Asal bos galak sedunia itu telepon, pasti ada aja yang aneh-aneh. Belum juga selesai bertanya, eh HPnya dimatikan.
Katanya aku disuruh siap-siap. Diajak keluar kota untuk mendampinginya menghadiri diklat.
"Baru paham, itu namanya Dinas Luar," gumamku dalam hati.
Aku pun pulang cepat dan bersiap-siap mengemas bajuku, satu koper. Ada sepuluh lembar baju dan perlengkapan underware yang aku masukkan ke koper.
''Ini, pengalaman perdanaku keluar kota. Bareng si bos galak. Ups!'' celetukku.
''Tiket semua sudah di tangan aku,'' kata bos itu.
Aku menghela nafas panjang. Mengucap bismillah, ini perjalanan keluar kota perdana.
Tujuan keluar kota mana aku pun tak tahu, karena semua tiket penerbangan ada di tangan pria penguasa itu.
''Kalau sudah di kantor, kabari aku,'' katanya lewat chat watshapp.
Perjalanan perdanaku ini, memberi sensasi sendiri. Betapa tidak, sebelumnya tak pernah terbayang, pergi berdua sama orang yang bikin emosi aku naik turun.
''Uang saku kamu, sama aku. Tadi sudah aku minta dari bendahara. Ada lima orang yang Dinas ke Luar Kota hari ini. Tiga orang lagi, dengan pesawat berbeda.'' jelasnya dan aku hanya manggut-manggut saja.
Sampai boarding pass pun, aku nggak bertanya mau keluar kota dengan tujuan mana. Aku hanya mengekori dia. Kemana dia melangkah, aku mengikutinya.
''Kok kamu aneh, nggak bertanya mau keluar kota ngapain?'' tanyanya mulai terdengar keki melihat sikap aku yang sejak dari tadi, lebih banyak diam.
''Nanti saya dibilang cerewet, Pak kalau pakai tanya-tanya,'' kataku dengan nada melandai.
''Kalau aku ajak keluar kota, berarti kamu setuju-setuju saja kan, untuk mendampingi aku?'' tanyanya lagi.
''Siap,'' jawabku singkat.
''Tumben kamu hari ini banyak diam?'' protesnya.
''Hehehe. Iya, Pak.'' jawabku.
Sekali lagi, dia protes soal panggilannya.
''Berapa kali aku harus ingatkan sama kamu. Aku bukan bapak kamu, ya. Ingat itu.'' katanya padaku dengan nada sewot.
Dalam hati, aku cekikikan. Tapi, aku masih merasa canggung saat memanggil dengan sebutan Abang. Serasa jadi pacar dia, kalau aku panggil dia abang. Hahahahahah!
Ada yang aneh rasanya saat duduk berdampingan dengan dia. Ya...ada rasa yang tak biasa. Rasa itu belakangan sungguh tak bisa aku tepis. Kuakui, aku susah mengusirnya dari hati.
Mungkin ini takdirku harus menjalani kisah ini.
Aku baru tahu, saat pesawat lepas landas, ternyata aku akan terbang bersama bos galak itu, menuju Bandung. Aku menghela nafas panjang. Debar jantung di dada rasanya tak karuan. Benar-benar aku merasakan ada yang tak biasa dengan penerbangan aku kali ini.
Kucoba mengatur debaran jantungku. Pelan-pelan berusaha kupejamkan mata ini. Dia juga sepertinya berusaha memejamkan mata, dibalik kacamata hitamnya.
Setelah tenang, aku merasa dia mulai aneh. Pelan-pelan dia sandarkan kepalanya di bahu kananku. Seketika, debaran jantungku bergemuruh lagi, bersamaan dengan rebahnya kepala dia di bahuku.
Aku diam tak bergeming. Tapi, kali ini aku nggak berhasil mengontrol debaran jantungku yang tak karuan ini. Dia meraih jari-jemariku dan menggenggamnya erat.
''Hm... dia nggak tidur. Kupikir dia tidur, dibalik gayanya yang berusaha merebahkan kepalanya di bahuku.'' pekikku dalam hati.
''Kamu menikmati nggak perjalanannya,'' bisiknya di telinga kananku.
Aku hanya mengangguk dan tak bisa berkata-kata. Soalnya perasaanku kali ini benar-benar aneh.
***
Setelah sampai di hotel, aku lapar banget. Aku minta izin mau cari makan dulu di luar. Tapi, dia nggak mengizinkan. Kata dia, nanti mau ngajak aku bareng, cari makannya.
Terpaksa, dengan menahan lapar, aku harus menunggu dia.
''Ya udah kita makan dulu, sebelum istirahat.'' katanya padaku. Kata-kata dia buat pusing kepalaku hilang. Sebab, dari tadi aku memang butuh makan. Jadi, saat dia mengajakku makan, itu membuat duniaku terang.
Aku begitu bersemangat saat taksi yang dipesannya sudah tiba di depan halaman hotel.
''Yuk,'' ajaknya.
Di taksi, dia bikin aku deg-degan lagi. Dengan santainya dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Ya ampun, takdir terindah atau takdir terburukkah, perjalanan Dinas Luar ini? Sumpah aku nggak bisa membedakan yang terindah atau yang terburuk. Apalagi perutku lagi minta haknya, harus segera diisi. Jadinya aku nggak bisa berpikir jernih. Aku pun pasrah saat dia menggenggam erat tanganku.
''Biasa aja dong wajahnya. Jangan tegang,'' katanya memandangi aku. Jelas pandangannya buat aku jadi salah tingkah. Dia juga nggak melepas genggaman tangannya.
''Hm....ya sudah, nikmati saja alur ceritanya. Sekarang, di otakku, aku lagi butuh makan. Semoga saja aku nggak pingsan di depan dia.'' gerutuku dalam hati.
''Aku juga lapar kok, sayang,'' katanya.
''Hah. Apa lagi nih? Dia panggil aku sayang? Hm....lengkap sudah cerita terlarang ini.'' gumamku lagi masih dalam hati.
Jujur, aku nggak bisa berkata-kata, sepanjang perjalanan. Karena, ada tragedi-tragedi aneh yang mendarat di depanku, dengan tiba-tiba.
Mulai dari dia rebahkan kepalanya di pundak aku, saat di pesawat. Lalu, dia menggenggam tanganku. Sekarang, di taksi, ia menggenggam tanganku dan memanggil aku, dengan panggilan sayang. Benar-benar tak kusangka, takdir ini harus aku jalani. Haruskah aku senang atau menolaknya? Aku masih belum bisa memilih dengan baik.
Taksi yang tarifnya pakai argo itu, berhenti di depan sebuah kafe. Disana, kulihat sepasang lelaki dan perempuan, makan bareng penuh romantis.
''Cantik-cantik ya cewek Bandung,'' kata dia setengah berbisik.
Aku diam saja nggak merespon apa yang dia katakan.
''Tapi, cantikan perempuan yang ada di depan aku ini,'' katanya.
Spontan aku menoleh ke belakang. Kukira ada orang. Tapi, tak ada orang.
''Mana?'' tanyaku penasaran.
''Ini, dia pakai baju pink,'' sebut dia.
Aku langsung salah tingkah. Karena, saat dia mengatakan itu, kembali dia menggenggam tanganku lagi.
''Aku ingin selalu dekat-dekat kamu,'' katanya.
''Hm....ini ada apa sebenarnya. Tapi, segombal-gombalnya dia, aku nggak pernah bisa menolak,'' kataku masih bicara sendiri.
Tiba-tiba dia melepaskan genggaman tangannya setelah ponselnya berbunyi. Ada panggilan masuk dari istrinya.
''Bentar ya Ma, aku rapat,'' katanya sembari menutup ponselnya.
''Rapatnya di kafe,'' celetukku, tapi pelan.
Tapi, dia diam saja nggak menimpali kata-kata apapun. Tak lama, pesanan kami sampai. Sate madura. Sate kesukaanku. Dia juga suka sate kambing madura.
''Nanti, kamu ambil kamar di sebelah kamarku ya,'' katanya tiba-tiba bicara soal kamar hotel.
''Iya Pak, saya ikut aja apa kata Bapak,'' sahutku.
Sejenak, kami diam tak berbicara dan menikmati sate madura yang terhidang di meja. Kafe ini, menyediakan aneka kuliner seluruh nusantara. Namanya Kafe Bumbu Desa. Unik, menurutku. Segala menu tersedia disini. Pasangan laki-laki dan perempuan terlihat memenuhi setiap bangku yang tersedia di kafe ini. Seperti tak berjarak. Full pengunjungnya. Tapi, mereka tetap menerapkan protokol kesehatan. Setiap pengunjung wajib menunjukkan kartu vaksin.(***)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Fessa Nadhif
msih nyimak
2022-04-10
1