"Ajeng, itu nanti diantar Paman Ridwan ya."
Kata Mbak Wening.
Ajeng terlihat sudah rapi dengan gamis dan jilbabnya, ia meraih tas ransel bergambar Elsa Frozen.
"Paman akan nungguin Ajeng sampai selesai juga kan?"
Tanya Ajeng menghampiri Ibunya untuk salim.
"Iya nanti pulangnya sama Paman Ridwan lagi."
Kata Ridwan.
"Salim sama Mbah dulu."
Tambah Ridwan lagi.
Ajeng mengangguk.
Tampak bocah itu berlari ke belakang di mana Si mbahnya masih membatik.
"Mbah, Ajeng berangkat les dulu."
Ajeng menyalami tangan Mbah nya.
"Weh lah, berangkat sama siapa ta Jeng?"
Tanya Mbah.
"Sama Paman Ridwan Mbah."
"O ya ngono, ati-ati."
Kata Mbah kemudian.
"Eh ini sebentar."
Mbah mengambil dompet kecil dari sela pinggangnya, dibukanya dompet berwarna hitam itu dan dikeluarkannya kemudian selembar uang lima ribuan.
"Buat tumbas jajan."
Kata Mbah.
Ajeng nyengir senang.
"Pangkat Mbah."
Ajeng sambil lari-lari masuk ke dalam lagi untuk menemui Pamannya.
"Sudah pamit Mbah?"
Tanya Paman Ridwan.
"Sampun."
Jawab Ajeng.
Paman Ridwan berjalan ke ruang tamu rumah di mana sepeda ontel milik Mbak Wening diletakkan.
Paman Ridwan mengeluarkan sepeda ontelnya keluar rumah, sementara Ajeng mengikuti dari belakang.
Mbak Wening sendiri menuju ke belakang untuk masak nasi untuk makan malam.
"Bisa ndak naik ke boncengan?"
Tanya Paman Ridwan.
Ajeng mengangguk.
"Saged ta Paman, kan setiap hari dibonceng Ibu."
"Eh anak pinter."
Ridwan tersenyum.
Ajeng lantas berpegangan pada Pamannya naik ke boncengan sepeda.
"Sudah siap?"
Tanya Paman Ridwan pada Ajeng.
"Sampun."
Sahut Ajeng yang sambil melingkarkan tangannya di pinggang Paman Ridwan.
Angin pedesaan yang bertiup dari area sawah terasa menerpa Ridwan yang mulai mengayuh sepedanya.
Sepeda itu melaju di atas jalanan desa yang jalanannya tak begitu bagus namun masih bisa dilewati.
Hamparan sawah terbentang dari ujung ke ujung di sisi kiri jalan, sementara di sisi kanan jalan tampak rumah-rumah sederhana milik penduduk yang kebanyakan masih terbuat dari papan.
"Teman-teman Ajeng yang tadi tidak les?"
Tanya Paman Ridwan mengajak bicara keponakannya.
"Mereka tidak les Paman, soalnya katanya bayar les mahal, Ibunya tidak mau, tapi kalau ngaji mereka ikut, tapinya lagi Ustadz Saleh sudah satu minggu tidak pulang, jadi ngajinya libur."
Tutur Ajeng.
"Lho memangnya Ustadz Saleh ke mana?"
Tanya Paman Ridwan.
Ustadz Saleh kan pindah ke rumah Ustadzah Fauziah.
"Ooh istri Ustadz Saleh."
Paman Ridwan mantuk-mantuk.
"Teman-teman Ajeng pada suka ngaji, soalnya tidak bisa les."
Kata Ajeng.
Paman Ridwan tertawa kecil.
"Sebetulnya ngaji dan les sama bagusnya, sama baiknya, sama pentingnya Ajeng."
"Ajeng juga ngaji kok kalo ada Ustadz Saleh."
Kata Ajeng.
Paman Ridwan mengayuh terus sepeda ontelnya melewati jalanan kampung menuju rumah Bu Gurunya Ajeng.
"Nah itu rumah Bu Guru."
Ajeng menunjuk rumah Bu guru lesnya.
Rumah kecil sederhana yang catnya berwarna hijau muda.
Terlihat dua motor baru pergi meninggalkan pelataran rumah tersebut, rumah yang pintunya terbuka lebar-lebar itu terlihat sudah ramai oleh beberapa anak.
"Itu teman-teman Ajeng semua?"
Tanya Paman Ridwan manakala sampai di depan pelataran rumah Bu Guru Iis yang merupakan Bu Guru les nya Ajeng.
Ajeng mengangguk.
"Bu Guru Iis tidak mengajar di sekolah Ajeng, tapi teman les Ajeng banyak yang satu kelas."
Kata Ajeng nyengir sambil turun dari boncengan.
"Paman nungguin Ajeng kan?"
Tanya Ajeng.
"Iya, tapi Paman akan pergi ke makam dulu ya, ke makam Mbah kakung, nanti Paman akan langsung ke sini lagi."
Ujar Paman Ridwan.
Ajeng mengangguk.
"Iya Paman."
Kata Ajeng menurut.
Bocah itu lantas berjalan masuk ke dalam rumah Bu Guru lesnya setelah mengucap salam keras-keras dan dijawab anak-anak juga.
Ridwan mengayuh sepedanya lagi, dan saat melewati sebuah rumah yang paling bagus dari semua deretan rumah yang ada di desa itu, Ridwan menyempatkan diri menatap bangunan rumah tersebut.
Rumah dengan halaman luas dan pagar besi itu tampak sepi, yang biasanya dulu kadang ada dua mobil dan banyak motor karyawannya.
Ridwan kemudian mengarahkan sepedanya menuju area pemakaman umum yang ada di desanya itu.
Sebetulnya semula ia ingin ke makam Bapaknya besok atau lusa saja, tapi Ridwan merasa bahwa semakin cepat ia datang tentu lebih baik.
Apalagi kebetulan ia sekalian mengantar les Ajeng yang letak rumah Bu Gurunya tak jauh dari pemakaman.
Jadi ya sekalian saja akhirnya, begitu pikir Ridwan.
Sampai di pemakaman, terlihat penjaga makam sedang minum kopi di dekat pintu masuk makam.
Ridwan turun dari sepeda, meletakkan sepedanya di dekat penjaga makam itu duduk.
"Sore Pak."
Sapa Ridwan.
Bapak penjaga makam itu menatap Ridwan, ia terlihat cukup kenal baik pada anak muda di depannya.
"Lah ini bukannya Mas Ridwan?"
Penjaga makam menunjuk Ridwan yang lantas menyalami si bapak penjaga makam.
"Nggih Pak leres, saya Ridwan."
Ujar Ridwan.
"Mau ke makam Bapak nggih Mas?"
Tanyanya.
Ridwan mengangguk.
"Baru pulang nopo?"
Tanya penjaga lagi ketika jabat tangan mereka terlepas..
"Nggih Pak, kebetulan saya baru saja sampai tadi, ini karena mengantar anaknya Mbak Wening les, jadi sekalian saja ke sini mampir."
Kata Ridwan.
"Ooh iya, les di tempat Bu Guru Iis nggih."
"Inggih."
Ridwan mengangguk.
"Iya Bu Guru Iis, itu baru lulus tahun ini tapi buka les langsung laris, katanya orangnya telaten jadi banyak yang suka."
Ridwan mantuk-mantuk sambil tersenyum.
"Saya pamit sebentar Pak."
Kata Ridwan.
"Ooh nggih monggo Mas... Monggo..."
Pak penjaga makam mempersilahkan.
Tepat saat Ridwan akan masuk ke area makam, terlihat seorang gadis ayu keluar dari makam bersama seorang perempuan yang usianya lebih tua.
Gadis ayu yang jelas saja Ridwan tak akan pernah lupa wajahnya.
Satu-satunya wajah gadis yang masuk ke dalam mimpinya, yang sekian tahun membuat hatinya tertambat meskipun tak pernah berani mengungkapkannya kecuali lewat satu surat saat perpisahan sekolah sebelum akhirnya Ridwan berangkat ke pesantren.
Ah yah, surat itu, surat yang sampai sekarang belum pernah dibalas, entah karena gadis itu terlalu pemalu, atau justeru memang karena tak memiliki perasaan apapun pada Ridwan.
Tapi...
Jika melihat bagaimana sikapnya setiap kali bertemu Ridwan, rasanya sebetulnya mustahil sekali jika gadis itu tak memiliki rasa apapun padanya.
"Nisa."
Ridwan memberanikan diri lebih dulu menyapa.
Keduanya saling tatap, meski akhirnya saling menunduk.
Astaghfirullah... Batin Ridwan.
Merasakan getaran di dadanya yang luar bisa kencang manakala bertatapan tanpa sengaja dan kini berhadapan dengan gadis itu membuat Ridwan seperti menghianati ajaran agamanya.
Dia bukan mahrom, tapi godaan menatap wajah ayu itu begitu kuat.
"Mas Ridwan, pulang kapan?"
Tanya perempuan yang lebih tua.
Ridwan menoleh ke arah perempuan itu.
"Lupa sama si Mbok kan?"
Perempuan itu tersenyum.
Ridwan nyengir karena tak bisa berbohong untuk membantah.
"Ini Mbok Rat, pengasuh Mbak Anisa, dulu kan waktu kalian TK sering ketemu, waktu SMP juga pernah bantuin Mbok di pasar itu kan pas Mbok hampir ketabrak."
Kata perempuan bernama Mbok Rat.
"Ooh nggih Mbok, maaf... Maaf..."
Ridwan jadi tak enak karena ingatannya tidak fokus.
Mbok Rat tersenyum.
"Mau ke makam Bapak bukan?"
Tanya Mbok Rat.
"Inggih Mbok."
Jawab Ridwan.
"Nggih sama ini kayak Mbak Nisa, baru ke makam Ibunya."
Ridwan jadi menatap Anisa lagi.
Hanya sekilas, karena hati kecilnya kembali mengingatkan untuk tak boleh menatap gadis terlalu lama.
**---------------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Mans
gpp permulaan menatap 😂
2022-09-22
0
Rusliadi Rusli
asekk
2022-07-08
0
Lisa Aulia
masih lanjut nyimak....
2022-05-29
1