sistem di kepalanya," Profesor Han menenggak secangkir kopi panas. Asap tipis masih mengepul dari minumannya. Ia pun hanya bisa menyeruput sedikit lalu meletakkannya lagi. "Aku akan sangat terbantu kalau Kamu mau ikut membimbingnya, Magister Snoug."
"Tentu saja, dia sungguh anak yang manarik," Magister Snoug memilin-milin kumis panjangnya, "Driver berlatar belakang militer saja tidak bisa menanggungnya. Ini kesempatan langka. Aku tidak akan melewatkan kesempatan ini."
"Aku sangat berterima kasih," Profesor Han menyungging senyum yang teduh. Ia harus fokus menyesuaikan sistem Arselan dan menyempurnakannya. Lagi pula, masih ada proyek lain yang sedang dipegangnya.
"Profesor Han tenang saja," Magister Snoug menepuk pundak sahabatnya, "Aku akan membimbingnya dengan sepenuh hati."
Magister Snoug pun pamit undur diri. Ia tersenyum senang begitu keluar dari kediaman Profesor Han. Bersamaan dengan kepergiannya, datang seorang pemuda bermata merah yang menatap dirinya dengan dingin. Melihat itu, Magister Snoug hanya membalasnya dengan seulas senyum ramah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments