Praannnggg.
“Astaga! Ya ampun -- Neng, kenapa ini Neng?” ujar perempuan paruh baya dengan serbet di pundaknya panik dan tergopoh mendekati seorang perempuan lainnya yang terbaring di atas lantai.
“Maaf, permisi ya Neng. Kita duduk dulu ya, pelan-pelan, nah ... yak, duduk dulu ya Neng.” Perempuan paruh baya itu nampak berusaha dengan hati-hati membenahi posisi perempuan yang tergeletak di lantai.
“Aw, aduh Mbok.” Perempuan bernama Dara Herlambang yang telah di duduk-kan itu tampak meringis kesakitan.
“Aduh maaf Neng” sesal mbok Inem meski belum tahu apa yang menyebabkan Dara, sang majikan mengaduh kesakitan.
“Astaga! Lengan si Neng berdarah, aduh, sebentar ya, Neng. Mbok ambilin kotak P3K dulu.”
Tanpa menunggu jawaban dari sang majikan yang ternyata mengaduh karena terluka, Mbok Inem, dengan raut paniknya yang sedari tadi belum hilang bergegas masuk ke rumah.
Sementara Dara, sembari menahan perih di lengannya yang mengucurkan darah, memandang sebuah kanvas lukisan di hadapannya. Dalam kanvas itu terlukis potret perempuan dengan wajah muram sedang duduk seorang diri di pinggiran danau yang memantulkan rupa bulan di langit kelam.
“Apakah kesedihan kita setara?” Ada senyum sinis yang tergambar di wajah oval Dara tatkala bertanya tanpa suara pada lukisannya yang terlihat nyata meski belum selesai secara sempurna.
...***...
“Yeay Ayah duluan yang dapetin Bunda.” Pria berusia matang dengan perawakan tegap, berwajah gagah memeluk girang lalu mengecup pipi sang istri yang tengah menata beberapa nampan berisi camilan.
“Ayah culang” protes gadis berusia empat tahun yang tidak bisa melafalkan huruf 'r' tersebut menggemaskan meski sedang cemberut.
“Iya, Ayah curang” susul anak perempuan bernama Azkia yang berusia dua tahun lebih tua dari sang adik.
“Loh, kok curang?” tanya sang Ayah dengan wajah seolah ikut cemberut.
“Ayah 'kan sudah besal, halusnya ngalah sama Adek dan kakak” terang gadis kecil bernama Alsava terhadap Ayahnya.
“Hahaha, hahaha, hahaaha” sang Ayah tertawa sambil menghampiri kedua putrinya itu lalu membawa mereka bersama-sama dalam gendongannya.
“Sayang, lupakan soal culang. Sekarang ayo kita mamam” Pria itu menyuapi camilan yang di hidangkan sang istri kepada anak-anaknya yang sudah duduk bersila di atas matras.
“Besok-besok kalau mau mam gak usah pake lomba lari-larian lagi ya Ayah, 'kan kasihan nih gadis-gadis cantik Bunda jadi capek ngejar Ayah yang udah besar” Dara, sang Istri sekaligus Bunda dari para gadis kecil menggemaskan itu merangkul pinggang Lukman, suaminya sambil mengedipkan mata bermanik cokelat muda terang miliknya.
“Siap!” jawab Lukman dengan gaya hormat membuat Azkia dan Alsava anak-anaknya terpingkal.
.
.
“Neng, Neng, ” suara Mbok Inem membuyarkan lamunan Dara.
“Eh, iya Mbok?” Dara kelabakan. Baru saja pikirannya membawa Dara kembali pada salah satu momen kebersamaan yang pernah ia lalui bersama suami dan anak-anaknya tepat di taman bernuansa asri di hadapannya saat ini.
“Kok melamun? Permisi, ini lukanya mbok obatin dulu ya,” izin mbok Inem.
“Ya mbok.” jawab Dara datar.
“Makasih ya, Mbok udah mau aku tambah repotin selama sembilan bulan ini.” Dara bertutur tulus meski masih sambil meringis menahan perih pada lengan kirinya yang tengah diobati oleh Mbok Inem.
“Neng itu kalau butuh apa-apa ya panggil si Mbok toh Neng. Nih, Si Neng jadi luka gini loh,” gerutu Mbok Inem tanpa memperdulikan kalimat sebelumnya yang disampaikan oleh sang majikan.
“Aku menyedihkan ya, Mbok? Untuk melakukan hal kecil aja mesti dibantu orang lain,” lirih Dara.
Selanjutnya terdengar helaan nafas berat dari Dara yang saat ini mengitari pandangannya ke halaman belakang rumah di depannya.
Kenangan serupa seperti lamunannya tadi kembali melintas seketika dalam memori ingatan Dara.
Taman bernuansa asri ini adalah spot favorit mereka dalam menghabiskan waktu bersama.
Sejurus kemudian ia beralih menatap nanar tempat ia terduduk saat ini, di samping kursi roda dengan pecahan kaca dari tatakan meja bundar berikut vas bunganya yang tampak berserakan di sekitar lantai.
Demikian pula beberapa cat akrilik, telah berbaur dengan serpihan kaca di bawah meja yang terjatuh.
Sebuah pemandangan berantakan yang berbeda jauh dengan keindahan kenangan yang pernah Dara miliki.
Dara yang sedari dulu notabenenya anti merepotkan orang lain tidak ingin menambah daftar pekerjaan Mbok Inem yang sudah terlebih dulu sibuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan harus membantunya pula untuk hal yang sepele, yakni hanya mengambil cat dari atas meja.
Namun tuas kendali kursi roda elektriknya tidak berfungsi. Sehingga Dara berusaha menjangkau cat akriliknya tanpa bisa merubah arah posisi kursi roda yang sebelumnya berhadapan dengan kanvas lukisan.
Dan inilah yang terjadi, akibat kehilangan keseimbangan, saat ini ia malah menambah beban kerja Mbok Inem yang seharusnya hanya bertugas sebagai ART malah merangkap menjadi pengasuh orang cacat.
Tes.tes.tes
Bulir demi bulir air dari mata bundar yang berbulu lentik perlahan teratur menyusuri pipi tirus Dara.
Melihat hal itu, Mbok Inem yang hendak mulai membersihkan serpihan-serpihan kaca yang bertaburan di sana sini secara tidak sadar turut menyeka sudut matanya sendiri yang berangsur mulai terasa basah.
Mbok Inem yang sudah bekerja di rumah mewah bergaya Eropa klasik itu sejak dari Dara duduk di bangku sekolah dasar hingga kini telah berkeluarga tahu betul bagaimana perasaan sang majikan saat ini.
Terlebih lagi, Dara, majikannya itu tidak punya siapa-siapa untuk berbagi keluh kesah juga bercerita tentang apa yang menimpanya saat ini sebab Ia merupakan seorang anak tunggal, putri semata wayang dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia ketika Dara mengenyam pendidikan semester akhir di sebuah universitas.
Yang Dara miliki sekarang, hanya keluarga kecilnya.
Namun apa hendak di kata suaminya yang seorang CEO dari perusahaan bernama ‘Herlambang Company’ selama Dara mengalami kelumpuhan ini semakin disibukkan dengan urusan pekerjaan.
Tinggallah kedua darah dagingnya yang masing-masing berumur enam dan empat tahun.
Mana mungkin Dara selaku seorang ibu akan menampakkan kepada buah hatinya mengenai susah, kemelut, dan kesedihan yang ia rasakan atas kondisinya yang terus berobat kemana-mana namun belum juga mengalami perubahan perbaikan sedikit pun.
Justru meski dalam kondisi demikian, di hadapan kedua putrinya Dara selalu menampilkan wajah ceria, tetap berusaha maksimal mengayomi mereka seperti sebelumnya walau hanya dari kursi roda.
Sering kali hati Dara melas bila teringat pertanyaan yang di utarakan putri sulungnya, Azkia mengenai keberadaan orang-orang di sekitar hidup Dara yang tidak pernah lagi berkunjung ke rumah mereka.
“Apa karena Bunda lumpuh makanya teman-teman Bunda gak mau main sama Bunda lagi?” tanya Azkia suatu ketika.
“Bunda jangan sedih ya, walaupun gak ada yang mau main sama Bunda, kakak dan adek bakal sama Bunda telus kok” Alsava, putri bungsu Dara menimpali pertanyaan si sulung Azkia.
Kemalangan akibat kelumpuhan yang Dara alami semakin bertambah nyerinya dengan kenyataan bahwa teman-teman dan kerabat yang dulu asyik di sekelilingnya kini perlahan menghilang, membuat Dara merasa ter-asingkan bahkan dikucilkan.
Alhasil, hanya air mata jua lah yang setia menjadi teman Dara ber-lara.
...***...
“Tabahlah Neng, tabah Nak, Mbok tahu ini berat bagi Neng yang sebelumnya mandiri, lincah, aktif gerak kesana kemari tapi saat ini---”
Kalimat Mbok Inem mengambang. Kondisi majikannya yang seperti sekarang membuat Mbok Inem tidak dapat lagi berkata apa-apa. Sebagai ganti dari kalimat motivasi, ia merangkul hangat majikannya.
Bahu Dara berguncang hebat. Ia tak kuasa membendung air matanya tatkala menyadari keadaannya saat ini yang serba ketergantungan dengan bantuan orang lain jauh berbanding terbalik dengan kondisinya sebelum mengalami kelumpuhan.
Apakah akan mungkin ia dapat mengulang kembali maupun menambah lagi kenangan demi kenangan membahagiakan bersama suami tampannya yang pengertian dan penyayang beserta kedua putri mereka tercinta jika bahkan untuk urusan paling pribadi dan sensitifnya saja harus bertumpu pada uluran tangan Mbok Inem.
Menyiapkan sarapan, mengantar-jemput anak-anak sekolah, menyambut suami pulang bekerja, bercengkrama dengan mereka, berolahraga, jalan-jalan, berkumpul dengan rekan dan kerabat.
Semua itu dulu Dara lakoni dengan bebas tanpa keterbatasan. Bertolak belakang dengan kegiatannya selama lumpuh ini. Banyak dihabiskan dengan duduk berdiam diri di kursi roda menyesapi kesedihan atas ketidakberdayaannya.
Semenjak ia divonis mengalami kelumpuhan pada kedua kakinya, ritme kehidupan rumah tangga dan kehidupan sosial Dara yang dahulu bahagia seketika jadi hampa.
Dara mengerjap-ngerjapkan matanya setelah merasai adanya tepukan di tangan kanannya.
“Eh, Ayah sudah pulang” retoris Dara pada lelaki tampan di hadapannya. Lukman, suami Dara.
Lukman merubah posisi Dara dari berbaring menjadi duduk setelah sebelumnya menerima isyarat dari Dara yang minta diangkat melalui kedua tangannya yang ia rentangkan menghadap Lukman.
“Bunda, ada yang mau Ayah sampein” ujar Lukman serius.
“Ada apa Y? Sampein aja!” Dara merespon sambil mengembangkan bibir tipisnya, mengulas senyum yang manis.
“Ayah sudah menikah lagi. Pernikahannya berjalan empat bulan, Ayah baru sempat bilang ke Bunda sekarang karena banyak urusan di kantor."
Deg.
Dara tak percaya tapi mengapa jantungnya bergemuruh hebat, barangkali karena kata ‘lagi’ dari suaminya tadi?
“Ayah bercandanya gak lucu” nada suara Dara diatur setenang mungkin, sedang tangannya dibuat sibuk menyisiri rambut panjangnya yang hitam dengan jemarinya yang lentik. Hal itu semata untuk menutupi rasa khawatir yang mulai menyergap dirinya.
“Ayah serius.” Ada ketegasan dalam nada dan raut wajah Lukman.
Lukman menghela nafas, memandang lekat wajah perempuan yang dua belas tahun ini telah bersamanya membangun rumah tangga yang jauh dari prahara, merajut bahagia, bagian impian dari banyak orang. Ia menggenggam kedua tangan Dara lalu berkata,
“Ayah prihatin terhadap kondisi Bunda yang cacat tapi mohon jadilah istri yang sholeha. Paham lah bahwa sebagai laki-laki Ayah butuh kehadiran sosok istri seutuhnya demi sempurnanya keimanan Ayah. Yakini madu bunda ini bisa menjadi ibu untuk putri-putri kita sekaligus sahabat bagi Bunda.”
Dara akan mengangkat suara namun suaminya telah beranjak keluar kamar kemudian kembali lagi ke kamar mereka bersama seseorang.
...***...
“Ki -- ki?” Keterkejutan Dara melihat sosok yang digandeng mesra oleh suaminya membuat suara Dara seakan tercekat di tenggorokan.
“Ya ampun ... kasihan sekali kamu Kak, pasti tersiksa sekali gak bisa kemana-mana dan ngapa-ngapain dengan kaki sendiri. Kiki turut prihatin Kak”
Narasi yang terdengar seperti ejekan terbungkus simpati itu jadi sempurna dengan senyuman terkembang lebar berhias lesung pipi milik Kiki.
“Ini Kiki, istri kedua Ayah. Semoga Bunda dan Kiki akur,” ucap Lukman yang duduk bersimpuh di hadapan ranjang yang di tempati Dara tadi dengan kini, ada Kiki di depannya.
“Insya Allah Ayah, kami akan akur dan sama-sama membahagiakan Ayah, iya 'kan Kak?” tanya Kiki sembari bergantian menatap Lukman kemudian melihat Dara dengan tatapan seakan meminta persetujuan atas pernyataannya tadi.
.
.
“Kiki, aku ingin bicara berdua dulu dengan suamiku” pinta Dara.
“Maksudnya, suami kita ya Kak?”
Pertanyaan yang dilontarkan Kiki itu entah jenis pertanyaan lugu atau kejam. Dara masih belum tahu kepastian jawabannya.
“Ada apa Bunda? Sampaikan saja langsung. Ayah tidak ingin berlaku dzalim, bagaimanapun Kiki juga istri Ayah jadi dia juga berhak tahu isi pembicaraan suaminya.”
‘’Ohhh Tuhan!” Dara berteriak tanpa suara di hatinya.
“Apa yang sedang terjadi Tuhan?” air muka Dara yang hanya mampu berbincang dengan batinnya sendiri tidak dapat digambarkan bagaimana dan menyiratkan apa.
“Sayang, gak masalah kok, kalian ngobrol berdua aja dulu. Gimanapun Kak Dara 'kan baru tahu tentang hubungan kita jadi wajar aja masih butuh waktu untuk terbiasa bicara bertiga,”
Kiki senyum sambil mengangguk-anggukkan dagunya yang lancip ke arah Lukman seakan membujuk Lukman agar meng-iyakan permintaan Dara sebelumnya.
...***...
“Kenapa harus Kiki?” Dara bertanya sambil mengusap air matanya yang seketika lancar mengalir sesaat setelah Kiki meninggalkan mereka berdua saja.
“Bunda, sebelumnya sudah Ayah jelaskan bahwa Ayah yakin Kiki orang yang tepat menjadi ibu untuk putri-putri kita serta jadi sahabat bagi Bunda”
Kini Lukman telah duduk di atas ranjang saling berhadapan dengan Dara.
“Meski lumpuh, aku masih hidup Mas! Azkia dan Alsava, putri-putri kita, mereka tidak perlu ibu lain selainelain aku, ibu kandungnya! Dan aku tidak butuh sahabat selain suamiku sendiri!”
Suara Dara di sela isak tangisnya mulai meninggi bahkan kata ‘Ayah’ sebagai panggilan sayang antara mereka berdua ia luputkan.
“Dan lagi, apa pekerjaanmu jauh lebih penting daripada menyampaikan hal ini sedari awal Mas? Sehingga setelah tiga bulan lebih bersamanya kamu baru memberi tahu aku! Atau jangan-jangan karena sadar perbuatan kamu ini gak benar makanya kamu baru sampein ke aku sekarang, iya?” cecar Dara lagi.
“Kamu tahu sendiri gimana dekatnya hubungan aku dengan Kiki beberapa tahun ini 'kan, Mas tapi kamu malah menjadikan dia maduku bahkan tanpa sepengetahuan dan izinku terlebih dulu. Kamu tega Mas, kalian tega. Kalian kejam!”
Kini tangisan Dara semakin membuncah menjadi-jadi. Ada rasa marah, kecewa dan pilu dalam tangisnya.
Lukman berdiri.
“Dara, jangan ada perdebatan! Aku tidak mengajak kamu berdiskusi apalagi berkompromi. Aku tegaskan bahwa dari awal aku hanya menyampaikan tanpa perlu persetujuan terlebih penolakan. Lagipula semestinya kamu menyadari kondisi kamu saat ini terlepas dengan siapa dan bagaimana caraku menyampaikan pernikahan ini. Toh tidak ada yang salah, agama kita tidak melarang poligami apa lagi karena istri yang cacat. Kamu ingat itu! Jika kamu memang tidak bisa menerima hubungan kami maka aku harap kamu yang sadar diri. Kamu tinggal bilang saja kapan mau aku ceraikan!”
Lukman bersuara lantang dan mantap tanpa sedikitpun melihat Dara yang terperangah tidak percaya atas bahasa yang keluar dari mulut Lukman.
Hening.
Dara terlihat menekan-nekan dahinya, lalu menyandarkan kepalanya ke ranjang, memutar-mutar cincin pernikahan yang tersemat di jari manisnya sambil melihat secara seksama Lukman yang tengah membelakanginya menghadap jendela kamar.
Dara mengusap kasar buliran tetes air matanya yang seakan tak mau berhenti keluar. Ia kemudian mengambil nafas dalam, beberapa saat berikutnya menghembuskannya perlahan dan panjang. ia genggam erat seprai alas kasur di ranjangnya,
“Baik, aku sadar, sangat sadar atas kondisiku saat ini Mas. Dan aku pun sadar ternyata perasaan sayang dan cinta yang dimiliki oleh suamiku tercinta terhadapku selama ini hanya sebatas puncak keagungan akan raga. Bukan rasa yang dilandasi kesucian, ketulusan, dan pengharapan atas terbinanya kehidupan dua insan yang saling menguatkan dalam setiap keadaan, buktinya ... belum satu tahun kondisiku begini kamu sudah cari pengganti, tanpa terlebih dahulu ada usaha lebih agar aku kembali pulih. Walaupun kamu merasa persetujuan dari istrimu yang cacat ini tidak penting tapi kamu tidak perlu berlakon atas nama agama, jika nyatanya hanya dalih melegalkan perbuatan minim norma dan kamu ingat ini ya, Mas! Saat ini aku bicara bertindak sebagai IBU dari anak-anak perempuanmu yang ingin menjaga arti figur seorang ayah bagi mereka, semata demi kamu, agar tidak dipandang hina sebagai seorang pezinah di mata anak-anak perempuanmu! Agar kamu tidak jatuh dan terlena dalam lembah kenistaan, maka selamat membangun mahligai rumah tangga lainnya, tapi ... jangan harap istri muda yang kamu cintai itu dapat menggantikan posisiku sebagai ibu anak-anak kita! Mestinya kalian tahu diri, pencuri saja enggan menggunakan barang curiannya entahlah jika memang kalian lebih rendah dari pencuri! Selamat berpoligami Mas, semoga kamu bukan hanya bisa berucap tentang adil namun juga mampu membuktikannya dan aku harap cukup aku istri tuamu yang merasakan arti dzalim, jangan istri mudamu. Berbahagialah Mas, berbahagialah di atas lukaku, semoga kamu mampu mempertahankan kebahagiaan rumah tanggamu yang baru karena seringkali kebahagiaan yang didapat dari hasil paksaan dan rampasan tidak lama bertahan.”
Dara bicara sambil menahan tangisan yang mati-matian ia bendung, dengan suara yang dipaksa terdengar tegar.
Klek.
Pintu kamar ditutup.
Lukman pergi tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Dara yang tengah berduka menanggung derita yang menyesakkan jiwanya.
Tumpah ruah lah air mata Dara dengan tangisan pilu yang menghiba.
Dalam tangisnya, Dara menyematkan tawa mengingat sikap suaminya tadi yang karena deklarasi atas kehadiran orang baru dalam kehidupan rumah tangga mereka, seketika buta matanya. Tidak dapat melihat luka yang terpampang di lengan Dara.
Hal yang kasat mata begitu saja tiada suaminya pedulikan bagaimana lagi dengan luka yang bersarang di hati Dara, yang perih terasa meski tanpa tetesan darah.
Pupus dan luluh lantak segala bentuk pengharapan serta impian Dara akan kehidupan rumah tangga yang senantiasa berbahagia bersama suami yang menepati setiap janji manis dalam ikrar suci pernikahan mereka dulu.
Bayang-bayang akan kebahagiaan pernikahannya dulu dan kenyataan yang terjadi barusan membuat Dara memahami makna dari kata, 'Luka tak berdarah'.
...***...
1 bulan berlalu
“Neng Alsava, ini kukuruyuk goreng nya” suara Pak Saleh, supir Dara.
Pak Saleh dari jendela mobil menyerahkan kotak berisi ayam goreng kesukaan Alsava, putri bungsu Dara.
“Makasih Pak” Dara yang menjawab, seakan mewakili Alsava. Sebab Alsava meski menerima dengan cepat kotak berisi ayam goreng tersebut tapi hanya diam saja dengan raut cemberut yang tergambar jelas di wajah ayunya.
“Iya dek Alsava. Kita jalan Buk?” tanya pak Saleh kepada Dara.
“Iya Pak.” Jawab Dara sambil mengangguk lalu beralih melihat Alsava yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya.
“Ih wanginya aja udah enak banget, mana ayamnya biasanya gede-gede 'kan ya, pasti enak banget ini Dek. Gak sia-sia nih Pak Saleh antri panjang buat beliin kukuruyuk goreng kesukaan Adek. Ayok Adek makan dulu, Bunda suapin ya” Dara perlahan membujuk Alsava yang sudah satu minggu ini kehilangan selera makannya.
“Gak mau Bunda. Adek maunya disuapin Ayah.” Bocah yang biasanya riang itu menatap keluar jendela sambil terus memegangi kotak berisi ayam goreng.
‘'Lihat Mas. Ini yang kamu maksud adil? Sudah satu bulan kamu alfa membersamai anak-anakmu. Maaf Mas, suka tidak suka mau tidak mau Ummimu harus tahu perbuatanmu ini. Aku tidak sanggup melihat anak-anak bersedih, setiap hari bertanya dan menanti kepulanganmu. Sebahagia itu kah kamu bersama Kiki istri barumu itu sehingga sampai hati meluputkan kasih sayang untuk anak-anak kita?” monolog batin Dara.
“Ayah!” teriak Alsava berlari masuk ke dalam rumah bergaya minimalis.
Gadis kecil itu yakin Ayahnya ada di dalam rumah tersebut karena Alsava melihat ada mobil sang Ayah terparkir di halaman rumah jiddahnya (panggilan nenek dalam bahasa Arab) bersama beberapa mobil lain yang dikenali oleh Dara.
“Gimana Neng? Kayaknya pak Lukman ada disini” ranya mbok Inem sambil mendorong perlahan kursi roda yang di tempati Dara.
“Lanjut aja mbok, biar mas Lukman bisa langsung jelasin sendiri ke Ummi dan saudara-saudaranya” jawab Dara.
“Maa syaa Allah Kak Dara, kenapa gak bilang mau kesini? 'Kan bisa Kiki jemput Kak”
Dara terperangah mendengar suara yang sangat dikenalnya itu.
‘Kenapa dia disini?’ Belum sempat Dara menetralkan mimik kaget dari wajahnya, Kiki telah meraih tangan kanan Dara kemudian menyalaminya lengkap dengan ciuman yang didaratkan ke pipi kanan dan kiri Dara.
Dara yang kebingungan, pasrah menerima sikap hangat Kiki tersebut.
“Honey, Dara punya supir. Dia juga tidak bisa merepotkan kamu. Ingat, anak kita di perutmu honey”
Jederrrr
Bagai petir di siang bolong. Dara terperanjat mendengar ucapan Lukman barusan. Bukan sebab perkara kehamilan Kiki melainkan karena Lukman yang berbicara sekenanya seolah tidak menyadari kehadiran Alsava.
Bagaimanapun, ini belum saatnya bagi anak-anak mereka untuk mengetahui pernikahan kedua ayahnya terlebih Alsava yang masih berumur empat tahun.
“Ummi, bisakah Dara bicara berdua dengan Ummi?” pinta Dara pada ummi Rita, sang mertua.
...***...
Dara seka air mata yang nyaris menetes di kening Alsava dengan ujung jilbab yang ia kenakan lalu membelai tangan sang putri yang tertidur pulas di pangkuannya.
‘'Tumbuhlah sehat dan bahagia nak. Sayangku, maafkan Bunda tidak bisa menjaga hatimu dari rasa luka''
Air mata kembali menemani Dara yang bicara untuk anaknya lewat hatinya sendiri.
‘'Mas, sungguh besar cinta mu kepada Kiki sampai-sampai kamu beri Ia mahar sebuah rumah di kawasan elit. Sementara membelikan ayam goreng kesukaan anakmu saja tidak terlaksana" Dara kecewa.
Pembicaraan beberapa saat lalu bersama mertua yang selama ini Dara perlakuan seperti ibu kandungnya sendiri itu terngiang di telinganya.
“Dara, Ummi yakin kamu mengerti dengan keadaan ... jadi -- tidak ada yang bisa Ummi sampaikan selain, hiduplah dengan akur bersama madumu itu, jika Kiki saja bisa membuat dirinya diterima dan dikasihi oleh Ummi, kakak dan adik iparmu, mustahil kamu juga tidak bisa demikian, tunjukkan sikap selayaknya istri tua yang baik, mulai dengan menghadiri resepsi mewah pernikahan mereka di rumah yang jadi mahar pernikahannya di kompleks ‘intan land', ajak Azkia dan Alsava, bagaimanapun lambat laun mereka akan tahu tentang Kiki”
Itulah yang disampaikan perempuan yang sudah Dara anggap dan perlakukan seperti Ibu kandungnya sendiri itu.
Bukan hanya kalimat beliau yang membuat Dara menangis tanpa suara. Namun juga kenyataan bahwa ummi Rita, telah lebih dulu mengetahui poligami yang Lukman lakukan bahkan bersama anak-anaknya yang lain mendukungnya yang membuat hati Dara bagai dihantam oleh godam, remuk.
"Apa artinya ikatan kekeluargaan yang kita rajut selama ini Ummi?" tangis batin Dara.
“Please, udah sih meweknya” Dara mengelus punggung Lusi, sahabatnya yang sedang menelungkupkan wajahnya ke tungkai lutut Dara.
Lusi yang sesenggukan menatap Dara. Sesaat kemudian,
“Hikss ... Hiks... aku sedih, gak tahan nge-bayangin gimana kamu ngelewatin semua ini hanya dengan air mata” Lusi kembali sesenggukan.
“Orang berduka kok dikasih tangisan sih? Bukannya dapat hadiah apa gitu kek, apalagi dari yang habis ke luar negeri” Dara yang juga sesekali mengusap air matanya berusaha berkelakar.
“Hadiah! Its right. Sebentar,” Lusi seketika mengangkat wajahnya tanpa terlebih dulu menghapus lelehan air yang keluar dari mata dan hidungnya.
Lusi yang baru pulang dari perjalanan bisnisnya ke luar negeri mengeluarkan sebuah map berwarna cokelat dari paper bag yang ia bawa.
“Nih, sahabatku, maafkan aku yang sekian bulan ini tidak bisa berada di sisimu melewati banyak cobaan dan kesedihan. But, i hope ini bisa menghilangkan kesedihanmu” ucap Lusi dengan penuh penyesalan sekaligus pengharapan.
Sahabat Dara yang berprofesi sebagai desainer dengan pembawaan yang periang dan nyablak itu menyodorkan map cokelat ke hadapan Dara.
“Apaan sih, sok puitis! Makasih ya sahabatku walaupun gak secara langsung ada di sisiku tapi selalu on with panggilan telepon dari aku” Dara tertawa kecil mendengar narasi yang ia sampaikan sendiri.
“Siap. Udah ayo buka donk!” Lusi gusar tak sabar menunggu reaksi Dara terhadap isi map yang ia bawa.
...***...
“Lusi, aku pikir kamu di luar negeri fokus dengan pagelaran showmu tapi ini?” Dara menatap lembaran kertas di tangannya dengan raut heran berbaur takjub bahkan haru.
“Menyelam sambil minum air, biar gembung. Hahaha”
“Sekalian aku udah di LN juga kenapa gak usahain yang bisa aku coba. And see ... gak ada yang sia-sia selagi kita berusaha”
Lusi mengambil map cokelat yang isinya sedari beberapa menit lalu dalam genggaman tangan Dara. Kemudian mengibas-ngibaskannya bangga ke muka mungilnya yang berbalut jilbab berwarna hijau itu.
“Kamu hebat Si. Tapi ini akurat dan beneran bisa dipercaya?” Dara serius menatap Lusi.
“Akurat dan terpercaya amat sangat sekali Dara, jadi kali ini ayo kita coba pengobatan kamu berdasarkan rekomendasi mereka.” Tegas Lusi merujuk kata mereka yang ia sampaikan untuk para dokter di luar negeri dengan ekspresi wajah tak kalah serius.
"Ini saatnya melanjutkan pengobatan kamu dengan lebih efektif, Dara, apa lagi bisa dilakuin di sini tanpa harus ke luar negeri jadi kamu tetap bisa bareng anak-anakmu. Gak ada alasan buat menolak tinggal kemauan kamu aja. ok, please Dara"
Lusi kembali meyakinkan Dara
Hening sejenak
“Lusi, aku sangat menghargai usahamu. Tapi kamu tahu lebih dari siapapun, aku udah capek dan terlalu takut dengan yang namanya kecewa” Dara menghela nafas sejenak lalu penuh ke hati-hatian melihat Lusi,
“Aku udah ikhlas dengan kelumpuhan ini Si. Aku mau fokus ke anak-anaknya aja Si, ok?” Dara mengulas senyum di bibirnya namun tidak dengan matanya.
“Big no Dara!” Lusi membelalakkan matanya yang sipit ke arah Dara.
Lusi berlari kecil masuk ke dalam rumah dan beberapa saat kemudian kembali ke taman belakang rumah Dara dengan setumpuk bingkai photo di tangannya.
“Nih! Kamu lihat satu-satu dan dengan seksama, ingat kembali setiap momen yang ada disini dan bandingkan dengan keadaan kamu saat ini” Lusi mulai mengarahkan satu per satu photo yang ia bawa tadi ke hadapan Dara.
Dalam bingkai photo itu terdapat banyak potret Dara bersama anak-anaknya dengan aneka gaya. Yang tampak jelas terbidik di mata telanjang dan mata hati Dara dari photo-photo itu adalah sirat kebahagiaan dari seorang Dara beberapa waktu yang lalu.
...***...
“Kalau kamu gak mau ngelakuin ini karena diri kamu merasa udah gak berharga di mata Lukman dan keluarganya, berarti gak ada bedanya kamu dengan si Lukman, sama-sama egois. Mementingkan asa diri sendiri tanpa memperdulikan kebahagiaan Azkia dan Alsava” suara Lusi penuh penekanan.
Dara terdiam.
“Hiksss ... hiks ... hikss ...” Dara tiba-tiba melepas tangis.
“Si, aku dan putri-putriku berhak bahagia. Aku hanya perlu kembali mencoba dan tekun berupaya. Iya 'kan?” Air mata Dara masih terus mengalir di sela tanya yang ia alamatkan untuk Lusi.
“Iya, sayang. Kamu dan anak-anakmu bukan hanya berhak bahagia tapi kalian memang harus bahagia. Ayo bangkit, lahir lagi jadi Dara Herlambang yang aku kenal. Kamu bisa Dara” Lusi menggenggam kedua telapak tangan Dara.
“Baik. Aku harus bangkit. Mereka harus membayar air mataku selama ini. Bantu aku Si,” suara Dara mulai menggetarkan semangat.
“Aku akan selalu ada untuk kamu. Ayo kita berobat lagi. Kali ini harus benar-benar sampai pulih” Lusi memeluk Dara.
"Aku akan terlahir kembali menjadi Dara Herlambang yang kehebatannya melebihi Dara yang dulu dan saat ini. Demi anak-anak aku harus optimis bisa. Berusaha dengan tekun sampai air mata ini tahu bagaimana rasa indahnya tertawa. Sampai mas Lukman dan keluarganya serta Kiki tidak akan mampu meremehkanku bahkan seujung kuku pun. Aku harus sembuh!"
Dara membulatkan tekad di hatinya. Semangat yang sudah ia buang, harapan sembuh yang ia lupakan kembali digaungkan tatkala gambar diri gadis-gadis kecil kesayangannya melintas dalam pikiran. Toh terlebih lagi bagaimanapun ia bukan lumpuh tapi dilumpuhkan.
...***...
Lembaran kertas dalam map cokelat yang diserahkan Lusi kepada Dara tadi merupakan hadiah berbentuk cambuk tersirat yang memecut hasrat Dara untuk kembali bisa beraktivitas normal seperti sedia kala dengan kedua kaki jenjangnya.
Hadiah dari Lusi itu merupakan hasil penelitian kesehatan yang Lusi dapat dari perkumpulan dokter spesialis saraf dan ortopedi terkemuka di luar negeri.
Hasil penelitian para ilmuwan sebelumnya yang disandingkan dengan data riwayat kesehatan Dara yang para dokter tersebut terima melalui Lusi menunjukkan bahwa kelumpuhan Dara yang terjadi secara tiba-tiba ternyata disebabkan oleh suatu zat kimia khusus.
Selanjutnya para dokter luar negeri ini setelah melalui beberapa riset kecil mengetahui bahwa zat kimia khusus penyebab kelumpuhan ini besar kemungkinan Dara dapat dari minuman berlabel water infused spesial karena zat kimia khusus ini hanya dapat larut dalam senyawa zat yang terkandung dalam water infused spesial tersebut.
Faktanya, Dara selama setahun terakhir ini hanya mengkonsumsi minuman jenis water infused spesial yang ia beli melalui Kiki. Ya. Kiki yang kini menjadi adik madunya.
Mulanya Dara membeli produk tersebut sebatas demi membantu ekonomi keluarga Kiki sebab menurut pengakuan Kiki usaha jual minuman dan makanan on line miliknya itu lah yang menyokong kehidupan keluarganya.
Dari aktivitas selaku penjual dan pembeli ini lah seiring waktu hubungan Dara dan Kiki kian hari kian rapat bahkan oleh Dara Kiki sudah dianggap bagian dari keluarga.
Hingga akhirnya Dara seringkali secara cuma-cuma mengkonsumsi minuman tersebut sebab diberikan hampir rutin setiap minggu oleh Kiki yang bertandang ke kediaman Dara. Dengan dalih kunjungan silaturahmi kepada saudari sekaligus memberi gift bagi pelanggan.
Siapa sangka, minuman itu memang di mkhususkan oleh Kiki untuk Dara bukan hanya agar dapat melumpuhkan kakinya saja tapi juga melumpuhkan kebahagiaan keluarga kecil Dara.
...***...
“Terima kasih banyak Si, pasti sulit sekali membagi waktu antara pekerjaan dengan urusan yang beginian. Aku gak nyangka kamu bisa se-detail ini” tulus Dara sembari menggenggam erat map cokelat yang sudah kembali terisi dengan lembaran kertas yang ia pegang sebelumnya.
“Apa sih yang gak buat sahabat ku satu ini” Lusi menyubit kecil hidung mungil Dara yang mancung.
“Ini pelajaran berharga banget buat kita ke depannya untuk selalu teliti dengan apa yang kita konsumsi. Gila, gak nyangka Kiki berwajah malaikat itu ternyata kelakuannya kayak ratu iblis” Umpat Lusi yang ditanggapi dengan tawa renyah milik Dara.
...***...
Tanpa Dara dan Lusi sadari sedari tadi ada seorang perempuan muda yang memperhatikan gerak-gerik mereka dari kejauhan, tepatnya dari balik jendela kamarnya yang menghadap taman belakang tempat kedua sahabat itu tengah melepas rindu, berkeluh kesah dan merajut asa.
Dia adalah Rani, perawat khusus yang dikirimkan Kiki untuk sang kakak madu, Dara.
Flashback on
“Kakak, kali ini Kiki mohon terima niat baik Kiki ini Kak. Anggap lah ini sebagai hadiah dari Kiki yang gak becus jadi madu yang baik buat Kak Dara. Tolong jangan bebani Kiki yang sedang mengandung ini dengan rasa bersalah karena tidak bisa mengurus Kakak. Terimalah Rani sebagai perawat Kakak. Sekali lagi Kiki mohon Kak”
Kiki menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang saling menyatu sebagai bentuk permohonan teramat dalam.
“Dara, apa tega ka--” Lukman mengangkat Kiki yang duduk tepat menghadap kaki Dara di kursi roda
“Udah stop! Tolong gak usah drama-drama. Oke. Kiki, kamu ingat ini baik-baik ya! Sekali pun aku gak pernah berharap kamu ngurus aku jadi stop sok jadi madu yang baik. Masalah Rani? Silahkan kamu bawa Rani ke rumah ini sebagai perawat aku tapi kedepannya berhentilah bersikap lancang! Ingat, di rumah ini aku lah Nyonya-nya!” sambung Dara memutus kalimat Lukman.
Dara menerima saja perawat yang dibawa Kiki untuknya karena jengah dengan sikap manis Kiki yang penuh kepura-puraan sehingga Dara pikir dengan mengikuti keinginannya Kiki akan segera pergi dari rumahnya itu.
Dan benar saja tidak lama setelah memberi wejangan kepada Rani yang lagi-lagi terdengar seperti narasi basi, Kiki dan Lukman segera berpamitan dari rumah Dara.
Dara melihat KTP milik gadis bernama Rani yang tengah duduk di hadapannya itu.
“Baru tamat?” Dara mengulurkan KTP kepada si empunya.
“Iya Bu” Rani mengangguk sopan.
“Kenapa gak kuliah?” Ada rasa sesal setelah Dara melontarkan tanya yang seharusnya tidak tersampaikan pada seseorang yang umumnya saat ini berkumpul dengan sebayanya di area kampus tapi malah berakhir di rumah orang asing untuk menerima tawaran pekerjaan.
"Rani sepertinya anak yang polos, lugu, buktinya dia mau saja bekerja dengan aku orang yang tidak dikenalnya hanya lantaran karena tawaran dari Kiki yang berdaerah sama dengannya."
Monolog Dara
“Maunya gitu, Bu, tapi ... adik-adik saya masih pada sekolah juga, Bu jadi saya mau bantu orang tua e Bu” Jawab Rani yang hanya sesekali memandang langsung Dara lawan bicaranya.
"Kasihan juga anak ini kalau harus dipulangkan. Pasti dia berharap banyak dari pekerjaan yang ditawarkan Kiki ini kalau tidak begitu mana mungkin anak seumuran dia nekat ke kota besar sementara sepantarannya rata-rata melanjutkan pendidikan"
Dara kembali bermonolog.
“Baiklah Rani, selamat datang ... soal merawat aku tidak perlu kamu jadikan beban. Aku sudah terbiasa dengan Mbok Inem jadi biarkan mbok Inem yang mengurus keperluan aku seperti biasanya. Kamu disini cukup bantu-bantu kerjaan mbok Inem yang lainnya aja ya” tukas Dara yang disahuti dengan anggukan dalam dari Rani.
Flashback off
“Baik Mbak,” jawab Rani pada lawan bicaranya melalui handphone.
Kemudian handphone itu ia arahkan ke Dara dan Lusi yang tampak sedang bercengkrama di taman belakang rumah bersama Azkia dan Alsava.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!