Merubah Neraka Menjadi Surga
Praannnggg.
“Astaga! Ya ampun -- Neng, kenapa ini Neng?” ujar perempuan paruh baya dengan serbet di pundaknya panik dan tergopoh mendekati seorang perempuan lainnya yang terbaring di atas lantai.
“Maaf, permisi ya Neng. Kita duduk dulu ya, pelan-pelan, nah ... yak, duduk dulu ya Neng.” Perempuan paruh baya itu nampak berusaha dengan hati-hati membenahi posisi perempuan yang tergeletak di lantai.
“Aw, aduh Mbok.” Perempuan bernama Dara Herlambang yang telah di duduk-kan itu tampak meringis kesakitan.
“Aduh maaf Neng” sesal mbok Inem meski belum tahu apa yang menyebabkan Dara, sang majikan mengaduh kesakitan.
“Astaga! Lengan si Neng berdarah, aduh, sebentar ya, Neng. Mbok ambilin kotak P3K dulu.”
Tanpa menunggu jawaban dari sang majikan yang ternyata mengaduh karena terluka, Mbok Inem, dengan raut paniknya yang sedari tadi belum hilang bergegas masuk ke rumah.
Sementara Dara, sembari menahan perih di lengannya yang mengucurkan darah, memandang sebuah kanvas lukisan di hadapannya. Dalam kanvas itu terlukis potret perempuan dengan wajah muram sedang duduk seorang diri di pinggiran danau yang memantulkan rupa bulan di langit kelam.
“Apakah kesedihan kita setara?” Ada senyum sinis yang tergambar di wajah oval Dara tatkala bertanya tanpa suara pada lukisannya yang terlihat nyata meski belum selesai secara sempurna.
...***...
“Yeay Ayah duluan yang dapetin Bunda.” Pria berusia matang dengan perawakan tegap, berwajah gagah memeluk girang lalu mengecup pipi sang istri yang tengah menata beberapa nampan berisi camilan.
“Ayah culang” protes gadis berusia empat tahun yang tidak bisa melafalkan huruf 'r' tersebut menggemaskan meski sedang cemberut.
“Iya, Ayah curang” susul anak perempuan bernama Azkia yang berusia dua tahun lebih tua dari sang adik.
“Loh, kok curang?” tanya sang Ayah dengan wajah seolah ikut cemberut.
“Ayah 'kan sudah besal, halusnya ngalah sama Adek dan kakak” terang gadis kecil bernama Alsava terhadap Ayahnya.
“Hahaha, hahaha, hahaaha” sang Ayah tertawa sambil menghampiri kedua putrinya itu lalu membawa mereka bersama-sama dalam gendongannya.
“Sayang, lupakan soal culang. Sekarang ayo kita mamam” Pria itu menyuapi camilan yang di hidangkan sang istri kepada anak-anaknya yang sudah duduk bersila di atas matras.
“Besok-besok kalau mau mam gak usah pake lomba lari-larian lagi ya Ayah, 'kan kasihan nih gadis-gadis cantik Bunda jadi capek ngejar Ayah yang udah besar” Dara, sang Istri sekaligus Bunda dari para gadis kecil menggemaskan itu merangkul pinggang Lukman, suaminya sambil mengedipkan mata bermanik cokelat muda terang miliknya.
“Siap!” jawab Lukman dengan gaya hormat membuat Azkia dan Alsava anak-anaknya terpingkal.
.
.
“Neng, Neng, ” suara Mbok Inem membuyarkan lamunan Dara.
“Eh, iya Mbok?” Dara kelabakan. Baru saja pikirannya membawa Dara kembali pada salah satu momen kebersamaan yang pernah ia lalui bersama suami dan anak-anaknya tepat di taman bernuansa asri di hadapannya saat ini.
“Kok melamun? Permisi, ini lukanya mbok obatin dulu ya,” izin mbok Inem.
“Ya mbok.” jawab Dara datar.
“Makasih ya, Mbok udah mau aku tambah repotin selama sembilan bulan ini.” Dara bertutur tulus meski masih sambil meringis menahan perih pada lengan kirinya yang tengah diobati oleh Mbok Inem.
“Neng itu kalau butuh apa-apa ya panggil si Mbok toh Neng. Nih, Si Neng jadi luka gini loh,” gerutu Mbok Inem tanpa memperdulikan kalimat sebelumnya yang disampaikan oleh sang majikan.
“Aku menyedihkan ya, Mbok? Untuk melakukan hal kecil aja mesti dibantu orang lain,” lirih Dara.
Selanjutnya terdengar helaan nafas berat dari Dara yang saat ini mengitari pandangannya ke halaman belakang rumah di depannya.
Kenangan serupa seperti lamunannya tadi kembali melintas seketika dalam memori ingatan Dara.
Taman bernuansa asri ini adalah spot favorit mereka dalam menghabiskan waktu bersama.
Sejurus kemudian ia beralih menatap nanar tempat ia terduduk saat ini, di samping kursi roda dengan pecahan kaca dari tatakan meja bundar berikut vas bunganya yang tampak berserakan di sekitar lantai.
Demikian pula beberapa cat akrilik, telah berbaur dengan serpihan kaca di bawah meja yang terjatuh.
Sebuah pemandangan berantakan yang berbeda jauh dengan keindahan kenangan yang pernah Dara miliki.
Dara yang sedari dulu notabenenya anti merepotkan orang lain tidak ingin menambah daftar pekerjaan Mbok Inem yang sudah terlebih dulu sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan harus membantunya pula untuk hal yang sepele, yakni hanya mengambil cat dari atas meja.
Namun tuas kendali kursi roda elektriknya tidak berfungsi. Sehingga Dara berusaha menjangkau cat akriliknya tanpa bisa merubah arah posisi kursi roda yang sebelumnya berhadapan dengan kanvas lukisan.
Dan inilah yang terjadi, akibat kehilangan keseimbangan, saat ini ia malah menambah beban kerja Mbok Inem yang seharusnya hanya bertugas sebagai ART malah merangkap menjadi pengasuh orang cacat.
Tes.tes.tes
Bulir demi bulir air dari mata bundar yang berbulu lentik perlahan teratur menyusuri pipi tirus Dara.
Melihat hal itu, Mbok Inem yang hendak mulai membersihkan serpihan-serpihan kaca yang bertaburan di sana sini secara tidak sadar turut menyeka sudut matanya sendiri yang berangsur mulai terasa basah.
Mbok Inem yang sudah bekerja di rumah mewah bergaya Eropa klasik itu sejak dari Dara duduk di bangku sekolah dasar hingga kini telah berkeluarga tahu betul bagaimana perasaan sang majikan saat ini.
Terlebih lagi, Dara, majikannya itu tidak punya siapa-siapa untuk berbagi keluh kesah juga bercerita tentang apa yang menimpanya saat ini sebab Ia merupakan seorang anak tunggal, putri semata wayang dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia ketika Dara mengenyam pendidikan semester akhir di sebuah universitas.
Yang Dara miliki sekarang, hanya keluarga kecilnya.
Namun apa hendak di kata suaminya yang seorang CEO dari perusahaan bernama ‘Herlambang Company’ selama Dara mengalami kelumpuhan ini semakin disibukkan dengan urusan pekerjaan.
Tinggallah kedua darah dagingnya yang masing-masing berumur enam dan empat tahun.
Mana mungkin Dara selaku seorang ibu akan menampakkan kepada buah hatinya mengenai susah, kemelut, dan kesedihan yang ia rasakan atas kondisinya yang terus berobat kemana-mana namun belum juga mengalami perubahan perbaikan sedikit pun.
Justru meski dalam kondisi demikian, di hadapan kedua putrinya Dara selalu menampilkan wajah ceria, tetap berusaha maksimal mengayomi mereka seperti sebelumnya walau hanya dari kursi roda.
Sering kali hati Dara melas bila teringat pertanyaan yang di utarakan putri sulungnya, Azkia mengenai keberadaan orang-orang di sekitar hidup Dara yang tidak pernah lagi berkunjung ke rumah mereka.
“Apa karena Bunda lumpuh makanya teman-teman Bunda gak mau main sama Bunda lagi?” tanya Azkia suatu ketika.
“Bunda jangan sedih ya, walaupun gak ada yang mau main sama Bunda, kakak dan adek bakal sama Bunda telus kok” Alsava, putri bungsu Dara menimpali pertanyaan si sulung Azkia.
Kemalangan akibat kelumpuhan yang Dara alami semakin bertambah nyerinya dengan kenyataan bahwa teman-teman dan kerabat yang dulu asyik di sekelilingnya kini perlahan menghilang, membuat Dara merasa ter-asingkan bahkan dikucilkan.
Alhasil, hanya air mata jua lah yang setia menjadi teman Dara ber-lara.
...***...
“Tabahlah Neng, tabah Nak, Mbok tahu ini berat bagi Neng yang sebelumnya mandiri, lincah, aktif gerak kesana kemari tapi saat ini---”
Kalimat Mbok Inem mengambang. Kondisi majikannya yang seperti sekarang membuat Mbok Inem tidak dapat lagi berkata apa-apa. Sebagai ganti dari kalimat motivasi, ia merangkul hangat majikannya.
Bahu Dara berguncang hebat. Ia tak kuasa membendung air matanya tatkala menyadari keadaannya saat ini yang serba ketergantungan dengan bantuan orang lain jauh berbanding terbalik dengan kondisinya sebelum mengalami kelumpuhan.
Apakah akan mungkin ia dapat mengulang kembali maupun menambah lagi kenangan demi kenangan membahagiakan bersama suami tampannya yang pengertian dan penyayang beserta kedua putri mereka tercinta jika bahkan untuk urusan paling pribadi dan sensitifnya saja harus bertumpu pada uluran tangan Mbok Inem.
Menyiapkan sarapan, mengantar-jemput anak-anak sekolah, menyambut suami pulang bekerja, bercengkrama dengan mereka, berolahraga, jalan-jalan, berkumpul dengan rekan dan kerabat.
Semua itu dulu Dara lakoni dengan bebas tanpa keterbatasan. Bertolak belakang dengan kegiatannya selama lumpuh ini. Banyak dihabiskan dengan duduk berdiam diri di kursi roda menyesapi kesedihan atas ketidakberdayaannya.
Semenjak ia divonis mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, ritme kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial Dara yang dahulu bahagia seketika jadi hampa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Ghina Fithri
terus berkarya 💪💪💪
salam dari pengantin yang Tertukar
2022-11-07
2
Bhebz
Dara...aku mampir nih, yang sabar yah
2022-08-02
2
Ainisha_Shanti
kasihan Dara. bertabh lah wahai Dara
2022-06-29
2