The Riot
Saat ini para anggota tim kepolisian sedang
mengadakan rapat. Mereka sudah membahas hal ini sejak beberapa hari yang lalu padahal.
Tapi, kasusnya belum sempat diusut secara tuntas. Termasuk sulit untuk
menemukan jejak pelakunya. Bahkan orang seperti Agatha saja ingin menyerah
rasanya. Tapi, ia tidak bisa melakukan hal itu meski mau. Tak ada yang bisa
menggantikan posisinya saat ini. Agatha adalah seorang penyidik terbaik yang
diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini sekarang.
“Jadi, sejauh
ini sudah ada berapa korbannya?” tanya Agatha sambil membenarkan posisi
duduknya.
“Tercatat ada
empat orang. Tiga pria dan satu wanita,” jelas Robi yang merupakan rekan
kerjanya.
“Aku juga
sudah menyertakan biodata mereka di dalam laporan itu,” lanjutnya.
Agatha mengangguk paham. Tangannya kemudian bergegas
membalik kertas laporan tersebut. Kedua matanya melesat pada halaman berikutnya
yang memuat biodata singkat para korban. Kebanyakan dari mereka berusia sekitar
dua puluh lima sampai dua tiga puluh tahun. Tidak lebih dari itu.
Gadis itu membaca laporannya dengan seksama. Ia
tidak akan melewatkan setiap hal kecil. Siapa tahu justru itu adalah sebuah
petunjuk baginya. Sebagai seorang penyidik kepolisian, ia dituntut untuk
bekerja dengan teliti.
Kasus yang tengah diselidiki oleh Agatha dan
rekan-rekan satu timnya belakangan ini adalah kasus pembunuhan berantai. Sebenarnya
laporan ini sudah masuk sejak dua bulan yang lalu. Awalnya mereka menganggap
jika itu adalah kasus pembunuhan biasa. Karena korban yang terlibat hanya satu
orang. Ternyata tidak berhenti di situ saja. sampai sekarang masih berlanjut,
hingga memakan korban sebanyak empat orang.
Sang pembunuh tidak meninggalkan jejak apa pun di
tempat kejadian. Dia bekerja dengan sangat rapih. Sepertinya sudah cukup
professional. Dia tahu betul bagaimana cara untuk mengamankan dirinya sendiri
dari kejaran polisi. Sungguh cerdik pembunuh yang satu ini.
Awalnya mereka tidak mengira jika masalahnya akan
semakin melebar seperti ini. Agatha sendiri juga terkejut mendengar kasus
pembunuhan berantai. Sejauh ini belum diketahui apa motif pelaku melakukan
pekerjaan tersebut. Tapi, ada satu hal yang membuat mereka yakin jika
pembunuhnya adalah orang yang sama dengan yang sebelumnya. Setiap kali selesai
melakukan aksi kejinya itu, dia selalu meninggalkan sebuah tanda pengenal
berupa coretan spidol di tangan korban. Entah apa tujuannya melakukan hal
tersebut. Dia seperti tengah memberikan label kepada setiap korban yang telah
berhasil ia bunuh.
Ada banyak metode yang digunakan oleh pelaku. Salah
satunya adalah dengan melakukan kekerasan fisik secara bertubi-tubi hingga
nyawa korban melayang. Ditemukan banyak luka dari benda tumpul pada tubuh
korban.
“Apa mereka
semua memiliki hubungan satu sama lain?” tanya Agatha untuk kembali memastikan.
“Misalnya
teman, rekan kerja, tetangga atau bahkan keluarga,” tegasnya sekali lagi.
Seorang pria yang tengah duduk di hadapannya hanya
bisa menggeleng pelan. Sebelumnya, beberapa orang dari tim mereka telah
melakukan penyelidikan lebih dulu ke tempat kejadian. Mereka bahkan ikut
mencari informasi sampai ke keluarga korban.
“Mereka tidak
memiliki hubungan apa pun,” ungkap Robi.
“Apa kalian
yakin?” tanya gadis itu sekali lagi.
“Aku dan
Thomas sudah memastikan hal itu beberapa hari yang lalu,” jawab Robi dengan
yakin yang kemudian mendapatkan anggukan setuju dari Thomas.
“Sepertinya
pelaku membunuh korban secara acak,” ujar pria yang bernama Thomas itu.
“Tapi, bukankah bisa saja jika mereka semua terlibat
dalam suatu urusan tertentu dengan si pelaku?” balas Agatha.
Pertanyaan dari gadis itu mampu membuat semua orang
yang berada di dalam ruangan itu berpikir keras. Tidak ada yang tahu apa yang
sedang terjadi di sini sebenarnya. Mereka hanya bisa menerka-nerka. Belum ada
petunjuk yang pasti.
“Tidak ada
bukti yang merujuk kepada satu orang. Setidaknya kita perlu tersangka untuk
diselidiki!” celetuk Robi.
Agatha dan Thomas mengangguk setuju. Ucapan Robi ada
benarnya juga.
“Sepertinya
ini adalah kasus tersulit yang pernah ku tangani sejauh ini,” ungkap Agatha
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
‘TOK! TOK!
TOK!’
Semua orang langsung menoleh kea rah sumber suara.
“Masuk! Sahut
Agatha dari dalam.
Tak lama kemudian seorang gadis lainnya datang
dengan membawakan secarik kertas. Sepertinya laporan baru. Ada masalah apa lagi
kali ini.
“Terjadi
pembunuhan lagi di salah satu rumah susun. Korbannya wanita berusia dua puluh
tujuh tahun. Dia tinggal sendirian di sana,” ujar Kinan sambil menyodorkan
laporannya kepada Agatha.
“Diduga jika
pembunuhnya adalah orang yang sama dengan pelaku pada kasus pembunuhan
berantai,” lanjutnya.
Gadis itu memijat pelipisnya pelan. Sepertinya
otot-otot di sekitar kepalanya mulai menegang karena ia berpikir terlalu keras
belakangan ini.
“Kapan waktu
kematiannya?” tanya Agatha.
“Baru
beberapa menit yang lalu. Kami menerima laporan dari tetangga kamarnya. Saat
ini tim kita sedang melakukan pemeriksaan di tempat kejadian,” jelas Kinan
dengan panjang lebar.
Tanpa pikir panjang lagi, Agatha segera beranjak
dari tempat duduknya. Ia mengambil jaket hitam yang semula disampirkannya pada
tempat duduk. Mereka harus segera pergi ke sana juga. Mereka tidak boleh
melewatkan kesempatan ini. Siapa tahu Agatha dan timnya bisa menemukan petunjuk
baru dari sana.
“Kita akan
berangkat ke sana sekarang juga!” titah Agatha kemudian pergi meninggalkan
ruangan begitu saja.
***
“Pembunuh itu
benar-benar membuatku merasa pusing akhir-akhir ini,” ujar Thomas di
tengah-tengah perjalanan.
“Aku bahkan
tidak bisa tidur dengan tenang karenanya,” timpal Agatha.
Sementara Robi yang bertugas untuk mengemudi kali
ini hanya bisa bungkam. Dia tidak ingin ikut menimbrung, karena takut hal
tersebut akan memecah konsentrasinya. Bagaimanapun juga, pria itu harus tetap
fokus terhadap jalanan di depannya. Saat ini kondisi lalu lintas lumayan ramai lancar.
Mereka harus tetap berhati-hati saat berada di jalanan. Keselamatan adalah yang
utama.
Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat kejadian.
Terlihat ada beberapa mobil polisi yang terparkir di halaman gedung.
“Di lantai
berapa kamarnya?” tanya Agahta.
“Lantai lima,
kamar nomer 204,” jawab Robi.
“Sepertinya
di sini tidak ada lift. Kita harus melewati anak tangga itu,” ujar Thomas
sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada salah satu anak tangga yang berada
tepat di depan mereka. Sepertinya itu memang tangga utama jika dilihat dari
ukuran dan posisinya. Dari ciri-ciri tersebut, ia tidak masuk kepada tangga
darurat.
Mendapati hal tersebut, Agatha hanya bisa menghela
napas pasrah. Entahlah dia akan bertahan atau tidak sampai lantai lima nanti.
Tapi, tidak ada cara lain. Hanya tangga itu yang menjadi satu-satunya akses
menuju lantai lima sekaligus menjadi penghubung antara lantai satu dengan
lantai yang lainnya.
Yang benar saja. Ia dan kedua rekannya yang lain
nyaris kehabisan napas begitu sampai di lantai lima. Tidak hanya sampai di
situ. Kaki mereka bahkan mungkin akan terasa sangat sakit setelahnya.
“Hosh! Hosh!
Aku tidak percaya jika ia harus naik turun tangga terkutuk itu setiap hari,”
ungkap Robi sambil mengatuh napasnya yang memburu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments