“Extremelly sorry, sudah lama menunggu ya, Bundo."
Sebuah suara khas memecah keheningan ruangan kerja CEO yang penuh dengan lukisan artistik. Naya tersentak, jantungnya seakan terhenti berdetak.
Suara itu seperti menariknya menyusuri labirin berliku tak berujung. Ia kenal sekali suara itu. Tubuhnya mendadak kaku. Suaranya tercekat bersama bayangan masalalu yang tiba-tiba menari liar di pelupuk matanya.
Tarian masalalu yang kadang meliuk, gemulai melandai, namun terkadang menghempas, menerjang laksana badai.
Dia? Jadi dia CEO-nya? Oh, no! Ya Rabb… please help, me. Jangan sekarang. Belum sanggup rasanya untuk bersua, meski terkadang rindu berbalut luka masih setia menyapa.
Ya Hakiim…kenapa sekarang? Disaat hati sudah mulai belajar melupakannya. Naya terus membatin sambil memperbaiki posisi duduknya.
Sesekali ia merapikan niqabnya yang mendadak longgar karena tubuhnya yang terasa menyusut, kecut.
“Oh, pak Kei. Alhamdulillah.. Tidak apa-apa, kami memahami kesibukan Bapak. Kami yang seharusnya meminta maaf karena menganggu waktu Bapak." Bundo Nilam berdiri dari duduknya untuk menyambut sang CEO.
Naya masih terpaku disofa lembut itu ketika Bundo Nilam menarik tangannya halus.
“Ini ibu Naya, ketua panitia acara kita. Maaf, pertemuan pertama minggu lalu, beliau berhalangan hadir karena sedang kurang sehat," lanjut Bundo Nilam.
Naya mengangguk perlahan dengan menangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada.
Sekilas pandangan mata keduanya bertemu. Sesaat saja, namun sanggup menghempaskan gelombang di dadanya. Sontak Naya menundukkan pandangannya.
Kei tersenyum hangat. Sejenak pandangannya menelisik gadis muda didepannya. Hanya sesaat, kemudian dia melintas pelan melewati Naya dan mengambil posisi duduk persis disamping tempat Naya duduk sebelumnya.
“Silahkan." Kei mempersilahkan Naya yang masih berdiri.
Gadis itu tidak tahu mesti duduk dimana. Kalau ia mengambil tempat diposisinya semula, berarti ia harus duduk berdampingan dengan lelaki itu.
Sedangkan bila ia mengambil posisi duduk yang jauh, ia harus berjalan tepat didepannya. Itu juga membuatnya sedikit sungkan.
“Naya, mana berkas-berkas yang akan ditandatangani pak Kei?” Bundo Nilam bak malaikat penyelamat yang tiba-tiba muncul disamping Naya sambil mengamit lengannya dan menuntunnya menuju sofa yang agak berjauhan dengan Kei.
Tergagap Naya seperti kerbau dicucuk hidung mengikuti helaan Bundo Nilam.
Perempuan setengah baya itu seperti paham benar dengan keresahan hati gadis muda tersebut.
Bundo Nilam menyerahkan tas besar berisi dokumen kegiatan yang akan mereka laksanakan awal bulan depan, sembari menuntun Naya membukanya.
Naya masih kehilangan nalar berfikirnya. Ia seperti raga tak berjiwa. Tubuhnya hadir disana, namun hati dan jiwanya melanglang buana. Terbang jauh menembus batas ruang dan waktu.
Lintasan peristiwa demi peristiwa kembali menyapanya. Hangat bak matahari di musim semi, namun terkadang dingin menusuk jiwa tak hanya tulang. Sedingin salju di Mont Blanc, Perancis sana.
...*****...
Flashback On
“Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Khairunnisa binti Zainudin Amri dengan mas kawin 203 gram emas beserta seperangkat alat sholat, tunai karena Allah."
“Sah? Sah?"
"Sah!"
Alhamduillah…" Seru serentak hadirin yang hadir di Mesjid Jamek Bandar Seremban.
Naya yang duduk diapit oleh Etek Zainab dan Puan Sri Lathifah masih tertunduk di simpuhannya. Ia masih belum sempurna mencerna semua kejadian beberapa hari ini.
Semuanya terjadi begitu cepat. Ayah, Bunda dan bang Ken, sang tunangan yang pergi tiba-tiba meninggalkannya karena kecelakaan beruntun dalam perjalanan dari Putra Jaya ke Seremban tujuh hari yang lalu.
Beberapa hari berikutnya datang lamaran dari keluarga Tan Sri Abdul Hamid dan Puan Sri Latifah.
Dan hari ini ia resmi disunting oleh Kei Hasan bin Abdul Hamid. Semuanya seperti mimpi yang hadir menjelang petang.
“Tapi tek Za tak bisakah kita tunda dulu? Ayah dan Bunda masih merah dan basah pandamnya?”
Naya menatap lamat Zainab, adik bungsu Bunda yang biasa dipanggilnya ‘etek Za’, sesaat setelah keluarga besar Tan Sri Abdul Hamid pulang selesai acara lamaran beberapa hari yang lalu.
Etek Zainab balik menatap Naya, lama dan dalam. Perempuan berumur empat puluh tahunan itu menghela nafas panjang.
Perlahan ia rengkuh gadis muda keponakannya itu. Tangannya mengusap lembut punggung Naya.
“Sayang, etek hanya ingin memenuhi wasiat terakhir Uda Zai dan Uni Dijah, Ayah Bundamu. Mereka ingin kesepakatan dengan keluarga Tan Sri Abdul Hamid segera terlaksana setelah manujuah hari."
“Tapi Etek, tak bisakah kita menunggu sampai manyaratuih (seratus) hari dulu? Atau kalau indak, ampek puluah hari bagailah." (kalau tidak, empat puluh hari, juga ngga apa-apa).
Naya masih berusaha meyakinkan Etek Zainab untuk menangguhkan pernikahannya.
“Nay sayang, keluarga Tan Sri juga menginginkan hal yang sama dengan almarhum dan almarhumah. Dan ingat, yang sedang berduka bukan hanya kita, namun juga keluarga mereka. Ken, itu salah satu putra Tan Sri. Mereka juga berduka, nak. Namun, pernikahan harus segera terlaksana, mengingat awal bulan depan mereka akan berangkat umrah. Mereka ingin semuanya selesai sebelum keberangkatan mereka ke tanah suci."
“Tapi bang Kei? Apa dia..”
“Kei? Dia kenapa?”
Etek Zainab menatap Naya. Naya mengalihkan pandangannya. Ia berusaha menyembunyikan air mukanya dari pandangan Etek Zainab. Ia tak mau adik bungsu bundanya itu menangkap keresahan hatinya.
Etek, tahukah etek, bang Kei jauh berubah sejak kesepakatan dua keluarga besar dibuat hampir dua tahun lalu. Naya membatin.
Bahkan di hari keberangkatan Naya ke Sorbonne pun, Kei tidak mau menjumpainya untuk sekedar menyampaikan ucapan selamat jalan.
Lelaki sepertinya sengaja merentang jarak dengan Naya. Dia bukan lagi duo Kei-Ken yang dulu sentiasa melindunginya dari keusilan teman-teman di tempat mengaji mak cik Hasnah.
Kei sama seperti Ken, sang adik, yang pernah berjanji untuk menjaga Naya selamanya. Semua janji-janji masa kecil itu seperti sirna tak berbekas.
...*****...
Flashback Off
“Naya… Naya? Semua sudah selesai, kan? Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan pak Kei."
Suara Bundo Nilam seperti menyentak Naya untuk meninggalkan masa lalunya. Sejenak Naya terperagap. Ia berusaha menyatukan serakan memori masa kininya.
Naya cukup! Tunjukkan bahwa kamu bisa menahan diri. Tidakkah waktu yang lima tahun menempamu menjadi kuat. Kamu bisa. Kamu pasti bisa, Kanaya Khairunnisa.
Naya berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Mhm..Ngg.. Iya..eh..tidak. Tidak ada lagi Bundo. Semua siap. Kita tinggal action bulan depan."
Naya merubah posisi duduk untuk meredakan kecanggunggannya.
“Kalau begitu baiklah, pak Kei, kami permisi dulu. Sekiranya nanti masih ada dokumen yang perlu tanda tangan Bapak, kami akan menghubungi."
“OK, saya selalu siap kapan saja, tidak perlu sungkan untuk menghubungi. Je ferai n’importe quoi pour toi, Cherie. I would do anything for you, baby". (Abang akan melakukan apapun untukmu, sayang)
Berkata begitu Kei mengerlingkan matanya nakal ke Naya. Naya terkejut, tak menyangka kalimat yang meluncur dari mulut lelaki di depannya. Gadis muda itu segera menundukkan wajahnya.
Bundo Nilam mengernyitkan dahinya. Matanya menatap Naya dan Kei bergantian. Mhmm…ado apo? (Ada apa?) Kenapa mereka seperti dua orang yang telah saling kenal?
“Mhm.. Maksud saya, saya siap kapan saja, Bundo. Jangan sungkan," Kei memutus pandangannya pada Naya dan menatap Bundo Nilam berusaha untuk meyakinkan perempuan paruh baya itu.
Naya hanya diam tak bersuara. Perlahan ia membereskan dokumen-dokumennya tanpa menoleh Kei sedikitpun.
“Baik, kami pamit dulu, pak Kei. Terimakasih banyak."
Berkata begitu Bundo Nilam bergerak menuju pintu keluar ruangan. Naya mengiringinya dari belakang. Belum sampai langkahnya di pintu, ia terhenti ketika tangan kekar itu mengamit lengannya sedikit memaksa.
“Est-ce ce que fait une bonne epouse lorsqu’elle rencontre son mari? What does a good wife do when she meets her husband?”
(Apa yang sepatutnya dilakukan seorang istri saat bertemu suaminya?)
Kalimat itu datar saja, namun bagi Naya seperti petir di siang hari. Gadis muda itu tersentak. Ia mendonggakkan kepalanya, menatap lelaki gagah di depannya.
“Kenapa? Nay kira dengan niqab itu Nay bisa sembunyi dari Abang? Non vous ne pouvez pas! No, you can’t!" (Tidak! Tidak akan bisa!)
"Dari detik pertama Nay menatap Abang meski sekilas, Abang sudah tahu Nay yang berada dibalik niqab itu. Bagaimana mungkin Syah Jahan melupakan Mumtaz Mahal? Takkan Qays tak mengenal Layla, kan?"
Kei kembali menggoda Naya, kali ini diiringi seringai tipisnya.
“Maaf, saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan. Anda salah orang, mungkin," lugas Naya sembari bergegas mengikuti Bundo Nilam.
Lututnya terasa lemah tak bertulang. Lunglai ia menyeret langkahnya. Ya Rabb, mengapa sekarang? Disaat aku sudah hampir bisa mengikis bayangannya.
Naya menyeka tetesan-tetesan bening yang perlahan membasahi niqabnya. Ia berusaha untuk tidak tergugu. Ia tak mau Bundo Nilam mengetahui semuanya. Biarlah ia menyimpan luka itu sendiri, seperti lima tahun ini.
To be continued
Sebenarnya seperti apa hubungan Naya dan Kei? Yuukkk tinggalkan jejak biar mak Otor semangat nih ke episode berikutnya…
Gemuruh keramaian kota Jakarta siang itu seakan ingin menyaingi gemuruh di hati Naya. Gadis berusia 23 tahun itu menghela nafas panjang beberapa kali.
Terlihat ia sedang berjuang mendamaikan hatinya. Pertemuan kembali dengan sosok lelaki yang selama hampir tiga tahun belakangan ini telah berusaha ia pupus dari ingatannya agar luka tak semakin menyiksa.
Namun hari ini takdir seakan sedang bermain dengannya. Sosok itu tepat hadir di depannya, mengoyak kembali luka lama yang hampir kering.
Flashback On
Seremban, 23 Oktober 2017
Majelis perkahwinan yang masih dilingkupi suasana duka diselenggarakan dengan sangat sederhana. Tan Sri Abdul Hamid dan Puan Sri Latifah hanya mengundang keluarga terdekat saja, sekedar memberitahu tentang pernikahan putra sulung mereka, Kei Hasan.
Sedangkan dari pihak Bunda Naya dihadiri oleh etek Zainab dan pak etek Syahrul serta pak ngah Zainal, adik tengah Ayahnya yang akan menjadi wali pernikahan Naya.
Sepanjang jalannya resepsi tersebut Naya dan Kei tidak banyak berinteraksi. Keduanya lebih memilih saling mendiamkan diri saat para tetamu selesai bersalaman dan mengucapkan selamat atas pernikahan mereka.
Naya, gadis berusia 18 tahun itu berkali menyusut air mata yang dengan lancang terus mengalir di wajah chubby-nya yang menggemaskan. Ia tak pernah menyangka akan duduk di pelaminan tanpa didampingi oleh sang Ayah dan Bunda tercinta.
Duduk bersanding dengan Kei, lelaki yang selama dua tahun ini seperti sengaja menjauhinya, membuat dadanya semakin sesak.
Terbayang wajah Ken, sang tunangan yang segala sifat dan perangai seperti bumi dan langit dengan lelaki di sampingnya kini yang bergelar ‘suami’.
Ken, sosok yang hangat dan penyayang. Ramah pada semua orang. Tua dan muda menyukainya. Anak–anak kecil suka berlama-lama dengan bergelayut manja padanya.
"Bang Ken…" Tanpa sadar Naya berguman lirih, namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Kei.
Mata elangnya seperti ingin menembus jantung Naya. Sontak Naya menundukan pandangannya, tak sanggup beradu pandang dengan Kei.
Astaghfirullahalazim. Tak halal lagi baginya untuk mengenang orang lain, sementara ada Kei suaminya kini. Naya kembali mendesah lirih.
Sementara itu, Kei kembali terlihat sibuk dengan gadgetnya seperti sedang berbalas pesan dengan seseorang. Ia seperti sengaja mengacuhkan Naya, tak terlihat ada keinginan Kei untuk berbual ramah dengan Naya, gadis yang beberapa jam yang lalu telah sah menjadi istrinya.
Naya menghela nafas Panjang. Ia memegang kepalanya yang sedari tadi berdenyut nyeri. Perutnya terasa perih, matanya mulai berkunang dan perlahan semua menjadi gelap.
“Naya?!”
Etek Zainab yang duduk tidak jauh dari pelaminan langsung berlari menuju Naya yang terkulai di samping Kei. Kei yang masih sibuk dengan gadgetnya sontak menoleh. Reflek lengannya melingkar ke tubuh Naya.
“Nay? Hei, Nay? Are you okay?”
Kei menepuk perlahan pipi Naya sembari mengelus lembut lengan istrinya.
Tak terlihat lagi Kei yang acuh dan dingin yang selama beberapa jam ini ia tunjukan. Yang nampak sekarang adalah sosok lelaki yang begitu mencemaskan istrinya.
“Kei, what have you done? Kenapa Naya bisa begitu?”
Puan Sri Latifah menatap Kei penuh intimidasi. Kei memutar bola matanya malas. I was wrong. I am wrong. I will be wrong.
Tanpa menjawab pertanyaan Mamanya, Kei langsung mengendong tubuh lunglai Naya menuju kamarnya.
Etek Zainab dan Puan Sri Latifah bergegas mengikuti langkah panjang Kei. Memasuki kamarnya yang didominasi oleh warna white and grey, Kei merebahkan perlahan tubuh mungil Naya di tempat tidurnya.
“Mhm… Mama dan Etek Za maaf, boleh tinggalkan kami. Kei yang akan menjaga Naya.”
Kei menekankan kalimat terakhirnya. Tegas tak terbantah.
“Kamu…?!”
Mama Kei menatap putra sulungnya penuh kemarahan, namun kalimatnya tertahan oleh helaan tangan Etek Za.
Wanita berumur empat puluhan itu menggelengkan kepalanya, kemudian menarik lembut lengan Puan Sri Latifah, meninggalkan ruangan tersebut.
Kei menghela nafas panjang namun senyum tipisnya mengiringi kepergian kedua wanita yang ia ketahui pasti amat sangat menyayangi Naya.
Perlahan Kei naik ke tempat tidur, melepaskan segala pernak-pernik dan hijab di kepala istrinya, kemudian mulai menempelkan aroma parfum keluaran DKNY terbaru di bawah hidung Naya.
Beberapa menit berlalu, belum ada reaksi dari gadis tersebut. Sejenak Kei berhenti, matanya menatap lekat wajah yang hanya berjarak beberapa inci saja darinya. Ia bisa mencium wangi alami nan lembut dari gadis tersebut.
Tanpa bisa dicegah hidungnya menempel nyaman di leher jenjang itu. Lobus frontal dan lobus parietal-nya seakan mendorong kuat Kei untuk semakin menyusupkan wajahnya di area tersebut sambil menikmati sensasi baru yang dirasakannya.
Namun gerakan Kei sontak terhenti saat ia merasakan Naya yang mulai menggeliatkan tubuhnya dengan mata yang perlahan membuka.
Kei langsung menjauhkan diri dengan mendudukan dirinya di sisi tempat tidur, mengutak-atik gadgetnya dan menyibukan diri dengan benda persegi empat tersebut.
Naya yang mencoba bangkit dari pembaringan, menatap lekat sekelilingnya. Ia merasa asing dengan kamar tersebut. Nuansa putih dan hitam yang mendominasi membuat Naya mengeryitkan dahinya. Ini di mana?
“Mhm…Elok lah dah bangun, buat semua orang susah je. What a spoiled girl!"
What?! Bola mata Naya membulat demi mendengar kalimat Kei. Sungguh ia tak pernah ingin merepotkan siapapun di sini. Naya menggigit tipis bibir bawahnya yang bergetar, dadanya sesak menahan gejolak yang kembali menerpanya. Pipinya perlahan kembali basah dengan isakan yang terdengar lirih.
“Jangan menangis lagi! Macam budak kecik je!”
Naya memejamkan matanya rapat. Menyusut air mata dengan punggung tangannya.
“Maaf,” ucapnya semakin lirih.
Flashback Off
“Naya, kenapa? Dari tadi diam saja? Bundo perhatikan Naya berubah sejak dari kantornya pak Kei tadi, ado apo?”
Bundo Nilam mengalihkan pandangannya sekilas kearah Naya, kemudian lurus kembali fokus dengan stirnya. Naya terkejut, tak menyangka pertanyaan itu. Jujur, ia belum siap dengan pertanyaan tersebut.
"Nngg… ndak ado apo-apo, Bundo. (Ngga ada apa-apa. Bundo). Naya hanya agak sedikit pusing saja, mungkin karena ruangan ber-AC tadi. Oh ya, Bundo langsung ke kantor yayasan, kah? Kalau iya, Nay turun disini saja. Biar Nay naik taksi ke kampus, ada kelas ba’da Dzuhur ini," Naya berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Kamu ada kelas? Ngak apa-apa, Bundo bisa antar, kok. Sekalian Bundo mau menjemput Najwa, tadi katanya kelasnya selesai pukul 12.00 siang ini, sedangkan Najma masih ada kelas sampai Ashar nanti. Jadi, ya…sekalian aja, kan?”
"Bener, nih Bundo? Nay tidak merepotkan Bundo?”
"Yo, indak, lah. Bundo acok juo anta japuik, sikembar, tuh."
(Bundo sering juga antar jemput, sikembar).
“O, iya. Baru ingat, Nay masuk dikelasnya Najma siang ini,” terang Naya tanpa diminta.
“Benarkah? Eh, ngomong-ngomong tentang Najma, dia suka sekali loh sama kamu. Meskipun baru bertemu semester ini, katanya kamu sudah menjadi dosen favorit dia dan teman-temannya."
“Masa, sih Bundo?”
“Iya, bener. Dirumah kan dia sering sekali cerita tentang kuliah dan kampusnya. Nah, kamu itu sering jadi bahan ceritanya. Katanya kamu itu masih muda banget, tapi smart, friendly, humble lagi."
“Ah, Najma berlebihan aja tuh, Bundo. Eit, tapi yang cerdas itu Najma lo, Bundo. Setiap pertemuan selalu diikuti dengan baik, nilai tugas-tugasnya juga bagus. Kritis, lagi. Pokoknya anak Bundo banget, deh." Naya balas memuji.
“Kamu ini, pandai sekali menyenangkan hati orang tua. Calon menantu idaman. Sungguh beruntung mertua yang punya menantu sepertimu kelak. Andai saja Bundo punya anak lelaki, pasti Bundo akan berusaha menjadikanmu menantu Bundo."
“Ei, Bundo ko ado-ado sajo. (Ei, Bundo ini ada-ada saja). Jadi menantu idaman belum tentu bisa menjadi istri idaman, ternyata Bundo," lirih Naya.
Terdengar nada getir yang berusaha disembunyikannya.
“Kamu ngomong apa? Bundo kurang dengar?”
Bundo Nilam sedikit melambatkan laju mobil ketika memasuki halaman parkir kampus.
“Ah, nggak. Nggak ngomong apa-apa. Sudah sampai Bundo, jazakillahu khayr sudah menemani Nay ke kantornya pak Kei, trus masih ngasih tumpangan untuk kesini. Terima kasih banyak ya, Bundo. Semoga Allah membalas semua kebaikan Bundo." Naya tersenyum sembari menutup pintu mobil.
“Eits, nggak cukup dengan sekedar ucapan terimakasih ya, bu dosen. Kamu harus kerumah Bundo, Ahad depan. Katanya sudah rindu dengan rendang yang asli dimasak urang awak."
Bundo Nilam tersenyum sumringah.
Senyum Bundo Nilam yang menghiasi hari-harinya selama beberapa minggu inilah yang sering mengingatkan Naya dengan etek Zainab. Ah, bagaimana kabarnya adik bungsu Bunda itu. Lama sekali tak berjumpa. Terakhir kali bertemu etek Za dua tahun lalu, saat Naya mendapatkan gelar master degree-nya dari Sorbonne. Etek hadir dengan pak Etek dan Noura, anak etek Za yang saat itu baru tamat SMP.
Aih, rindunya ingin segera bisa berkunjung ke Batusangkar, ranah kelahiran ayah dan bunda yang belum pernah didatangi Naya.
“Ei, bamanuang lo baliak? Anak gadih ko lai, lah acok bana bamanuang, mah." (Ei, bermenung lagi? Aduh anak gadis ini, sudah sering sekali bermenung)
Suara Bundo Nilam membuyarkan lamunan Naya.
“Ah, nggak. Bundo tadi bicara rendang, kan? Nay jadi ingat yang suka masakin Nay rendang, etek Za, adik almarhum Bunda yang tinggal di Batusangkar."
“Eit, jangan bilang mau pulang kampung dulu ya. Salamaik-an dulu alek wak nan di siko, ah…beko buliah pulang." (Selamatkan/ selesaikan dulu acara kita yang di sini, nah setelah itu boleh pulang)
“Iya, Bundo. Naya janji melaksanakan amanah ini dengan baik. Insya Allah kegiatan kita bulan depan berjalan lancar. Lagian ini baru pertengahan semester, ngga mungkin Naya meninggalkan perkuliahan, kan?”
Naya tersenyum meyakinkan Bundo Nilam.
“Iya, Bundo percaya. Bundo hanyo bagarah sajo. (Bundo hanya bercanda). Tapi Ahad besok jaan bagarah (jangan bercanda), Bundo tunggu."
“Insyaa Allah, Bundo. Tapi Bundo juga jangan lupa rendang dan pangek ikan bilih, yo...”
“Sips, Bundo siapkan yang spesial buat bu dosen cantik ini."
“Duh, terimakasih Bundo sayang," Naya mencium takzim tangan Bundo Nilam.
Sambil mengucap salam gadis itu melangkah meninggalkan Bundo Nilam yang menatapnya penuh kasih seorang Ibu, hingga bayangannya hilang di balik rerimbunan pohon tabebuya disekitar kampus.
To be continued
Kriiinnngg…Kriiiiinnnggg… Gawai keluaran terbaru dari negeri ginseng itu menjerit panjang memecah keheningan petang.
Naya yang baru saja merebahkan tubuh penatnya, bangkit perlahan. Dengan sedikit bermalasa-malasan, ia menyeret langkahnya menuju sofa di ruangan keluarga.
Sebelum menyalin pakaiannya tadi, gadis itu sengaja menaruh gawainya di atas meja dekat sofa.
Tangannya meraih benda berbentuk persegi panjang dan langsung menempelkannya ditelinga, tanpa terlebih dahulu melihat id caller.
“Halo… Assalamualaikum, dengan Naya disini.. Ada yang bi..?”
“Wa’alaikumussalam, mon cheri. Tu me manques tellement. Honey, I miss you so much." (Sayang, Abang rindu sangat. Nih)
Ya Rabb. Dia lagi?! Maunya apa, sih?
“Kenapa diam saja? Tu ne me manques pas?”
“Maaf, salah sambung!” ketus Naya memutus panggilan.
Kriinng…Kriiiinnggg..! Nada panggilan dari gawai tersebut kembali memekik.
“Udah dibilangin salah samb….”
“Eit..ntar dulu. Kok hari ini Abang salah terus ya, tadi pagi ‘salah orang’, petang ini ‘salah sambung’… Ha..ha..ha..” Terdengar tawa renyah Kei diseberang.
“On s’en fout? I don’t care!" (Aku tidak peduli). Naya membanting gagang telepon. Ia benar-benar lepas menumpahkan akumulasi kekesalannya sepanjang hari ini.
Mak Midah yang sedang membersihkan meja makan terkejut. Perempuan tua enam puluh tahunan itu nampak mengernyitkan dahinya.
Selama tujuh tahun ikut dengan gadis muda ini, ia belum pernah menyaksikan Naya marah. Yang ia tahu, Naya adalah gadis yang penuh dengan kelembutan, sopan santun dan elok budi bahasa.
Dan hari ini gadis itu meradang, ada apa? Pasti sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Tapi apa?
“Siapa, puan?” Mak Midah mendekati Naya.
“Orang gila, mak!” Jawabnya masih dengan nada ketus.
“Orang gila? Iye, ke?” Tanya mak Midah dengan logat Melayunya.
Naya terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia menungkupkan wajahnya dengan bertopang pada kedua lututnya.
Sesak di dadanya kian membuncah saat mak Midah mengusap lembut punggungnya. Mendadak bahunya terguncang, terdengar kemudian isak lirihnya.
“Mak..” Naya menjatuhkan tubuhnya di pangkuan perempuan tua itu. Ia tahu, sia-sia untuk berpura tegar di hadapan mak Midah, perempuan tua yang telah sekian lama menemaninya.
“Kalau menangis bisa melepaskan beban, menangis saja puan. Tidak perlu sungkan pada Mak. Puan Naya tahu kan, seperti apa Mak sayangkan, puan?”
Naya semakin tergugu mendengar perkataan mak Midah. Ia bersyukur sekali Puan Sri Latifah telah meminta mak Midah untuk menemaninya selama lima tahun ini.
Perempuan tua inilah tempatnya berbagi suka dan duka. Melewati hari-hari sulit di Paris, negeri yang belum diKeialnya sama sekali, jauh dari orang-orang terkasih.
“Kalau puan nak bercerita, mak siap mendengarkan." Mak Midah menatap Naya dengan pandangan penuh kasih sayang seorang ibu.
Naya balik menatap mak Midah. Haruskah ia ceritakan tentang pertemuannya dengan Kei pagi ini? Atau telepon Kei barusan? Tidak. Ia tidak ingin membuat mak Midah ikut resah. Biarlah ia menyelesaikan urusannya sendiri. Cukup sudah menyusahkan perempuan tua yang baik hati ini.
Naya menghela nafas panjang. Sejenak, ia menyeka sisa-sisa buliran air matanya. Senyum kecilnya berusaha menyamarkan kepedihannya.
“Ngga ada apa-apa, Mak. Nay hanya sedikit lelah mungkin. Jadi mudah tersulut emosi. Maaf, ya… Tadi Nay ketus pada Mak. Hari ini jadwal Nay padat sekali, mungkin Nay hanya perlu berehat."
Naya kembali tersenyum untuk meyakinkan mak Midah.
“Kalau macam tu, Mak siapkan air hangat untuk mandi puan, ya?” Mak Midah beranjak dari tempat duduknya.
Naya tidak menjawab, ia hanya tersenyum mengangguk.
...***...
Naya tersentak dari tidurnya. Pukul 02.10 dini hari. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi tempat tidur. Ia masih tersengal dengan nafas yang memburu. Mimpi itu terlihat begitu nyata. Ia berlari melewati hutan randu.
Di belakangnya seseorang dengan pakaian serba hitam masih terus mengejar dengan sebilah belati yang terhunus.
Naya terus berlari dengan langkah yang mulai tertatih. Terjatuh, ia bangkit lagi dan terus berlari. Langkahnya terhenti di tepi sebuah jurang terjal. Ia tergidik ketika menatap ke bawah. Deburan ombak menghempas seperti berusaha memecah tepian jurang tempatnya berpijak.
Sesosok berbaju hitam mendekat. Wajahnya tak terlihat jelas, tertutup oleh lilitan selendang yang juga berwarna hitam.
Naya berteriak minta tolong sekuatnya, namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Sosok itu semakin dekat. Seringainya seperti mengejek ketakutan Naya.
Ditengah temaram senja yang mulai merona, Naya menelisik sosok berpakaian serba hitam di depannya. Ia sepertinya mengenal sosok itu, tapi siapa?
Sosok itu sekarang kembali bergerak mendekatinya. Naya hanya bisa mundur selangkah saja ketika ia merasakan kakinya telah menyentuh bibir jurang.
Naya semakin panik saat matanya menangkap kilatan belati yang sekarang tepat menuju ulu hatinya.
Naya memejamkan matanya, saat ujung belati itu
hampir menyentuhnya. Tubuhnya terdorong kebelakang. Sesaat ia merasa tubuhnya melayang ringan laksana kapas.
Naya hampir saja terhempas, tatkala sebuah tangan kukuh sigap menangkap dan mendekap tubuhnya. Hangat. Hening. Naya belum berani membuka matanya, hingga terdengar bisikan lembut ditelinganya.
“Cherie, tu es en securite maintenant”. Honey, you're safe now." (Sayang, kamu aman sekarang).
Naya terkejut. Sontak ia membuka matanya. Dia lagi…?Lagi, lagi dia?! Huh! Dalam mimpikupun dia hadir menganggu! Seru batinnya kesal.
Pukul 02. 35 menjelang Subuh. Perlahan Naya melangkah menuju kamar mandi. Ia akan berwudhu sebelum bercengkerama dengan Rabb-nya.
Beberapa saat Naya tenggelam dalam sujud panjangnya. Hening. Sesekali yang terdengar hanyalah isaknya saat melafaskan ayat-ayat yang berkabar tentang siksa neraka.
Naya masih hanyut dalam romansa percintaan syahdu dengan Khaliq-nya saat terdengar lantunan azan dari masjid-mesjid sekitar Kemang. Subuh luruh bersama nafas jiwa-jiwa perindu surga. Pagi pun datang menjelang.
...***...
Naya baru saja dua langkah menuruni anak tangga dari kamarnya menuju ruang makan, ketika pekik nada panggilan dari gawainya bergema memecah keriuhan pagi.
Mak Midah yang sedang menyiapkan sarapan bergegas memutar tubuhnya, berniat untuk menjawab panggilan tersebut setelah beberapa saat tak terlihat gerakan dari sang puan untuk menjawabnya.
Langkahnya terhenti ketika Naya memberinya kode untuk mengabaikan panggilan tersebut. Serta merta perempuan tua itu berhenti, dengan kening yang sedikit berkerut mak Midah kembali berputar menuju meja makan, meneruskan pekerjaannya.
Nada panggilan gawai kembali memekik. Naya dan mak Midah yang baru saja memulai aktifitas sarapan mereka saling pandang. Kemudian hening kembali tercipta seiring pekikan nada gawai yang juga berhenti.
Mak Midah menghela nafas. Dengan memberanikan diri ia menatap gadis muda di depannya. Ada apa dengan menantu kesayangan Puan Sri Latifah ini?
Mak Midah menatap lekat Naya yang tampak menyibukkan diri dengan hidangan yang tadi disajikannya.
Gadis itu seperti begitu menikmati setiap kunyahannya. Sesekali merekah senyum indah dari wajah anggunnya.
Namun mata tua mak Midah yang telah kenyang melahap asam garam kehidupan, tak bisa dikelabuhi oleh indah senyum diwajah Naya. Mak Midah menangkap sekelebat kabut menodai mata beningnya.
Mata yang selama beberapa tahun ini begitu rajin mengeluarkan bulir-bulir dari telaganya, meluahkan sedih yang tak terperi.
Aih, apa lagi yang menyusahkan hatimu duhai, puan? Berharap pulang ke negeri ini membuatmu bisa melupakan masa lalu, mengobati luka yang pernah berdarah.
Keduanya masih larut dalam pikiran masing-masing ketika tiba-tiba gawai Naya kembali memekik kering.
Naya menyudahi makannya. Ia memberi tanda pada mak Midah bahwa dia yang akan menjawab panggilan itu.
Perlahan gadis cantik itu bergerak menuju tempat gawainya tadi ditaruh. Sebelum menekan tombol 'terima', ia memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang.
Esperons que ce n’est pas lui! Kalau dia lagi, awas!
“Hallo, assalamualaikum."
“Wa’alaikumussalam, my little dove…”
“Mama? Is that you?”
“Of course I am, honey. Atau jangan-jangan…puteri cantik Mama ini sedang menunggu-nunggu telepon dari seseorang yang …”
Perempuan separuh baya di seberang sengaja mengantung kalimatnya diiringi dengan tawa renyahnya yang memikat.
“Mama…” Naya menjerit manja.
Terlihat kedekatan hatinya dengan perempuan itu. Mak Midah yang menyaksikannya, tersenyum bahagia. Pasti yang sedang berbicara lewat telepon dengan Naya adalah Puan Sri Latifah.
Mak Midah bangkit dari kursinya. Ia bergerak membereskan perkakas makan meeka. Masih dengan tanpa bersuara, mak Midah melangkah menuju dapur, seakan ingin memberi keleluasaan bagi kedua perempuan itu untuk berbual.
“Mama sehat? Papa bagaimana? Sehat juga, kan? Kak Ifah dah balik ke Trengganu, kah?”
Naya bertanya dengan semangatnya, tanpa memberi jeda Puan Sri Latifah untuk menjawab.
“Eits…tunggu. Mama harus jawab yang mana dulu, tuan putri?” Terdengar Puan Sri Latifah menggoda menantunya.
“Alhamdulillah, semua sihat. Mama sihat, Papa sihat, pun. Kak Ifah dah balik Trengganu, dah."
“Alhamdulillah… syukurlah sehat semuanya. Naya dan mak Midah di sini juga sehat, Ma."
“Alhamdulillah… Tapi kan, Mama nih sebenarnya agak sakit sikit..”
“Mama sakit? Sakit apa? Sudah berubat ke dokter, kah? Trus apa kata dokternya?” Suara Naya terdengar cemas.
“Sayang… soalannya janganlah banyak-banyak macam tu. Bertambah sakit Mama..” Puan Sri Latifah seperti sengaja memelaskan suaranya.
“Maaf, Mama. Nay cemas. Mama dah minum obat, kah?” Naya melambatkan suaranya. Masih tersirat kekhawatiran dalam nadanya.
“Kata dokter, sakit Mama nih lain sikit, sayang. Dokter manapun tak boleh sembuhkan."
“Maksud Mama?” Naya terdengar semakin khawatir. Memangnya Mama sakit apa?
Tiga bulan yang lalu perempuan yang sangat ia hormati dan sayangi itu kelihatan sehat dan baik saja?
“Kata dokter, kan… Obatnya satu saja, berjumpa dengan orang yang telah buat Mama sakit tu, lah." Puan Sri Latifah menjelaskan dengan sedikit menahan tawa.
“Berjumpa dengan orang yang buat sakit, tu? Ma.. Mama sakit apa, nih? Dan siapa orang yang buat Mama sakit, tu?”
“Sakit dirundung rindu lah, sayang… Dan orang penyebabnya, inilah yang sedang bicara dengan Mama, nih…” Terdengar lagi tawa Puan Sri Latifah.
“Macam mana tak buat Mama sakit menahan rindu, calling dah jarang, texting-pun, tak… Buat rindu lah, kan?”
“Duh, jadi ceritanya Puan Sri merajuklah, nih? Ha..ha..ha..”
“Merajuk sangat… tak lah, kan. Tapi kalau sikit, iya. Ha..ha..ha..”
Keduanya tertawa lepas. Sesaat Naya melupakan segala galau yang menderanya.
Entah kenapa setiap kali mendengar suara perempuan setengah baya ini hatinya senantiasa damai dan tentram. Mungkin karena bagi Naya, Puan Sri sudah seperti ibu sendiri, apalagi sejak kepergian Bunda tujuh tahun silam.
“My sweetheart… Hello… Mhm…lagi bermenung lah, tu. Aih..aih…siapalah agaknya yang telah membuat my little dove suka sekali bermenung sekarang, ya..”
Godaan Puan Sri Latifah membuyarkan lamunan Naya.
“Eh, Mama… Maaf, Nay tak mendengarkan. Mama cakap apa tadi?” Naya mencoba untuk kembali memfokuskan perhatiannya.
“Ah, tak. Mama nak menyampaikan undangan dari Mak Lung Salma, kakak Papa. Enam hari bulan June, Zahra anak bungsu Mak Lung Salma nak menikah. Jadi, keluarga besar kita pulang kampong lah semua ke Seremban”.
Tanggal 6 bulan Juni, berarti kurang lebih tujuh minggu dari sekarang. Rasanya ia free, karena sudah selesai jadwal ujian semester di kampusnya.
“Baik, Ma. Insyaa Allah Nay bisa pulang ke Seremban."
“Alhamdulillah… Baguslah macam tu, sejak Nay pulang dari out station hari tu, kita belum jadi sempat pulang kampong ke Seremban, kan? Dah rindu sangatlah, handai taulan kite kat kampong, tu..”
Naya hanya tersenyum mendengarkan Puan Sri Lathifah. Ia pun sudah sangat rindu dengan suasana Seremban, negeri tempat ia tumbuh dan besar bersama dengan ...
Naya mengibaskan tangannya, seakan ingin mengusir semua bayangan masa kecil yang tiba-tiba hadir menyapanya kembali.
“Dah, I won’t let my little dove fly high, again. Jangan terbang jauh-jauh lagi, ya.. Mama maunya Nay sentiasa dekat Mama saja, tapi Nay nak juga di Jakarta tu..”
“Ma…Jakarta dekat. Mama hanya duduk manis saja di kursi pesawat, it’s just about an hour, right?” Naya tertawa renyah.
Lagian sekarang sayap merpati Mama ini dah patah, Ma. Tinggal sebelah saja, bagaimana mau terbang tinggi? Naya membatin sendu.
...***...
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!