Saat ini para anggota tim kepolisian sedang
mengadakan rapat. Mereka sudah membahas hal ini sejak beberapa hari yang lalu padahal.
Tapi, kasusnya belum sempat diusut secara tuntas. Termasuk sulit untuk
menemukan jejak pelakunya. Bahkan orang seperti Agatha saja ingin menyerah
rasanya. Tapi, ia tidak bisa melakukan hal itu meski mau. Tak ada yang bisa
menggantikan posisinya saat ini. Agatha adalah seorang penyidik terbaik yang
diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini sekarang.
“Jadi, sejauh
ini sudah ada berapa korbannya?” tanya Agatha sambil membenarkan posisi
duduknya.
“Tercatat ada
empat orang. Tiga pria dan satu wanita,” jelas Robi yang merupakan rekan
kerjanya.
“Aku juga
sudah menyertakan biodata mereka di dalam laporan itu,” lanjutnya.
Agatha mengangguk paham. Tangannya kemudian bergegas
membalik kertas laporan tersebut. Kedua matanya melesat pada halaman berikutnya
yang memuat biodata singkat para korban. Kebanyakan dari mereka berusia sekitar
dua puluh lima sampai dua tiga puluh tahun. Tidak lebih dari itu.
Gadis itu membaca laporannya dengan seksama. Ia
tidak akan melewatkan setiap hal kecil. Siapa tahu justru itu adalah sebuah
petunjuk baginya. Sebagai seorang penyidik kepolisian, ia dituntut untuk
bekerja dengan teliti.
Kasus yang tengah diselidiki oleh Agatha dan
rekan-rekan satu timnya belakangan ini adalah kasus pembunuhan berantai. Sebenarnya
laporan ini sudah masuk sejak dua bulan yang lalu. Awalnya mereka menganggap
jika itu adalah kasus pembunuhan biasa. Karena korban yang terlibat hanya satu
orang. Ternyata tidak berhenti di situ saja. sampai sekarang masih berlanjut,
hingga memakan korban sebanyak empat orang.
Sang pembunuh tidak meninggalkan jejak apa pun di
tempat kejadian. Dia bekerja dengan sangat rapih. Sepertinya sudah cukup
professional. Dia tahu betul bagaimana cara untuk mengamankan dirinya sendiri
dari kejaran polisi. Sungguh cerdik pembunuh yang satu ini.
Awalnya mereka tidak mengira jika masalahnya akan
semakin melebar seperti ini. Agatha sendiri juga terkejut mendengar kasus
pembunuhan berantai. Sejauh ini belum diketahui apa motif pelaku melakukan
pekerjaan tersebut. Tapi, ada satu hal yang membuat mereka yakin jika
pembunuhnya adalah orang yang sama dengan yang sebelumnya. Setiap kali selesai
melakukan aksi kejinya itu, dia selalu meninggalkan sebuah tanda pengenal
berupa coretan spidol di tangan korban. Entah apa tujuannya melakukan hal
tersebut. Dia seperti tengah memberikan label kepada setiap korban yang telah
berhasil ia bunuh.
Ada banyak metode yang digunakan oleh pelaku. Salah
satunya adalah dengan melakukan kekerasan fisik secara bertubi-tubi hingga
nyawa korban melayang. Ditemukan banyak luka dari benda tumpul pada tubuh
korban.
“Apa mereka
semua memiliki hubungan satu sama lain?” tanya Agatha untuk kembali memastikan.
“Misalnya
teman, rekan kerja, tetangga atau bahkan keluarga,” tegasnya sekali lagi.
Seorang pria yang tengah duduk di hadapannya hanya
bisa menggeleng pelan. Sebelumnya, beberapa orang dari tim mereka telah
melakukan penyelidikan lebih dulu ke tempat kejadian. Mereka bahkan ikut
mencari informasi sampai ke keluarga korban.
“Mereka tidak
memiliki hubungan apa pun,” ungkap Robi.
“Apa kalian
yakin?” tanya gadis itu sekali lagi.
“Aku dan
Thomas sudah memastikan hal itu beberapa hari yang lalu,” jawab Robi dengan
yakin yang kemudian mendapatkan anggukan setuju dari Thomas.
“Sepertinya
pelaku membunuh korban secara acak,” ujar pria yang bernama Thomas itu.
“Tapi, bukankah bisa saja jika mereka semua terlibat
dalam suatu urusan tertentu dengan si pelaku?” balas Agatha.
Pertanyaan dari gadis itu mampu membuat semua orang
yang berada di dalam ruangan itu berpikir keras. Tidak ada yang tahu apa yang
sedang terjadi di sini sebenarnya. Mereka hanya bisa menerka-nerka. Belum ada
petunjuk yang pasti.
“Tidak ada
bukti yang merujuk kepada satu orang. Setidaknya kita perlu tersangka untuk
diselidiki!” celetuk Robi.
Agatha dan Thomas mengangguk setuju. Ucapan Robi ada
benarnya juga.
“Sepertinya
ini adalah kasus tersulit yang pernah ku tangani sejauh ini,” ungkap Agatha
sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
‘TOK! TOK!
TOK!’
Semua orang langsung menoleh kea rah sumber suara.
“Masuk! Sahut
Agatha dari dalam.
Tak lama kemudian seorang gadis lainnya datang
dengan membawakan secarik kertas. Sepertinya laporan baru. Ada masalah apa lagi
kali ini.
“Terjadi
pembunuhan lagi di salah satu rumah susun. Korbannya wanita berusia dua puluh
tujuh tahun. Dia tinggal sendirian di sana,” ujar Kinan sambil menyodorkan
laporannya kepada Agatha.
“Diduga jika
pembunuhnya adalah orang yang sama dengan pelaku pada kasus pembunuhan
berantai,” lanjutnya.
Gadis itu memijat pelipisnya pelan. Sepertinya
otot-otot di sekitar kepalanya mulai menegang karena ia berpikir terlalu keras
belakangan ini.
“Kapan waktu
kematiannya?” tanya Agatha.
“Baru
beberapa menit yang lalu. Kami menerima laporan dari tetangga kamarnya. Saat
ini tim kita sedang melakukan pemeriksaan di tempat kejadian,” jelas Kinan
dengan panjang lebar.
Tanpa pikir panjang lagi, Agatha segera beranjak
dari tempat duduknya. Ia mengambil jaket hitam yang semula disampirkannya pada
tempat duduk. Mereka harus segera pergi ke sana juga. Mereka tidak boleh
melewatkan kesempatan ini. Siapa tahu Agatha dan timnya bisa menemukan petunjuk
baru dari sana.
“Kita akan
berangkat ke sana sekarang juga!” titah Agatha kemudian pergi meninggalkan
ruangan begitu saja.
***
“Pembunuh itu
benar-benar membuatku merasa pusing akhir-akhir ini,” ujar Thomas di
tengah-tengah perjalanan.
“Aku bahkan
tidak bisa tidur dengan tenang karenanya,” timpal Agatha.
Sementara Robi yang bertugas untuk mengemudi kali
ini hanya bisa bungkam. Dia tidak ingin ikut menimbrung, karena takut hal
tersebut akan memecah konsentrasinya. Bagaimanapun juga, pria itu harus tetap
fokus terhadap jalanan di depannya. Saat ini kondisi lalu lintas lumayan ramai lancar.
Mereka harus tetap berhati-hati saat berada di jalanan. Keselamatan adalah yang
utama.
Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat kejadian.
Terlihat ada beberapa mobil polisi yang terparkir di halaman gedung.
“Di lantai
berapa kamarnya?” tanya Agahta.
“Lantai lima,
kamar nomer 204,” jawab Robi.
“Sepertinya
di sini tidak ada lift. Kita harus melewati anak tangga itu,” ujar Thomas
sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada salah satu anak tangga yang berada
tepat di depan mereka. Sepertinya itu memang tangga utama jika dilihat dari
ukuran dan posisinya. Dari ciri-ciri tersebut, ia tidak masuk kepada tangga
darurat.
Mendapati hal tersebut, Agatha hanya bisa menghela
napas pasrah. Entahlah dia akan bertahan atau tidak sampai lantai lima nanti.
Tapi, tidak ada cara lain. Hanya tangga itu yang menjadi satu-satunya akses
menuju lantai lima sekaligus menjadi penghubung antara lantai satu dengan
lantai yang lainnya.
Yang benar saja. Ia dan kedua rekannya yang lain
nyaris kehabisan napas begitu sampai di lantai lima. Tidak hanya sampai di
situ. Kaki mereka bahkan mungkin akan terasa sangat sakit setelahnya.
“Hosh! Hosh!
Aku tidak percaya jika ia harus naik turun tangga terkutuk itu setiap hari,”
ungkap Robi sambil mengatuh napasnya yang memburu.
Begitu Agatha dan yang lainnya sampai di atas, sudah
ada beberapa orang polisi yang sampai lebih dulu di sana. Kelihatannya mereka
sedang mengamankan tempat kejadian. Bahkan beberapa garis polisi sudah
dipasang.
“Dimana
korbannya?” tanya Agatha curiga.
“Ambulans
baru saja membawanya ke rumah sakit untuk ditindak lanjuti,” jawab salah satu
rekan kerjanya yang kebetulan sudah di sana lebih dulu. Jadi, ia pasti tahu
banyak.
Agatha mengangguk pelan, untuk mengiyakan perkataan
sang senior. Kemudian, dia melangkah masuk menerobos garis polisi yang sedang
terpasang pada saat itu. Di susul oleh Robi dan Thomas.
“Ada darah?”
gumamnya.
“Iya, korban
mendapatkan luka tikam sebanyak tiga kali di bagian perutnya,” jelas Arjuna.
Pria itu merupakan senior di tempatnya bekerja.
Karena dia datang lebih dulu bersama timnya, jadi mereka pasti tahu banyak.
Agatha bisa menanyai mereka dengan sepuas hatinya.
“Apa
pelakunya masih orang yang sama?” tanya Agatha lagi.
“Tentu! Dia
meninggalkan tanda ini di pergelangan tangan korban,” jawab Arjuna dengan
antusias sambil menunjukkan sebuah foto.
Dia tidak bisa melihat kondisi fisik korban secara
langsung, karena sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Arjuna masih memiliki
beberapa foto yang sengaja ia ambil sebagai barang bukti. Lebih tepatnya
petunjuk.
Agatha dan yang lainnya memperhatikan foto tersebut
dengan seksama. Hal ini membuat mereka yakin jika ini masih orang yang sama dengan yang sebelumnya.
Dia selalu meninggalkan petunjuk berupa potongan kombinasi huruf dan angka. Kadang
angka saja, atau bahkan huruf saja. Sejauh ini mereka tidak pernah benar-benar
tahu apa yang sedang orang ini coba tunjukkan kepada mereka.
Ada yang menarik perhatian mereka semua di sini.
Jika biasanya sang pelaku akan membunuh korbannya tanpa meninggalkan luka dan
darah dimana-mana, namum kali ini berbeda. Ia bahkan tak segan untuk menikam
korbannya.
“Apa dia
meninggalkan pisau atau semacamnya di sini?” tanya Robi.
“Ayolah! Kau
tahu jika dia tidak sebodoh itu,” balas Arjuna sambil menyenggol pundak pria
itu pelan.
Apa yang dikatakan oleh pria itu tadi ada benarnya
juga. Dari beberapa aksi yang telah ia lakukan, cukup terlihat jika orang ini
sangat berhati-hati. Ia tahu jika dirinya akan terlibat dengan para polisi. Ia
pasti telah membereskan semuanya. Merekayasa ulang kejadiannya. Seolah tidak
terjadi apa-apa di sini. Padahal, tidak mungkin para korban menghabisi dirinya
sendiri. Sungguh tidak masuk akal. Mereka tidak bisa menyalahkan siapa pun
sebelum ada bukti yang cukup kuat.
“Lapor Pak!
Saat ini keluarga sedang berada di rumah sakit. Mereka menolak untuk melakukan
autopsi dan akan langsung memakamkan jenazah korban,” jelas salah satu anak
buah Arjuna.
“Kapan mereka
akan membawanya?” tanya Arjuna.
“Setelah
semua prosedur rumah sakit selesai, Pak!” jawab pria itu dengan yakin.
“Baiklah,
jangan lupa untuk meminta salinan rekam medisnya jika diperlukan!” titah Arjuna
yang kemudian diangguki oleh pria itu.
Beberapa orang lainnya sedang sibuk untuk memeriksa
tempat ini. Mereka harus benar-benar melakukannya dengan teliti. Mencari sidik
jari si pelaku, meski mustahil rasanya. Entah sampai kapan orang itu akan terus
bersembunyi seperti ini. Selagi ia belum tertangkap, maka akan terus ada korban
yang berjatuhan.
“Kalian sudah
memeriksa rekaman kamera pengawasnya?” tanya Agatha.
“Tidak semua
tempat memiliki benda semacam itu. Termasuk tempat ini,” jawab Arjuna.
Agatha hanya bisa menghela napasnya dengan berat.
Padahal kamera pengawas akan sangat membantu.
“Tapi, tenang
saja! Kami sudah memintai keterangan saksi yang pertama kali menemukan korban
dalam keadaaan bersimbah darah,” jelasnya dengan panjang lebar.
Mendengar penjelasan dari Arjuna barusan berhasil
membuatnya merasa sedikit lebih lega.
***
Arjuna dan timnya akan menyelesaikan masalah ini.
Serta mencari tahu segala hal yang bersangkutan. Mereka akan memeriksa semua
tempat dan orang-orang terkait. Agatha mempercayakan semua itu kepada Arjuna.
Dia tahu jika pria itu bisa diandalkan.
“Nanti aku akan mengirimkan laporannya
kepadamu.”
Kalimat yang satu itu kembali terngiang-ngiang di
kepala Agatha. Dia tidak sabar untuk memeriksa laporan miliki pria itu. Meski
pelaku diketahui membunuh korban secara acak, tapi Agatha yakin jika semua itu
pasti ada hubungannya satu sama lain. Ia hanya perlu melihatnya dari sudut
pandang yang berbeda.
Saat ini Agatha sedang berada di kantornya. Sudah
pukul empat sore, tapi ia belum kembali ke rumah. Memang sengaja. Selain masih
sibuk mengurusi kasus itu, di luar sana hujan masih cukup deras. Ia tidak mau
menembus curahan air dalam skala besar itu.
“Hey!” sahut
Arjuna sembari menepuk pundak gadis itu.
Agatha yang semula fokus pada tumpukan kertas
tersebut, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ia mendapati Arjuna
yang tengah berdiri di belakangnya. Kemudian menarik salah satu tempat duduk
dan menempatkan posisinya di sebelah gadis itu.
“Kau tidak
bekerja?” tanya Agatha.
“Aku baru
saja mengambil jeda. Mau kopi? Biar kuambilkan,” tawarnya.
“Tidak usah,”
balas gadis itu sembari menggeleng pelan.
Agatha sudah berkutat dengan tumpukan kertas dan
juga layar monitor yang berada di mejanya sejak tadi. Ia menatapnya secara
bergantian. Arjuna datang ke sini dengan maksud untuk menghentikan kegiatan
gadis itu sejenak. Tentu saja agar ia bisa beristirahat. Pria itu tak tega
melihat Agatha terlalu memaksakan dirinya seperti ini. Dia juga harus
memperhatikan kesehatannya sendiri.
Omong-omong, meski Arjuna merupakan senior di kantor
tempat Agatha bekerja, tapi umur mereka tidak jauh berbeda. Hanya selisih dua
tahun saja. Arjuna memulai karirnya di tempat ini jauh lebih cepat dari pada
Agatha.
“Jangan
terlalu menyibukkan dirimu dengan kasus itu,” ujar Arjuna sambil menyeruput
kopi miliknya. Tadi ia sudah menawarkannya kepada Agatha, tapi gadis itu tidak
mau.
“Aku harus
mengusutnya dengan cepat,” balas Agatha.
“Nanti malam
jangan lupa untuk datang ke pesta kecil-kecilan itu,” ujar Arjuna mengingatkan.
Belakangan ini Agatha terlalu sibuk bekerja. Hal
tersebut tidak menutup kemungkinan jika ia akan melupakan sesuatu yang cukup
penting. Bukan hanya baginya saja, namun juga bagi orang lain.
Agatha menempelkan punggungnya pada sandaran kursi.
Sesekali ia melakukan gerakan peregangan ringan untuk mengatasi rasa pegal dan
nyeri.
“Mana mungkin
aku melupakan hal penting seperti itu!” celetuknya.
“Terlebih kau
seniorku,” lanjut Agatha.
Arjuna yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya
bisa tersenyum tipis. Kedua sudut bibirnya terangkat.
Meski mereka adalah rekan kerja, tapi hubungan
keduanya sudah seperti kakak adik. Arjuna begitu perhatian kepada Agatha.
Begitu pun sebaliknya. Bahkan yang lebih parahnya lagi, tak jarang dari teman
sekantor mereka yang mengira jika kedua berpacaran. Padahal tidak sama sekali.
Hubungan mereka sungguh hanya sebats rekan kerja saja. Tidak lebih.
09.00
Saat ini Agatha dan beberapa rekan kerjanya yang
lain sedang berada di salah satu restoran ayam goreng. Mereka akan menghabiskan
waktu bersama-sama malam ini. Kebetulan sekali Arjuna baru saja mendapatkan
kenaikan pangkat. Bukankah hal baik seperti itu memang pantas untuk dirayakan?
Mereka juga berhak untuk bersenang-senang sesekali. Selama ini orang-orang itu
terlalu sibuk untuk mengusut kasus. Sampai mengabaikan diri mereka sendiri.
Sebenarnya desas-desus soal kabar tersebut sudah
mereka dengar sejak seminggu yang lalu. Hanya saja Arjuna baru memberitahu
mereka tadi pagi. Kemarin dia resmi naik pangkat. Jadi untuk merayakan
pencapaiannya yang satu itu, Arjuna memutuskaan untuk mentraktir teman-temannya
makan malam. Tenang saja. Mereka tidak akan minum-minum. Hal tersebut merupakan
larangan keras bagi mereka. Kali ini sungguh hanya makan malam biasa saja.
“Bagaimana kalau sekarang kita pulang?” tanya Robi.
“Lagipula sekarang sudah larut malam,” sambung
Thomas yang ikut menimpali ucapannya.
Agahta melirik ke arah jam tangannya untuk
memastikan apakah yang mereka katakan tadi benar. Sekarang sudah pukul sembilan
lewat tiga puluh menit. Bukan waktu yang tepat untuk berkeliaran di luar
seperti ini. Bahkan untuk orang sepeti mereka sekali pun.
“Sebaiknya kita pulang sekarang saja,” ujar Agatha.
Semua orang mengangguk setuju kali ini. Kemudian
Arjuna beranjak dari tempat duduknya untuk membayar tagihan di kasir. Mereka
semua harus berterima kasih kepada pria itu karena telah mentraktir mereka
makan malam ini.
“Kau pulang dengan siapa?” tanya Arjuna yang baru
saja kembali.
“Aku bisa sendiri,” jawab gadis itu secara gamblang.
“Ah, aku nyaris lupa jika kau selalu membawa mobil,”
balas Arjuna sembari menepuk jidatnya pelan.
Mereka berpisah tepat di depan pintu keluar. Semua
orang berpencar. Berlawanan arah. Arjuna dan Thomas pulang bersama, karena
kebetulan rumah mereka searah. Sementara sisanya harus pulang sendiri. Ailisha
tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tidak akan ada yang berani
macam-macam dengannya. Lagipula sekarang belum terlalu malam. Jalanan pasti
masih cukup ramai.
“Sampai ketemu besok di kantor!” pamit Agatha yang
memilih untuk beranjak dari sana lebih dulu. Kemudian disusul oleh Arjuna dan
yang lainnya untuk meninggalkan tempat itu juga. Sampai tidak ada siapa-siapa
lagi di pelataran restoran. Mereka adalah pelanggan terakhir.
Menyetir sendirian di malam hari bukan lagi sesuatu
yang menakutkan. Agatha sudah biasa melakukannya. Selama ini gadis itu selalu
berhadapan dengan para pelaku kriminal. Jadi, bukan sesuatu yang mengejutkan
lagi jika kali ini ia harus berhadapan dengan orang-orang seperti mereka lagi.
Senjata yang ia bawa cukup untuk melindungi dirinya. Ditambah dengan kemampuan
bela diri yang ia miliki.
Agatha tinggal di salah satu apartment yang
kebetulan tidak terlalu jauh dengan tempatnya bekerja. Ia sudah berada di sini
sejak lima tahun yang lalu. Sebenarnya bangunan apartment yang ditinggali
olehnya sudah pasti terletak di pinggir jalan raya. Dengan begitu, akses keluar
masuknya akan mudah. Namun, pada kenyataannnya Agatha harus masuk lewat pintu
belakang. Itu adalah satu-satunya jalan untuk menuju parkiran.
Ia harus melewati jalanan sunyi yang tak terlalu
besar di samping apartmentnya. Di sana nanti ia akan langsung dihadapkan dengan
pintu masuk yang menuju langsung ke parkiran.
‘CIT!!!’
Ia mengerem mendadak tepat di jalanan menuju
apartmentnya. Gadis itu dikejutkan oleh seorang pria yang muncul secara
tiba-tiba di hadapannya. Kemudian ambruk begitu saja. Refleks Agatha berteriak
pelan. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera keluar dari dalam mobil untuk
menghampiri pria itu.
“Apa aku barusan menabrak seseorang?” paniknya.
Agatha menghentikan langkahnya seketika. Jika
dipikir-pikir, tidak mungkin pria itu ambruk karena menghantam kendaraan yang
sedang melaju. Jaraknya dari mobil Agatha saat ini cukup jauh. Sekitar dua
meter. Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niat Agatha untuk
menghampiri pria itu dan mencari tahu penyebab kecelakaan tadi.
“Dia pasti mabuk,” simpul Agatha.
Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu segera
membawanya masuk ke dalam mobil. Untuk pertama kalinya Agatha menolong orang
mabuk. Padahal ia tak bisa memastikan apakah pria itu orang baik atau bukan.
Bau alkohol menyeruak dengan tajam ke seluruh
penjuru ruangan. Ia benar-benar tidak suka dengan aroma seperti ini. Indera
penciuman Agatha jadi terganggu. Ia tidak bisa mencium bau lain sekarang. Sebab
aroma kuat dari alkohol telah memenuhi rongga hidungnya.
***
Sesampainya di unit apartment miliknya, Agatha
langsung menuntun pria itu menuju sofa dan merebahkannya di sana. Untuk
sementara waktu Agatha akan membiarkan pria pemabuk itu beristirahat di
rumahnya. Ia tidak bisa meninggalkannya sendirian di luar sana. Terlalu bahaya
untuknya. Meskipun dia seorang pria, tetap saja tidak akan bisa melawan saat
bahaya datang. Ia bahkan tidak bisa membedakan mana yang benar ada dan mana
yang tidak ada pada kondisi mabuk seperti ini.
Setelah selesai beres-beres, ia kembali menghampiri
pria itu untuk mengecek kondisinya. Tapi, masih sama seperti terakhir kali
Agatha melihatnya. Dia masih belum sadarkan diri. Sepertinya mabuk berat. Entah
berapa banyak minuman beralkohol yang dikonsumsi olehnya.
“Harus diapakan orang seperti ini?” gumamnya sambil
melipat kedua tangan di depan dada.
Ia menghela napas dengan kasar. Kemudian mengambil
tempat duduk di sofa seberang yang tak terlalu jauh dengan pria itu. Dia harus
tetap mengawasinya. Agatha memutuskan untuk menghubungi salah satu temannya.
Kali ini bukan sesama polisi lagi. Melainkan temannya sejak masih SMA dulu.
Namanya Zura. Sekarang dia menjadi salah satu dokter bedah umum di salah satu
rumah sakit. Setidaknya, ia pasti tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang
mabuk.
“Halo!” sapa Agatha lebih dulu.
“Halo?” sahut seseorang dari seberang sana.
“Masih di rumah sakit?”
“Enggak nih! Kenapa?”
“Ada yang ingin kutanyakan.”
“Iya, apa?”
“Kalau ada orang mabuk yang enggak sadarkan diri
gimana? Kira-kira kondisinya serius dan perlu dibawa ke rumah sakit gak sih?”
“Siapa yang mabuk? Jangan bilang kalau…”
“Bukan aku!”
“Untunglah. Lalu siapa?”
“Ada, orang lain. Lagipula kalau aku yang mabuk
sampai tak sadarkan diri, bagaimana bisa aku menghubungimu sekarang ini?
Memangnya tidak bisa membedakan orang yang sedan mabuk dan bukan?!”
“Tidak usah mengomel! Telingaku mulai panas.”
Keduanya selalu seperti itu. Mereka memang tidak
pernah tampak akur. Tapi, pada kenyataannya mereka berdua adalah sahabat.
Terdengar tidak masuk akal memang.
“Terus, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya
Agatha.
Nada bicaranya mulai terdengar serius kali ini. Zura
pun sampai ikut terbawa suasana.
“Kau masih belum tidur, kan?” tanya Zura balik.
“Belum,” jawab Agatha dengan apa adanya.
“Baiklah! Nanti aku akan ke sana untuk menemuimu.
Akan terlalu panjang jika aku menjelaskan lewat telepon. Kau pasti akan bisa
mendengarkannya,” jelas gadis itu dengan panjang lebar sebelum menutup
teleponnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!