"Paman Denny... apa paman tahu dimana Ayah berada?" ucap Shaka tiba-tiba saja melontarkan kalimat tanya yang membuat Denny tersedak.
"Mas hati-hati!" ucap Mariam refleks.
Pertanyaan Shaka itu membuat Denny dan Mariam saling berpandangan seolah tak menyangka. Tapi tunggu dulu! Mariam jadi terpikir akan satu hal. 'Bukankah sepucuk surat yang Santana kirimkan tempo hari adalah melalui Denny? itu berarti bukan tidak mungkin kalau sebenarnya Denny mengetahui tentang santana selama ini'. Untuk meyakinkan dirinya, Mariam menyuruh Shaka agar masuk ke dalam rumah, dan bocah itu menurut.
Setelah Shaka masuk, barulah Mariam berbicara empat mata dengan Denny. Meski Mariam merasa tidak enak tapi ia berusaha untuk memberanikan diri.
"Mas Denny! bolehkah saya bertanya tentang satu hal?" tanya Mariam.
"Katakan...!" jawab Denny seraya menganggukkan kepala.
"Surat yang mas Denny bawa tempo hari, benarkah itu dari mas Santana?" tanya Mariam dengan tatapan menyelidik.
Denny hanya diam tak bicara, bibirnya seketika kelu dan membuat dirinya sulit untuk bicara.
"Mas...!" ucap Mariam yang masih menunggu jawaban dari Denny.
"Mariam apa kau berpikir aku berbohong? tentu saja surat itu dari mas Santana." terang Denny yang langsung menyebut nama Mariam tanpa kata awalan 'mbak'.
"Bukan itu maksud Mariam mas, Mariam tidak berpikir mas Denny membohongi Mariam."
"Lalu mengapa kamu bertanya demikian pada ku?" ulang Denny bertanya.
"Jadi benar selama ini mas Denny tahu? atau mungkin bertemu dengan mas Santana?"
"Cukup Mariam! berhentilah mengingat laki-laki yang bahkan tidak perduli dengan penderitaanmu," bentak Denny.
Tiba-tiba amarah Denny membludak ketika Mariam terus menanyakan Santana. Bukan karena Denny cemburu semata, tapi Denny geram pada Santana yang sudah meninggalkan Mariam tanpa perasaan.
Mendengar bentakkan Denny, air mata Mariam tumpah membasahi pipinya. Mariam bingung 'mengapa Denny begitu marah?'. Sementara Denny terlihat bimbang dan bingung dengan apa yang sudah dirinya lakukan hingga membuat Mariam menangis.
"Ma... Mariam maafkan aku! aku tidak bermaksud melukai perasaan mu," gugup Denny.
"Tapi kamu sudah melakukannya mas, kamu mengingatkanku pada luka itu! luka yang ditorehkan oleh ayah dari putraku" batin Mariam.
"Masuklah Mariam! kau lelah bukan? istirahatlah dan jangan lupa makan." printah Denny.
Mariam menggangguk lalu masuk ke dalam rumah, menyusul Shaka. Sementara Denny langsung pergi dengan sepeda motornya.
Dalam perjalanan pulang, Denny terus merutuki kebodohannya. Mengapa dirinya begitu emosi mendengar nama Santana? meski ada satu hal yang secara tidak direncanakan terjadi begitu saja. Yakni dirinya yang sudah berani menyebut langsung nama Mariam. Denny hanya tidak ingin orang yang ia cintai terus terpaku pada orang yang menyia-nyiakannya dirinya dsn Shaka.
***
Di dalam rumahnya, Mariam lagi-lagi harus menyembunyikan air matanya dari Shaka. Tak mengapa bila sekali lagi dirinya harus berpura-pura tegar di hadapan Shaka. Semoga saja esok lusa ia menjadi tegar sungguhan.
"Ibu, Shaka lapar bu!" keluh bocah kecil itu.
"Kita makan ya sayang," ucap Mariam mengatur suaranya agar tak terdengar parau setelah tadi menangis.
Dengan makanan yang Denny belikan tadi, Mariam menyuapi Shaka terlebih dahulu, barulah disusul oleh dirinya setelah Shaka merasa kenyang. Untuk berpura-pura baik-baik saja tentu butuh tenaga bukan? jadi Mariam makan dengan lahap kala itu.
Tak lama Shaka yang nampak kelelahan dan kenyang pun mengantuk, lalu Mariam menggendongnya ke tempat tidur dan membiarkan Shaka beristirahat. Sebuah senyuman terukir di bibir Mariam. Menatap lekat wajah putranya yang mulai terlelap.
"Mengapa mas Denny memarahiku seperti anak kecil? lalu mengapa aku menurut saja pada titahnya?" gumam Mariam menyadari sedikit keanehan pada dirinya dan Denny.
Kalau Mariam pikir-pikir lagi, untuk apa seorang Denny yang bukan siapa-siapa begitu perduli dan perhatian pada dirinya dan Shaka? justru Santana yang seorang suami dan ayah dari anaknya malah menyia-nyiakan dirinya.
Kecamuk di kepalanya itu membuat Mariam pusing, hingga akhirnya ia pun tertidur di sisi Shaka.
Di ruangan berbeda....
Denny gelisah memikirkan Mariam, ada rasa yang semakin menyeruak di dalam dadanya. Seperti perasaan yang sempat hilang tersapu kenyataan, dan kini tumbuh lagi menjadi sesuatu yang lebih segar.
"Nak, kenapa melamun?" tegur seorang wanita paruh baya yang merupakan ibu dari Denny.
"Eh Ibu... tidak Bu, Denny hanya sedang lapar!" jawab Denny berbohong.
"Oh sedang lapar! apa dengan melamun seperti itu akan membuat perutmu kenyang?" ledek Ibu yang mengetahui putranya sedang berbohong.
"Ah ibu, tahu saja kalau Denny sedang berbohong" tutur Denny lalu berbaring meletakkan kepala di pangkuan sang ibunda.
"Bagaimana kabar Mariam dan putranya nak? apa mereka baik-baik saja?" tanya Ibu.
"Ha? oh Mariam, dia baik bu begitupun dengan putranya, Shaka."
"Kenapa tiba-tiba Ibu menanyakan Mariam? apa Ibu bisa membaca pikiranku? ah memangnya pikiranku sebuah karya tulis seperti novel para author, bisa di baca segala?" batin Denny penuh tanya.
Denny lelah memikirkan kecamuk batinnya sendiri, sampai tak terasa ia terlelap di pangkuan ibunya. Denny memang sangat manja pada ibunya, terlebih nasibnya hampir sama seperti Shaka. Saat ia berusia 7 tahun, Ayah Denny meninggal dunia dan hingga kini Ibu Denny tidak menikah lagi.
Senja tiba, menghias langit seluas hamparan kasih seorang ibu. Angin yang berbisik manja meniupkan berbagai kabar dari sang tuan pemilik berita. Shaka dan Mariam duduk dengan pandangan menengadah ke langit senja yang indah.
Sekilas Mariam terlintas kenangan indah bersama Santana. Saat di mana janji-janji manis terurai dari bibir Santana 'Mariam, ketahuilah kau lebih indah dari langit senja yang memerah bagai kelopak mawar, dan aku tidak akan pernah meninggalkanmu' Mariam tersenyum mengingat ucapan manis itu. Meski kenyataan yang datang padanya sepahit empedu.
"Ibu, apakah kalau Shaka besar nanti harus seperti ayah? meninggalkan istri dan anaknya?" tutur Shaka melontarkan kalimat yang sama sekali tak biasa terpikirkan oleh anak seusianya.
Mariam yang masih menatap langit senja kala itu, tak dapat membendung air mata yang mendesak di sudut matanya. Apa yang harus Mariam katakan untuk menjawab pertanyaan putranya itu? di satu sisi Mariam tidak ingin Shaka memiliki pikiran buruk tentang ayahnya, di sisi lain Mariam tidak mungkin mengiyakan pertanyaan Shaka.
"Dengar sayang! kalau Shaka sudah besar nanti, ibu berharap Shaka akan tinggal dengan keluarga Shaka, dalam hangatnya kebersamaan," tutur Mariam seraya memegangi kedua tangan Shaka dan menatap matanya.
"Kenapa begitu bu? bukan kah ibu selalu berkata bahwa Ayah orang baik? berarti Shaka harus seperti ayah dong bu?" berondong Shaka.
Mariam sampai bingung harus berkata apa lagi pada bocah kecil yang mulai kritis itu.
"Begini saja, Shaka rindu tidak pada Ayah?"
"Iya bu, Shaka sangat rindu pada Ayah. tapi Ayah tidak rindu pada Shaka!" ucap Shaka dengan mata berkaca-kaca.
"Kalau begitu, kelak saat Shaka sudah dewasa dan punya anak, jangan pernah biarkan anak Shaka memendam rindu terlalu dalam... hem!" tutur Mariam sembari mengusap air mata Shaka yang mulai membias di pipi mungilnya.
"Baik bu!" jawabnya lalu memeluk Mariam.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Murni Aneka
anak seusia itu sudah ngmong seperti itu, tpi masih digendong ibu nya?
2022-09-25
3
🍀 chichi illa 🍒
kira2 kak otor ni sambil nulis netes gak air mata ...😢😢😢😢
2022-06-03
1
Yuni Aqilla
bawangnya jangan banyak banyak dong teh
2022-06-01
1