Agatha langsung menuju ke kantornya tadi setelah
selesai berurusan dengan Aaron. Entahlah mereka akan bertemu lagi atau tidak.
Sejauh ini keduanya hanya saling tahu nama saja, tidak lebih. Mungkin Aaron
sudah tahu tempat tinggal Agatha, tapi tidak dengan kata sandinya. Jadi,
percuma saja.
“Selamat pagi!” sapa Arjuna yang baru saja datang.
“Pagi juga!” sapa gadis itu balik.
Saat ini Agatha masih mengamati kasus pembunuhan
berantai. Sambil mengonsumsi sedikit kafein untuk membuatnya tetap terjaga.
“Ada apa?” tanya Agatha. Pasalnya tidak biasanya
pria itu datang ke sini pagi-pagi. Kecuali jika ada sesuatu yang penting, atau
mengajak Agatha untuk makan siang di luar.
Tanpa menjawab pertanyaan gadis itu, Arjuna langsung
menarik sebuah kursi dan kemudian duduk tepat di sebelah Agatha. Gadis itu
menoleh sekilas ke arah Arjuna.
“Tidakkah kau merasa kalau ada sesuatu yang aneh
pada kasus ini?” tanya Arjuna.
Pria itu langsung merampas beberapa helai kertas
yang berada di tangan Agatha. Membuat sang empunya terkejut bukan main, tapi
dengan cepat ia bisa menetralisir keadaan.
“Aneh bagaimana?” tanya Agatha.
“Tanda yang ditinggalkan di tangan para korban,”
ungkap Arjuna.
Agatha kembali memperhatikan kumpulan foto korban
yang dimilikinya. Pembunuh tersebut selalu meninggalkan sebuah tanda di
pergelangan tangan korban. Entah itu dalam bentuk angka atau pun huruf. Ia
hanya mengamatinya sekilas saja. Kemudian berinisiatif untuk memadukan
kombinasi huruf dan angka tersebut menjadi satu kesatuan.
Arjuna tetap bergeming. Dia tidak tahu apa yang akan
dilakukan oleh gadis ini. Tapi, yang jelas ia sudah berusaha keras beberapa
hari belakangan ini untuk menyelesaikan kasus tersebut. Mereka harus menangkap
pembunuhnya. Jika ia terus dibiarkan berkeliaran, maka tidak menutup
kemungkinan jika jumlah korban akan bertambah.
Petunjuk pertama yang ditinggalkan pelaku pada
korban pertama adalah “22” entah apa artinya. Agatha akan terus mencari tahu
sampai menemukan jawabannya.
“Menurutmu, ini angka nol atau huruf o?” tanya
Agatha sambil menunjukkan foto pergelangan tangan dari korban kedua.
“Bentuk lingkarannya terlalu sempurna untuk
dikatakan sebagai sebuah angka nol,” ungkap Arjuna.
“Lalu, itu artinya ini adalah huruf-“
“Bukan!”
Agatha mengerutkan dahinya hingga kedua alisnya
tampak saling bertautan satu sama lain. Gadis itu merasa kebingungan. Terlebih,
tadi Arjuna langsung memotong perkataannya. Padahal kalimatnya belum selesai.
Pria itu sama sekali tidak memberikannya kesempatan.
“Tidakkah kau berpikir jika ini sebuah tanda baca?”
tanya Arjuna.
Gadis itu tidak langsung menjawab. Melainkan ia
hanya berpikir sejenak. Mengamati sebuah foto di tangannya dengan seksama.
“Ukurannya terlalu kecil untuk huruf O,” jelas
Arjuna.
“Jadi, maksudmu ini adalah simbol derajat?” tanya
Agatha untuk memastikan.
Pria itu hanya membalasnya dengan anggukan yakin.
“Masuk akal juga,” batin Agatha.
“22̊?” gumamnya.
“Derajat bisa menunjukkan suhu, bisa juga arah dan
yang lainnya,” ujar Arjuna.
Tanpa menghiraukan perkataan pria itu barusan,
Agatha kembali melanjutkan kegiatannya. Sejauh ini dia baru menggabungkan
simbol dari dua orang korban. Agatha sengaja menyusunnya dari urutan paling
awal.
Selanjutnya, ada angka “15” di tangan korban yang
ketiga. Sementara untuk korban terakhir mereka hanya menemukan tanda koma.
Agatha mengkombinasikan keempatnya, sehingga menjadi satu kesatuan.
22̊15,
Sejauh ini hanya kode itu yang bisa ia dapatkan.
Tidak ada yang tahu apa pesan tersembunyi di baliknya. Yang jelas, pelakunya
tidak akan mungkin melakukan hal tersebut jika tanpa alasan yang jelas. Agatha
menuliskan kombinasi angkanya di bagian akhir kertas laporan. Sebagai catatan
tambahan saja. Siapa tahu memang ada kaitannya.
“Sepertinya ini adalah titik koordinat,” ujar
Arjuna.
“Pembunuhnya sedang berusaha untuk menunjukkan
sebuah titik koordinat suatu tempat kepada kita?” simpul gadis itu dengan
ragu-ragu.
Untuk yang kesekian kalinya Arjuna kembali
mengangguki perkataan Agatha.
“Itu bukan tanda koma, melainkan tanda petik satu!”
celetuk Arjuna sembari menunjuk tanda baca yang paling akhir.
Agatha yang menyadari hal tersebut segera
memperbaiki format penulisannya. Jika benar ini adalah titik koordinat dari
sebuah tempat, maka mereka harus mencari tahu. Sebenarnya ada hubungan apa
antar tempat itu dengan kasus pembunuhan berantai ini.
Mereka berdua tampak begitu fokus memperhatikan himpunan
kombinasi angka, huruf dan tanda baca ini. Sekarang ada potongan sebuah titik
koordinat. Agatha dan Arjuna yakin jika ini belum lengkap.
“Tunggu sebentar!” celetuk Agatha secara tiba-tiba.
Gadis itu langsung beralih kepada sebuah komputer
yang berada di mejanya. Untuk apa mereka memiliki alat secanggih ini jika tidak
bisa digunakan untuk membantu pekerjaan mereka. Agatha langsung mengetikkan
sesuatu di sana. Lebih tepatnya potongan titik koordinat itu tadi. Mungkin
mereka bisa tahu lebih dulu dimana tempatnya.
“Ini titik koordinat Hongkong!” beber Agatha.
22̊15’LU 114̊10’BT
“Kode awalnya sama persis,” gumam gadis itu.
“Jika pembunuhnya memang ingin memberitahukan hal
tersebut kepada kita melalu kasus pembunuhan berantai ini, maka berarti aksinya
belum selesai,” jelas Arjuna dengan panjang lebar.
“Ini baru permulaan saja,” lanjutnya.
“Apakah itu berarti akan ada kurang lebih enam orang
lagi yang akan ia bunuh untuk menyelesaikan titik koordinat tersebut?” tanya
Agatha untuk memastikan. Sebenarnya ia benci menebak hal yang belum tentu benar
seperti ini.
“Bisa jadi,” jawab pria itu dengan pasrah.
Dari hasil pengamatan mereka sejauh ini, mebunuhnya
selalu memisahkan antara angka, huruf dan tanda baca. Semuanya dituliskan
secara terpisah. Jika benar yang ia maksud adalah Hongkong, maka titik
koordinatnya belum selesai sampai disitu saja. Ia akan terus membunuh dan
kemudian meninggalkan petunjuk yang sama seperti biasanya. Pelakunya akan terus
melakukan hal itu sampai titik koordinatnya lengkap.
Akan ada enam nyawa yang melayang dikemudian hari.
Mereka juga akan menerima enam laporan masuk dengan pelaku yang masih sama
seperti sebelumnya. Masalahnya, pembunuhan berantai ini dilakukan secara acak.
Mereka tidak bisa menebak siapa yang akan menjadi korban berikutnya. Mereka
tidak bisa menentukan satu di antara banyaknya manusia yang tinggal di kota
ini.
Dia bisa membunuh siapa saja. Dan kemungkinan
terburuk yang harus mereka terima adalah, mereka tidak bisa menghentikan si
pembunuh untuk melakukan aksinya. Tidak ada yang tahu siapa yang tengah menjadi
sasaran dari pelaku.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Agatha
cemas.
Arjuna menggeleng pelan. Tampaknya ia juga mulai
pasrah. Tidak bisa dipungkiri jika orang tersebut cukup pandai dalam
menghindari polisi. Dia tidak meninggalkan apa pun yang bisa mengundang curiga.
Bahkan, sudah beberapa bulan sejak korban pertama jatuh, mereka masih belum
bisa menetapkan siapa tersangkanya.
“Bagaimana bisa tidak ada sidik jari yang
tertinggal?” gumam Agatha frustrasi.
Gadis itu memijat pelipisnya pelan untuk mengurangi
rasa pusing mendadak yang menyerangnya. Namun, hal tersebut tidak berhasil. Pada
akhirnya, Agatha menjambak pelan rambutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments