Maaf Suamimu Aku Pinjam
Di awal pagi, jam 04.00 wib aku sudah bangun. Sarapan Mas Arga, dan Fira, sudah kusiapkan di meja makan.
Sementara, mereka berdua masih tertidur di balik selimut tebalnya. Maklum ini hari libur. Mereka berdua balapan bangun siang.
Meski sarapan Mas Arga sudah aku hidangkan di meja makan. Aku sendiri, nggak sempat sarapan.
Tapi, memang aku tak terbiasa sarapan. Takut sakit perut. Mending perut kosong, daripada pas masuk kantor, pagi-pagi kebelet ke toilet buang air besar.
"Mas. Susu Fira, udah aku sediakan ya di meja. Nanti kalau dia bangun, tolong jagain ya," pesan aku sama Mas Arga.
Sebenarnya aku masih nggak tega ninggalin Fira, yang masih berusia 2 tahun. Tapi, apa boleh buat. Aku harus bekerja.
Hari ini, adalah hari pertama jadi pegawai.
Perasaan aku deg-degan. Berasa seperti mau ketemuan sama some one, aja! Hahahahahaha!
***
#Bismillah. Cari suasana baru#
Setelah menulis status itu, aku langsung on the way ke kantor. Aku pamit sama suami.
"Mas, aku ke kantor ya." kataku. Tapi, aku nggak salaman sama dia. Cuma sekedar pamitan.
Bersyukur aku lolos seleksi CPNS. Setidaknya, dengan status baruku sebagai pegawai, bisa jadi penyemangat hidup.
Di ruangan tempat kerjaku, ada banyak pegawai perempuan yang juga seumuran dengan aku.
Satu per satu, nama-nama mereka berusaha kuingat. Sebab, mereka satu bidang sama aku, di Dinas Kebudayaan.
Diantara orang-orang itu, ada satu orang yang terkesan sinis saat berbicara denganku. Tapi, biarlah. Suka atau tidak suka. Itu urusan dia. Lagian, aku merasa nggak ada salah sama dia. Salah aku apa, coba? Aku orang baru, di sana.
"Kak, dipanggil bapak. Disuruh ke ruangan," tiba-tiba, seorang perempuan muda, menepuk pundakku.
Mendapat perintah itu, aku langsung berdiri memasuki ruangan pimpinan. Namanya Pak Robert Airlangga. Jabatan dia, Kepala Dinas Kebudayaan.
"Kamu, staf baru ya? Tolong secepatnya menyesuaikan diri dengan pegawai lain," perintah lelaki yang usianya kutaksir sekitar 45 tahunan itu.
"Iya, Pak," kataku, sembari menganggukkan kepala.
"Oke. Kalau begitu, selamat bergabung di Dinas Kebudayaan. Satu lagi. Saya mau kamu sungguh-sungguh menjalankan tugas dengan baik, dan tentunya, bertanggungjawab," kata pria itu lagi padaku.
"Iya, Pak." jawabku sedikit gugup saat berbicara dengannya.
"Aneh. Kenapa dia nggak tanya namaku dulu. Ini main perintah-perintah harus menyesuaikan diri dengan pegawai lainnya. Ah tapi masa bodoh. Dia tahu atau nggak namaku, itu bukan urusan aku. Pasti dia sudah tahu nama aku, dari pegawai lain." gumamku, bicara sendiri dalam hati.
"Kak, tolong rekap kalender tahunan agenda kebudayaan. Nanti setelah selesai, buat laporan ke pimpinan," perintah Kak Mona, Kabid Kebudayaan. Posisi dia, lebih tinggi dari aku, di kantor itu.
"Iya, kak," kataku mengiyakan perintahnya.
"Setelah selesai direkap, tolong antar langsung ke ruangan bapak, ya, ditunggu sekarang," tambahnya lagi.
"Oke Kak." jawabku.
Aku hanya mengangguk. Tanda mengerti perintah dia. Aku laksanakan perintahnya dengan teliti. Biar tak ada kesalahan. Karena, tugas perdana, akan menentukan nasib aku ke depan.
Apakah aku staf yang bisa diandalkan atau staf yang nggak bisa kerja.
Satu jam kemudian, rekapan agenda kebudayaan itu, selesai kukerjakan. Sesuai perintah, langsung aku antar ke ruangan bos besar, Robert Airlangga.
***
Sebelum masuk. Kuketuk pintu ruangan bos Robert Airlangga.
*Tok tok tok*
"Masuk," jawabnya.
Kuletakkan langsung beberapa lembaran kertas yang sudah aku jilid itu, di atas meja kerjanya. Aku masih berdiri termangu, di hadapannya. Lalu, tak lama dia memintaku duduk.
"Duduk," perintahnya.
Aku pun langsung duduk, sesuai perintahnya.
"Semoga aja nggak ada yang salah," kataku membatin sendiri.
"Duh matilah ada yang salah. Pakai dicoret-coret segala," gumamku was-was.
Kulihat dia menambahkan beberapa catatan di bagian bawah lembaran kertas yang aku sodorkan itu.
Lima menit, aku hanya diam. Menunggu perintah selanjutnya. Kata dia, ada yang belum aku masukkan dalam daftar list.
"Perbaiki, sekarang saya tunggu!" perintah dia lagi.
"Baik, Pak," kataku, sembari meraih kertas di atas mejanya itu, dan beranjak pergi dari ruangannya.
"Tunggu," katanya.
Aku pun balik kanan, untuk mendengarkan perintah dia lagi.
"Iya, Pak, ada apa?" tanyaku.
"Nanti ada acara makan siang, jadi semua pegawai bagian bidang promosi wajib hadir. Termasuk kamu juga, harus ikut," katanya.
"Baik, Pak," jawabku dan aku melanjutkan langkahku menjauh dari ruangan kerjanya.
Seperempat jam, revisi daftar list agenda kebudayaan itu, kelar aku kerjakan, dan langsung kuantar lagi ke ruangan pimpinan.
"Yup. Good job," katanya memuji hasil kerjaku.
"Besok, kita ada rapat dengan gubernur. Kamu ikut saya ya untuk memaparkan sejumlah program agenda kebudayaan kita." katanya.
"Saya, Pak?" aku tertegun mendengar perintahnya.
"Iya. Emang di ruangan saya ini ada siapa lagi, selain saya sama kamu?" katanya dengan nada seolah menyalahkan aku.
"Oh iya, Pak. Maaf." kataku langsung meminta maaf padanya.
"Mana id card kamu. Pakai. Jadi pegawai harus disiplin. Pakai id card aja disuruh. Gimana mau jadi pegawai teladan." celetuknya.
"Belum dikasih Pak, sama orang bagian Tata Usaha." kataku, membela diri.
"Pokoknya saya nggak mau tahu. Gimana caranya, besok kamu harus pakai id car. Baru pertama masuk kantor, sudah nggak disiplin," protesnya lagi.
"Baik, Pak," kataku dengan kepala menunduk.
"Setengah jam lagi, ke lokasi rumah makan yang sudah saya pesan. Kamu bareng satu mobil sama saya aja. Ada juga staf lainnya. Tapi, kalau kamu nggak mau ya silakan gabung sama staf lain. Mereka pakai mobil kantor," katanya.
"Baik, Pak," kataku.
"Ih menyebalkan banget sih punya pimpinan kayak dia. Kalau dia bukan pimpinan aku, sudah aku ajak kelahi nih orang! Hahahahah!" celetukku dalam hati.
Kalau tahu punya bos galak dan menyebalkan, pasti aku nggak bakal mau ditempatkan di dinas ini.
"Sabar, Winona. Semua akan indah pada waktunya." kataku menghibur diri sendiri.
***
"Sebelum pergi makan siang. Kamu ke ruangan saya sekarang. Nanti kamu bareng saya aja. Biar orang itu duluan," kata bos galak itu lewat sambungan ponsel genggamku.
"Ih ngapa sih dia maksa aku satu mobil sama dia. Nggak ah apa kata pegawai lainnya. Nanti aku kena bully mereka," pikirku dalam hati.
"Maaf Pak, saya bawa mobil sendiri," kataku menolak ajakannya.
"Jadi, kamu melawan atasan?" bentaknya.
"Saya nggak mau tahu. Kamu ke ruangan saya sebentar. Karena ada yang harus kamu revisi, data yang tadi!" perintah dia padaku.
"Baik Pak," jawabku langsung menutup ponselku. Lalu bergegas menuju ruangannya.
"Parah. Tadi dia bilang good job. Sekarang disuruh revisi lagi. Apa sih mau dia. Benar-benar menyebalkan, pimpinan satu itu," kataku sambil mempercepat langkahku.
Padahal, aku tadi sudah siap-siap on the way, menuju rumah makan yang dia sebutkan tadi.
"Ini tolong ralat lagi," katanya, langsung menyodorkan kertas yang sudah aku serahkan tadi.
"Buruan ya. Setelah itu kita makan siang bareng sama pegawai lainnya. Terutama bidang promosi," sebutnya berulang kali.
"Baik, Pak," sahutku.
Ini orang, bikin mood aku hilang aja. Mana perut aku keroncongan. Soalnya dari pagi belum sarapan. Cacing-cacing dalam perutku pasti lagi pada demo menuntut haknya.
Dia menelepon seseorang. Meminta menghandle dulu makan siangnya.
"Tolong acara makan siangnya handle dulu. Sebentar lagi on the way," kata Bos Robert itu di depan aku.
Padahal, sebenarnya data itu bisa dikerjakan setelah makan. Tapi, Tuan Robert Airlangga itu sepertinya sengaja membuat aku sebel. Tapi, apa boleh buat. Demi menjalan perintah dia, aku harus bekerja dengan baik, di hadapannya.(***)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments