Pria jangkun itu duduk di kursi hitamnya dengan satu kaki di atas kaki yang lain. Ia menatap tajam ke dua bocah yang sejak kemarin menghilang entah ke mana. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Giginya bergemeretak pelan. Kepalanya berpangku sebelah tangan yang mengepal.
"Jadi, ke mana saja kalian sejak kemarin?" tanya pria itu dingin. Dari suaranya yang serak-serak basah, samar-samar merambat aura intimidasi. Suara itu membuat kedua bocah di hadapannya diam tertegun–yah, dari awal mereka sudah terdiam sih, bahkan sudah lebih dari setengah jam demi menunggu pria itu.
"Jawab!" bentaknya galak.
"Ka ...," Ats hendak menjawab, tapi Fang tiba-tiba menyikutnya agar tidak menghiraukan bentakan barusan. Wakil ketua OSIS itu tertunduk dalam, tapi seakan tak terpengaruh sedikit pun oleh bentakan pria dari Dewan Pengasuhan yang menyidang mereka ini. Mungkin saja dia memang sudah terbiasa disidang seperti ini.
"Oi! Dari mana saja kalian sejak kemarin?" tanya pria itu sekali lagi. Kali ini dengan suara yanng lebih lirih, tapi terdengar tajam. Lagi-lagi tidak ada jawaban dari kedua tersangka di hadapannya. Ia pun berdecak kesal. Ditatapnya Ats yang terlihat lebih tegang.
"Namamu Ats, kan?" pria itu mengganti pertanyaannya. Ats pun langsung menoleh karena namanya disebut. Ia mengangguk pelan dengan ragu-ragu.
"Aku akan menanyaimu nanti. Ingat itu," katanya dengan dingin. Perkataan itu jelas membuat Ats kebingungan sekaligus makin tegang. "Keluarlah! Aku ada urusan dengan bocah Fang ini dulu."
Tanpa membuang waktu lagi, Ats langsung mengangguk dan keluar ruangan. Ia menghembuskan napasnya lega–yah, untuk saat ini. Sungguh, ia tak pernah menyangka bahwa dirinya akan mendapat masalah seperti ini di awal tahun ajaran baru.
"Ats, sarapanmu sudah kutaruh di atas kasur," kata seorang pemuda yang matanya bercelak hitam hingga tteerlihat tajam. Ia sudah berpakaian rapi. Tas hitam gemuk tergantung di punggungnya.
"Terima kasih, Jun," balas Ats dengan anggukan kecil. Sebelum masuk ke Kantor Pengasuhan tadi, ia sudah meminta sohib karibnya yang bernama Arjunu Harwening itu untuk mengambilkan sarapan. Ia akan kehabisan lauk kalau tidak menitip ke temannya karena penyajiaan makan di akademi ini bersifat prasmanan. Kadang ada anak-anak rakus yang mengambil lebih dari jatahnya–huh! Mereka sungguh keterlaluan.
"Kok lama banget di dalam," Arjuna menatap Ats yang terlihat lesu, "Emangnya dihukum apa tadi?"
"Berdiri," jawab Ats singkat. Yah, ia hanya berdiri di Kantor Dewan Pengasuhan selama hampir satu jam hanya untuk menunggu gurunya yang kaku itu. Padahal, ia dipaksa untuk segera kembali ke kompleks asrama sebelumnya.
"Oh," kata Arjuna sedikit bersimpati. Untung saja ia menolak untuk ikut dengan Fang kemarin karena suatu kesibukan. Ternnyata ada hikmahnya juga ia terjebak di perpustakaan. "Ya udah, aku duluan, ya."
"Yo," Ats mengangguk kecil. Ia pun bergegas kembali ke asramanya. Tanpa membuang waktu sedikit pun, dipersiapkannya semua peralatan sekolah secepat mungkin. Tak lupa pula ia memasukkan kotak sarapannya ke dalam tas. Alarm akan segera berbunyi sebentar lagi.
"Mungkinkah bisa?" Ats memikirkan sesuatu, "Arselan, tunjukkan jalan tercepat sampai ke kelas 1-A."
"Baik, Tuan.
Pemindaian area ...
Menampilkan jalur ...."
Sekejap kemudain, muncul denah tiga dimensi di mata Ats. Denah itu bisa diatur sedemikian rupa hingga menyisakan penunjuk arah saja. Sanat mudah untuk mengikutinya. Ats akan sampai dengan cepat ke kelas dengan begini.
"Hebat! Akademi yang seluas ini dapat dipindai dalam sekejap," seru Ats kagum, "Berapa jauh jangkauan pemindaian lokasinya?"
"Anda dapat memindai peta tiga dimensi daerah sekitar dalam radius maksimal tiga mil, Tuan. Apa Anda ingin melakukannya?"
Jawaban itu terdengar di kepala Ats. Ia pun tersenyum, lalu berkata, "Aku akan mencobanya nanti. Hm, rupanya ada opsi lainnya. Wah! Bahkan sampai 35 mil!? Apa ini? Radar? Aku benar-benar harus mencobanya nanti. Bergegas ke kelas dulu sekarang"
***
"Jadi, kamu menemukan seseorang yang cocok untuk melanjutkan program sistem?" tanya seseorang di balik layar. Profesor Han pun mengangguk tanpa ragu, "Yah, dia tidak terkena efek samping yang signifikan dari sistem. Tubuhnya pun baik-baik saja. Aku juga sudah mengecek gelombang otaknya. Tidak ada masalah sama sekali. Jujur saja, aku sangat kaget saat pertama kali melihatnya."
"Han, sistem itu berbahaya, apalagi untuk anak muda seperti murid-murid di Akademi Altair. Bagaimana kalau ternyata efek samping itu terjadi belakangan?" orang di balik layar gawai Profesor Han terlihat ragu, "Kamu bilang dia seorang anak dari Keluarga Asir? Aku tidak mau menyinggung Keluarga Asir lagi setelah apa yang terjadi terakhir kali, Han."
"Karena itu, aku akan mengawasinya dengan ketat," Profesor Han meyakinkan, "Jika terjadi masalah pada kesehatannya, aku akan langsung menutup total proyek sistem versi kedua ini. Mau tidak mau, kita harus lebih menyederhanakannya lagi dan lagi."
"Hah ... daripada mengurusi penelitianmu yang belum jelas itu, lebih baik kamu fokus untuk segera membina rumah tangga," orang di balik layar terlihat kasihan pada Profesor Han, "Di generasi kita, hanya tinggal kamu yang masih membujang, padahal kamu hampir kepala empat. Cepatlah menikah. Aku juga kerepotan karena kamu tak kunjung berkeluarga. Para tetua itu sangat merepotkan."
"Ehem! Aku akan memikirkannya nanti," Profesor Han langsung mengalihkan topik, "Yang terpenting, aku butuh izin khusus untuk melanjutkan program ini. Ayolah, aku yakin bahwa kali ini akan berhasil."
"Hais ... aku tahu kamu cerdas dan haus pengetahuan," orang di balik layar menghela napas berat, lalu kembali menyinggung topik sebelumnya, "Tapi, rasa hausmu itu telah membuat kamu lupa dengan setengah kehidupan."
"Ck! Sudah kubilang, aku akan memikirkannya nanti," Profesor Han mulai kesal. Ia pun menuntut untuk segera diberi izin yang sangat ia perlukan.
"Masukkan dia ke kelas khusus dulu," orang di balik layar memberi syarat, "Dengan begitu, kita bisa lebih mudah berkompromi dengannya nanti."
"Kamu yakin?" Profesor Han mengerutkan keningnya, "Apa kamu berniat mendidiknya untuk menjadi seorang agen?"
"Bukan," orang di balik layar menggeleng, "Jika penelitianmu berhasil, maka rencana kita akan bisa direalisasikan kembali. Dengan begitu, Armada Perang Rahasia akan berhasil dibangun."
"Yah, Klan Zarah akan bertambah kuat dengan itu," Profesor Han menambahan. Mereka sudah mulai sepakat, "Baiklah, aku akan memasukkannya ke kelas khusus sekalian membimbingnya langsung di sana."
"Berhati-hatilah!" orang di balik layar memperingatkan dengan dingin, "Kuingatkan sekali lagi, jangan sampai bocah dari Keluarga Asir itu celaka karena kecerobohanmu."
"Aku pasti berhati-hati," Profesor Han menekankan. Ia pun pamit undur diri. Izin yang diperlukannya telah didapat. Layar di hadapannya pun mati seketika.
"Hais ... kakak terlalu kaku seperti biasa," keluh sang profesor. Ia langsung menyandarkan tubuhnya ke bantalan kursi yang empuk. Tangan dan kakinya direnggangkan setelah lumayan lama tak bergerak.
"Baiklah, bagaimana aku akan mengaturnya untuk masuk ke kelas khusus?" saat Profesor Han memikirkan hal itu, seorang kawannya dari Dewan Pengasuhan menelepon. Ia pun tersenyum. "Aku mendapatkannya."
***
"Ats?" Arjuna menatap Ats yang sedang terduduk di teras sekolah. Kawannya itu hampir saja terlambat. Ia tak akan bisa masuk ke komplek sekolah jika tabir transparan sudah diaktifkan. "Kok kamu lewat sana?"
"Hah ... hah ... itu—jalan tercepat," jawab Ats dengan napasnya yang masih ngos-ngosan. Mau bagaimana lagi? Meskipun sudah lewat jalan tercepat, ia harus tetap berlari untuk sampai tepat waktu.
"Berdirilah! Jangan membuat orang malu dengan duduk di teras seperti itu," Arjuna mengulurkan tangannya dan menarik Ats untuk berdiri. Ia pun meminta penjelasan mengenai hilangnya pemuda itu kemarin.
"Yah, begitulah," Ats selesai memceritakannya tepat sebelum kelas dimulai. Tentu saja ia tak menceritakan tentang Arselan. Ia tahu hal itu harus dirahasiakan. Untuk saat ini, ia harus menungguku instruksi selanjutnya dari Profesor Han.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments