Ridwan tampak wudlu di sumur memakai ember cat yang dilobangi dan ditutup memakai potongan kayu kecil yang dibuntel menggunakan kain perca.
Setelah ambil wudlu ia bergegas menuju kamar untuk memakai sarung, baju koko dan peci.
Adzan terdengar mulai dikumandangkan dari arah masjid dan surau-surau di sekitar daerah tempat tinggal Ridwan.
"Ridwan ke masjid Bu."
Kata Ridwan pada Ibunya yang berjalan menuju belakang rumah untuk ambil air wudhu.
"Iya Wan..."
Jawab Ibu.
Ajeng juga ikut si Mbah ambil wudhu, untuk Ibu dan Mbak Wening memang dari dulu mereka sebagai perempuan memilih opsi jamaah di rumah saja, tidak ke surau atau masjid.
Ridwan keluar dari rumah,
"Bismillahirrahmanirrahim..."
Ridwan melangkahkan kakinya yang beralaskan sandal jepit berwarna hijau.
Ia berjalan menyusuri jalanan kampung menuju masjid yang letaknya di pinggir jalan raya tembusan ke kota sebelah.
Di jalan ia bertemu dengan Pak RT, tampak Pak RT senang melihat Ridwan, salah satu pemuda yang termasuk kebanggaan daerah mereka.
"Pulang kapan Nak Ridwan?"
Tanya Pak RT ramah, tatkala Ridwan menyalaminya dengan santun.
Mereka berjalan beriringan menuju masjid Uswatun Hasanah, masjid yang berdiri di RW mereka yang kebetulan letaknya ada di RT Ridwan tinggal.
"Alhamdulillah tadi siang Pak RT."
Jawab Ridwan.
"Alhamdulillah."
Pak RT mantuk-mantuk.
"Jadi ini liburan atau akan menetap di rumah?"
Tanya Pak RT lagi.
"Alhamdulillah untuk sekarang saya akan menetap Pak RT, karena saya baru diterima mengajar di SDN Waru dua."
Jawab Ridwan.
"Wah senang sekali saya mendengarnya Nak, ini namanya berkah untuk kampung kita, baru saja kehilangan Ustadz Saleh, sekarang nak Ridwan datang untuk menggantikan. Alhamdulillah."
"Aduh, ilmu saya tidak sebanding dengan Ustadz Saleh yang lulusan Gontor Pak RT, sementara saya cuma lulusan pesantren kecil di kota kecil pula."
Ridwan merendah,
Bersamaan dengan itu keduanya tampak telah sampai di teras masjid, melepas sandal dari kaki kiri terlebih dahulu, lalu diikuti kaki kanan.
Sementara naik ke teras masjid adalah sebaliknya, memakai kaki kanan lebih dulu, baru diikuti kaki kiri.
Beberapa Bapak-bapak dan hanya beberapa pemuda tampak berdatangan untuk berjamaah.
Mereka menyambut kehadiran Ridwan, tentu saja buat mereka Ridwan yang merupakan santri seperti cahaya penerang manakala Ustadz Saleh meninggalkan mereka.
"Ini Nak Ridwan bisa diajak masuk Dewan Kemakmuran Masjid Pak Haji Imran."
"Ooh iya betul, apalagi ini menjelang bulan puasa, yang rencana untuk membuat pengajian anak-anak muda dan anak kecil sehabis asar, serta kuliah subuh, mungkin Nak Ridwan bisa menggantikan Ustadz Saleh."
Ridwan yang merasa sambutan dan tawaran dari warga begitu berlebihan membuat hatinya antara bahagia namun juga takut akan menjadi ujub.
"Astaghfirullah Bapak Bapak yang terhormat, nuwun sewu... nuwun sewu, saya tidak seistimewa itu, ya Allah saya juga masih harus banyak belajar."
Ridwan terlihat sangat malu dipuja-puji luar biasa.
Sungguh pujian hanya pantas untuk Allah Subhanahu Wata'ala. Batin Ridwan takut hatinya tergetar sedikit saja untuk merasa memang ia layak dipuji.
Hingga akhirnya terdengar iqomah,
"Allahu Akbar... Allahu Akbar...
Asyhadu Allaa illaha illallah. Asyhadu Anna Muhamadar Rosulullah... Hayya 'Alas-sholaah... Hayya 'Alal-falaah, Allahu Akbar... Allahu Akbar... Laa ilaaha illallaah..."
Semua jamaah pun segera bersiap membuat shaf, sementara Pak Haji Imran sebagai orang yang dituakan berdiri sebagai Imam.
**--------------**
Ibu di kamar masih terdengar membaca Alquran, ketika Mbak Wening selesai membuat dadar telur dan membuat gorengan tempe kesukaan Ajeng.
Ajeng sendiri selepas sholat jamaah maghrib dengan Ibu dan Mbah nya di kamar si mbah langsung ke kamarnya sendiri dan mulai sibuk belajar.
Ajeng memang sangat menyukai sekolah, ia juga tak pernah susah payah disuruh belajar.
Cita-cita Ajeng adalah ingin seperti Ibu Kartini, yang menjadi perempuan cerdas dan terhormat.
"Jeng... Ajeng."
Mbak Wening menuju kamarnya, menyingkap tirai pintu kamar dan melongok ke dalam.
Ajeng duduk di kursi meja belajarnya.
Meja belajar bergambar Elsa Frozen, tokoh animasi kesukaannya.
Tampaknya, Ajeng memang suka dengan sosok perempuan yang kuat dan mandiri, mungkin karena ia selama ini melihat Ibu dan si Mbah yang mampu hidup tanpa bantuan seorang laki-laki.
Berjuang atas kerasnya hidup, menghasilkan rupiah sendiri, namun tetap berpegang teguh menjaga kehormatannya.
"Mau makan sekarang tidak?"
Tanya Mbak Wening pada putri semata wayangnya.
Buah cinta satu-satunya dengan sang suami selama pernikahan mereka hingga akhirnya cinta mereka dipisahkan oleh kematian Ayah Ajeng.
"Nanti saja Bu, sama-sama Mbah dan Paman Ridwan."
Ujar Ajeng.
Mbak Wening mengangguk.
"Baiklah, teruskan belajarnya, nanti kalau isya kita sholat jamaah lagi, Paman Ridwan mungkin pulang setelah sholat Isya."
Ajeng mengangguk.
"Iya Bu."
Sahutnya.
Mbak Wening kembali ke ruang makan, menutup sajian makan malam sederhana keluarga mereka dengan tudung saji.
Setelah itu ia mulai membenahi hasil setrikaannya, untuk di masukkan ke dalam lemari pakaiannya, lemari Ajeng dan lemari Ibunya.
Ibu di kamar masih terus membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Sepertinya yang beliau baca adalah surat An-naml. Surah yang menceritakan kisah Nabi Sulaiman tatkala membawa risalah kepada Ratu Balqis, dan juga tentang kawanan semut yang terdengar khawatir terinjak oleh Nabi Sulaiman yang akan lewat bersama pasukannya.
Setelah selesai menyimpan baju-baju yang telah disetrika, Mbak Wening menuju teras rumah, gerimis tipis turun kembali.
Setelah menjelang siang tadi hujan sempat mengguyur deras, malam ini gerimis kembali turun tipis-tipis.
Mbak Wening melipat tangannya, udara mulai terasa dingin di pertengahan musim penghujan.
Angin pesisir yang biasanya kering dan tetap memberikan hawa panas, kini terasa sangat dingin di kulit.
Adzan Isya berkumandang, menenggelamkan suara serangga-serangga malam yang terdengar dari area pesawahan dan juga kebun-kebun di sekitar sana.
Kelip lampu dari rumah-rumah penduduk yang jauh di seberang sawah sana terlihat kecil bagaikan lampu kunang-kunang.
Mbak Wening segera kembali masuk, menutup pintunya rapat-rapat takut ada ular kobra masuk ke dalam rumah.
Risiko hidup di dekat sawah memang ancaman ular kobra dan ular lain yang kapan saja bisa masuk rumah lalu menyelinap sembunyi.
Pernah Mbak Wening sengaja memelihara kucing untuk berjaga.
Karena menurut Bang Panji petualang, salah satu penjaga rumah yang paling baik dari ular kobra adalah kucing kampung.
Kebetulan sepulang bekerja di pabrik donat, Mbak Wening melihat ada kucing kampung kecil yang seperti tersesat atau mungkin dibuang oleh orang.
Mbak Wening mengambilnya, membawanya pulang untuk dipelihara dan akhirnya dijadikan penjaga rumah.
Tapi, naas bagi kucing tersebut, suatu malam pintu belakang rumah lupa di kunci, pintu yang sedikit terbuka membuat ada ular menyelinap.
Kucing kampung peliharaan Mbak Wening menghalau, tapi karena kobra itu cukup besar, maka racun yang masuk ke tubuh sang kucing cukup banyak dan akhirnya ia tak tertolong.
Meskipun kobra itu mati juga, tapi kucing Mbak Wening pun berkorban nyawa.
Ah Mbak Wening tiap kali ingat itu jadi sedih, sampai saat ini ia masih ingat kucingnya yang malang.
Mbak Wening pergi ke belakang rumah untuk kembali mengambil air wudhu, dan bersiap sholat isya bersama Ibunya.
**--------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
ic
anaconda..
2022-10-08
0
Rinjani
waduh ular sawah kok ada ular kobra ihhh kasih garam kasar sekitar rumah🤭🤭🤭🙏
2022-09-21
0
Rusliadi Rusli
mantap thor
2022-07-08
0