Ibu, Izinkan Aku Bahagia
Seorang bocah laki-laki sedang duduk termenung memegangi kedua lututnya, dari matanya bulir-bulir bening terus menetes membasahi pipi mungilnya. Dialah Ananda Shaka atau Shaka, begitu panggilan yang disematkan padanya. Saat ini usianya genap 6 tahun.
Ayah Shaka sudah pergi meninggalkan Shaka sejak Shaka berusia 2 tahun. Berdalih untuk merantau ke negeri seberang namun, hingga kini tak jua kembali. Kini Shaka hanyalah tinggal berdua dengan Mariam, ibu kandung Shaka yang selalu ada untuknya.
"Nak! Ayo makan dulu, Ibu sudah buatkan sup kesukaan Shaka," seru Mariam. "Tidak mau, Bu. Shaka hanya ingin ayah, ayo Bu .... ajak Shaka bertemu ayah!" tutur Shaka.
Mendengar anaknya yang selalu menanyakan ayahnya, tangis Mariam tak kuasa ia bendung. Percayalah jika Mariam mampu melakukannya, tentu ia sudah membawa Shaka bertemu dengan ayahnya, Santana. "Nanti ayah pulang Sayang, sekarang Shaka makan dulu, ya!" bujuk Mariam.
"Tidak mau! Pokoknya Shaka hanya ingin ayah. Shaka tidak mau makan."
Shaka pun berlari meninggalkan ibunya yang tak memiliki daya dan upaya untuk mewujudkan keinginan putranya itu. Mariam menaruh mangkuk berisi sup yang semula hendak ia berikan pada Shaka. Lalu ia berlari mengejar putra semata wayangnya itu sembari terus memanggil namanya.
"Shaka .... kembali, Nak" teriak Mariam. Shaka lari cukup jauh dari rumahnya. Mariam terus berlari mencari keberadaan putranya itu.
"Shaka dimana kamu, Nak?" ulang Mariam. Akhirnya, Mariam menemukan Shaka sedang berdiri termangu dengan pandangan mata yang fokus melihat sesuatu. Mariam mendekati Shaka perlahan dan mencari tahu apa yang sedang dilihat oleh Shaka.
Saat jaraknya mulai dekat, Mariam langsung mengetahui bahwa Shaka sedang memperhatikan seorang anak seusianya yang sedang bermain bola dengan ayahnya. "Shaka, ayo kita pulang, Sayang," bujuk Mariam. Tanpa drama penolakan, Shaka langsung berlari kepelukan ibunya dengan air mata yang deras bercucuran. Tangisnya kali ini tanpa suara, hanya seperti jeritan dari dalam hati yang tidak dapat didengar namun, bisa dilihat dengan sangat jelas. Dengan hati nelangsa, Mariam menggendong putranya itu dan membawanya pulang ke rumahnya. Satu-satunya tempat yang penuh kenangan bersama sang suami, Santana.
Sesampainya di rumah, tangis Mariam pecah. Sambil memeluk dan menciumi Shaka Mariam menumpahkan seluruh kesedihannya. Mariam mengerti kerinduan Shaka pada ayahnya. Dengan sisa-sisa kesedihan yang berusaha ia sembunyikan, Mariam menyuapi Shaka dengan semangkuk nasi dan sup yang ia masak.
"Shaka mau bertemu ayah 'kan?" tanya Mariam. Shaka menganggukkan kepalanya sembari menyeka sisa air mata yang masih menempel di pipinya. Lalu Shaka menghampiri ibunya yang sudah bersiap untuk menyuapinya makan.
"Shaka harus makan yang banyak, biar cepat besar dan bisa bertemu dengan ayah," hibur Mariam. Bocah kecil itu pun menurut pada sang Ibu, berharap apa yang dikatakan ibunya akan menjadi kenyataan. Shaka selalu bercerita setiap kali pulang bermain bersama teman-temannya bahwa ayah mereka sangat hebat karena bisa membuatkannya layang-layang, menemani bermain bola, atau mengajari mengayuh sepeda.
Dalam ketidak berdayaannya, Mariam hanya bisa berpura-pura tersenyum dengan rasa pedih yang menghujam di dalam sanubarinya. Mariam hanya bisa berdoa dan terus berharap, bahwa suatu saat suaminya itu akan datang mengetuk pintu. Menemui dirinya dan Shaka.
"Bu, kenapa ayah perginya lama? Apa karena Shaka nakal? Shaka janji Bu tidak akan nakal lagi, asalkan ayah pulang," celoteh Shaka. "Bukan begitu, Nak. Anak Ibu tidak nakal! Ayah belum pulang karena masih kerja. Nanti kalau sudah selesai kerjanya, ayah pasti pulang."
"Tapi Bu ... ayah Ali dan ayah Azki juga bekerja, dan mereka tetap pulang!" sanggah Shaka. "Habiskan dulu makannya, ya ... setelah itu baru Shaka cerita lagi!" pungkas Mariam. Batin Mariam selalu bergejolak setiap kali anaknya, Shaka mengeluhkan tentang dirinya yang tak dapat bermain dengan ayahnya seperti teman-teman sebayanya.
Belum lagi cemoohan tetangga yang kerap membuat dirinya khawatir anaknya akan tumbuh dengan beban psikologis yang berat. Seperti saat seorang temannya menanyakan tentang dimana keberadaan ayahnya Shaka, mulut nyinyir tetangga langsung memotong pembicaraan Mariam dengan menjawab 'mungkin ayah Shaka sudah mati, atau punya istri baru di sana'.
Jlep! Hati Mariam mendadak ngilu bagai dihujam sebilah pedang yang menusuk tepat di jantungnya. "Bu, Shaka sudah kenyang! Shaka pergi main ya, Bu" ucap Shaka. "Baiklah jagoan Ibu, tapi jangan jauh-jauh ya mainnya!" pesan Mariam.
Bocah kecil itupun langsung berlari keluar menghampiri teman-temannya yang sedang asik bermain. "Shaka lihat aku punya apa? Baguskan? Ini ayahku yang belikan."
"Wah iya sama seperti punyaku, aku juga dibelikan ayahku." "Shaka kenapa tidak bawa mainan? Sana minta belikan ayahmu." Celotehan teman-teman Shaka yang masih polos memang tak bisa terelakkan. Mariam pun memaklumi jika kalimat itu keluar dari mulut polos teman-teman Shaka.
Dari depan pintu rumahnya Mariam melihat putranya itu terdiam dan tidak menjawab celotehan teman-temannya. Mariam tahu Shaka kebingungan. Bahkan dirinya saja sering bingung bagaimana menjawab berondongan kalimat yang menanyakan tentang suaminya.
"Dimana sebenarnya kamu, Mas?" gumam Mariam. Dalam batinnya ia selalu bertanya-tanya. Beberapa saat setelah Mariam memperhatikan anaknya dari kejauhan, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.
Hidup tanpa seorang suami yang mendampinginya, membuatnya harus berkerja dua kali lipat lebih keras. Untuk membesarkan anak dan demi memenuhi kebutuhan dirinya dan Shaka. Mariam membuang jauh-jauh gengsinya.
Saat ibu-ibu di lingkungannya bergaya membeli ini dan itu. Mariam hanya dapat tersenyum menyembunyikan keinginan yang ia tekan dalam-dalam agar tak muncul dipermukaan. Walau hati kecilnya bersemoga, berharap suatu saat ia dapat merasakannya.
Sebagai usaha dirinya untuk menggantikan tugas sang suami mencari nafkah, Mariam membuat keripik pisang dan kue-kue ringan untuk ia jajakan berkeliling kampung. Terkadang ia membawa serta Shaka dalam gendongannya. Karena tak tega bila harus terus meninggalkan putranya yang baru berusia 6 tahun itu sendirian di rumah.
Tetangga yang iba terkadang membantu Mariam untuk menjaga Shaka. Meski mulut tetangga yang lain mencibirnya. Mariam sudah menutup kedua telingannya dari setiap kata-kata yang membuat dirinya terluka. Kecuali bila itu tentang Shaka! Maka Mariam akan memasang badannya untuk melindungi putranya.
Banyak orang yang menutup mata dan tidak mau mengerti, bahwa jalan hidup yang tidak mengenakkan dari seseorang adalah bukan keinginannya. Andai semua itu adalah kehendak Mariam sendiri pastilah ia tidak akan memilih untuk hidup sebagai seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa kejelasan. Tanpa nafkah lahir dan batin.
Seribu keluh pun akan percuma di hadapan manusia. Karena akan selalu ada orang yang suka dan benci. Meski harus tergores seribu, Mariam ikhlas menerimanya asalkan jangan pernah melukai atau menyakiti anaknya.
Shaka adalah alasan mengapa Mariam masih terus kokoh berdiri di tengah kerasnya kehidupan yang ia jalani hingga hari ini.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Aisyah Putri Angel
baru mulai baca udah nyesek di hati
2024-08-12
1
Srimurni Murni
aduh sedih thor
2022-08-19
1
Namgildaero
aku mampir kak, kasihan shaka
2022-07-27
1