NovelToon NovelToon

Ibu, Izinkan Aku Bahagia

BAB 1. Ibu, Shaka Ingin Bertemu Ayah.

Seorang bocah laki-laki sedang duduk termenung memegangi kedua lututnya, dari matanya bulir-bulir bening terus menetes membasahi pipi mungilnya. Dialah Ananda Shaka atau Shaka, begitu panggilan yang disematkan padanya. Saat ini usianya genap 6 tahun.

Ayah Shaka sudah pergi meninggalkan Shaka sejak Shaka berusia 2 tahun. Berdalih untuk merantau ke negeri seberang namun, hingga kini tak jua kembali. Kini Shaka hanyalah tinggal berdua dengan Mariam, ibu kandung Shaka yang selalu ada untuknya.

"Nak! Ayo makan dulu, Ibu sudah buatkan sup kesukaan Shaka," seru Mariam. "Tidak mau, Bu. Shaka hanya ingin ayah, ayo Bu .... ajak Shaka bertemu ayah!" tutur Shaka.

Mendengar anaknya yang selalu menanyakan ayahnya, tangis Mariam tak kuasa ia bendung. Percayalah jika Mariam mampu melakukannya, tentu ia sudah membawa Shaka bertemu dengan ayahnya, Santana. "Nanti ayah pulang Sayang, sekarang Shaka makan dulu, ya!" bujuk Mariam.

"Tidak mau! Pokoknya Shaka hanya ingin ayah. Shaka tidak mau makan."

Shaka pun berlari meninggalkan ibunya yang tak memiliki daya dan upaya untuk mewujudkan keinginan putranya itu. Mariam menaruh mangkuk berisi sup yang semula hendak ia berikan pada Shaka. Lalu ia berlari mengejar putra semata wayangnya itu sembari terus memanggil namanya.

"Shaka .... kembali, Nak" teriak Mariam. Shaka lari cukup jauh dari rumahnya. Mariam terus berlari mencari keberadaan putranya itu.

"Shaka dimana kamu, Nak?" ulang Mariam. Akhirnya, Mariam menemukan Shaka sedang berdiri termangu dengan pandangan mata yang fokus melihat sesuatu. Mariam mendekati Shaka perlahan dan mencari tahu apa yang sedang dilihat oleh Shaka.

Saat jaraknya mulai dekat, Mariam langsung mengetahui bahwa Shaka sedang memperhatikan seorang anak seusianya yang sedang bermain bola dengan ayahnya. "Shaka, ayo kita pulang, Sayang," bujuk Mariam. Tanpa drama penolakan, Shaka langsung berlari kepelukan ibunya dengan air mata yang deras bercucuran. Tangisnya kali ini tanpa suara, hanya seperti jeritan dari dalam hati yang tidak dapat didengar namun, bisa dilihat dengan sangat jelas. Dengan hati nelangsa, Mariam menggendong putranya itu dan membawanya pulang ke rumahnya. Satu-satunya tempat yang penuh kenangan bersama sang suami, Santana.

Sesampainya di rumah, tangis Mariam pecah. Sambil memeluk dan menciumi Shaka Mariam menumpahkan seluruh kesedihannya. Mariam mengerti kerinduan Shaka pada ayahnya. Dengan sisa-sisa kesedihan yang berusaha ia sembunyikan, Mariam menyuapi Shaka dengan semangkuk nasi dan sup yang ia masak.

"Shaka mau bertemu ayah 'kan?" tanya Mariam. Shaka menganggukkan kepalanya sembari menyeka sisa air mata yang masih menempel di pipinya. Lalu Shaka menghampiri ibunya yang sudah bersiap untuk menyuapinya makan.

"Shaka harus makan yang banyak, biar cepat besar dan bisa bertemu dengan ayah," hibur Mariam. Bocah kecil itu pun menurut pada sang Ibu, berharap apa yang dikatakan ibunya akan menjadi kenyataan. Shaka selalu bercerita setiap kali pulang bermain bersama teman-temannya bahwa ayah mereka sangat hebat karena bisa membuatkannya layang-layang, menemani bermain bola, atau mengajari mengayuh sepeda.

Dalam ketidak berdayaannya, Mariam hanya bisa berpura-pura tersenyum dengan rasa pedih yang menghujam di dalam sanubarinya. Mariam hanya bisa berdoa dan terus berharap, bahwa suatu saat suaminya itu akan datang mengetuk pintu. Menemui dirinya dan Shaka.

"Bu, kenapa ayah perginya lama? Apa karena Shaka nakal? Shaka janji Bu tidak akan nakal lagi, asalkan ayah pulang," celoteh Shaka. "Bukan begitu, Nak. Anak Ibu tidak nakal! Ayah belum pulang karena masih kerja. Nanti kalau sudah selesai kerjanya, ayah pasti pulang."

"Tapi Bu ... ayah Ali dan ayah Azki juga bekerja, dan mereka tetap pulang!" sanggah Shaka. "Habiskan dulu makannya, ya ... setelah itu baru Shaka cerita lagi!" pungkas Mariam. Batin Mariam selalu bergejolak setiap kali anaknya, Shaka mengeluhkan tentang dirinya yang tak dapat bermain dengan ayahnya seperti teman-teman sebayanya.

Belum lagi cemoohan tetangga yang kerap membuat dirinya khawatir anaknya akan tumbuh dengan beban psikologis yang berat. Seperti saat seorang temannya menanyakan tentang dimana keberadaan ayahnya Shaka, mulut nyinyir tetangga langsung memotong pembicaraan Mariam dengan menjawab 'mungkin ayah Shaka sudah mati, atau punya istri baru di sana'.

Jlep! Hati Mariam mendadak ngilu bagai dihujam sebilah pedang yang menusuk tepat di jantungnya. "Bu, Shaka sudah kenyang! Shaka pergi main ya, Bu" ucap Shaka. "Baiklah jagoan Ibu, tapi jangan jauh-jauh ya mainnya!" pesan Mariam.

Bocah kecil itupun langsung berlari keluar menghampiri teman-temannya yang sedang asik bermain. "Shaka lihat aku punya apa? Baguskan? Ini ayahku yang belikan."

"Wah iya sama seperti punyaku, aku juga dibelikan ayahku." "Shaka kenapa tidak bawa mainan? Sana minta belikan ayahmu." Celotehan teman-teman Shaka yang masih polos memang tak bisa terelakkan. Mariam pun memaklumi jika kalimat itu keluar dari mulut polos teman-teman Shaka.

Dari depan pintu rumahnya Mariam melihat putranya itu terdiam dan tidak menjawab celotehan teman-temannya. Mariam tahu Shaka kebingungan. Bahkan dirinya saja sering bingung bagaimana menjawab berondongan kalimat yang menanyakan tentang suaminya.

"Dimana sebenarnya kamu, Mas?" gumam Mariam. Dalam batinnya ia selalu bertanya-tanya. Beberapa saat setelah Mariam memperhatikan anaknya dari kejauhan, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

Hidup tanpa seorang suami yang mendampinginya, membuatnya harus berkerja dua kali lipat lebih keras. Untuk membesarkan anak dan demi memenuhi kebutuhan dirinya dan Shaka. Mariam membuang jauh-jauh gengsinya.

Saat ibu-ibu di lingkungannya bergaya membeli ini dan itu. Mariam hanya dapat tersenyum menyembunyikan keinginan yang ia tekan dalam-dalam agar tak muncul dipermukaan. Walau hati kecilnya bersemoga, berharap suatu saat ia dapat merasakannya.

Sebagai usaha dirinya untuk menggantikan tugas sang suami mencari nafkah, Mariam membuat keripik pisang dan kue-kue ringan untuk ia jajakan berkeliling kampung. Terkadang ia membawa serta Shaka dalam gendongannya. Karena tak tega bila harus terus meninggalkan putranya yang baru berusia 6 tahun itu sendirian di rumah.

Tetangga yang iba terkadang membantu Mariam untuk menjaga Shaka. Meski mulut tetangga yang lain mencibirnya. Mariam sudah menutup kedua telingannya dari setiap kata-kata yang membuat dirinya terluka. Kecuali bila itu tentang Shaka! Maka Mariam akan memasang badannya untuk melindungi putranya.

Banyak orang yang menutup mata dan tidak mau mengerti, bahwa jalan hidup yang tidak mengenakkan dari seseorang adalah bukan keinginannya. Andai semua itu adalah kehendak Mariam sendiri pastilah ia tidak akan memilih untuk hidup sebagai seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa kejelasan. Tanpa nafkah lahir dan batin.

Seribu keluh pun akan percuma di hadapan manusia. Karena akan selalu ada orang yang suka dan benci. Meski harus tergores seribu, Mariam ikhlas menerimanya asalkan jangan pernah melukai atau menyakiti anaknya.

Shaka adalah alasan mengapa Mariam masih terus kokoh berdiri di tengah kerasnya kehidupan yang ia jalani hingga hari ini.

Bersambung....

BAB 2. Sepucuk Surat Untuk Mariam

Di penghujung malam, ketika orang lain masih terlelap dalam tidurnya. Mariam menggelar sajadah seraya merundukkan sujud. Memohon pada sang pemilik jagat raya ini, untuk memberikan jalan terbaik bagi setiap masalah hidup yang ia hadapi.

Mariam masih setia pada penantiannya. Entah esok atau lusa, Mariam masih berharap akan bisa melihat wajah suaminya tersenyum lagi padanya dan Shaka. Meski banyak yang memberi saran agar Mariam melupakan saja suaminya yang telah lama tak pernah kembali itu.

Gelaran sajadah itu pun basah terkena jatuhan air mata Mariam. Menjadi saksi di setiap doa dan keluh kesahnya. Tiada malam yang Mariam lewatkan tanpa untaian doa-doa yang selalu melangit. Karena di situlah ketenangan hati dan keteguhan jiwa ia dapatkan.

Mariam kemudian melipat lagi sajadahnya dan menaruhnya di tempat yang disediakan. Lalu Mariam beranjak dan melangkahkan kakinya menghampiri pangeran kecilnya yang masih terlelap tidur. Sambil menatap lekat wajah polos putranya itu, Mariam menyunggingkan senyuman.

"Yakinlah, Nak. Tuhan akan menguatkan bahu kita untuk menopang beban yang kita pikul ini!" ucapnya lirih.

***

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu terdengar nyaring di telinga Mariam. Mariam mengintip dari celah jendela untuk melihat siapa yang datang. Tapi karena hari masih gelap dan cahaya lampu tak begitu terang, Mariam tak bisa melahat wajah orang itu dengan jelas.

"Assalamu'alaikum, mbak Mariam! ini Denny mbak."

"Wa'alaikumsalam, oh mas Denny! saya kira siapa?" sahut Mariam sembari membukakan pintu.

Denny adalah sahabat Santana, suami Mariam. Denny cukup sering mengunjungi Shaka dan Mariam. Walau hanya sekedar menanyakan keadaan atau membawakan jajan untuk Shaka.

"Ada apa mas Denny? tumben pagi sekali? Shaka nya belum bangun!" berondong Mariam.

"Maaf mbak Mariam, saya hanya ingin menyampaikan ini pada Mbak. Saya juga titip ini untuk Shaka." ujar Denny memberikan sepucuk surat pada Mariam dan menitipkan beberapa mainan yang ia beli untuk Shaka.

Setelah menyampaikan kepentingannya, Denny langsung bergegas pergi dari rumah Mariam. Tinggal Mariam yang merasa penasaran dengan isi surat itu. Mariam menaruh mainan pemberian Denny untuk Shaka, di sisi tempat tidur putranya. Mariam lalu membuka perlahan lipatan kertas itu.

" Teruntuk Mariam.

Saat kamu membaca surat ini mungkin aku sudah pergi, lebih jauh dari sebeumnya. Maafkan aku tidak pernah memberimu kabar atau mengirimkan uang untuk Shaka. Aku merasa sudah tidak mungkin lagi untuk kita meneruskan bahtera rumah tangga ini.

Aku sudah mendapatkan hidup baru di sini. Aku harap kau mengerti. Aku minta maaf atas penderitaan yang kau dan Shaka alami karenaku. Tapi, aku juga tidak bisa berbuat banyak.

Semuanya sudah aku lakukan untuk mendapatkan semua yang aku harapkan, hingga aku merasa lelah dan menyerah. Mariam istriku, aku tahu kau wanita yang baik dan kau pantas mendapatkan kebahagiaan meskipun bukan bersamaku. Aku titip putraku Shaka agar kamu merawatnya dengan baik. Tolong sampaikan padanya, untuk tidak pernah mencariku.

Mariam binti Surnaen, terhitung hari ini saat kau membaca surat ini, berikut jam dan tanggalnya. Aku Santana bin Jaja menjatuhkan talak 3 kepadamu. Mulai sekarang kau bukan lagi istriku, begitupun aku tidak lagi menjadi suamimu.

Maafkan aku

Santana."

Byaaarrrr!

Seketika seluruh tubuh Mariam terkulai lemas bagai tak bertulang. Bibirnya bergetar seiring derasnya deraian air mata yang tak bisa ia hentikan. Mariam tak berdaya merasakan sakit yang begitu dahsyat menusuk sanubari dan mengoyak labirin hatinya.

Tubuhnya terjatuh lunglai, rasanya Mariam tak bisa percaya akan kenyataan yang baru saja ia terima. Mariam menangis tersedu-sedu hingga membuat Shaka terbangun dari tidur panjangnya. Bocah kecil itu berjalan menghampiri ibunya yang bagai raga tak bernyawa.

"Bu, bangun Bu! Ibu kenapa Bu? Shaka disini Bu...bangun Bu," ucap Shaka sembari mengguncangkan tubuh ibunya.

"Shaka...."

Hanya itu yang keluar dari mulut Mariam dengan tangan lemas yang merangkul bocah laki-laki itu.

Shaka yang melihat keadaan ibunya seperti itu turut menangis dan ketakutan. Nampak kekhawatiran dan juga kebingungan diwajah Shaka. Melihat putranya ikut menangis, Mariam mengumpulkan sisa tenaganya kemudian bangkit dan membawa Shaka ke dalam pangkuannya.

"Sudah sayang jangan menangis lagi!" ucap Mariam seraya menyeka air mata dari wajah Shaka.

Mariam menggendong Shaka dengan langkah gontai menuju tempat tidurnya. Lalu ia menghibur Shaka dengan memberikan mainan yang dibelikan Denny. Dihadapan Shaka, Mariam berusaha dengan keras menyembunyikan pangkal kesedihan yang baru saja terlihat oleh Shaka.

"Lihat! Ibu punya apa untuk Shaka?" tutur Mariam. Menunjukkan sebuah bola dan beberapa mobil-mobilan plastik yang diberikan oleh Denny.

"Apa paman Denny kesini tadi, Bu?" terka Shaka.

"Iya sayang... kok Shaka tahu ada paman Denny kesini?" tanya Mariam seraya membereskan kantong plastik yang menjadi tempat mainan Shaka.

"Tahu dong bu! siapa lagi yang belikan Shaka mainan kalau bukan paman Denny."

"Sayang, Shaka bicara apa sih? " pungkas Mariam.

"Memang benar kan, Bu? Ayah tidak pernah membelikan Shaka mainan. Semua mainan Shaka adalah pemberian paman Denny."

"Shaka cukup!" bentak Mariam tanpa ia sadari.

Shaka tersentak dengan sikap ibunya. Padahal selama hidupnya Shaka tak pernah mendapat bentakkan atau kata-kata kasar dari Mariam. Mata bocah laki-laki itu kembali berkaca-kaca tapi kemudian Mariam berjongkok memeluknya sembari meminta maaf pada putranya itu.

"Ibu minta maaf ya sayang!" ujarnya.

"Mulai sekarang kita harus mulai membiasakan diri untuk tidak berharap bahwa ayahmu akan pulang."

Sembari memeluk dan membelai kepala Shaka dengan lembut, Mariam terus bergumam membisikan kata-kata pada dirinya sendiri untuk mulai membuang harapan dan menyudahi penantiannya.

***

Dari tempat berbeda, seorang pria tampak gelisah memikirkan sesuatu. Seperti tidak dapat duduk dengan tenang ia selalu mondar mandir kesana kemari.

Denny menghampiri pria itu dan mengatakan bahwa pesannya telah ia sampikan ke tangan Mariam. Menurut perkiraan Denny sepertinya Mariam sudah membaca surat itu.

"Apa Mas Santana yakin dengan keputusan ini? tolong dipikirkan lagi mas! aku tidak tega melihat Shaka dan mbak Mariam terus terluka."

"Sudahlah Den, aku harus pergi lagi. Aku titipkan Shaka padamu. Tapi jangan pernah biarkan dia mencariku. Satu lagi, Mariam sudah ku lepaskan."

Seorang pria yang ternyata adalah Santana pun lalu pergi entah kemana, setelah apa yang menjadi tujuannya tercapai. Denny hanya termangu dan terdiam, dalam benak Denny terbayang betapa Mariam kini sedang sangat terluka. Bagaimana tidak? penantian panjang dan juga harapannya harus berakhir menyedihkan.

Andai dulu dirinya saja yang menikah dengan Mariam, mungkin Mariam tidak perlu merasakan sakitnya ditinggalkan dengan status yang menggantung lalu di hadapkan pada kenyataan bahwa Mariam telah ditalak dan itu pun hanya melalui sebuah surat dengan tulisan tangan Santana.

Tiba-tiba ada yang berdesir ngilu di hati Denny, sayangnya Denny tidak bisa berbuat banyak. Semoga suatu saat keajaiban datang dan mempersatukan dirinya dengan Mariam. Karena ternyata itulah alasan mengapa hingga kini Denny masih sendiri.

Bersambung....

BAB 3. Naik Sepeda Motor Paman Denny

Hari kian bergulir, mengembalikan semangat hidup Mariam yang sempat tercabik-cabik dalam kehampaan setelah dijatuhi talak oleh Santana. Meski rasa sakitnya menelusuk ke dalam daging hingga merasuk ke dalam jiwa. Setidaknya Mariam merasa lega karena telah ada keputusan dari Santana mengenai status pernikahannya.

Kini Mariam hanya fokus kepada Shaka, putra yang begitu ia cintai. Harapan-harapan baik pun selalu terurai di setiap doa yang Mariam panjatkan. Bagai detak nadi yang selalu membersamai di setiap hembusan napasnya. Setiap hari Mariam selalu berusaha mejadi ibu yang lebih tangguh lagi dari sebelumnya, untuk Shaka.

Siang yang membakar punggung Mariam, kala ia harus menjajakan barang dagangannya, tak membuatnya menyerah atau mengeluh. Dari lubuk hati yang paling dalam, Mariam bertekad untuk mendidik Shaka sebaik-baiknya. Agar kelak putranya itu mampu merasakan kehidupan yang lebih baik.

Dari kejauhan Denny, memperhatikan Mariam yang sedang berkeliling menjajakan dagangannya sambil mnggendong putranya, Shaka. Tak tega rasa hati Denny, melihat wanita yang sedari dulu ia cintai itu harus menjalani hidup yang demikian sulitnya.

"Mbak Mariam, dagangannya masih ada?" teriak seorang warga bertanya dari jarak yang lumayan jauh.

"Masih banyak, Bu!" jawab Mariam seraya berhenti dan menurunkan Shaka dari gendongannya.

Orang itu pun berjalan mendekat menghampiri Mariam. Mariam menunjukkan dagangannya dengan napas yang sedikit ngos-ngosan karena lelah berjalan.

"Silakan, Bu ... dipilih-pilih saja," ucap Mariam, mempersilakan orang yang ingin membeli dagangannya itu dengan ramah.

"Saya borong semua saja Mbak Mariam" ucapnya.

"Wah yang benar, Bu? Alhamdulillh, terima kasih banyak ya, Bu."

Mariam sangat senang akhirnya dagangannya laku, dan ia bisa segera pulang. Mariam tersenyum pada Shaka, lalu kembali menggendongnya dan melangkahkan kakinya menuju arah pulang. Setelah jarak mariam sudah lumayan jauh dari tempatnya tadi, Denny tersenyum dan mengucapkan terimakasih pada orang yang membeli dagangan Mariam, yang ternyata adalah seorang suruhan Denny.

Kemudian Denny meminta tolong untuk membagikan saja pada siapa pun yang menginginkan apa yang dibelinya dari Mariam.

***

"Bu, Shaka ingin buah jeruk," cetus Shaka menuturkan inginnya.

"Baik sayang! Mari kita pergi membeli jeruk."

Shaka pun terlihat begitu senang dan sangat antusias. Kepolosan anaknya itu mengobarkan semangat hidup Mariam, lagi. Sambil bercengkerama Mariam, dan Shaka, pergi menuju sebuah lapak yang menjual berbagai buah-buahan.

Belum juga sampai disana, Denny mencegah langkah mereka, ia membawa satu kantong besar buah-buahan. Ada buah jeruk, apel, kelengkeng dan juga mangga. Langkah Mariam, dan Shaka langsung terhenti karena Denny, kala itu.

"Shaka!" Panggil Denny yang seketika mematikan mesin sepeda motornya.

"Paman Denny ..." ucap Shaka yang melepaskan gandengan tangannya pada Mariam. Lalu, ia berlari menghamburkan diri pada pelukan Denny.

Denny menyambut bocah laki-laki itu dengan dekapan hangatnya, lalu memberikan kantong berisi buah-buahan yang ia bawa. Namun, karena lumayan berat bagi Shaka, ia tak bisa membawanya. Akhirnya, Denny menyerahkannya pada Mariam.

"Mari naik!" ajak Denny pada Mariam.

Namun, mariam menolaknya karena merasa tidak enak. Belum lagi Mariam terngiang cemoohan tetangga yang akan mengolok dirinya nanti.

"Terima kasih, Mas Denny. Tidak usah repot-repot, saya jadi tidak enak!" ucap Mariam dengan nada canggung.

"Tapi Bu, Shaka ingin naik sepeda motor bersama Paman Denny!" rajuk Shaka.

Mariam tak bisa berbuat banyak, pikirannya sudah campur aduk sekarang. Antara memilih diantar Denny, dan digunjing tetangganya nanti, atau tetap berjalan kaki dan harus melihat Shaka menangis. Namun, dengan bijak Denny memberi solusi.

"Begini saja Mbak, tidak apa-apa Shaka, biar saya yang antar kalau Mbak Mariam tidak keberatan. Mbak Mariam silakan tetap berjalan kaki saja."

Setelah menimbang-nimbang, Mariam akhirnya menyetujui usualan Denny tersebut. Dengan begitu semuanya merasa senang.

"Dadaaa Ibu...." ucap Shaka dengan polos ketika Denny mulai melajukan sepeda motornya.

Mariam tersenyum sembari melambaikan tangannya. Meski hati kecil Mariam, ingin sekali ikut bersama Denny, dan Shaka karena kakinya merasa lelah. Namun, lagi-lagi ia terbayang akan gunjingan para tetangga yang selalu saja mencampuri urusannya.

15 menit kemudian Denny, dan Shaka telah sampai dirumah Mariam. Tentu saja tidak dengan Mariam, yang menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.

***

Seorang ibu selalu mengesampingkan egonya, melupakan kesakitannya dan menampakkan senyum pada anaknya, seolah semuanya baik-baik saja. Meski segenap hati dan perasaannya tengah luluh lantak mengatur bagaimana agar orang yang ia cintai tetap merasa nyaman.

Hal itulah yang saat ini sedang Mariam lakukan. Demi Shaka, demi buah hati yang padanya tertutur segala harap.

Mariam menarik napas lega saat bilik rumahnya mulai terlihat dari ujung pandangannya. Dengan gesit Mariam mempercepat langakah kakinya agar cepat sampai. Rasanya ingin sekali Mariam, meluruskan pinggang dan kaki yang sudah letih dan terasa pegal.

"Ibu cepat sini, Bu," sambut Shaka seraya meraih tangan dan menuntun Mariam.

"Iya, Sayang ... sabarlah sebentar! " ucap Mariam.

Denny hanya menyimpulkan senyuman melihat tingkah bocah kecil yang ada di hadapannya itu.

"Ibu, duduk di sini dekat Paman Denny!" titah Shaka membawa ibunya itu kedekat Denny.

"Shaka ... tunggu Nak, jangan begitu!" sergah Mariam.

Seperti tak memperdulikan kata-kata ibunya, Shaka tetap memaksa Mariam, untuk mengikuti kemauannya. Wajah Mariam memerah kala itu, ia merasa malu dan tidak enak pada Denny.

"Shaka tidak boleh begitu sayang! kasihan tuh wajah ibumu jadi merah," ledek Denny.

"Dasar! Dua orang pria ini membuatku malu saja!" gerutu Mariam.

Sebenarnya Denny senang dengan apa yang Shaka lakukan saat itu. Tapi, Denny buru-buru sadar dan mengerti posisi Mariam. Pastilah dirinya menjadi sasaran empuk bagi tetangga yang doyan menggunjingnya. Tidak melakukan apa-apa saja jadi cemoohan. Apa lagi kalau sampai Mariam tidak menjaga jarak dengan Denny.

"Mas Denny, mau teh? Biar saya buatkan," tanya mariam menawarkan pada Denny.

"Boleh, Mbak ... kalau tidak merepotkan" jawab Denny.

Mariam yang salah tingkah langsung bergegas tanpa membalas lagi apa yang Denny katakan. Sementara, debar hati Denny kian tak karuan. Karena selama ini paling-paling Denny hanya datang untuk menanyakan kabar atau memberikan sesuatu untuk Shaka, lalu pergi lagi.

Tapi kali ini Denny memberanikan diri untuk duduk lebih lama bersama Shaka, dan Mariam. Walau tak luput dari mata dan telinga tetangga yang curi-curi kesempatan untuk mengintip. Ada yang pura-pura menyapu halaman sambil clingak-clinguk, ada pula yang pura-pura meminta garam atau gula ke rumah Mariam.

"Ibu, lihat ini!" ucap Shaka menunjukan 2 bungkus makanan yang sempat dibeli Denny, di jalan menuju pulang tadi.

"Itu apa, Sayang?" tanya Mariam yang sibuk membuatkan teh untuk Denny.

"Kata paman Denny ini untuk kita makan berdua, Bu."

Mariam semakin merasa tidak enak karena sudah banyak merepotkan Denny.

"Silakan diminum, Mas, tehnya ..." kata Mariam saat menyuguhkan minuman itu.

"Terima kasih banyak, Mariam ... eh maksud saya, Mbak Mariam!" jawab Denny gugup.

Mariam tersenyum dan menjaga jaraknya.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!