Dara mengerjap-ngerjapkan matanya setelah merasai adanya tepukan di tangan kanannya.
“Eh, Ayah sudah pulang” retoris Dara pada lelaki tampan di hadapannya. Lukman, suami Dara.
Lukman merubah posisi Dara dari berbaring menjadi duduk setelah sebelumnya menerima isyarat dari Dara yang minta diangkat melalui kedua tangannya yang ia rentangkan menghadap Lukman.
“Bunda, ada yang mau Ayah sampein” ujar Lukman serius.
“Ada apa Y? Sampein aja!” Dara merespon sambil mengembangkan bibir tipisnya, mengulas senyum yang manis.
“Ayah sudah menikah lagi. Pernikahannya berjalan empat bulan, Ayah baru sempat bilang ke Bunda sekarang karena banyak urusan di kantor."
Deg.
Dara tak percaya tapi mengapa jantungnya bergemuruh hebat, barangkali karena kata ‘lagi’ dari suaminya tadi?
“Ayah bercandanya gak lucu” nada suara Dara diatur setenang mungkin, sedang tangannya dibuat sibuk menyisiri rambut panjangnya yang hitam dengan jemarinya yang lentik. Hal itu semata untuk menutupi rasa khawatir yang mulai menyergap dirinya.
“Ayah serius.” Ada ketegasan dalam nada dan raut wajah Lukman.
Lukman menghela nafas, memandang lekat wajah perempuan yang dua belas tahun ini telah bersamanya membangun rumah tangga yang jauh dari prahara, merajut bahagia, bagian impian dari banyak orang. Ia menggenggam kedua tangan Dara lalu berkata,
“Ayah prihatin terhadap kondisi Bunda yang cacat tapi mohon jadilah istri yang sholeha. Paham lah bahwa sebagai laki-laki Ayah butuh kehadiran sosok istri seutuhnya demi sempurnanya keimanan Ayah. Yakini madu bunda ini bisa menjadi ibu untuk putri-putri kita sekaligus sahabat bagi Bunda.”
Dara akan mengangkat suara namun suaminya telah beranjak keluar kamar kemudian kembali lagi ke kamar mereka bersama seseorang.
...***...
“Ki -- ki?” Keterkejutan Dara melihat sosok yang digandeng mesra oleh suaminya membuat suara Dara seakan tercekat di tenggorokan.
“Ya ampun ... kasihan sekali kamu Kak, pasti tersiksa sekali gak bisa kemana-mana dan ngapa-ngapain dengan kaki sendiri. Kiki turut prihatin Kak”
Narasi yang terdengar seperti ejekan terbungkus simpati itu jadi sempurna dengan senyuman terkembang lebar berhias lesung pipi milik Kiki.
“Ini Kiki, istri kedua Ayah. Semoga Bunda dan Kiki akur,” ucap Lukman yang duduk bersimpuh di hadapan ranjang yang di tempati Dara tadi dengan kini, ada Kiki di depannya.
“Insya Allah Ayah, kami akan akur dan sama-sama membahagiakan Ayah, iya 'kan Kak?” tanya Kiki sembari bergantian menatap Lukman kemudian melihat Dara dengan tatapan seakan meminta persetujuan atas pernyataannya tadi.
.
.
“Kiki, aku ingin bicara berdua dulu dengan suamiku” pinta Dara.
“Maksudnya, suami kita ya Kak?”
Pertanyaan yang dilontarkan Kiki itu entah jenis pertanyaan lugu atau kejam. Dara masih belum tahu kepastian jawabannya.
“Ada apa Bunda? Sampaikan saja langsung. Ayah tidak ingin berlaku dzalim, bagaimanapun Kiki juga istri Ayah jadi dia juga berhak tahu isi pembicaraan suaminya.”
‘’Ohhh Tuhan!” Dara berteriak tanpa suara di hatinya.
“Apa yang sedang terjadi Tuhan?” air muka Dara yang hanya mampu berbincang dengan batinnya sendiri tidak dapat digambarkan bagaimana dan menyiratkan apa.
“Sayang, gak masalah kok, kalian ngobrol berdua aja dulu. Gimanapun Kak Dara 'kan baru tahu tentang hubungan kita jadi wajar aja masih butuh waktu untuk terbiasa bicara bertiga,”
Kiki senyum sambil mengangguk-anggukkan dagunya yang lancip ke arah Lukman seakan membujuk Lukman agar meng-iyakan permintaan Dara sebelumnya.
...***...
“Kenapa harus Kiki?” Dara bertanya sambil mengusap air matanya yang seketika lancar mengalir sesaat setelah Kiki meninggalkan mereka berdua saja.
“Bunda, sebelumnya sudah Ayah jelaskan bahwa Ayah yakin Kiki orang yang tepat menjadi ibu untuk putri-putri kita serta jadi sahabat bagi Bunda”
Kini Lukman telah duduk di atas ranjang saling berhadapan dengan Dara.
“Meski lumpuh, aku masih hidup Mas! Azkia dan Alsava, putri-putri kita, mereka tidak perlu ibu lain selainelain aku, ibu kandungnya! Dan aku tidak butuh sahabat selain suamiku sendiri!”
Suara Dara di sela isak tangisnya mulai meninggi bahkan kata ‘Ayah’ sebagai panggilan sayang antara mereka berdua ia luputkan.
“Dan lagi, apa pekerjaanmu jauh lebih penting daripada menyampaikan hal ini sedari awal Mas? Sehingga setelah tiga bulan lebih bersamanya kamu baru memberi tahu aku! Atau jangan-jangan karena sadar perbuatan kamu ini gak benar makanya kamu baru sampein ke aku sekarang, iya?” cecar Dara lagi.
“Kamu tahu sendiri gimana dekatnya hubungan aku dengan Kiki beberapa tahun ini 'kan, Mas tapi kamu malah menjadikan dia maduku bahkan tanpa sepengetahuan dan izinku terlebih dulu. Kamu tega Mas, kalian tega. Kalian kejam!”
Kini tangisan Dara semakin membuncah menjadi-jadi. Ada rasa marah, kecewa dan pilu dalam tangisnya.
Lukman berdiri.
“Dara, jangan ada perdebatan! Aku tidak mengajak kamu berdiskusi apalagi berkompromi. Aku tegaskan bahwa dari awal aku hanya menyampaikan tanpa perlu persetujuan terlebih penolakan. Lagipula semestinya kamu menyadari kondisi kamu saat ini terlepas dengan siapa dan bagaimana caraku menyampaikan pernikahan ini. Toh tidak ada yang salah, agama kita tidak melarang poligami apa lagi karena istri yang cacat. Kamu ingat itu! Jika kamu memang tidak bisa menerima hubungan kami maka aku harap kamu yang sadar diri. Kamu tinggal bilang saja kapan mau aku ceraikan!”
Lukman bersuara lantang dan mantap tanpa sedikitpun melihat Dara yang terperangah tidak percaya atas bahasa yang keluar dari mulut Lukman.
Hening.
Dara terlihat menekan-nekan dahinya, lalu menyandarkan kepalanya ke ranjang, memutar-mutar cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya sambil melihat secara seksama Lukman yang tengah membelakanginya menghadap jendela kamar.
Dara mengusap kasar buliran tetes air matanya yang seakan tak mau berhenti keluar. Ia kemudian mengambil nafas dalam, beberapa saat berikutnya menghembuskannya perlahan dan panjang. ia genggam erat seprai alas kasur di ranjangnya,
“Baik, aku sadar, sangat sadar atas kondisiku saat ini Mas. Dan aku pun sadar ternyata perasaan sayang dan cinta yang dimiliki oleh suamiku tercinta terhadapku selama ini hanya sebatas puncak keagungan akan raga. Bukan rasa yang dilandasi kesucian, ketulusan, dan pengharapan atas terbinanya kehidupan dua insan yang saling menguatkan dalam setiap keadaan, buktinya ... belum satu tahun kondisiku begini kamu sudah cari pengganti, tanpa terlebih dahulu ada usaha lebih agar aku kembali pulih. Walaupun kamu merasa persetujuan dari istrimu yang cacat ini tidak penting tapi kamu tidak perlu berlakon atas nama agama, jika nyatanya hanya dalih melegalkan perbuatan minim norma dan kamu ingat ini ya, Mas! Saat ini aku bicara bertindak sebagai IBU dari anak-anak perempuanmu yang ingin menjaga arti figur seorang ayah bagi mereka, semata demi kamu, agar tidak dipandang hina sebagai seorang pezinah di mata anak-anak perempuanmu! Agar kamu tidak jatuh dan terlena dalam lembah kenistaan, maka selamat membangun mahligai rumah tangga lainnya, tapi ... jangan harap istri muda yang kamu cintai itu dapat menggantikan posisiku sebagai ibu anak-anak kita! Mestinya kalian tahu diri, pencuri saja enggan menggunakan barang curiannya entahlah jika memang kalian lebih rendah dari pencuri! Selamat berpoligami Mas, semoga kamu bukan hanya bisa berucap tentang adil namun juga mampu membuktikannya dan aku harap cukup aku istri tuamu yang merasakan arti dzalim, jangan istri mudamu. Berbahagialah Mas, berbahagialah di atas lukaku, semoga kamu mampu mempertahankan kebahagiaan rumah tanggamu yang baru karena seringkali kebahagiaan yang didapat dari hasil paksaan dan rampasan tidak lama bertahan.”
Dara bicara sambil menahan tangisan yang mati-matian ia bendung, dengan suara yang dipaksa terdengar tegar.
Klek.
Pintu kamar ditutup.
Lukman pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Dara yang tengah berduka menanggung derita yang menyesakkan jiwanya.
Tumpah ruah lah air mata Dara dengan tangisan pilu yang menghiba.
Dalam tangisnya, Dara menyematkan tawa mengingat sikap suaminya tadi yang karena deklarasi atas kehadiran orang baru dalam kehidupan rumah tangga mereka, seketika buta matanya. Tidak dapat melihat luka yang terpampang di lengan Dara.
Hal yang kasat mata begitu saja tiada suaminya pedulikan bagaimana lagi dengan luka yang bersarang di hati Dara, yang perih terasa meski tanpa tetesan darah.
Pupus dan luluh lantak segala bentuk pengharapan serta impian Dara akan kehidupan rumah tangga yang senantiasa berbahagia bersama suami yang menepati setiap janji manis dalam ikrar suci pernikahan mereka dulu.
Bayang-bayang akan kebahagiaan pernikahannya dulu dan kenyataan yang terjadi barusan membuat Dara memahami makna dari kata, 'Luka tak berdarah'.
...***...
1 bulan berlalu
“Neng Alsava, ini kukuruyuk goreng nya” suara Pak Saleh, supir Dara.
Pak Saleh dari jendela mobil menyerahkan kotak berisi ayam goreng kesukaan Alsava, putri bungsu Dara.
“Makasih Pak” Dara yang menjawab, seakan mewakili Alsava. Sebab Alsava meski menerima dengan cepat kotak berisi ayam goreng tersebut tapi hanya diam saja dengan raut cemberut yang tergambar jelas di wajah ayunya.
“Iya dek Alsava. Kita jalan Buk?” tanya pak Saleh kepada Dara.
“Iya Pak.” Jawab Dara sambil mengangguk lalu beralih melihat Alsava yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya.
“Ih wanginya aja udah enak banget, mana ayamnya biasanya gede-gede 'kan ya, pasti enak banget ini Dek. Gak sia-sia nih Pak Saleh antri panjang buat beliin kukuruyuk goreng kesukaan Adek. Ayok Adek makan dulu, Bunda suapin ya” Dara perlahan membujuk Alsava yang sudah satu minggu ini kehilangan selera makannya.
“Gak mau Bunda. Adek maunya disuapin Ayah.” Bocah yang biasanya riang itu menatap keluar jendela sambil terus memegangi kotak berisi ayam goreng.
‘'Lihat Mas. Ini yang kamu maksud adil? Sudah satu bulan kamu alfa membersamai anak-anakmu. Maaf Mas, suka tidak suka mau tidak mau Ummimu harus tahu perbuatanmu ini. Aku tidak sanggup melihat anak-anak bersedih, setiap hari bertanya dan menanti kepulanganmu. Sebahagia itu kah kamu bersama Kiki istri barumu itu sehingga sampai hati meluputkan kasih sayang untuk anak-anak kita?” monolog batin Dara.
“Ayah!” teriak Alsava berlari masuk ke dalam rumah bergaya minimalis.
Gadis kecil itu yakin Ayahnya ada di dalam rumah tersebut karena Alsava melihat ada mobil sang Ayah terparkir di halaman rumah jiddahnya (panggilan nenek dalam bahasa Arab) bersama beberapa mobil lain yang dikenali oleh Dara.
“Gimana Neng? Kayaknya pak Lukman ada disini” ranya mbok Inem sambil mendorong perlahan kursi roda yang di tempati Dara.
“Lanjut aja mbok, biar mas Lukman bisa langsung jelasin sendiri ke Ummi dan saudara-saudaranya” jawab Dara.
“Maa syaa Allah Kak Dara, kenapa gak bilang mau kesini? 'Kan bisa Kiki jemput Kak”
Dara terperangah mendengar suara yang sangat dikenalnya itu.
‘Kenapa dia disini?’ Belum sempat Dara menetralkan mimik kaget dari wajahnya, Kiki telah meraih tangan kanan Dara kemudian menyalaminya lengkap dengan ciuman yang didaratkan ke pipi kanan dan kiri Dara.
Dara yang kebingungan, pasrah menerima sikap hangat Kiki tersebut.
“Honey, Dara punya supir. Dia juga tidak bisa merepotkan kamu. Ingat, anak kita di perutmu honey”
Jederrrr
Bagai petir di siang bolong. Dara terperanjat mendengar ucapan Lukman barusan. Bukan sebab perkara kehamilan Kiki melainkan karena Lukman yang berbicara sekenanya seolah tidak menyadari kehadiran Alsava.
Bagaimanapun, ini belum saatnya bagi anak-anak mereka untuk mengetahui pernikahan kedua ayahnya terlebih Alsava yang masih berumur empat tahun.
“Ummi, bisakah Dara bicara berdua dengan Ummi?” pinta Dara pada ummi Rita, sang mertua.
...***...
Dara seka air mata yang nyaris menetes di kening Alsava dengan ujung jilbab yang ia kenakan lalu membelai tangan sang putri yang tertidur pulas di pangkuannya.
‘'Tumbuhlah sehat dan bahagia nak. Sayangku, maafkan Bunda tidak bisa menjaga hatimu dari rasa luka''
Air mata kembali menemani Dara yang bicara untuk anaknya lewat hatinya sendiri.
‘'Mas, sungguh besar cinta mu kepada Kiki sampai-sampai kamu beri Ia mahar sebuah rumah di kawasan elit. Sementara membelikan ayam goreng kesukaan anakmu saja tidak terlaksana" Dara kecewa.
Pembicaraan beberapa saat lalu bersama mertua yang selama ini Dara perlakuan seperti ibu kandungnya sendiri itu terngiang di telinganya.
“Dara, Ummi yakin kamu mengerti dengan keadaan ... jadi -- tidak ada yang bisa Ummi sampaikan selain, hiduplah dengan akur bersama madumu itu, jika Kiki saja bisa membuat dirinya diterima dan dikasihi oleh Ummi, kakak dan adik iparmu, mustahil kamu juga tidak bisa demikian, tunjukkan sikap selayaknya istri tua yang baik, mulai dengan menghadiri resepsi mewah pernikahan mereka di rumah yang jadi mahar pernikahannya di kompleks ‘intan land', ajak Azkia dan Alsava, bagaimanapun lambat laun mereka akan tahu tentang Kiki”
Itulah yang disampaikan perempuan yang sudah Dara anggap dan perlakukan seperti Ibu kandungnya sendiri itu.
Bukan hanya kalimat beliau yang membuat Dara menangis tanpa suara. Namun juga kenyataan bahwa ummi Rita, telah lebih dulu mengetahui poligami yang Lukman lakukan bahkan bersama anak-anaknya yang lain mendukungnya yang membuat hati Dara bagai dihantam oleh godam, remuk.
"Apa artinya ikatan kekeluargaan yang kita rajut selama ini Ummi?" tangis batin Dara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Aas Azah
nyesek aku bacanya thoor 😭😭😭
2022-09-06
2
Bhebz
Lukman!!! ih bikin esmosi
2022-08-02
1
Lidiawati06
mampir kak
2022-06-17
1