NovelToon NovelToon

The Riot

Room 204

Saat ini para anggota tim kepolisian sedang

mengadakan rapat. Mereka sudah membahas hal ini sejak beberapa hari yang lalu padahal.

Tapi, kasusnya belum sempat diusut secara tuntas. Termasuk sulit untuk

menemukan jejak pelakunya. Bahkan orang seperti Agatha saja ingin menyerah

rasanya. Tapi, ia tidak bisa melakukan hal itu meski mau. Tak ada yang bisa

menggantikan posisinya saat ini. Agatha adalah seorang penyidik terbaik yang

diberikan kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini sekarang.

 “Jadi, sejauh

ini sudah ada berapa korbannya?” tanya Agatha sambil membenarkan posisi

duduknya.

 “Tercatat ada

empat orang. Tiga pria dan satu wanita,” jelas Robi yang merupakan rekan

kerjanya.

 “Aku juga

sudah menyertakan biodata mereka di dalam laporan itu,” lanjutnya.

Agatha mengangguk paham. Tangannya kemudian bergegas

membalik kertas laporan tersebut. Kedua matanya melesat pada halaman berikutnya

yang memuat biodata singkat para korban. Kebanyakan dari mereka berusia sekitar

dua puluh lima sampai dua tiga puluh tahun. Tidak lebih dari itu.

Gadis itu membaca laporannya dengan seksama. Ia

tidak akan melewatkan setiap hal kecil. Siapa tahu justru itu adalah sebuah

petunjuk baginya. Sebagai seorang penyidik kepolisian, ia dituntut untuk

bekerja dengan teliti.

Kasus yang tengah diselidiki oleh Agatha dan

rekan-rekan satu timnya belakangan ini adalah kasus pembunuhan berantai. Sebenarnya

laporan ini sudah masuk sejak dua bulan yang lalu. Awalnya mereka menganggap

jika itu adalah kasus pembunuhan biasa. Karena korban yang terlibat hanya satu

orang. Ternyata tidak berhenti di situ saja. sampai sekarang masih berlanjut,

hingga memakan korban sebanyak empat orang.

Sang pembunuh tidak meninggalkan jejak apa pun di

tempat kejadian. Dia bekerja dengan sangat rapih. Sepertinya sudah cukup

professional. Dia tahu betul bagaimana cara untuk mengamankan dirinya sendiri

dari kejaran polisi. Sungguh cerdik pembunuh yang satu ini.

Awalnya mereka tidak mengira jika masalahnya akan

semakin melebar seperti ini. Agatha sendiri juga terkejut mendengar kasus

pembunuhan berantai. Sejauh ini belum diketahui apa motif pelaku melakukan

pekerjaan tersebut. Tapi, ada satu hal yang membuat mereka yakin jika

pembunuhnya adalah orang yang sama dengan yang sebelumnya. Setiap kali selesai

melakukan aksi kejinya itu, dia selalu meninggalkan sebuah tanda pengenal

berupa coretan spidol di tangan korban. Entah apa tujuannya melakukan hal

tersebut. Dia seperti tengah memberikan label kepada setiap korban yang telah

berhasil ia bunuh.

Ada banyak metode yang digunakan oleh pelaku. Salah

satunya adalah dengan melakukan kekerasan fisik secara bertubi-tubi hingga

nyawa korban melayang. Ditemukan banyak luka dari benda tumpul pada tubuh

korban.

 “Apa mereka

semua memiliki hubungan satu sama lain?” tanya Agatha untuk kembali memastikan.

 “Misalnya

teman, rekan kerja, tetangga atau bahkan keluarga,” tegasnya sekali lagi.

Seorang pria yang tengah duduk di hadapannya hanya

bisa menggeleng pelan. Sebelumnya, beberapa orang dari tim mereka telah

melakukan penyelidikan lebih dulu ke tempat kejadian. Mereka bahkan ikut

mencari informasi sampai ke keluarga korban.

 “Mereka tidak

memiliki hubungan apa pun,” ungkap Robi.

 “Apa kalian

yakin?” tanya gadis itu sekali lagi.

 “Aku dan

Thomas sudah memastikan hal itu beberapa hari yang lalu,” jawab Robi dengan

yakin yang kemudian mendapatkan anggukan setuju dari Thomas.

 “Sepertinya

pelaku membunuh korban secara acak,” ujar pria yang bernama Thomas itu.

“Tapi, bukankah bisa saja jika mereka semua terlibat

dalam suatu urusan tertentu dengan si pelaku?” balas Agatha.

Pertanyaan dari gadis itu mampu membuat semua orang

yang berada di dalam ruangan itu berpikir keras. Tidak ada yang tahu apa yang

sedang terjadi di sini sebenarnya. Mereka hanya bisa menerka-nerka. Belum ada

petunjuk yang pasti.

 “Tidak ada

bukti yang merujuk kepada satu orang. Setidaknya kita perlu tersangka untuk

diselidiki!” celetuk Robi.

Agatha dan Thomas mengangguk setuju. Ucapan Robi ada

benarnya juga.

 “Sepertinya

ini adalah kasus tersulit yang pernah ku tangani sejauh ini,” ungkap Agatha

sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

 ‘TOK! TOK!

TOK!’

Semua orang langsung menoleh kea rah sumber suara.

 “Masuk! Sahut

Agatha dari dalam.

Tak lama kemudian seorang gadis lainnya datang

dengan membawakan secarik kertas. Sepertinya laporan baru. Ada masalah apa lagi

kali ini.

 “Terjadi

pembunuhan lagi di salah satu rumah susun. Korbannya wanita berusia dua puluh

tujuh tahun. Dia tinggal sendirian di sana,” ujar Kinan sambil menyodorkan

laporannya kepada Agatha.

 “Diduga jika

pembunuhnya adalah orang yang sama dengan pelaku pada kasus pembunuhan

berantai,” lanjutnya.

Gadis itu memijat pelipisnya pelan. Sepertinya

otot-otot di sekitar kepalanya mulai menegang karena ia berpikir terlalu keras

belakangan ini.

 “Kapan waktu

kematiannya?” tanya Agatha.

 “Baru

beberapa menit yang lalu. Kami menerima laporan dari tetangga kamarnya. Saat

ini tim kita sedang melakukan pemeriksaan di tempat kejadian,” jelas Kinan

dengan panjang lebar.

Tanpa pikir panjang lagi, Agatha segera beranjak

dari tempat duduknya. Ia mengambil jaket hitam yang semula disampirkannya pada

tempat duduk. Mereka harus segera pergi ke sana juga. Mereka tidak boleh

melewatkan kesempatan ini. Siapa tahu Agatha dan timnya bisa menemukan petunjuk

baru dari sana.

 “Kita akan

berangkat ke sana sekarang juga!” titah Agatha kemudian pergi meninggalkan

ruangan begitu saja.

***

 “Pembunuh itu

benar-benar membuatku merasa pusing akhir-akhir ini,” ujar Thomas di

tengah-tengah perjalanan.

 “Aku bahkan

tidak bisa tidur dengan tenang karenanya,” timpal Agatha.

Sementara Robi yang bertugas untuk mengemudi kali

ini hanya bisa bungkam. Dia tidak ingin ikut menimbrung, karena takut hal

tersebut akan memecah konsentrasinya. Bagaimanapun juga, pria itu harus tetap

fokus terhadap jalanan di depannya. Saat ini kondisi lalu lintas lumayan ramai lancar.

Mereka harus tetap berhati-hati saat berada di jalanan. Keselamatan adalah yang

utama.

Tak lama kemudian, mereka sampai di tempat kejadian.

Terlihat ada beberapa mobil polisi yang terparkir di halaman gedung.

 “Di lantai

berapa kamarnya?” tanya Agahta.

 “Lantai lima,

kamar nomer 204,” jawab Robi.

 “Sepertinya

di sini tidak ada lift. Kita harus melewati anak tangga itu,” ujar Thomas

sambil mengarahkan jari telunjuknya kepada salah satu anak tangga yang berada

tepat di depan mereka. Sepertinya itu memang tangga utama jika dilihat dari

ukuran dan posisinya. Dari ciri-ciri tersebut, ia tidak masuk kepada tangga

darurat.

Mendapati hal tersebut, Agatha hanya bisa menghela

napas pasrah. Entahlah dia akan bertahan atau tidak sampai lantai lima nanti.

Tapi, tidak ada cara lain. Hanya tangga itu yang menjadi satu-satunya akses

menuju lantai lima sekaligus menjadi penghubung antara lantai satu dengan

lantai yang lainnya.

Yang benar saja. Ia dan kedua rekannya yang lain

nyaris kehabisan napas begitu sampai di lantai lima. Tidak hanya sampai di

situ. Kaki mereka bahkan mungkin akan terasa sangat sakit setelahnya.

 “Hosh! Hosh!

Aku tidak percaya jika ia harus naik turun tangga terkutuk itu setiap hari,”

ungkap Robi sambil mengatuh napasnya yang memburu.

Senior

Begitu Agatha dan yang lainnya sampai di atas, sudah

ada beberapa orang polisi yang sampai lebih dulu di sana. Kelihatannya mereka

sedang mengamankan tempat kejadian. Bahkan beberapa garis polisi sudah

dipasang.

 “Dimana

korbannya?” tanya Agatha curiga.

 “Ambulans

baru saja membawanya ke rumah sakit untuk ditindak lanjuti,” jawab salah satu

rekan kerjanya yang kebetulan sudah di sana lebih dulu. Jadi, ia pasti tahu

banyak.

Agatha mengangguk pelan, untuk mengiyakan perkataan

sang senior. Kemudian, dia melangkah masuk menerobos garis polisi yang sedang

terpasang pada saat itu. Di susul oleh Robi dan Thomas.

 “Ada darah?”

gumamnya.

 “Iya, korban

mendapatkan luka tikam sebanyak tiga kali di bagian perutnya,” jelas Arjuna.

Pria itu merupakan senior di tempatnya bekerja.

Karena dia datang lebih dulu bersama timnya, jadi mereka pasti tahu banyak.

Agatha bisa menanyai mereka dengan sepuas hatinya.

 “Apa

pelakunya masih orang yang sama?” tanya Agatha lagi.

 “Tentu! Dia

meninggalkan tanda ini di pergelangan tangan korban,” jawab Arjuna dengan

antusias sambil menunjukkan sebuah foto.

Dia tidak bisa melihat kondisi fisik korban secara

langsung, karena sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi, Arjuna masih memiliki

beberapa foto yang sengaja ia ambil sebagai barang bukti. Lebih tepatnya

petunjuk.

Agatha dan yang lainnya memperhatikan foto tersebut

dengan seksama. Hal ini membuat mereka yakin jika ini  masih orang yang sama dengan yang sebelumnya.

Dia selalu meninggalkan petunjuk berupa potongan kombinasi huruf dan angka. Kadang

angka saja, atau bahkan huruf saja. Sejauh ini mereka tidak pernah benar-benar

tahu apa yang sedang orang ini coba tunjukkan kepada mereka.

Ada yang menarik perhatian mereka semua di sini.

Jika biasanya sang pelaku akan membunuh korbannya tanpa meninggalkan luka dan

darah dimana-mana, namum kali ini berbeda. Ia bahkan tak segan untuk menikam

korbannya.

 “Apa dia

meninggalkan pisau atau semacamnya di sini?” tanya Robi.

 “Ayolah! Kau

tahu jika dia tidak sebodoh itu,” balas Arjuna sambil menyenggol pundak pria

itu pelan.

Apa yang dikatakan oleh pria itu tadi ada benarnya

juga. Dari beberapa aksi yang telah ia lakukan, cukup terlihat jika orang ini

sangat berhati-hati. Ia tahu jika dirinya akan terlibat dengan para polisi. Ia

pasti telah membereskan semuanya. Merekayasa ulang kejadiannya. Seolah tidak

terjadi apa-apa di sini. Padahal, tidak mungkin para korban menghabisi dirinya

sendiri. Sungguh tidak masuk akal. Mereka tidak bisa menyalahkan siapa pun

sebelum ada bukti yang cukup kuat.

 “Lapor Pak!

Saat ini keluarga sedang berada di rumah sakit. Mereka menolak untuk melakukan

autopsi dan akan langsung memakamkan jenazah korban,” jelas salah satu anak

buah Arjuna.

 “Kapan mereka

akan membawanya?” tanya Arjuna.

 “Setelah

semua prosedur rumah sakit selesai, Pak!” jawab pria itu dengan yakin.

 “Baiklah,

jangan lupa untuk meminta salinan rekam medisnya jika diperlukan!” titah Arjuna

yang kemudian diangguki oleh pria itu.

Beberapa orang lainnya sedang sibuk untuk memeriksa

tempat ini. Mereka harus benar-benar melakukannya dengan teliti. Mencari sidik

jari si pelaku, meski mustahil rasanya. Entah sampai kapan orang itu akan terus

bersembunyi seperti ini. Selagi ia belum tertangkap, maka akan terus ada korban

yang berjatuhan.

 “Kalian sudah

memeriksa rekaman kamera pengawasnya?” tanya Agatha.

 “Tidak semua

tempat memiliki benda semacam itu. Termasuk tempat ini,” jawab Arjuna.

Agatha hanya bisa menghela napasnya dengan berat.

Padahal kamera pengawas akan sangat membantu.

 “Tapi, tenang

saja! Kami sudah memintai keterangan saksi yang pertama kali menemukan korban

dalam keadaaan bersimbah darah,” jelasnya dengan panjang lebar.

Mendengar penjelasan dari Arjuna barusan berhasil

membuatnya merasa sedikit lebih lega.

***

Arjuna dan timnya akan menyelesaikan masalah ini.

Serta mencari tahu segala hal yang bersangkutan. Mereka akan memeriksa semua

tempat dan orang-orang terkait. Agatha mempercayakan semua itu kepada Arjuna.

Dia tahu jika pria itu bisa diandalkan.

 “Nanti aku akan mengirimkan laporannya

kepadamu.”

Kalimat yang satu itu kembali terngiang-ngiang di

kepala Agatha. Dia tidak sabar untuk memeriksa laporan miliki pria itu. Meski

pelaku diketahui membunuh korban secara acak, tapi Agatha yakin jika semua itu

pasti ada hubungannya satu sama lain. Ia hanya perlu melihatnya dari sudut

pandang yang berbeda.

Saat ini Agatha sedang berada di kantornya. Sudah

pukul empat sore, tapi ia belum kembali ke rumah. Memang sengaja. Selain masih

sibuk mengurusi kasus itu, di luar sana hujan masih cukup deras. Ia tidak mau

menembus curahan air dalam skala besar itu.

 “Hey!” sahut

Arjuna sembari menepuk pundak gadis itu.

Agatha yang semula fokus pada tumpukan kertas

tersebut, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Ia mendapati Arjuna

yang tengah berdiri di belakangnya. Kemudian menarik salah satu tempat duduk

dan menempatkan posisinya di sebelah gadis itu.

 “Kau tidak

bekerja?” tanya Agatha.

 “Aku baru

saja mengambil jeda. Mau kopi? Biar kuambilkan,” tawarnya.

 “Tidak usah,”

balas gadis itu sembari menggeleng pelan.

Agatha sudah berkutat dengan tumpukan kertas dan

juga layar monitor yang berada di mejanya sejak tadi. Ia menatapnya secara

bergantian. Arjuna datang ke sini dengan maksud untuk menghentikan kegiatan

gadis itu sejenak. Tentu saja agar ia bisa beristirahat. Pria itu tak tega

melihat Agatha terlalu memaksakan dirinya seperti ini. Dia juga harus

memperhatikan kesehatannya sendiri.

Omong-omong, meski Arjuna merupakan senior di kantor

tempat Agatha bekerja, tapi umur mereka tidak jauh berbeda. Hanya selisih dua

tahun saja. Arjuna memulai karirnya di tempat ini jauh lebih cepat dari pada

Agatha.

 “Jangan

terlalu menyibukkan dirimu dengan kasus itu,” ujar Arjuna sambil menyeruput

kopi miliknya. Tadi ia sudah menawarkannya kepada Agatha, tapi gadis itu tidak

mau.

 “Aku harus

mengusutnya dengan cepat,” balas Agatha.

 “Nanti malam

jangan lupa untuk datang ke pesta kecil-kecilan itu,” ujar Arjuna mengingatkan.

Belakangan ini Agatha terlalu sibuk bekerja. Hal

tersebut tidak menutup kemungkinan jika ia akan melupakan sesuatu yang cukup

penting. Bukan hanya baginya saja, namun juga bagi orang lain.

Agatha menempelkan punggungnya pada sandaran kursi.

Sesekali ia melakukan gerakan peregangan ringan untuk mengatasi rasa pegal dan

nyeri.

 “Mana mungkin

aku melupakan hal penting seperti itu!” celetuknya.

 “Terlebih kau

seniorku,” lanjut Agatha.

Arjuna yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya

bisa tersenyum tipis. Kedua sudut bibirnya terangkat.

Meski mereka adalah rekan kerja, tapi hubungan

keduanya sudah seperti kakak adik. Arjuna begitu perhatian kepada Agatha.

Begitu pun sebaliknya. Bahkan yang lebih parahnya lagi, tak jarang dari teman

sekantor mereka yang mengira jika kedua berpacaran. Padahal tidak sama sekali.

Hubungan mereka sungguh hanya sebats rekan kerja saja. Tidak lebih.

Call

09.00

Saat ini Agatha dan beberapa rekan kerjanya yang

lain sedang berada di salah satu restoran ayam goreng. Mereka akan menghabiskan

waktu bersama-sama malam ini. Kebetulan sekali Arjuna baru saja mendapatkan

kenaikan pangkat. Bukankah hal baik seperti itu memang pantas untuk dirayakan?

Mereka juga berhak untuk bersenang-senang sesekali. Selama ini orang-orang itu

terlalu sibuk untuk mengusut kasus. Sampai mengabaikan diri mereka sendiri.

Sebenarnya desas-desus soal kabar tersebut sudah

mereka dengar sejak seminggu yang lalu. Hanya saja Arjuna baru memberitahu

mereka tadi pagi. Kemarin dia resmi naik pangkat. Jadi untuk merayakan

pencapaiannya yang satu itu, Arjuna memutuskaan untuk mentraktir teman-temannya

makan malam. Tenang saja. Mereka tidak akan minum-minum. Hal tersebut merupakan

larangan keras bagi mereka. Kali ini sungguh hanya makan malam biasa saja.

“Bagaimana kalau sekarang kita pulang?” tanya Robi.

“Lagipula sekarang sudah larut malam,” sambung

Thomas yang ikut menimpali ucapannya.

Agahta melirik ke arah jam tangannya untuk

memastikan apakah yang mereka katakan tadi benar. Sekarang sudah pukul sembilan

lewat tiga puluh menit. Bukan waktu yang tepat untuk berkeliaran di luar

seperti ini. Bahkan untuk orang sepeti mereka sekali pun.

“Sebaiknya kita pulang sekarang saja,” ujar Agatha.

Semua orang mengangguk setuju kali ini. Kemudian

Arjuna beranjak dari tempat duduknya untuk membayar tagihan di kasir. Mereka

semua harus berterima kasih kepada pria itu karena telah mentraktir mereka

makan malam ini.

“Kau pulang dengan siapa?” tanya Arjuna yang baru

saja kembali.

“Aku bisa sendiri,” jawab gadis itu secara gamblang.

“Ah, aku nyaris lupa jika kau selalu membawa mobil,”

balas Arjuna sembari menepuk jidatnya pelan.

Mereka berpisah tepat di depan pintu keluar. Semua

orang berpencar. Berlawanan arah. Arjuna dan Thomas pulang bersama, karena

kebetulan rumah mereka searah. Sementara sisanya harus pulang sendiri. Ailisha

tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Tidak akan ada yang berani

macam-macam dengannya. Lagipula sekarang belum terlalu malam. Jalanan pasti

masih cukup ramai.

“Sampai ketemu besok di kantor!” pamit Agatha yang

memilih untuk beranjak dari sana lebih dulu. Kemudian disusul oleh Arjuna dan

yang lainnya untuk meninggalkan tempat itu juga. Sampai tidak ada siapa-siapa

lagi di pelataran restoran. Mereka adalah pelanggan terakhir.

Menyetir sendirian di malam hari bukan lagi sesuatu

yang menakutkan. Agatha sudah biasa melakukannya. Selama ini gadis itu selalu

berhadapan dengan para pelaku kriminal. Jadi, bukan sesuatu yang mengejutkan

lagi jika kali ini ia harus berhadapan dengan orang-orang seperti mereka lagi.

Senjata yang ia bawa cukup untuk melindungi dirinya. Ditambah dengan kemampuan

bela diri yang ia miliki.

Agatha tinggal di salah satu apartment yang

kebetulan tidak terlalu jauh dengan tempatnya bekerja. Ia sudah berada di sini

sejak lima tahun yang lalu. Sebenarnya bangunan apartment yang ditinggali

olehnya sudah pasti terletak di pinggir jalan raya. Dengan begitu, akses keluar

masuknya akan mudah. Namun, pada kenyataannnya Agatha harus masuk lewat pintu

belakang. Itu adalah satu-satunya jalan untuk menuju parkiran.

Ia harus melewati jalanan sunyi yang tak terlalu

besar di samping apartmentnya. Di sana nanti ia akan langsung dihadapkan dengan

pintu masuk yang menuju langsung ke parkiran.

‘CIT!!!’

Ia mengerem mendadak tepat di jalanan menuju

apartmentnya. Gadis itu dikejutkan oleh seorang pria yang muncul secara

tiba-tiba di hadapannya. Kemudian ambruk begitu saja. Refleks Agatha berteriak

pelan. Tanpa pikir panjang lagi, ia segera keluar dari dalam mobil untuk

menghampiri pria itu.

“Apa aku barusan menabrak seseorang?” paniknya.

Agatha menghentikan langkahnya seketika. Jika

dipikir-pikir, tidak mungkin pria itu ambruk karena menghantam kendaraan yang

sedang melaju. Jaraknya dari mobil Agatha saat ini cukup jauh. Sekitar dua

meter. Namun, hal tersebut sama sekali tidak mengurungkan niat Agatha untuk

menghampiri pria itu dan mencari tahu penyebab kecelakaan tadi.

“Dia pasti mabuk,” simpul Agatha.

Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu segera

membawanya masuk ke dalam mobil. Untuk pertama kalinya Agatha menolong orang

mabuk. Padahal ia tak bisa memastikan apakah pria itu orang baik atau bukan.

Bau alkohol menyeruak dengan tajam ke seluruh

penjuru ruangan. Ia benar-benar tidak suka dengan aroma seperti ini. Indera

penciuman Agatha jadi terganggu. Ia tidak bisa mencium bau lain sekarang. Sebab

aroma kuat dari alkohol telah memenuhi rongga hidungnya.

***

Sesampainya di unit apartment miliknya, Agatha

langsung menuntun pria itu menuju sofa dan merebahkannya di sana. Untuk

sementara waktu Agatha akan membiarkan pria pemabuk itu beristirahat di

rumahnya. Ia tidak bisa meninggalkannya sendirian di luar sana. Terlalu bahaya

untuknya. Meskipun dia seorang pria, tetap saja tidak akan bisa melawan saat

bahaya datang. Ia bahkan tidak bisa membedakan mana yang benar ada dan mana

yang tidak ada pada kondisi mabuk seperti ini.

Setelah selesai beres-beres, ia kembali menghampiri

pria itu untuk mengecek kondisinya. Tapi, masih sama seperti terakhir kali

Agatha melihatnya. Dia masih belum sadarkan diri. Sepertinya mabuk berat. Entah

berapa banyak minuman beralkohol yang dikonsumsi olehnya.

“Harus diapakan orang seperti ini?” gumamnya sambil

melipat kedua tangan di depan dada.

Ia menghela napas dengan kasar. Kemudian mengambil

tempat duduk di sofa seberang yang tak terlalu jauh dengan pria itu. Dia harus

tetap mengawasinya. Agatha memutuskan untuk menghubungi salah satu temannya.

Kali ini bukan sesama polisi lagi. Melainkan temannya sejak masih SMA dulu.

Namanya Zura. Sekarang dia menjadi salah satu dokter bedah umum di salah satu

rumah sakit. Setidaknya, ia pasti tahu apa yang harus dilakukan terhadap orang

mabuk.

“Halo!” sapa Agatha lebih dulu.

“Halo?” sahut seseorang dari seberang sana.

“Masih di rumah sakit?”

“Enggak nih! Kenapa?”

“Ada yang ingin kutanyakan.”

“Iya, apa?”

“Kalau ada orang mabuk yang enggak sadarkan diri

gimana? Kira-kira kondisinya serius dan perlu dibawa ke rumah sakit gak sih?”

“Siapa yang mabuk? Jangan bilang kalau…”

“Bukan aku!”

“Untunglah. Lalu siapa?”

“Ada, orang lain. Lagipula kalau aku yang mabuk

sampai tak sadarkan diri, bagaimana bisa aku menghubungimu sekarang ini?

Memangnya tidak bisa membedakan orang yang sedan mabuk dan bukan?!”

“Tidak usah mengomel! Telingaku mulai panas.”

Keduanya selalu seperti itu. Mereka memang tidak

pernah tampak akur. Tapi, pada kenyataannya mereka berdua adalah sahabat.

Terdengar tidak masuk akal memang.

“Terus, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya

Agatha.

Nada bicaranya mulai terdengar serius kali ini. Zura

pun sampai ikut terbawa suasana.

“Kau masih belum tidur, kan?” tanya Zura balik.

“Belum,” jawab Agatha dengan apa adanya.

“Baiklah! Nanti aku akan ke sana untuk menemuimu.

Akan terlalu panjang jika aku menjelaskan lewat telepon. Kau pasti akan bisa

mendengarkannya,” jelas gadis itu dengan panjang lebar sebelum menutup

teleponnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!