Mimpi Ustadz Ridwan
"Terminal... Terminal... Terminal..."
Terdengar suara kondektur Bus berteriak dari arah pintu depan, seiring dengan masuknya bus ke dalam terminal.
Ridwan, pemuda itu bergegas berdiri sebagaimana penumpang lainnya, ia ketiduran hingga akhirnya terbawa sampai ke terminal, padahal ia harusnya bisa turun di jalan besar, karena desanya justeru berada sebelum terminal kota.
Ridwan menggendong tas ranselnya yang penuh baju dan sarung, sementara dus berisi buku dan kitab ia jinjing.
Bus berhenti dan penumpang yang tinggal beberapa saja antri untuk turun.
Ridwan berdiri paling belakang karena kebanyakan dari penumpang adalah orangtua, jadi sebagai orang muda, ia harus mendahulukan mereka.
Kotanya tampak basah, sepertinya hujan baru saja mengguyur.
Ridwan yang baru turun dari Bus didekati beberapa tukang ojek.
"Ke mana Mas? Ke mana Mas?"
"Ke Dukuh Waru Pak."
Jawab Ridwan.
"Ooh mari sama saya, kebetulan mertua saya asli Waru. Waru mana Mas?"
Tanya salah satu tukang ojek yang dengan sigap mengambil dus yang dibawa Ridwan.
Pemuda tampan dengan peci khas anak santri itu tersenyum santun.
"Waru Kidul Pak."
"Ooh Waru Kidul, Masjid Uswatun Hasanah bukan?"
"Inggih Pak."
"Wah saya tahu itu, monggo... Monggo..."
Tukang ojek itu mengajak Ridwan menuju motornya yang terparkir.
Ridwan mengikuti saja, ini tentu adalah rezeki bagi penumpang Bus sebetulnya, manakala tak ada saudara atau kerabat yang bisa menjemput, adanya banyak tukang ojek mangkal membuat kita terbantu tanpa harus menunggu lama untuk mencari transportasi lain.
Tak apa mengeluarkan sedikit rupiah, jika itu bisa membuat orang yang tengah berjuang menghidupi keluarga bisa memenuhi kebutuhan dapur mereka.
"Dusnya saya pangku saja Pak, ada kitabnya soalnya."
Kata Ridwan, saat dus berisi buku dan kitabnya akan diletakkan di bagian depan motor yang untuk pijakan kaki.
"Oh... Nggih Mas, nggih..."
Si tukang ojek memberikan dus itu pada Ridwan.
Tampak pemuda itu menerimanya sambil tersenyum.
Udara kota tak terlalu panas hari ini, meski angin khas kota pesisir masih terasa sedikit kering.
Jalanan yang masih terlihat kuyup, menandakan jika hujan turun cukup deras beberapa waktu lalu.
Motor melaju menjauhi terminal dan menuju kampung Ridwan tinggal.
Setelah hampir delapan tahun Ridwan berada di kota lain, menimba ilmu di pesantren sambil melanjutkan sekolah dan kuliah, kini Ridwan akhirnya benar-benar kembali ke kotanya.
Diterima sebagai seorang Guru Agama di Sekolah Dasar di mana dulu ia pernah belajar, membuat Ridwan sangat bersemangat untuk kembali pulang.
Memiliki Ilmu yang bermanfaat, tentu itulah cita-cita Ridwan.
Ilmu yang bisa ia bagi pada anak-anak, yang akan menjadi pelita kecil kala mereka merasa dunia gelap dan bisa membuat mereka tersesat.
Tak terasa, motor tukang ojek sudah memasuki wilayah desa Waru, Ridwan memberikan petunjuk ke mana arah menuju rumahnya yang ada tak jauh dari Masjid Uswatun Hasanah.
Tukang ojek mengarahkan motornya ke arah sesuai yang diberikan Ridwan, sampai kemudian di depan rumah yang diseberangnya membentang hamparan sawah yang hijau, Ridwan meminta si tukang ojek berhenti.
Tiga anak kecil di halaman depan yang sedang bermain memandangi kedatangan Ridwan dan tukang ojek.
Hingga salah satu anak yang ada di halaman itu melompat senang.
"Paman Ridwan... Paman Ridwan..."
Gadis kecil itu menyambut senang, ia lantas berlari masuk ke dalam rumah.
Ridwan tersenyum seraya turun dari motor, membayar lebih pada si tukang ojek.
"Tidak usah kembali Pak, tidak apa-apa, InsyaAllah saya ikhlas, semoga Bapak berkah hari ini."
Kata Ridwan.
"Wah terimakasih Mas... Terimakasih."
Kata si tukang ojek.
Seorang Ibu dan perempuan yang lebih muda keluar tergopoh-gopoh dari dalam rumah sederhana yang tadi ada gadis kecil masuk.
Ya, itu adalah Ibu Ridwan dan kakak perempuan Ridwan satu-satunya yang baru ditinggal sang suami kembali ke sang Khalik satu tahun silam.
"Monggo Mas, saya permisi."
Pamit si tukang ojek santun.
Ridwan mengangguk.
"Hati-hati Pak."
"Nggih Mas, assalamualaikum..."
Kata si tukang ojek.
"Waalaikumsalam warrohmatullahi wabarokatuh.."
Jawab Ridwan mengiring kepergian si tukang ojek.
Ridwan lantas menghampiri Ibunya di depan rumah yang masih separuhnya terbuat dari papan itu.
"Assalamualaikum..."
Ridwan menguluk salam.
"Waalaikumsalam..."
Jawab Ibu dan Kakak perempuan Ridwan bersamaan.
Ridwan menyalami sang Ibu, mencium punggung tangannya, begitu juga pada sang kakak perempuannya.
"Sehat Bu?"
Tanya Ridwan pada Ibunya yang matanya tampak berkaca-kaca karena terharu.
"Alhamdulillah, berkah sehat."
Jawab Ibu.
"Kamarnya sudah Mbak rapihkan, simpanlah barang-barangmu Wan, lalu cuci muka, Mbak sudah masak makanan kesukaanmu."
Kata Mbak Wening, kakak perempuan Ridwan.
"Terimakasih Mbak."
Ridwan lalu menuju kamarnya,
"Buatkan air teh hangat Ning."
"Nggih Bu."
Mbak Wening mengangguk.
"Ajeng, mandi dulu hayuk sudah sore."
Ujar Mbak Wening pada anaknya yang akan main lagi.
"Nggih Bu, ini mau bilang teman-teman dulu."
Sahut Ajeng.
"Iya, biar teman-teman kamu juga mandi, nanti baru berangkat les."
Kata Mbak Wening.
"Inggih Bu."
Sahut Ajeng lagi, lalu berlari keluar rumah untuk menemui teman-temannya.
Ridwan di dalam kamar tampak meletakkan ranselnya di atas kursi kayu yang sudah agak lapuk yang dulu ia gunakan sebagai kursi belajar.
Sementara dus berisi buku dan kitabnya ia letakkan di atas meja.
Ridwan membongkar dus nya lebih dulu, mengeluarkan isinya, dan menyusun buku serta kitab-kitab selama ia di pesantren di atas meja yang ditutup taplak motif batik wayang Werkudara berwarna hijau.
Setelah rapi, Ridwan baru membongkar isi ranselnya, mengeluarkan sarung dan baju koko serta kemeja dan celana yang masing-masing hanya tinggal dua sampai tiga potong saja.
Ridwan menghibahkan banyak sarung dan kemeja serta baju kokonya untuk teman-teman santrinya di pesantren.
Toh sebetulnya sebagai muslim, tak baik terlalu banyak menyimpan baju, jika baju-baju itu lebih bermanfaat untuk orang lain, maka lebih baik diberikan pada mereka, apalagi anak-anak santri yang akan memakainya untuk mengaji, sholat dan ibadah lain, yang tentu saja itu akan sangat bermanfaat dunia akhirat, di mana baju bukan hanya untuk sekedar menutup aurat, apalagi untuk bergaya.
Ridwan menyusun baju, celana dan sarungnya di dalam lemari kayu yang juga model lama.
Lemari kayu yang terdiri dari dua pintu, dan salah satu pintunya ada kaca cermin besar yang bisa ia gunakan untuk bercermin.
Setelah selesai merapihkan semuanya, barulah Ridwan bersiap keluar dari kamar.
Tentu setelah dus bekas untuk membawa buku dan kitabnya ia letakkan di kolong tempat tidur kayunya, dan ranselnya ia gantung di belakang pintu kamar.
Ridwan meski laki-laki memang sangat rapi.
Ridwan keluar dari kamar, menyingkap tirai berwarna coklat motif jaman dulu.
"Makanlah, ini wedang teh nya mumpung masih hangat Wan."
Kata Mbak Wening saat Ridwan memasuki ruang makan rumah mereka yang juga sederhana saja.
Tampak sajian sambal terasi di atas cobek dengan pete kukus, dan sepiring tahu tempe goreng tanpa tepung dan ikan tawar goreng di atas meja berlapis taplak plastik kotak-kotak.
"Cuci muka dulu Mbak."
Kata Ridwan.
Mbak Wening mengangguk.
Di belakang rumah, di mana di sana halaman terbuka Ibu terlihat duduk di bawah sambil sibuk membatik.
Ridwan melewati sang Ibu untuk menuju kamar mandi karena akan cuci muka.
Kamar mandi yang berderet dengan satu kamar untuk toilet dan di sampingnya lagi sumur yang di atasnya ditutup papan kayu.
Disekitar sumur ada beberapa tanaman perdu, ada juga beberapa buah seperti Nanas dan Melon.
Tak jauh dari sana ada kandang ayam yang hanya berisi tiga ayam saja, yang bersebelahan dengan pohon Rambutan yang jika sedang musim cukup banyak berbuah.
Halaman itu dikelilingi pagar bambu setinggi dua setengah meter, yang di atasnya dibuat runcing.
**----------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
karyaku
hi kak mendadak menjadi istri ustadz jangan lupa mampir y kk
2024-10-27
0
Dwi Pudji Astuti
sy juga ikutan nyimak dulu ya ...
2022-09-27
0
Mans
nyimak dulu blom ada yang mau d komentarin 😂😂😂
2022-09-21
1