Di awal pagi, jam 04.00 wib aku sudah bangun. Sarapan Mas Arga, dan Fira, sudah kusiapkan di meja makan.
Sementara, mereka berdua masih tertidur di balik selimut tebalnya. Maklum ini hari libur. Mereka berdua balapan bangun siang.
Meski sarapan Mas Arga sudah aku hidangkan di meja makan. Aku sendiri, nggak sempat sarapan.
Tapi, memang aku tak terbiasa sarapan. Takut sakit perut. Mending perut kosong, daripada pas masuk kantor, pagi-pagi kebelet ke toilet buang air besar.
"Mas. Susu Fira, udah aku sediakan ya di meja. Nanti kalau dia bangun, tolong jagain ya," pesan aku sama Mas Arga.
Sebenarnya aku masih nggak tega ninggalin Fira, yang masih berusia 2 tahun. Tapi, apa boleh buat. Aku harus bekerja.
Hari ini, adalah hari pertama jadi pegawai.
Perasaan aku deg-degan. Berasa seperti mau ketemuan sama some one, aja! Hahahahahaha!
***
#Bismillah. Cari suasana baru#
Setelah menulis status itu, aku langsung on the way ke kantor. Aku pamit sama suami.
"Mas, aku ke kantor ya." kataku. Tapi, aku nggak salaman sama dia. Cuma sekedar pamitan.
Bersyukur aku lolos seleksi CPNS. Setidaknya, dengan status baruku sebagai pegawai, bisa jadi penyemangat hidup.
Di ruangan tempat kerjaku, ada banyak pegawai perempuan yang juga seumuran dengan aku.
Satu per satu, nama-nama mereka berusaha kuingat. Sebab, mereka satu bidang sama aku, di Dinas Kebudayaan.
Diantara orang-orang itu, ada satu orang yang terkesan sinis saat berbicara denganku. Tapi, biarlah. Suka atau tidak suka. Itu urusan dia. Lagian, aku merasa nggak ada salah sama dia. Salah aku apa, coba? Aku orang baru, di sana.
"Kak, dipanggil bapak. Disuruh ke ruangan," tiba-tiba, seorang perempuan muda, menepuk pundakku.
Mendapat perintah itu, aku langsung berdiri memasuki ruangan pimpinan. Namanya Pak Robert Airlangga. Jabatan dia, Kepala Dinas Kebudayaan.
"Kamu, staf baru ya? Tolong secepatnya menyesuaikan diri dengan pegawai lain," perintah lelaki yang usianya kutaksir sekitar 45 tahunan itu.
"Iya, Pak," kataku, sembari menganggukkan kepala.
"Oke. Kalau begitu, selamat bergabung di Dinas Kebudayaan. Satu lagi. Saya mau kamu sungguh-sungguh menjalankan tugas dengan baik, dan tentunya, bertanggungjawab," kata pria itu lagi padaku.
"Iya, Pak." jawabku sedikit gugup saat berbicara dengannya.
"Aneh. Kenapa dia nggak tanya namaku dulu. Ini main perintah-perintah harus menyesuaikan diri dengan pegawai lainnya. Ah tapi masa bodoh. Dia tahu atau nggak namaku, itu bukan urusan aku. Pasti dia sudah tahu nama aku, dari pegawai lain." gumamku, bicara sendiri dalam hati.
"Kak, tolong rekap kalender tahunan agenda kebudayaan. Nanti setelah selesai, buat laporan ke pimpinan," perintah Kak Mona, Kabid Kebudayaan. Posisi dia, lebih tinggi dari aku, di kantor itu.
"Iya, kak," kataku mengiyakan perintahnya.
"Setelah selesai direkap, tolong antar langsung ke ruangan bapak, ya, ditunggu sekarang," tambahnya lagi.
"Oke Kak." jawabku.
Aku hanya mengangguk. Tanda mengerti perintah dia. Aku laksanakan perintahnya dengan teliti. Biar tak ada kesalahan. Karena, tugas perdana, akan menentukan nasib aku ke depan.
Apakah aku staf yang bisa diandalkan atau staf yang nggak bisa kerja.
Satu jam kemudian, rekapan agenda kebudayaan itu, selesai kukerjakan. Sesuai perintah, langsung aku antar ke ruangan bos besar, Robert Airlangga.
***
Sebelum masuk. Kuketuk pintu ruangan bos Robert Airlangga.
*Tok tok tok*
"Masuk," jawabnya.
Kuletakkan langsung beberapa lembaran kertas yang sudah aku jilid itu, di atas meja kerjanya. Aku masih berdiri termangu, di hadapannya. Lalu, tak lama dia memintaku duduk.
"Duduk," perintahnya.
Aku pun langsung duduk, sesuai perintahnya.
"Semoga aja nggak ada yang salah," kataku membatin sendiri.
"Duh matilah ada yang salah. Pakai dicoret-coret segala," gumamku was-was.
Kulihat dia menambahkan beberapa catatan di bagian bawah lembaran kertas yang aku sodorkan itu.
Lima menit, aku hanya diam. Menunggu perintah selanjutnya. Kata dia, ada yang belum aku masukkan dalam daftar list.
"Perbaiki, sekarang saya tunggu!" perintah dia lagi.
"Baik, Pak," kataku, sembari meraih kertas di atas mejanya itu, dan beranjak pergi dari ruangannya.
"Tunggu," katanya.
Aku pun balik kanan, untuk mendengarkan perintah dia lagi.
"Iya, Pak, ada apa?" tanyaku.
"Nanti ada acara makan siang, jadi semua pegawai bagian bidang promosi wajib hadir. Termasuk kamu juga, harus ikut," katanya.
"Baik, Pak," jawabku dan aku melanjutkan langkahku menjauh dari ruangan kerjanya.
Seperempat jam, revisi daftar list agenda kebudayaan itu, kelar aku kerjakan, dan langsung kuantar lagi ke ruangan pimpinan.
"Yup. Good job," katanya memuji hasil kerjaku.
"Besok, kita ada rapat dengan gubernur. Kamu ikut saya ya untuk memaparkan sejumlah program agenda kebudayaan kita." katanya.
"Saya, Pak?" aku tertegun mendengar perintahnya.
"Iya. Emang di ruangan saya ini ada siapa lagi, selain saya sama kamu?" katanya dengan nada seolah menyalahkan aku.
"Oh iya, Pak. Maaf." kataku langsung meminta maaf padanya.
"Mana id card kamu. Pakai. Jadi pegawai harus disiplin. Pakai id card aja disuruh. Gimana mau jadi pegawai teladan." celetuknya.
"Belum dikasih Pak, sama orang bagian Tata Usaha." kataku, membela diri.
"Pokoknya saya nggak mau tahu. Gimana caranya, besok kamu harus pakai id car. Baru pertama masuk kantor, sudah nggak disiplin," protesnya lagi.
"Baik, Pak," kataku dengan kepala menunduk.
"Setengah jam lagi, ke lokasi rumah makan yang sudah saya pesan. Kamu bareng satu mobil sama saya aja. Ada juga staf lainnya. Tapi, kalau kamu nggak mau ya silakan gabung sama staf lain. Mereka pakai mobil kantor," katanya.
"Baik, Pak," kataku.
"Ih menyebalkan banget sih punya pimpinan kayak dia. Kalau dia bukan pimpinan aku, sudah aku ajak kelahi nih orang! Hahahahah!" celetukku dalam hati.
Kalau tahu punya bos galak dan menyebalkan, pasti aku nggak bakal mau ditempatkan di dinas ini.
"Sabar, Winona. Semua akan indah pada waktunya." kataku menghibur diri sendiri.
***
"Sebelum pergi makan siang. Kamu ke ruangan saya sekarang. Nanti kamu bareng saya aja. Biar orang itu duluan," kata bos galak itu lewat sambungan ponsel genggamku.
"Ih ngapa sih dia maksa aku satu mobil sama dia. Nggak ah apa kata pegawai lainnya. Nanti aku kena bully mereka," pikirku dalam hati.
"Maaf Pak, saya bawa mobil sendiri," kataku menolak ajakannya.
"Jadi, kamu melawan atasan?" bentaknya.
"Saya nggak mau tahu. Kamu ke ruangan saya sebentar. Karena ada yang harus kamu revisi, data yang tadi!" perintah dia padaku.
"Baik Pak," jawabku langsung menutup ponselku. Lalu bergegas menuju ruangannya.
"Parah. Tadi dia bilang good job. Sekarang disuruh revisi lagi. Apa sih mau dia. Benar-benar menyebalkan, pimpinan satu itu," kataku sambil mempercepat langkahku.
Padahal, aku tadi sudah siap-siap on the way, menuju rumah makan yang dia sebutkan tadi.
"Ini tolong ralat lagi," katanya, langsung menyodorkan kertas yang sudah aku serahkan tadi.
"Buruan ya. Setelah itu kita makan siang bareng sama pegawai lainnya. Terutama bidang promosi," sebutnya berulang kali.
"Baik, Pak," sahutku.
Ini orang, bikin mood aku hilang aja. Mana perut aku keroncongan. Soalnya dari pagi belum sarapan. Cacing-cacing dalam perutku pasti lagi pada demo menuntut haknya.
Dia menelepon seseorang. Meminta menghandle dulu makan siangnya.
"Tolong acara makan siangnya handle dulu. Sebentar lagi on the way," kata Bos Robert itu di depan aku.
Padahal, sebenarnya data itu bisa dikerjakan setelah makan. Tapi, Tuan Robert Airlangga itu sepertinya sengaja membuat aku sebel. Tapi, apa boleh buat. Demi menjalan perintah dia, aku harus bekerja dengan baik, di hadapannya.(***)
Hari Senin, adalah hari yang padat. Jadwal di kantorku, full. Mulai dari apel pagi sampai tugas-tugas kantor, sudah menunggu.
Tapi, terpaksa aku memilih absen, karena Fira tiba-tiba demam. Aku pun minta izin sama Kepala Seksi Bidang Promosi Pariwisata di bagian tempat kantor aku bekerja.
"Kak, izin ya. Aku nggak masuk. Soalnya anak gadis aku, tiba-tiba demam. Aku harus bawa dia ke dokter, Kak," kataku, chat ke Kak Mona.
"Oh. Anak kamu berapa tahun emangnya?" tanya Kak Mona, Kasi Bidang Promosi Pariwisata.
"Dua tahun, Kak," kataku.
"Kalau setelah selesai dari dokter, bisa masuk nggak?" tanyanya lagi.
"Insya Allah, Kak aku usahakan ya," kataku berjanji padanya.
Tapi, aku nggak mungkin rasanya meninggalkan Fira dalam keadaan demam, meski sudah aku bawa ke dokter.
"Ini perintah Bapak. Jangan sampai kamu langgar," katanya sinis.
Pimpinan yang satu itu sudah seperti dewa. Harus dituruti semua perintahnya.
Supaya nggak memperpanjang masalah, aku iyakan saja apa kata Kak Mona. Perkara aku bisa atau nggak ke kantor, itu urusan sekian. Pokoknya yang penting aku antar anak aku. Bagiku, urusan keluarga, nomor satu.
"Mas, aku nggak masuk kantor. Mau antar Fira ke dokter dulu, pagi ini," kataku ke Mas Arga.
"Oke. Tapi, gimana urusan kantor kamu. Kan kamu baru aja seminggu jadi staf. Masa udah pakai absen segala. Nanti pimpinan kamu, marah, gimana?" tanya Mas Arga.
"Udah. Aman, kok. Aku udah izin sama Kabid aku." kataku meyakinkan Mas Arga.
"Ya udah kalau begitu." kata Mas Arga, berlalu meninggalkan aku dan Fira berdua di kamar.
Fira panas banget badannya. Aku khawatir banget sama kondisinya.
Dia nggak mau makan dan nggak mau minum susunya. Aku benar-benar cemas dibuatnya.
"Kamu, dimana. Jam segini belum masuk kantor. Seenaknya aja kamu kerja."
Bingung aku dapat chat seperti itu. Kuamati foto profil pengirim chat itu.
"Hah. Ya ampun. Ini nomor bos galak itu. Hmmm. Dia ganti nomor. Bukannya aku udah izin sama Kak Mona? Gimana ini jawabnya!?"
"Saya sudah izin sama Kak Mona, Pak. Kabid Promosi Pariwisata," kataku membalas chat dia.
"Bos kamu, aku atau Mona?!" jawabnya ketus.
"Anak saya sakit, Pak. Saya sudah izin tadi sama Kak Mona, minta izin mau bawa anak ke dokter," jawabku dengan nada kesal campur emosi.
"Kak Mona kenapa jahat sama aku ya. Bukannya aku sudah bilang, minta izin mau bawa Fira ke dokter. Kok ada sih manusia seperti itu!" gumamku penuh emosi di dada. Sakit banget aku. Padahal aku nggak masuk kantor, ada alasan jelas.
***
"Kak. Aku kan udah bilang sama Kakak. Minta izin kalau aku hari ini libur, mau nganter anak aku ke dokter. Dia lagi demam, Kak. Panas badannya tinggi banget kak, 37 derajad celsius." jelasku panjang lebar pada Kak Mona.
Ingin aku cakar dan jambak rambut dia, rasanya.
"Kalau sudah selesai urusan kamu ke dokter, bisa masuk kantor nggak. Tugas yang aku berikan kemarin harus kamu selesaikan hari ini. Besok kita bakal ada rapat dengan gubernur," perintah bos galak itu.
Demi keamananku aku pun mengiyakan apa yang jadi perintah dia.
"Iya. Baik, Pak akan saya usahakan," jawabku.
"Jangan nggak datang, awas aja kalau kamu langgar. Aku bakal kasih tugas kamu lebih banyak lagi, sebagai hukumannya," katanya.
Dalam hati, "emang gue pikirin," kataku sendiri. Andai aku bisa jawab itu. Pasti aku akan katakan itu padanya.
Kalau aku bukan staf dia, pasti sudah aku lawan. "Sabar......Winona....sabar ya. Derita elu dapat bos galak kayak singa!" kataku berusaha menenangkan diri sendiri.
"Jangan telat. Jam 14.00 wib. Aku tunggu!" perintahnya tegas.
"Iya Pak," jawabku singkat.
Sebenarnya aku nggak mau terjebak dalam kondisi ini. Antara pekerjaan dan keluarga. Sama-sama penting. Tapi aku lebih prioritas keluarga.
***
Sebelum lolos jadi pegawai. Aku nggak punya pembantu. Fira aku jaga sendiri. Karena aku sudah punya aktifitas masuk kantor, jadinya aku sewa pembantu.
Bismillah. Akhirnya dapat pembantu. Namanya Bik Minah. Setelah ada Bik Minah di rumah, Fira aman kalau ditinggal ke kantor. Susunya, susu botol. Ya Allah aku merasa bersalah sama anak aku. Merasa jadi ibu yang kejam, anak masih kecil, ditinggal kerja seharian di kantor. Tapi, apa boleh buat, aku diberi kesempatan, lolos tes CPNS.
***
"Bik Minah. Titip Fira ya." kataku sedih.
"Ya Buk. Semoga tugas di kantor lancar," kata Bik Minah menghiburku.
"Makasih Bik," kataku.
"Ya udah saya ke kantor sebentar ya Bik, titip Fira. Nanti aku kasih uang lebih ya Bik, buat Bibik beli makanan," kataku janji padanya.
Aku berusaha memberikan yang terbaik padanya. Meski gajiku sendiri pas-pasan. Aku hanya ingin anakku ada yang menjaganya saat aku nggak di rumah.
Meski baru sebulan Bik Minah kerja di rumah. Tapi, dia kuanggap sudah seperti keluarga sendiri.
Kalau aku sakit, atau Fira sakit, dia sangat sabar merawatnya. Bahkan, Fira diperlakukan Bik Minah sudah seperti anak kandungnya sendiri.
Fira juga manja banget sama Bik Minah.
***
"Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau libur?" tanyanya dengan tegas.
"Maaf Pak saya kan tadi sudah menjelaskan lewat chat di whatsapp." jelasku berusaha membela diri.
"Sekarang aku tanya. Pimpinan kamu, aku atau Mona. Kenapa kamu cuma izin dia. Disini kamu staf aku," bentaknya.
"Ya Allah. Pak. Pecat saya kalau memang bapak nggak bisa menerima alasan saya kenapa saya libur hari ini. Saya bukan jalan-jalan Pak. Saya bawa anak saya yang masih kecil, ke dokter. Dia demam Pak," kataku panjang lebar dan mataku berkaca-kaca.
"Kenapa sih aku dapat pimpinan galak banget kayak dia," protesku dalam hati, karena aku merasa tertekan hari ini.
"Bisa diam nggak. Ingat. Kamu masih staf baru disini. Jangan melawan saya," bentaknya sembari menggebrak meja kerja di hadapannya itu.
"Iya, Pak. Maaf Pak," kataku buru-buru minta maaf padanya.
Setelah aku minta maaf, dia mengusirku keluar dari ruangannya.
"Aku mau kamu selesaikan tugas yang aku berikan kemarin. Aku tunggu sampai selesai. Kerjakan sekarang juga!" perintahnya lagi.
Sumpah aku takut melihat dia marah seperti itu. Tapi, salah aku. Kenapa aku menjawab apa yang dia protes.
"Ini semua gara-gara Kak Mona. Andai dia menyampaikan izinku, pada bos galak itu. Pasti kejadian ini nggak akan ada. Semoga Allah membalas perbuatan kak Mona. Padahal, aku sudah bilang ke dia, minta izin nggak masuk. Ternyata kejadiannya parah seperti ini, resiko aku nggak masuk.(***)
Kupastikan, hari ini aku bakal lembur. Tugas dari bos galak itu, harus aku selesaikan. Kalau tidak beres, bisa kena terkam, aku. Dia kan singa jantan! Hahahahaha!
Sudah jam 10.00 wib. Tapi aku nggak ngeliat bos satu itu masuk ruangannya. Apa dia libur ya, hari ini. Eh kenapa aku jadi nyari dia?!
Seketika, aku langsung senang, karena sepertinya dia nggak masuk kantor. "Yesssssss! Aku bebas. Nggak jadi lembur dong!" pekikku dalam hati.
"Woi. Ngapain senyum-senyum sendiri!" kata Kak Mona mengejutkan aku.
Aku langsung emosi melihat dia hadir di hadapan aku. Gara-gara betina sialan ini, habis-habisan aku kena marah sama bos itu.
Dia muncul di hadapanku, merasa jadi orang yang tak punya dosa. Akupun to the point sama dia, tanya soal kemarin.
"Kak. Maksud Kakak apa. Aku kan sudah minta izin sama Kakak kalau aku libur, karena anak aku sakit. Mau aku bawa ke dokter. Kenapa Kakak nggak sampaikan ke bapak!" kataku dengan nada tinggi.
Bersamaan dengan emosiku yang meledak-ledak itu. Tiba-tiba bos galak itu datang. Aku pun jadi kepergok kalau lagi mengamuk. Tapi, saat dia datang, aku langsung berusaha meredakan emosiku.
"Kalian ke ruangan saya sekarang!" perintahnya.
"Kalian tahu kan, ini kantor? Kalau kalian mau duel. Keluar dari kantor saya," katanya dengan nada meninggi.
Aku dan betina satu sialan itu, hanya bisa tertunduk, ketakutan.
"Sekali lagi kalian buat macem tadi, gaji dipotong lima puluh persen. Tunjangan dihapus!" ancamnya.
Lagi-lagi aku dan dia tak berani memandang ke arahnya.
"Kerjakan tugas kalian masing-masing! Keluar sekarang dari ruangan saya," serunya.
Sumpah deg-degan, takut banget aku melihatnya marah. Baru kali ini aku melihat dia benar-benar emosi, lantaran melihatku begaduh di kantor.
Buru-buru aku minta maaf ke bos galak itu. Tapi, beraninya lewat chat whatsapp.
Tiba-tiba dia meneleponku. Memintaku datang ke ruangannya.
Jantungku semakin berdebar tak karuan. Dia pasti bakal marah sama aku lagi.
"Siapkan makan siang saya." katanya.
"Apa, Pak?!" tanya aku untuk memastikan perintahnya.
"Kamu dengar kan, apa perintah saya?" tanya dia balik.
"Tapi, Pak," kataku ingin membantah perintahnya.
"Apa! Kamu melawan perintah pimpinan?" celetuk dia.
"Bingung aku. Ada ya, tugas staf, mempersiapkan makan siang pimpinan. Aku bukan bagian perlengkapan atau bagian pengaturan barang?" tanyaku pada diri sendiri.
Kukira dia mau ngamuk lagi sama aku. Tak tahunya disuruh siapkan makan siang buat dia dan tamunya.
Aneh dia itu. Sumpah. Dia pimpinan yang aneh. Emang aku istrinya? Pakai acara disuruh nyiapkan makan siangnya.
"Nggak pakai lama. O iya. Dua porsi. Saya mau ada tamu spesial," katanya lagi.
Tanpa bertanya lagi, aku pun mengiyakan permintaan dia. Aku pun mulai mempersiapkan makan siangnya. Kupesan makanan di ibu kantin. Lauknya aku yang tentukan dan kupastikan bos galak itu lahap makannya.
Dia bilang mau keluar sejam. Jadi, satu jam ke depan, makan siang yang diminta dia sudah terhidang di meja khususnya.
Di ruangan kerja dia, memang disetting menyenangkan. Siapa pun staf yang masuk ke sana, pasti betah dan ingin rasanya berlama-lama di sana. Tapi, nggak mungkin. Pemiliknya aja galak kayak singa. Takut.....nanti kena terkam.
***
Semua sudah beres. Sudah sejam lewat seperempat. Tapi, dia tak kunjung datang. Aku mulai kesel dalam hati.
*Ponselku bergetar.
*Drettt....
*Dreettt...
Buru-buru aku raih. Ada panggilan dari bos galak.
"Ke ruangan saya sekarang!" perintahnya.
Deg-degan lagi, asal ditelepon sama dia. Pikiran aku udah macem-macem. Di otakku, kebayang, dia itu bakal marah-marah lagi sama aku.
"Duh pasti ada makanannya yang nggak beres nih," gumamku was-was.
"Pasrah aku ya Allah, kalau kerjaan aku nggak bener." kataku lagi, bicara sendiri.
Sebelum masuk, kuketuk pintu ruangan dia.
*Tok..
*Tok...
*Tok...
"Masuk!" sahut dia.
"Temani saya makan. Ini perintah pimpinan!" kata dia dengan serius.
"Saya, Pak?" aku bingung untuk yang kedua kalinya.
"Emang siapa lagi di ruangan ini, selain saya sama kamu?" tanyanya sinis.
"Emmm, maaf Pak saya sudah makan siang," kataku berusaha menolak ajakannya.
"Kamu, masih staf udah berani melawan atasan!" katanya menambah volume suaranya.
Terpaksa, akhirnya aku pun makan hidangan di meja itu. Hidangan yang aku siapkan sendiri, sejam yang lalu.
Sambil menyendok nasi di piring, aku jadi tanda tanya. Mengapa dia baik sama aku, tapi di depan orang, dia bersikap kasar.
Salah tingkah, jadinya aku di depan dia. Makan pun nggak bisa banyak. Sedikit jaga image.
"Maaf ya kalau selama ini aku agak kasar ke kamu," katanya pelan dan ia sedikit melempar senyum termanisnya ke arahku.
Lagi-lagi aku salah tingkah, tingkat dewa. Ke-GR-an atau entahlah apa istilahnya. Kayak anak ABG lagi nge-date. Hahahahaha!
"Nanti, kamu pulang naik apa?" tanyanya.
"Bi......asa Pak..., pakai mobil," jawabku sedikit gugup di depannya.
"Suami kamu kerja dimana?" tanyanya.
"Di Rumah Sakit," jawabku.
"Dokter?" tebaknya..
"Bukan Pak, dia bagian keuangan di rumah sakit," jelasku lagi padanya.
"Wuih mantap. Pegang uang banyak dong tiap hari," katanya memuji.
"Hehehehe. Biasa aja, Pak," kataku merendah.
"Kapan-kapan aku boleh main ke rumahmu nggak. Pingin kenal sama suami kamu," tanyanya.
"Untuk apa ya Pak?" tanyaku dengan lugunya.
"Silaturahim. Emang nggak boleh?" protesnya.
"Sumpah. Dia orang aneh yang pernah aku temui. Mau ngapain, coba ke rumah, mau silaturahim sama suami aku?????? Hmmm. Maksudnya dia apa ya?" gumamku masih bingung melihat bos galak ini, yang tiba-tiba berubah jadi baik, di jam makan siang.
"Ya sudah kalau nggak boleh main, aku nggak memaksa kamu. Kalau kamu, yang main ke ruangan aku, nggak masalah," katanya.
Jelas bikin aku keki mendengar pernyataannya. Kenapa pula, aku boleh sering-sering main ke ruangan dia.
Tapi, ya sudahlah. Itu urusan dia. Bagiku, yang penting, dia jangan marah-marah lagi sama aku.
"Makasih makan siangnya ya. Aku senang kamu temani makan siang, hari ini. Aku sengaja nggak makan di luar, karena pingin makan sama kamu, siang ini," katanya.
Beuhhhhh! Kata-kata dia, asli bikin aku tersanjung. Nggak bisa berkata-kata lagi, aku dibuatnya.
"Besok, jangan telat ngantor ya. Aku tunggu jam 07.30 wib. Setelah apel pagi, dampingi saya ada rapat dengan Gubernur, dan juga para pengusaha hotel dan restoran," pintanya.
"Baik, Pak," kataku tanpa banyak tanya.
"Tolong siapkan berkasnya yang perlu dibawa ya. Ada beberapa materi yang akan kita paparkan di depan Gubernur," sebutnya lagi, serius.
Bakal lembur nih, aku. Tapi, nggak apa. Biar nggak kena marah sama bos galak itu.
Aku pun bergegas mengemasi meja makan, bekas aku makan sama dia. Kuperintahkan ibu kantin, untuk mengambil sisa makanan dan juga piring kotornya.
Setelah aku melangkah keluar dari ruangannya, aku masih tertegun dengan sikap manis dia, yang tiba-tiba baik sama aku.
"Makan siang yang aneh," kataku, membatin.
Penasaran tingkat dewa, rasanya kenapa dia bersikap manis padaku.(***)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!