Senja telah tiba ketika akhirnya Ajeng keluar dari rumah sederhana Ibu Guru Iis.
Tampak Ibu Guru yang bersahaja itu mengantar anak-anak didiknya keluar dari rumah dan mulai pulang dengan jemputan masing-masing.
Kesemuanya ada sekitar delapan anak, dan dari tujuh anak itu dijemput mengenakan motor, hanya Ajeng yang pulang dengan jemputan sepeda ontel.
Tapi...
Ajeng tak merasa berkecil hati, sebagai anak yang selalu mendapat peringkat bagus di sekolah, banyak teman yang selalu suka berteman dengannya tanpa melihat Ajeng punya apa.
"Ajeng pulang Bu, assalamualaikum..."
Ajeng menyalami Bu Gurunya, lalu naik ke boncengan sepeda sang paman.
Bu Guru Iis melambaikan tangannya, mengiring kepergian Ajeng yang dibonceng Pamannya.
"Siapa itu?"
Tanya Ibunya Bu Guru Iis saat Bu Guru Iis berbalik dan akan masuk ke rumah lagi.
Ibunya terlihat berdiri di pintu depan menatap Ridwan yang menjauh memboncengkan Ajeng dengan sepeda ontel sederhananya.
"Paman Ajeng Bu."
Jawab Bu Guru Iis, yang tampak membuka peniti hijabnya, ia akan bersiap untuk memasak makan malam dan setelah itu sholat maghrib dan akan ke rumah Anisa.
Mereka sudah janjian akan datang ke kajian di pondok hari ini.
"Pamannya Ajeng, berarti adiknya Mbak Wening yang kerja di rumah Haji Syamsul?"
Tanya Ibu lagi.
"Inggih Bu, beliau yang belajar di pesantren sejak lulus SMP, sekolah sambil mondok, sudah lulus S1 sekarang pulang ke kampung."
"Kok kamu tahu banyak to?"
Ibunya Bu Guru Iis tersenyum penuh arti.
Bu Guru Iis yang namanya adalah Istikomah itu hanya menghela nafas.
Ia tahu betul apa yang kini terbesit dalam pikiran sang Ibu.
Ya, apalagi jika bukan calon untuk dirinya.
Berulangkali sang Ibu berusaha menjodohkan Istikomah dengan laki-laki pilihannya, namun belum satupun dari mereka yang menarik hati Istikomah.
Entahlah, sebetulnya Istikomah belum terlalu memikirkan pernikahan.
"Beliau sepertinya Pak Guru agama baru di sekolah Iis Bu, yang sudah dikabarkan Pak Haji Mursyid sejak awal bulan."
Kata Istikomah akhirnya.
"Lho kok dia tidak kenal kamu?"
Tanya Ibu.
Istikomah tertawa kecil.
"Ibu ini, kan Pak Ridwan belum mulai mengajar, beliau sepertinya juga baru pulang hari ini, tadi Ajeng yang cerita, kalau Pamannya pulang akan jadi Guru agama, tapi bukan di sekolah Ajeng, tapi di sekolah Kinan dan Eca."
"Oh Kinan dan Eca kan muridmu di sekolah."
Istikomah mengangguk.
"Berarti ada kemungkinan memang kalian berjodoh, Ibu akan berdoa, dia jelas laki-laki sholeh."
Ujar Ibu.
Istikomah yang mendengar tentu saja langsung memeluk Ibunya.
"Ibu, jangan begitu ta, jangan berdoa menyebut nama, beliau kan mungkin sudah ada calon isteri yang juga sudah menunggu pinangannya, sudah Bu, biar semua mengalir seperti air, toh Iis belum memikirkan pernikahan."
Kata Iis.
Ibu menghela nafas.
Ia tetap ingin Ridwanlah yang nantinya jadi menantu.
**--------------**
Angin senja semilir bertiup sepoi-sepoi.
Padi di sawah terlihat bergerak-gerak dihembus angin.
Ridwan mengayuh sepedanya mendekati halaman rumahnya yang masih berupa tanah.
Pohon Nangka tampak sudah mulai berbuah, mungkin tak akan lama lagi Nangka itu akan masak dan bisa dinikmati.
Nangka muda juga enak jika dibuat nasi megono, apalagi jika ditambah ayam opor pula.
Ridwan akhirnya menghentikan kayuhan kedua kakinya, sepeda berhenti dan Ajeng turun dengan riang.
"Ibuuuu..."
Ajeng teriak.
"Heeei... Assalamualaikum kalau masuk rumah."
Suara Mbak Wening terdengar dari dalam.
"Assalamualaikum..."
Ajeng langsung menguluk salam menuruti Ibunya.
Ridwan menuntun sepeda ontel Mbak Wening ke atas teras, lalu memasukkannya sekalian ke dalam ruang tamu di mana sebelah kanan ruangan itu kosong tak ada kursi.
Setelah memastikan sepeda Kakaknya terparkir dengan baik, Ridwan menutup pintu rumahnya karena sebentar lagi Adzan maghrib akan berkumandang.
Ibu terlihat menyingkap tirai pintu kamar, ia keluar dari dalam kamar.
"Wan, sholatlah di masjid, belakangan jamaah katanya berkurang banyak."
Ujar Ibu.
"Inggih Bu, Ridwan mandi dulu."
Kata Ridwan.
Ibu mengangguk.
"Sejak Ustadz Saleh ikut istrinya memang masjid jadi kurang hidup, khawatir jika syiar islam akan makin meredup. Terutama penanaman akhlak pada generasi muda belakangan ini sepertinya kurang sekali, kau cobalah nanti masuk dan mulai mendekati dewan kemakmuran masjid."
Kata Mbak Wening.
"Nanti aku akan coba bicara, Ajeng juga cerita teman-temannya banyak yang tidak bisa ikut les terbentur biaya jadi tak punya kegiatan, padahal tadinya mereka mengaji di tempat ustadz Saleh."
"Iya, dulu itu ustadz Saleh selain mengajar mengaji juga mengajari doa-doa dan bahkan juga sering bercerita tentang perjuangan para ulama dalam kemerdekaan."
"Beliau sarjana sejarah juga, tentu beliau menguasai itu."
Ujar Ridwan.
Mbak Wening yang semula sibuk menyetrika tampak mencabut kabel dari colokan.
"Mbak mau dadar telur, tadi baru masak tumis pepaya, kamu tidak apa kan lauk telur dadar?"
Tanya Mbak Wening.
"Waduh saya makan apa saja inshaAllah tidak akan pernah mengeluh Mbak, makan kan sejatinya hanya untuk kita tidak lapar saja, bukan untuk menuruti bawa nafsu. Pokoknya selama itu halal, alhmdulillah."
Ujar Ridwan.
Mbak Wening mengangguk.
"Baiklah, nanti kita makan ayam gorengnya setelah kamu mulai mengajar dan sudah gajian."
Kata Mbak Wening membuat Ridwan tertawa.
"inshaAllah Mbak... inshaAllah... Aamiin."
Ridwan lantas berjalan ke arah belakang rumah, ia melihat ke arah kamar mandi yang terlihat kolamnya airnya tak penuh.
Ridwan menggantung handuknya di paku yang ada di dekat kusen pintu, lalu berjalan ke arah sumur untuk menimba.
Sudah sejak terakhir Ridwan pulang sanyo di rumahnya memang mati, dan sampai hari ini mereka belum bisa membetulkan.
Mbak Wening tampak ke halaman belakang juga, memasukkan sejumput beras ke wadah makan di kandang ayam, lalu memetik lima cabe rawit dari pot yang ada di samping luar dapur.
"Mbak, aku baru tahu kalau Bu Hajjah Syamsul sudah meninggal."
Kata Ridwan sambil menimba air.
Mbak Wening menoleh, lalu mengangguk.
"Iya,sudah empat puluh hari lebih kayaknya. Kamu kok tahu?"
Tanya Mbak Wening.
"Iya tadi ketemu Anisa tanpa sengaja waktu mau ke makam Bapak, dia sama pengasuhnya baru ke kuburan Ibunya."
"Ooh iya, itu Anisa paling terguncang dengan meninggalnya Ibu Hajjah, soalnya dia yang waktu itu memboncengkan."
Kata Mbak Wening.
"Meninggal kecelakaan?"
Tanya Ridwan terkejut.
Mbak Wening mengangguk.
"Iya, pulang belanja, disalip angkot, Anisa hilang keseimbangan lalu motor ke arah trotoar dan menabrak pohon. Bu Hajjah terlempar dan kepalanya terbentur aspal."
"Innalilahi wa innailaihi rojiun."
Ridwan tampak ikut syok mendengar kisahnya.
"Sekarang sudah mendingan Anisa mau keluar dan bicara dengan orang lagi, tadinya di kamar terus, tapi sepertinya untuk ikut pergi acara keluarga belum kuat, makanya ditinggal di rumah."
Kata Mbak Wening.
Tergetar hati Ridwan mendengar kisah Anisa pujaan hatinya.
Kasihan sungguh kasihan.
Andai Ridwan bisa menjadi pelipur kesedihannya atas kepergian sang Ibunda, tentu Ridwan mau melakukan apapun untuk bisa melakukannya.
**-----------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 210 Episodes
Comments
Dul...😇
kok enek megono mbarang tah,🤭
2022-09-29
0
Mans
pilih kelir acak corak, mau Anisa ato Istikomah 😂😂😂
2022-09-22
0
Rinjani
laperr tumis pepaya ma ssmbel trasi ikan asin enak tuh
2022-09-21
0