Begitu Agatha dan yang lainnya sampai di atas, sudah
ada beberapa orang polisi yang sampai lebih dulu di sana. Kelihatannya mereka
sedang mengamankan tempat kejadian. Bahkan beberapa garis polisi sudah
dipasang.
“Dimana
korbannya?” tanya Agatha curiga.
“Ambulans
baru saja membawanya ke rumah sakit untuk ditindak lanjuti,” jawab salah satu
rekan kerjanya yang kebetulan sudah di sana lebih dulu. Jadi, ia pasti tahu
banyak.
Agatha mengangguk pelan, untuk mengiyakan perkataan
sang senior. Kemudian, dia melangkah masuk menerobos garis polisi yang sedang
terpasang pada saat itu. Di susul oleh Robi dan Thomas.
“Ada darah?”
gumamnya.
“Iya, korban
mendapatkan luka tikam sebanyak tiga kali di bagian perutnya,” jelas Arjuna.
Pria itu merupakan senior di tempatnya bekerja.
Karena dia datang lebih dulu bersama timnya, jadi mereka pasti tahu banyak.
Agatha bisa menanyai mereka dengan sepuas hatinya.
“Apa
pelakunya masih orang yang sama?” tanya Agatha lagi.
“Tentu! Dia
meninggalkan tanda ini di pergelangan tangan korban,” jawab Arjuna dengan
antusias sambil menunjukkan sebuah foto.
Dia tidak bisa melihat kondisi fisik korban secara
langsung, karena sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Arjuna masih memiliki
beberapa foto yang sengaja ia ambil sebagai barang bukti. Lebih tepatnya
petunjuk.
Agatha dan yang lainnya memperhatikan foto tersebut
dengan seksama. Hal ini membuat mereka yakin jika ini masih orang yang sama dengan yang sebelumnya.
Dia selalu meninggalkan petunjuk berupa potongan kombinasi huruf dan angka. Kadang
angka saja, atau bahkan huruf saja. Sejauh ini mereka tidak pernah benar-benar
tahu apa yang sedang orang ini coba tunjukkan kepada mereka.
Ada yang menarik perhatian mereka semua di sini.
Jika biasanya sang pelaku akan membunuh korbannya tanpa meninggalkan luka dan
darah dimana-mana, namum kali ini berbeda. Ia bahkan tak segan untuk menikam
korbannya.
“Apa dia
meninggalkan pisau atau semacamnya di sini?” tanya Robi.
“Ayolah! Kau
tahu jika dia tidak sebodoh itu,” balas Arjuna sambil menyenggol pundak pria
itu pelan.
Apa yang dikatakan oleh pria itu tadi ada benarnya
juga. Dari beberapa aksi yang telah ia lakukan, cukup terlihat jika orang ini
sangat berhati-hati. Ia tahu jika dirinya akan terlibat dengan para polisi. Ia
pasti telah membereskan semuanya. Merekayasa ulang kejadiannya. Seolah tidak
terjadi apa-apa di sini. Padahal, tidak mungkin para korban menghabisi dirinya
sendiri. Sungguh tidak masuk akal. Mereka tidak bisa menyalahkan siapa pun
sebelum ada bukti yang cukup kuat.
“Lapor Pak!
Saat ini keluarga sedang berada di rumah sakit. Mereka menolak untuk melakukan
autopsi dan akan langsung memakamkan jenazah korban,” jelas salah satu anak
buah Arjuna.
“Kapan mereka
akan membawanya?” tanya Arjuna.
“Setelah
semua prosedur rumah sakit selesai, Pak!” jawab pria itu dengan yakin.
“Baiklah,
jangan lupa untuk meminta salinan rekam medisnya jika diperlukan!” titah Arjuna
yang kemudian diangguki oleh pria itu.
Beberapa orang lainnya sedang sibuk untuk memeriksa
tempat ini. Mereka harus benar-benar melakukannya dengan teliti. Mencari sidik
jari si pelaku, meski mustahil rasanya. Entah sampai kapan orang itu akan terus
bersembunyi seperti ini. Selagi ia belum tertangkap, maka akan terus ada korban
yang berjatuhan.
“Kalian sudah
memeriksa rekaman kamera pengawasnya?” tanya Agatha.
“Tidak semua
tempat memiliki benda semacam itu. Termasuk tempat ini,” jawab Arjuna.
Agatha hanya bisa menghela napasnya dengan berat.
Padahal kamera pengawas akan sangat membantu.
“Tapi, tenang
saja! Kami sudah memintai keterangan saksi yang pertama kali menemukan korban
dalam keadaaan bersimbah darah,” jelasnya dengan panjang lebar.
Mendengar penjelasan dari Arjuna barusan berhasil
membuatnya merasa sedikit lebih lega.
***
Arjuna dan timnya akan menyelesaikan masalah ini.
Serta mencari tahu segala hal yang bersangkutan. Mereka akan memeriksa semua
tempat dan orang-orang terkait. Agatha mempercayakan semua itu kepada Arjuna.
Dia tahu jika pria itu bisa diandalkan.
“Nanti aku akan mengirimkan laporannya
kepadamu.”
Kalimat yang satu itu kembali terngiang-ngiang di
kepala Agatha. Dia tidak sabar untuk memeriksa laporan miliki pria itu. Meski
pelaku diketahui membunuh korban secara acak, tapi Agatha yakin jika semua itu
pasti ada hubungannya satu sama lain. Ia hanya perlu melihatnya dari sudut
pandang yang berbeda.
Saat ini Agatha sedang berada di kantornya. Sudah
pukul empat sore, tapi ia belum kembali ke rumah. Memang sengaja. Selain masih
sibuk mengurusi kasus itu, di luar sana hujan masih cukup deras. Ia tidak mau
menembus curahan air dalam skala besar itu.
“Hey!” sahut
Arjuna sembari menepuk pundak gadis itu.
Agatha yang semula fokus pada tumpukan kertas
tersebut, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ia mendapati Arjuna
yang tengah berdiri di belakangnya. Kemudian menarik salah satu tempat duduk
dan menempatkan posisinya di sebelah gadis itu.
“Kau tidak
bekerja?” tanya Agatha.
“Aku baru
saja mengambil jeda. Mau kopi? Biar kuambilkan,” tawarnya.
“Tidak usah,”
balas gadis itu sembari menggeleng pelan.
Agatha sudah berkutat dengan tumpukan kertas dan
juga layar monitor yang berada di mejanya sejak tadi. Ia menatapnya secara
bergantian. Arjuna datang ke sini dengan maksud untuk menghentikan kegiatan
gadis itu sejenak. Tentu saja agar ia bisa beristirahat. Pria itu tak tega
melihat Agatha terlalu memaksakan dirinya seperti ini. Dia juga harus
memperhatikan kesehatannya sendiri.
Omong-omong, meski Arjuna merupakan senior di kantor
tempat Agatha bekerja, tapi umur mereka tidak jauh berbeda. Hanya selisih dua
tahun saja. Arjuna memulai karirnya di tempat ini jauh lebih cepat dari pada
Agatha.
“Jangan
terlalu menyibukkan dirimu dengan kasus itu,” ujar Arjuna sambil menyeruput
kopi miliknya. Tadi ia sudah menawarkannya kepada Agatha, tapi gadis itu tidak
mau.
“Aku harus
mengusutnya dengan cepat,” balas Agatha.
“Nanti malam
jangan lupa untuk datang ke pesta kecil-kecilan itu,” ujar Arjuna mengingatkan.
Belakangan ini Agatha terlalu sibuk bekerja. Hal
tersebut tidak menutup kemungkinan jika ia akan melupakan sesuatu yang cukup
penting. Bukan hanya baginya saja, namun juga bagi orang lain.
Agatha menempelkan punggungnya pada sandaran kursi.
Sesekali ia melakukan gerakan peregangan ringan untuk mengatasi rasa pegal dan
nyeri.
“Mana mungkin
aku melupakan hal penting seperti itu!” celetuknya.
“Terlebih kau
seniorku,” lanjut Agatha.
Arjuna yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya
bisa tersenyum tipis. Kedua sudut bibirnya terangkat.
Meski mereka adalah rekan kerja, tapi hubungan
keduanya sudah seperti kakak adik. Arjuna begitu perhatian kepada Agatha.
Begitu pun sebaliknya. Bahkan yang lebih parahnya lagi, tak jarang dari teman
sekantor mereka yang mengira jika kedua berpacaran. Padahal tidak sama sekali.
Hubungan mereka sungguh hanya sebats rekan kerja saja. Tidak lebih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments