Di Ujung Sayap Rindu
“Extremelly sorry, sudah lama menunggu ya, Bundo."
Sebuah suara khas memecah keheningan ruangan kerja CEO yang penuh dengan lukisan artistik. Naya tersentak, jantungnya seakan terhenti berdetak.
Suara itu seperti menariknya menyusuri labirin berliku tak berujung. Ia kenal sekali suara itu. Tubuhnya mendadak kaku. Suaranya tercekat bersama bayangan masalalu yang tiba-tiba menari liar di pelupuk matanya.
Tarian masalalu yang kadang meliuk, gemulai melandai, namun terkadang menghempas, menerjang laksana badai.
Dia? Jadi dia CEO-nya? Oh, no! Ya Rabb… please help, me. Jangan sekarang. Belum sanggup rasanya untuk bersua, meski terkadang rindu berbalut luka masih setia menyapa.
Ya Hakiim…kenapa sekarang? Disaat hati sudah mulai belajar melupakannya. Naya terus membatin sambil memperbaiki posisi duduknya.
Sesekali ia merapikan niqabnya yang mendadak longgar karena tubuhnya yang terasa menyusut, kecut.
“Oh, pak Kei. Alhamdulillah.. Tidak apa-apa, kami memahami kesibukan Bapak. Kami yang seharusnya meminta maaf karena menganggu waktu Bapak." Bundo Nilam berdiri dari duduknya untuk menyambut sang CEO.
Naya masih terpaku disofa lembut itu ketika Bundo Nilam menarik tangannya halus.
“Ini ibu Naya, ketua panitia acara kita. Maaf, pertemuan pertama minggu lalu, beliau berhalangan hadir karena sedang kurang sehat," lanjut Bundo Nilam.
Naya mengangguk perlahan dengan menangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada.
Sekilas pandangan mata keduanya bertemu. Sesaat saja, namun sanggup menghempaskan gelombang di dadanya. Sontak Naya menundukkan pandangannya.
Kei tersenyum hangat. Sejenak pandangannya menelisik gadis muda didepannya. Hanya sesaat, kemudian dia melintas pelan melewati Naya dan mengambil posisi duduk persis disamping tempat Naya duduk sebelumnya.
“Silahkan." Kei mempersilahkan Naya yang masih berdiri.
Gadis itu tidak tahu mesti duduk dimana. Kalau ia mengambil tempat diposisinya semula, berarti ia harus duduk berdampingan dengan lelaki itu.
Sedangkan bila ia mengambil posisi duduk yang jauh, ia harus berjalan tepat didepannya. Itu juga membuatnya sedikit sungkan.
“Naya, mana berkas-berkas yang akan ditandatangani pak Kei?” Bundo Nilam bak malaikat penyelamat yang tiba-tiba muncul disamping Naya sambil mengamit lengannya dan menuntunnya menuju sofa yang agak berjauhan dengan Kei.
Tergagap Naya seperti kerbau dicucuk hidung mengikuti helaan Bundo Nilam.
Perempuan setengah baya itu seperti paham benar dengan keresahan hati gadis muda tersebut.
Bundo Nilam menyerahkan tas besar berisi dokumen kegiatan yang akan mereka laksanakan awal bulan depan, sembari menuntun Naya membukanya.
Naya masih kehilangan nalar berfikirnya. Ia seperti raga tak berjiwa. Tubuhnya hadir disana, namun hati dan jiwanya melanglang buana. Terbang jauh menembus batas ruang dan waktu.
Lintasan peristiwa demi peristiwa kembali menyapanya. Hangat bak matahari di musim semi, namun terkadang dingin menusuk jiwa tak hanya tulang. Sedingin salju di Mont Blanc, Perancis sana.
...*****...
Flashback On
“Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Khairunnisa binti Zainudin Amri dengan mas kawin 203 gram emas beserta seperangkat alat sholat, tunai karena Allah."
“Sah? Sah?"
"Sah!"
Alhamduillah…" Seru serentak hadirin yang hadir di Mesjid Jamek Bandar Seremban.
Naya yang duduk diapit oleh Etek Zainab dan Puan Sri Lathifah masih tertunduk di simpuhannya. Ia masih belum sempurna mencerna semua kejadian beberapa hari ini.
Semuanya terjadi begitu cepat. Ayah, Bunda dan bang Ken, sang tunangan yang pergi tiba-tiba meninggalkannya karena kecelakaan beruntun dalam perjalanan dari Putra Jaya ke Seremban tujuh hari yang lalu.
Beberapa hari berikutnya datang lamaran dari keluarga Tan Sri Abdul Hamid dan Puan Sri Latifah.
Dan hari ini ia resmi disunting oleh Kei Hasan bin Abdul Hamid. Semuanya seperti mimpi yang hadir menjelang petang.
“Tapi tek Za tak bisakah kita tunda dulu? Ayah dan Bunda masih merah dan basah pandamnya?”
Naya menatap lamat Zainab, adik bungsu Bunda yang biasa dipanggilnya ‘etek Za’, sesaat setelah keluarga besar Tan Sri Abdul Hamid pulang selesai acara lamaran beberapa hari yang lalu.
Etek Zainab balik menatap Naya, lama dan dalam. Perempuan berumur empat puluh tahunan itu menghela nafas panjang.
Perlahan ia rengkuh gadis muda keponakannya itu. Tangannya mengusap lembut punggung Naya.
“Sayang, etek hanya ingin memenuhi wasiat terakhir Uda Zai dan Uni Dijah, Ayah Bundamu. Mereka ingin kesepakatan dengan keluarga Tan Sri Abdul Hamid segera terlaksana setelah manujuah hari."
“Tapi Etek, tak bisakah kita menunggu sampai manyaratuih (seratus) hari dulu? Atau kalau indak, ampek puluah hari bagailah." (kalau tidak, empat puluh hari, juga ngga apa-apa).
Naya masih berusaha meyakinkan Etek Zainab untuk menangguhkan pernikahannya.
“Nay sayang, keluarga Tan Sri juga menginginkan hal yang sama dengan almarhum dan almarhumah. Dan ingat, yang sedang berduka bukan hanya kita, namun juga keluarga mereka. Ken, itu salah satu putra Tan Sri. Mereka juga berduka, nak. Namun, pernikahan harus segera terlaksana, mengingat awal bulan depan mereka akan berangkat umrah. Mereka ingin semuanya selesai sebelum keberangkatan mereka ke tanah suci."
“Tapi bang Kei? Apa dia..”
“Kei? Dia kenapa?”
Etek Zainab menatap Naya. Naya mengalihkan pandangannya. Ia berusaha menyembunyikan air mukanya dari pandangan Etek Zainab. Ia tak mau adik bungsu bundanya itu menangkap keresahan hatinya.
Etek, tahukah etek, bang Kei jauh berubah sejak kesepakatan dua keluarga besar dibuat hampir dua tahun lalu. Naya membatin.
Bahkan di hari keberangkatan Naya ke Sorbonne pun, Kei tidak mau menjumpainya untuk sekedar menyampaikan ucapan selamat jalan.
Lelaki sepertinya sengaja merentang jarak dengan Naya. Dia bukan lagi duo Kei-Ken yang dulu sentiasa melindunginya dari keusilan teman-teman di tempat mengaji mak cik Hasnah.
Kei sama seperti Ken, sang adik, yang pernah berjanji untuk menjaga Naya selamanya. Semua janji-janji masa kecil itu seperti sirna tak berbekas.
...*****...
Flashback Off
“Naya… Naya? Semua sudah selesai, kan? Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan pak Kei."
Suara Bundo Nilam seperti menyentak Naya untuk meninggalkan masa lalunya. Sejenak Naya terperagap. Ia berusaha menyatukan serakan memori masa kininya.
Naya cukup! Tunjukkan bahwa kamu bisa menahan diri. Tidakkah waktu yang lima tahun menempamu menjadi kuat. Kamu bisa. Kamu pasti bisa, Kanaya Khairunnisa.
Naya berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Mhm..Ngg.. Iya..eh..tidak. Tidak ada lagi Bundo. Semua siap. Kita tinggal action bulan depan."
Naya merubah posisi duduk untuk meredakan kecanggunggannya.
“Kalau begitu baiklah, pak Kei, kami permisi dulu. Sekiranya nanti masih ada dokumen yang perlu tanda tangan Bapak, kami akan menghubungi."
“OK, saya selalu siap kapan saja, tidak perlu sungkan untuk menghubungi. Je ferai n’importe quoi pour toi, Cherie. I would do anything for you, baby". (Abang akan melakukan apapun untukmu, sayang)
Berkata begitu Kei mengerlingkan matanya nakal ke Naya. Naya terkejut, tak menyangka kalimat yang meluncur dari mulut lelaki di depannya. Gadis muda itu segera menundukkan wajahnya.
Bundo Nilam mengernyitkan dahinya. Matanya menatap Naya dan Kei bergantian. Mhmm…ado apo? (Ada apa?) Kenapa mereka seperti dua orang yang telah saling kenal?
“Mhm.. Maksud saya, saya siap kapan saja, Bundo. Jangan sungkan," Kei memutus pandangannya pada Naya dan menatap Bundo Nilam berusaha untuk meyakinkan perempuan paruh baya itu.
Naya hanya diam tak bersuara. Perlahan ia membereskan dokumen-dokumennya tanpa menoleh Kei sedikitpun.
“Baik, kami pamit dulu, pak Kei. Terimakasih banyak."
Berkata begitu Bundo Nilam bergerak menuju pintu keluar ruangan. Naya mengiringinya dari belakang. Belum sampai langkahnya di pintu, ia terhenti ketika tangan kekar itu mengamit lengannya sedikit memaksa.
“Est-ce ce que fait une bonne epouse lorsqu’elle rencontre son mari? What does a good wife do when she meets her husband?”
(Apa yang sepatutnya dilakukan seorang istri saat bertemu suaminya?)
Kalimat itu datar saja, namun bagi Naya seperti petir di siang hari. Gadis muda itu tersentak. Ia mendonggakkan kepalanya, menatap lelaki gagah di depannya.
“Kenapa? Nay kira dengan niqab itu Nay bisa sembunyi dari Abang? Non vous ne pouvez pas! No, you can’t!" (Tidak! Tidak akan bisa!)
"Dari detik pertama Nay menatap Abang meski sekilas, Abang sudah tahu Nay yang berada dibalik niqab itu. Bagaimana mungkin Syah Jahan melupakan Mumtaz Mahal? Takkan Qays tak mengenal Layla, kan?"
Kei kembali menggoda Naya, kali ini diiringi seringai tipisnya.
“Maaf, saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan. Anda salah orang, mungkin," lugas Naya sembari bergegas mengikuti Bundo Nilam.
Lututnya terasa lemah tak bertulang. Lunglai ia menyeret langkahnya. Ya Rabb, mengapa sekarang? Disaat aku sudah hampir bisa mengikis bayangannya.
Naya menyeka tetesan-tetesan bening yang perlahan membasahi niqabnya. Ia berusaha untuk tidak tergugu. Ia tak mau Bundo Nilam mengetahui semuanya. Biarlah ia menyimpan luka itu sendiri, seperti lima tahun ini.
To be continued
Sebenarnya seperti apa hubungan Naya dan Kei? Yuukkk tinggalkan jejak biar mak Otor semangat nih ke episode berikutnya…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Siti Aminah
aku kembali lg thor ..jgn bosan yah habis karyamu yg satu ini bikin aku susah move on sih
2024-11-06
0
Anisbian
mampir thor
2024-08-24
0
Hanipah Fitri
aku mampir thor
2023-11-17
0