NovelToon NovelToon

Mimpi Ustadz Ridwan

1. Pulang Ke Rumah

"Terminal... Terminal... Terminal..."

Terdengar suara kondektur Bus berteriak dari arah pintu depan, seiring dengan masuknya bus ke dalam terminal.

Ridwan, pemuda itu bergegas berdiri sebagaimana penumpang lainnya, ia ketiduran hingga akhirnya terbawa sampai ke terminal, padahal ia harusnya bisa turun di jalan besar, karena desanya justeru berada sebelum terminal kota.

Ridwan menggendong tas ranselnya yang penuh baju dan sarung, sementara dus berisi buku dan kitab ia jinjing.

Bus berhenti dan penumpang yang tinggal beberapa saja antri untuk turun.

Ridwan berdiri paling belakang karena kebanyakan dari penumpang adalah orangtua, jadi sebagai orang muda, ia harus mendahulukan mereka.

Kotanya tampak basah, sepertinya hujan baru saja mengguyur.

Ridwan yang baru turun dari Bus didekati beberapa tukang ojek.

"Ke mana Mas? Ke mana Mas?"

"Ke Dukuh Waru Pak."

Jawab Ridwan.

"Ooh mari sama saya, kebetulan mertua saya asli Waru. Waru mana Mas?"

Tanya salah satu tukang ojek yang dengan sigap mengambil dus yang dibawa Ridwan.

Pemuda tampan dengan peci khas anak santri itu tersenyum santun.

"Waru Kidul Pak."

"Ooh Waru Kidul, Masjid Uswatun Hasanah bukan?"

"Inggih Pak."

"Wah saya tahu itu, monggo... Monggo..."

Tukang ojek itu mengajak Ridwan menuju motornya yang terparkir.

Ridwan mengikuti saja, ini tentu adalah rezeki bagi penumpang Bus sebetulnya, manakala tak ada saudara atau kerabat yang bisa menjemput, adanya banyak tukang ojek mangkal membuat kita terbantu tanpa harus menunggu lama untuk mencari transportasi lain.

Tak apa mengeluarkan sedikit rupiah, jika itu bisa membuat orang yang tengah berjuang menghidupi keluarga bisa memenuhi kebutuhan dapur mereka.

"Dusnya saya pangku saja Pak, ada kitabnya soalnya."

Kata Ridwan, saat dus berisi buku dan kitabnya akan diletakkan di bagian depan motor yang untuk pijakan kaki.

"Oh... Nggih Mas, nggih..."

Si tukang ojek memberikan dus itu pada Ridwan.

Tampak pemuda itu menerimanya sambil tersenyum.

Udara kota tak terlalu panas hari ini, meski angin khas kota pesisir masih terasa sedikit kering.

Jalanan yang masih terlihat kuyup, menandakan jika hujan turun cukup deras beberapa waktu lalu.

Motor melaju menjauhi terminal dan menuju kampung Ridwan tinggal.

Setelah hampir delapan tahun Ridwan berada di kota lain, menimba ilmu di pesantren sambil melanjutkan sekolah dan kuliah, kini Ridwan akhirnya benar-benar kembali ke kotanya.

Diterima sebagai seorang Guru Agama di Sekolah Dasar di mana dulu ia pernah belajar, membuat Ridwan sangat bersemangat untuk kembali pulang.

Memiliki Ilmu yang bermanfaat, tentu itulah cita-cita Ridwan.

Ilmu yang bisa ia bagi pada anak-anak, yang akan menjadi pelita kecil kala mereka merasa dunia gelap dan bisa membuat mereka tersesat.

Tak terasa, motor tukang ojek sudah memasuki wilayah desa Waru, Ridwan memberikan petunjuk ke mana arah menuju rumahnya yang ada tak jauh dari Masjid Uswatun Hasanah.

Tukang ojek mengarahkan motornya ke arah sesuai yang diberikan Ridwan, sampai kemudian di depan rumah yang diseberangnya membentang hamparan sawah yang hijau, Ridwan meminta si tukang ojek berhenti.

Tiga anak kecil di halaman depan yang sedang bermain memandangi kedatangan Ridwan dan tukang ojek.

Hingga salah satu anak yang ada di halaman itu melompat senang.

"Paman Ridwan... Paman Ridwan..."

Gadis kecil itu menyambut senang, ia lantas berlari masuk ke dalam rumah.

Ridwan tersenyum seraya turun dari motor, membayar lebih pada si tukang ojek.

"Tidak usah kembali Pak, tidak apa-apa, InsyaAllah saya ikhlas, semoga Bapak berkah hari ini."

Kata Ridwan.

"Wah terimakasih Mas... Terimakasih."

Kata si tukang ojek.

Seorang Ibu dan perempuan yang lebih muda keluar tergopoh-gopoh dari dalam rumah sederhana yang tadi ada gadis kecil masuk.

Ya, itu adalah Ibu Ridwan dan kakak perempuan Ridwan satu-satunya yang baru ditinggal sang suami kembali ke sang Khalik satu tahun silam.

"Monggo Mas, saya permisi."

Pamit si tukang ojek santun.

Ridwan mengangguk.

"Hati-hati Pak."

"Nggih Mas, assalamualaikum..."

Kata si tukang ojek.

"Waalaikumsalam warrohmatullahi wabarokatuh.."

Jawab Ridwan mengiring kepergian si tukang ojek.

Ridwan lantas menghampiri Ibunya di depan rumah yang masih separuhnya terbuat dari papan itu.

"Assalamualaikum..."

Ridwan menguluk salam.

"Waalaikumsalam..."

Jawab Ibu dan Kakak perempuan Ridwan bersamaan.

Ridwan menyalami sang Ibu, mencium punggung tangannya, begitu juga pada sang kakak perempuannya.

"Sehat Bu?"

Tanya Ridwan pada Ibunya yang matanya tampak berkaca-kaca karena terharu.

"Alhamdulillah, berkah sehat."

Jawab Ibu.

"Kamarnya sudah Mbak rapihkan, simpanlah barang-barangmu Wan, lalu cuci muka, Mbak sudah masak makanan kesukaanmu."

Kata Mbak Wening, kakak perempuan Ridwan.

"Terimakasih Mbak."

Ridwan lalu menuju kamarnya,

"Buatkan air teh hangat Ning."

"Nggih Bu."

Mbak Wening mengangguk.

"Ajeng, mandi dulu hayuk sudah sore."

Ujar Mbak Wening pada anaknya yang akan main lagi.

"Nggih Bu, ini mau bilang teman-teman dulu."

Sahut Ajeng.

"Iya, biar teman-teman kamu juga mandi, nanti baru berangkat les."

Kata Mbak Wening.

"Inggih Bu."

Sahut Ajeng lagi, lalu berlari keluar rumah untuk menemui teman-temannya.

Ridwan di dalam kamar tampak meletakkan ranselnya di atas kursi kayu yang sudah agak lapuk yang dulu ia gunakan sebagai kursi belajar.

Sementara dus berisi buku dan kitabnya ia letakkan di atas meja.

Ridwan membongkar dus nya lebih dulu, mengeluarkan isinya, dan menyusun buku serta kitab-kitab selama ia di pesantren di atas meja yang ditutup taplak motif batik wayang Werkudara berwarna hijau.

Setelah rapi, Ridwan baru membongkar isi ranselnya, mengeluarkan sarung dan baju koko serta kemeja dan celana yang masing-masing hanya tinggal dua sampai tiga potong saja.

Ridwan menghibahkan banyak sarung dan kemeja serta baju kokonya untuk teman-teman santrinya di pesantren.

Toh sebetulnya sebagai muslim, tak baik terlalu banyak menyimpan baju, jika baju-baju itu lebih bermanfaat untuk orang lain, maka lebih baik diberikan pada mereka, apalagi anak-anak santri yang akan memakainya untuk mengaji, sholat dan ibadah lain, yang tentu saja itu akan sangat bermanfaat dunia akhirat, di mana baju bukan hanya untuk sekedar menutup aurat, apalagi untuk bergaya.

Ridwan menyusun baju, celana dan sarungnya di dalam lemari kayu yang juga model lama.

Lemari kayu yang terdiri dari dua pintu, dan salah satu pintunya ada kaca cermin besar yang bisa ia gunakan untuk bercermin.

Setelah selesai merapihkan semuanya, barulah Ridwan bersiap keluar dari kamar.

Tentu setelah dus bekas untuk membawa buku dan kitabnya ia letakkan di kolong tempat tidur kayunya, dan ranselnya ia gantung di belakang pintu kamar.

Ridwan meski laki-laki memang sangat rapi.

Ridwan keluar dari kamar, menyingkap tirai berwarna coklat motif jaman dulu.

"Makanlah, ini wedang teh nya mumpung masih hangat Wan."

Kata Mbak Wening saat Ridwan memasuki ruang makan rumah mereka yang juga sederhana saja.

Tampak sajian sambal terasi di atas cobek dengan pete kukus, dan sepiring tahu tempe goreng tanpa tepung dan ikan tawar goreng di atas meja berlapis taplak plastik kotak-kotak.

"Cuci muka dulu Mbak."

Kata Ridwan.

Mbak Wening mengangguk.

Di belakang rumah, di mana di sana halaman terbuka Ibu terlihat duduk di bawah sambil sibuk membatik.

Ridwan melewati sang Ibu untuk menuju kamar mandi karena akan cuci muka.

Kamar mandi yang berderet dengan satu kamar untuk toilet dan di sampingnya lagi sumur yang di atasnya ditutup papan kayu.

Disekitar sumur ada beberapa tanaman perdu, ada juga beberapa buah seperti Nanas dan Melon.

Tak jauh dari sana ada kandang ayam yang hanya berisi tiga ayam saja, yang bersebelahan dengan pohon Rambutan yang jika sedang musim cukup banyak berbuah.

Halaman itu dikelilingi pagar bambu setinggi dua setengah meter, yang di atasnya dibuat runcing.

**----------------**

2. Pemilik Wajah Ayu

Ridwan tampak menyendok nasi ke atas piring seng bercorak bunga warna merah, sambal terasi di cobek dengan pete kukus kesukaannya membuatnya semakin lapar.

Mbak Wening menemani Ridwan di ruang makan sambil memetiki daun singkong untuk besok pagi akan direbus dijadikan lalap bersama sambal dan goreng mendoan.

"Berarti mulai hari apa mengajar di sekolah Wan?"

Tanya Mbak Wening.

"inshaAllah kalau tidak ada halangan mulai Senin pekan depan Mbak."

Jawab Ridwan, yang setelahnya meneguk wedang teh aroma melati produksi Tegal.

Teh yang masih mengepul panas terasa langsung memberikan efek segar di tubuh Ridwan yang lelah.

"Oo, masih lima hari lagi ya..."

Gumam Mbak Wening.

Ridwan mengangguk, sambil tangannya kini berada di atas meja, melafal doa sebelum makan baru setelah itu mulai menyantap makanannya.

Mbak Wening rampung memetik daun singkong, lantas berdiri untuk meninggalkan Ridwan menikmati makannya.

Ridwan tidak pernah makan sambil bicara, ia akan makan sampai habis dulu, setelah itu baru ia akan bicara lagi, kecuali jika Ibunya yang bertanya, Ridwan akan tetap menjawab.

Mbak Wening berjalan keluar sebentar, di luar tampak dua orang temannya lewat dari warung menenteng kresek belanja.

Keduanya terlihat berhenti begitu melihat ada Mbak Wening.

"Ning, ndak kerja ta?"

Tanya Asih, salah satu dari perempuan yang merupakan teman Mbak Wening sejak jaman kecil.

Mbak Wening tersenyum, tangannya masih memegangi wadah plastik berisi daun singkong yang baru selesai dipetik.

Jalanan kampung yang sebagiannya sudah banyak yang bolong tampak tergenang air bekas hujan yang turun tadi.

"Tadi libur keluarga Pak Haji Syamsul pergi ke Batang ada acara keluarga."

Kata Mbak Wening.

"Ooh tapi toko emasnya buka itu aku lihat tadi pulang setor jahitan."

Kata salah satu temannya lagi yang bernama Risma.

"Ealah Ris, mbok aku ikut jahit saja supaya bisa kerja dari rumah."

Kata Mbak Wening.

"Lho, kan dulu aku sudah bilang ta, kamu harus beli mesin jahit yang kayak punyaku itu lho Ning, yang gedi, yang bisa buat ngebut, nek pake mesin jahit punyamu itu lho ya kapan rampunge, ndak dapet duit dan boss juga nanti ndak mau karena lama."

Ujar Risma.

"Walah iya aku kok lupa, ya mau beli harganya mahal Ris, aku belum sanggup."

"Yo jahit di tempat boss saja kan di sana ada mesin jahit banyak."

"Eh lah kamu ini piye sih Ris, wong Wening itu kepengin kerja dari rumah, nek kerjo di si boss yo mending di rumah Haji Syamsul jam tiga sore wis mulih."

Asih jadi gemas sendiri mendengar si Risma malah seperti tidak mudeng.

"Nanti tek carikan mesin jahit bekas kayak punyaku sik wae wis Ning, kalau ada nanti tek kasih inpo."

Kata Risma akhirnya, setelah kena omel Asih.

"Maturnuwun Ris."

Mbak Wening tersenyum.

Bersamaan dengan itu dari dalam terdengar suara anak Mbak Wening berisik,

"Buu eee, jilbab Ajeng yang pink ndak ada."

"Aduh si Ajeng ini lho kalau mau les selalu ribut jilbab."

Mbak Wening terdengar menggerutu,

"Wes Ning, kita pada pulang dulu, aku juga mau nyuruh Ika mandi."

Kata Asih.

"Aku sih anak-anak sudah mandi dari tadi, tinggal berangkat les saja nanti diantar suami, cuma ini minta malam masak omelette dikasih sosis, ya anak-anakku itu memang sukanya lho makan saja yang kekinian."

Risma sambil menunjukkan satu bungkus sosis frozenan.

"Ooh sekarang warung Bu Hindun ada frozenan juga sih ya."

Mbak Wening melihat bungkusan sosis yang isinya cukup banyak, pasti harganya mahal, batin Mbak Wening.

"Iya itu untungnya Bu Hindun sekarang sedia frozen fut juga, kan itu seminggu lalu cair dari Bank, makanya itu buat tambahan modal warung, ya kan aku jadi tertolong lah tidak usah ke mall beli sosis, nuget dan itu fris fres."

Mbak Wening mantuk-mantuk, sedangkan Asih mukanya tampak kesal mendengar Risma terus menyombong tapi kalimatnya tidak ada yang benar, sementara Mbak Wening yang polos dan lugu tidak merasa jika Risma sedang menyombongkan diri di depannya.

"Bu Eeeeee..."

Terdengar suara Ajeng lagi, kali ini ia muncul di pintu, wajahnya ditekuk menatap Ibunya yang malah asik ngobrol terus.

"Wes... Wes... Hayulah pulang Ris."

Ajak Asih.

"Nanti tek we a Ning."

Kata Risma.

"Iyo Ris."

Mbak Wening tersenyum, lalu bergegas kembali ke rumah untuk menemui Ajeng.

"Haduh Ajeng, ndak sopan teriak begitu sama Ibu, apalagi Ibu sedang bicara dengan teman-teman Ibu."

Omel Mbak Wening sambil masuk ke dalam rumah.

"Lha wong Ajeng mau berangkat les, jilbab yang pink ndak ada."

"Ya pakai yang ada dulu, itu kan banyak di lemari Ajeng jilbab warna kuning, hijau, biru, hitam."

Kata Mbak Wening terus mengomel.

"Yo baju Ajeng warna pink masa jilbabnya kuning."

Ajeng jadi kesal.

"Lha apa masalahnya, apa kepala Ajeng jadi sakit kalau pakai jilbab warna kuning?"

"Ya kan tidak serasi."

Ajeng kesal.

"Haduh anak sekarang, pakai baju sama jilbab beda warna saja bisa jadi masalah."

Mbak Wening menggerutu seraya melewati ruang makan untuk menuju meja setrika yang ada di depan kamar Mbak Wening dan Ajeng.

Ridwan yang sudah selesai makan, dan akan membawa piring kotornya ke sumur di belakang rumah untuk di cuci melihat Mbak Wening mengomeli Ajeng jadi terpaksa berhenti.

"Ada apa ta Mbak?"

Tanya Ridwan.

"Lah ini keponakan kamu lho cuma masalah bajunya pink saja jilbab harus pink, pakai jilbab yang ada saja tidak mau."

"Ya beda warna Paman, baju Ajeng warnanya pink, jilabnya di lemari cuma ada kuning, hijau, biru sama hitam, kan tidak serasi."

Kata Ajeng.

Ridwan tersenyum.

"Dulu mah Ibu mau ngaji saja baju warna ijo jilbab warna merah tidak apa-apa, kamu lho susah."

Mbak Wening mengaduk-aduk pakaian yang baru dicuci dan belum sempat disetrika.

"Kata Rosulullah, anakmu itu tidak hidup di jamanmu, jadi jangan dipaksakan anak harus menjalani hidup sama sepertimu Mbak. Selama itu tidak negatif ya tidak apa-apa, kalau memang repot ya ganti baju saja yang warnanya masuk dengan jilbab yang ada di lemari."

Kata Ridwan menengahi.

"Nah, Paman memang terbaik."

Ajeng tentu saja senang karena merasa dibela.

"Eeit, tapi Ajeng juga tidak boleh bentak Ibu, bersuara lebih keras dari Ibu, itu juga Rosulullah tidak suka. Ajeng harus bicara yang baik dengan Ibu, kalau ada yang tidak Ajeng suka, sampaikan dengan cara yang baik, agar tidak sampai membuat Ibu marah, jengkel, apalagi sedih."

Ridwan pada Ajeng.

Ajeng tampak nyengir, lalu...

"Ya udah Bu, Ajeng ganti baju warna biru saja, jilbab yang biru ada di lemari."

Kata Ajeng akhirnya.

Mbak Wening menghela nafas.

"Mbak mau nyetrika, kamu yang antar Ajeng berangkat les ya Wan, di Bu Guru Iis, yang rumahnya dekat Pak Haji Syamsul sebelah Bale Desa."

"Haji Syamsul? Ooh rumah Anisa?"

Tanya Ridwan, yang begitu menyebut nama itu rasanya hatinya tergetar.

Terbayang wajah ayu teman sekelasnya itu dahulu, wajah gadis pertama yang masuk ke mimpi Ridwan saat ia mendapatkan masa baligh nya.

"Ah iya, Nisa kan temanmu ya dulu Wan, pantas dia kadang tanya soal kamu."

Kata Mbak Wening.

Ridwan tampak jadi gugup.

"Mbak Wening tahu dari mana."

"Lho kan Mbak sudah dua bulan kerja di rumahnya Pak Haji Syamsul, wong pabrik donat nya bangkrut."

Kata Mbak Wening.

**------------**

3. Sebuah Pertemuan

"Ajeng, itu nanti diantar Paman Ridwan ya."

Kata Mbak Wening.

Ajeng terlihat sudah rapi dengan gamis dan jilbabnya, ia meraih tas ransel bergambar Elsa Frozen.

"Paman akan nungguin Ajeng sampai selesai juga kan?"

Tanya Ajeng menghampiri Ibunya untuk salim.

"Iya nanti pulangnya sama Paman Ridwan lagi."

Kata Ridwan.

"Salim sama Mbah dulu."

Tambah Ridwan lagi.

Ajeng mengangguk.

Tampak bocah itu berlari ke belakang di mana Si mbahnya masih membatik.

"Mbah, Ajeng berangkat les dulu."

Ajeng menyalami tangan Mbah nya.

"Weh lah, berangkat sama siapa ta Jeng?"

Tanya Mbah.

"Sama Paman Ridwan Mbah."

"O ya ngono, ati-ati."

Kata Mbah kemudian.

"Eh ini sebentar."

Mbah mengambil dompet kecil dari sela pinggangnya, dibukanya dompet berwarna hitam itu dan dikeluarkannya kemudian selembar uang lima ribuan.

"Buat tumbas jajan."

Kata Mbah.

Ajeng nyengir senang.

"Pangkat Mbah."

Ajeng sambil lari-lari masuk ke dalam lagi untuk menemui Pamannya.

"Sudah pamit Mbah?"

Tanya Paman Ridwan.

"Sampun."

Jawab Ajeng.

Paman Ridwan berjalan ke ruang tamu rumah di mana sepeda ontel milik Mbak Wening diletakkan.

Paman Ridwan mengeluarkan sepeda ontelnya keluar rumah, sementara Ajeng mengikuti dari belakang.

Mbak Wening sendiri menuju ke belakang untuk masak nasi untuk makan malam.

"Bisa ndak naik ke boncengan?"

Tanya Paman Ridwan.

Ajeng mengangguk.

"Saged ta Paman, kan setiap hari dibonceng Ibu."

"Eh anak pinter."

Ridwan tersenyum.

Ajeng lantas berpegangan pada Pamannya naik ke boncengan sepeda.

"Sudah siap?"

Tanya Paman Ridwan pada Ajeng.

"Sampun."

Sahut Ajeng yang sambil melingkarkan tangannya di pinggang Paman Ridwan.

Angin pedesaan yang bertiup dari area sawah terasa menerpa Ridwan yang mulai mengayuh sepedanya.

Sepeda itu melaju di atas jalanan desa yang jalanannya tak begitu bagus namun masih bisa dilewati.

Hamparan sawah terbentang dari ujung ke ujung di sisi kiri jalan, sementara di sisi kanan jalan tampak rumah-rumah sederhana milik penduduk yang kebanyakan masih terbuat dari papan.

"Teman-teman Ajeng yang tadi tidak les?"

Tanya Paman Ridwan mengajak bicara keponakannya.

"Mereka tidak les Paman, soalnya katanya bayar les mahal, Ibunya tidak mau, tapi kalau ngaji mereka ikut, tapinya lagi Ustadz Saleh sudah satu minggu tidak pulang, jadi ngajinya libur."

Tutur Ajeng.

"Lho memangnya Ustadz Saleh ke mana?"

Tanya Paman Ridwan.

Ustadz Saleh kan pindah ke rumah Ustadzah Fauziah.

"Ooh istri Ustadz Saleh."

Paman Ridwan mantuk-mantuk.

"Teman-teman Ajeng pada suka ngaji, soalnya tidak bisa les."

Kata Ajeng.

Paman Ridwan tertawa kecil.

"Sebetulnya ngaji dan les sama bagusnya, sama baiknya, sama pentingnya Ajeng."

"Ajeng juga ngaji kok kalo ada Ustadz Saleh."

Kata Ajeng.

Paman Ridwan mengayuh terus sepeda ontelnya melewati jalanan kampung menuju rumah Bu Gurunya Ajeng.

"Nah itu rumah Bu Guru."

Ajeng menunjuk rumah Bu guru lesnya.

Rumah kecil sederhana yang catnya berwarna hijau muda.

Terlihat dua motor baru pergi meninggalkan pelataran rumah tersebut, rumah yang pintunya terbuka lebar-lebar itu terlihat sudah ramai oleh beberapa anak.

"Itu teman-teman Ajeng semua?"

Tanya Paman Ridwan manakala sampai di depan pelataran rumah Bu Guru Iis yang merupakan Bu Guru les nya Ajeng.

Ajeng mengangguk.

"Bu Guru Iis tidak mengajar di sekolah Ajeng, tapi teman les Ajeng banyak yang satu kelas."

Kata Ajeng nyengir sambil turun dari boncengan.

"Paman nungguin Ajeng kan?"

Tanya Ajeng.

"Iya, tapi Paman akan pergi ke makam dulu ya, ke makam Mbah kakung, nanti Paman akan langsung ke sini lagi."

Ujar Paman Ridwan.

Ajeng mengangguk.

"Iya Paman."

Kata Ajeng menurut.

Bocah itu lantas berjalan masuk ke dalam rumah Bu Guru lesnya setelah mengucap salam keras-keras dan dijawab anak-anak juga.

Ridwan mengayuh sepedanya lagi, dan saat melewati sebuah rumah yang paling bagus dari semua deretan rumah yang ada di desa itu, Ridwan menyempatkan diri menatap bangunan rumah tersebut.

Rumah dengan halaman luas dan pagar besi itu tampak sepi, yang biasanya dulu kadang ada dua mobil dan banyak motor karyawannya.

Ridwan kemudian mengarahkan sepedanya menuju area pemakaman umum yang ada di desanya itu.

Sebetulnya semula ia ingin ke makam Bapaknya besok atau lusa saja, tapi Ridwan merasa bahwa semakin cepat ia datang tentu lebih baik.

Apalagi kebetulan ia sekalian mengantar les Ajeng yang letak rumah Bu Gurunya tak jauh dari pemakaman.

Jadi ya sekalian saja akhirnya, begitu pikir Ridwan.

Sampai di pemakaman, terlihat penjaga makam sedang minum kopi di dekat pintu masuk makam.

Ridwan turun dari sepeda, meletakkan sepedanya di dekat penjaga makam itu duduk.

"Sore Pak."

Sapa Ridwan.

Bapak penjaga makam itu menatap Ridwan, ia terlihat cukup kenal baik pada anak muda di depannya.

"Lah ini bukannya Mas Ridwan?"

Penjaga makam menunjuk Ridwan yang lantas menyalami si bapak penjaga makam.

"Nggih Pak leres, saya Ridwan."

Ujar Ridwan.

"Mau ke makam Bapak nggih Mas?"

Tanyanya.

Ridwan mengangguk.

"Baru pulang nopo?"

Tanya penjaga lagi ketika jabat tangan mereka terlepas..

"Nggih Pak, kebetulan saya baru saja sampai tadi, ini karena mengantar anaknya Mbak Wening les, jadi sekalian saja ke sini mampir."

Kata Ridwan.

"Ooh iya, les di tempat Bu Guru Iis nggih."

"Inggih."

Ridwan mengangguk.

"Iya Bu Guru Iis, itu baru lulus tahun ini tapi buka les langsung laris, katanya orangnya telaten jadi banyak yang suka."

Ridwan mantuk-mantuk sambil tersenyum.

"Saya pamit sebentar Pak."

Kata Ridwan.

"Ooh nggih monggo Mas... Monggo..."

Pak penjaga makam mempersilahkan.

Tepat saat Ridwan akan masuk ke area makam, terlihat seorang gadis ayu keluar dari makam bersama seorang perempuan yang usianya lebih tua.

Gadis ayu yang jelas saja Ridwan tak akan pernah lupa wajahnya.

Satu-satunya wajah gadis yang masuk ke dalam mimpinya, yang sekian tahun membuat hatinya tertambat meskipun tak pernah berani mengungkapkannya kecuali lewat satu surat saat perpisahan sekolah sebelum akhirnya Ridwan berangkat ke pesantren.

Ah yah, surat itu, surat yang sampai sekarang belum pernah dibalas, entah karena gadis itu terlalu pemalu, atau justeru memang karena tak memiliki perasaan apapun pada Ridwan.

Tapi...

Jika melihat bagaimana sikapnya setiap kali bertemu Ridwan, rasanya sebetulnya mustahil sekali jika gadis itu tak memiliki rasa apapun padanya.

"Nisa."

Ridwan memberanikan diri lebih dulu menyapa.

Keduanya saling tatap, meski akhirnya saling menunduk.

Astaghfirullah... Batin Ridwan.

Merasakan getaran di dadanya yang luar bisa kencang manakala bertatapan tanpa sengaja dan kini berhadapan dengan gadis itu membuat Ridwan seperti menghianati ajaran agamanya.

Dia bukan mahrom, tapi godaan menatap wajah ayu itu begitu kuat.

"Mas Ridwan, pulang kapan?"

Tanya perempuan yang lebih tua.

Ridwan menoleh ke arah perempuan itu.

"Lupa sama si Mbok kan?"

Perempuan itu tersenyum.

Ridwan nyengir karena tak bisa berbohong untuk membantah.

"Ini Mbok Rat, pengasuh Mbak Anisa, dulu kan waktu kalian TK sering ketemu, waktu SMP juga pernah bantuin Mbok di pasar itu kan pas Mbok hampir ketabrak."

Kata perempuan bernama Mbok Rat.

"Ooh nggih Mbok, maaf... Maaf..."

Ridwan jadi tak enak karena ingatannya tidak fokus.

Mbok Rat tersenyum.

"Mau ke makam Bapak bukan?"

Tanya Mbok Rat.

"Inggih Mbok."

Jawab Ridwan.

"Nggih sama ini kayak Mbak Nisa, baru ke makam Ibunya."

Ridwan jadi menatap Anisa lagi.

Hanya sekilas, karena hati kecilnya kembali mengingatkan untuk tak boleh menatap gadis terlalu lama.

**---------------**

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!