Kei POV
Pagi ini aku diberitahu oleh Andrian, asistenku bahwa pihak Yayasan Cahaya Umat meminta waktu untuk bertemu terkait pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) tahun ini yang bekerjasama dengan yayasan tersebut.
Tepat pukul 11.00 WIB setelah meeting dengan Mr. Anderson dari Lucky Zone Co, aku langsung menuju ruanganku di lantai 10. Ketika Andrian membukakan pintu, pandanganku langsung bertemu dengan perempuan separuh baya bermata teduh, Bundo Nilam. Pendiri sekaligus pengurus Yayasan Cahaya Umat yang minggu kemaren juga hadir saat membicarakan rancangan kegiatan yang akan dilaksanakan dengan dana CSR tahun ini.
Mataku beralih pada sesosok perempuan berhijab rapi. Posisi duduknya yang tepat membelakangi pintu menghalangiku untuk melihat wajahnya.
Saat mendengar suaraku Bundo Nilam langsung berdiri menyambut kedatanganku, sementara perempuan yang tengah membelakangi pintu tersebut masih dalam posisi duduknya.
Beberapa saat kemudian terlihat Bundo Nilam menarik tangan perempuan itu untuk berdiri sambil memperkenalkannya.
"Perkenalkan, pak Kei. Ini ibu Naya, ketua panitia acara kita."
Terlihat perempuan itu langsung menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.
Tanganku yang telah kuulurkan untuk menyalaminya, langsung kutarik kembali. Sekilas pandangan kami bertemu.
Entah kenapa dadaku seketika berdesir aneh saat mataku bersirobok dengan mata jelinya. Ya, aku amat sangat mengenali mata itu. Seketika senyumku membinar tipis. Mhmm.. Dia!
Aku memang tidak bisa melihat wajahnya yang tertutup niqab, namun mata itu tidak akan aku lupakan. Binarnya senantiasa mampu menyihirku meski aku selalu berusaha menafikannya.
Sesaat aku menelisiknya. Mhm... empat tahun tidak pernah lagi melihatnya sedekat ini.
Perlahan aku melewatinya dan sengaja mengambil posisi duduk tepat di samping tempat duduk yang sebelumnya ia duduki.
Aku mempersilahkannya duduk, karena setelah beberapa saat aku duduk, dia masih saja berdiri. Kebingunan hendak duduk di mana, terlihat jelas dari gerakan canggungnya. Aku kembali tersenyum tipis. Pasti dia sangat terkejut dengan pertemuan kami pagi ini. Sama. Aku juga tidak menyangka akan bertemu secepat ini dengannya.
Aku ingat lebih dari dua bulan yang lalu, Azki, orang kepercayaanku yang kutugaskan untuk 'menjaganya' melaporkan bahwa dia, Kanaya Khairunnisa, gadis yang sedang menjelma di hadapanku kini telah menyelesaikan studinya dan berencana untuk pulang.
Namun aku tidak menyangka pertemuan kami akan secepat ini. Aku pikir dia akan stay di KL atau Seremban dulu, karena yang aku yakini, Puan Sri Latifah - mamaku tidaķ akan mau lagi berjauhan dengan menantu kesayangannya setelah lima tahun ini bolak balik KL - Paris untuk mengunjungi Naya.
Dan apa tadi kata Bundo Nilam, Naya adalah ketua panitia dari project ini? Bukankah itu artinya aku dan dia akan sering bertemu dalam beberapa waktu ke depan? Mhm...what a coincident!
"Naya, mana berkas-berkas yang akan akan ditandatangani olah pak Kei?"
Bundo Nilam mengurai kesunyian diantara kami sambil mengamit lengan Naya untuk duduk. Tempat duduknya sekarang agak berjauhan denganku.
Aku langsung menandatangani berkas yang diserahkan Bundo Nilam setelah Naya mengeluarkannya dari tas ransel yang ditaruhnya di atas meja.
Sambil terus membuka dan menandatangani lembar demi lembar berkas di depanku, sesekali aku melirik Naya yang sedang menundukan wajahnya.
Meski sedang menunduk, aku bisa melihat matanya yang menutup dan membuka beberapa kali, kadang juga diiringi dengan gelengan kepalanya. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
Selesai menandatangani semuanya, aku dan Bundo Nilam sempat berbincang sejenak. Perempuan paruh baya itu menjelaskan bahwa target program CSR kita diperluas tidak hanya untuk anak-anak jalanan di rumah-rumah singgah yang berada di Jakarta Selatan seperti yang sebelumnya direncanakan, namun juga rumah-rumah singgah yang berada di Jakarta Utara.
Semua rumah singgah tersebut berada di bawah naungan Yayasan Cahaya Umat dengan jumlah anak jalanan 1075 orang yang rutin belajar dan mengikuti pelatihan di sana.
Aku beberapa kali mengangguk, kagum dengan perjuangan Bundo Nilam dan yayasannya dalam merengkuh anak-anak jalanan tersebut.
"Jadi untuk sementara itu dulu, pak Kei. Insyaa Allah persiapan kita sudah 85 persen. Mudah-mudahan bisa launching sesuai jadwal yang kita rencanakan," jelas Bundo Nilam sambil mengemasi berkas yang tadi kutandatangani.
"Naya... Naya? Semua sudah selesai, kan? Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan dengan pak Kei?"
Naya tergagap, jelas terlihat bahwa hanya tubuhnya yang sedang berada di ruangan ini namun tidak dengan hati dan pikirannya.
"Mhm... Ngg... Iya... Eh, tidak. Tidak ada lagi Bundo. Semua siap. Kita tinggal action bulan depan."
Terlihat Naya beberapa kali mengubah posisi duduknya. Canggung itu nyata merona di tingkahnya.
Aku kembali tersenyum. Entah kenapa aku suka sekali melihatnya yang seperti saat ini. Dari matanya yang hanya beberapa kali saja beradu pandang denganku, aku dapat menangkap pendar rindu dan ... benci membinar di sana. Dan gilanya, I do like it! I really...really enjoy it! Ha... ha... ha...
"Kalau begitu kami permisi dulu, pak Kei. Jika masih ada dokumen yang perlu tanda tangan pak Kei, kami akan menghubungi."
"OK. Saya selalu siap kapan saja, Bundo. Tidak perlu sungkan untuk menghubungi. Je ferai n'importe quoi pour toi, cherie. I would do anything for you, baby," lanjutku dengan mengerlingkan mataku pada Naya.
Jelas keterkejutan di mata coklat jernihnya, namun selanjutnya ia langsung menundukan pandangannya. Berpura tidak mendengarku. Ahai!
"Baik, kami pamit dulu pak Kei. Terimakasih banyak."
Bundo Nilam bergerak menuju pintu keluar ruanganku dengan diiringi Naya, namun aku segera mencekal lengannya.
Entahlah. Aku merasa begitu marah saat dia mengacuhkanku. Berpura tidak mendengar, apalagi mengenalku!
Sungguh! Aku merasa terhina kali ini.
"Est-ce ce que fait une bonne epouse lorsqu'elle rencontre son mari?" Bisikku datar kembali dalam bahasa Perancis.
"What should a good wife do when she meets her husband?"
Aku tidak mau Bundo Nilam mengetahui pembicaraan kami.
Gadis itu mendongakkan kepalanya demi mendengar kalimatku. Menatapku lekat. Matanya membola tajam.
S-hiit! Kenapa dia terlihat semakin.... Oh, double s-hiitt! I hate this!
"Kenapa? Nay kira dengan niqab itu Nay bisa sembunyi dari Abang? Non vous ne pouves pas! No, you can't! Dari detik pertama Nay menatap Abang meski sekilas, Abang sudah tahu Nay yang berada di balik niqab itu!"
Gantian aku sekarang yang menatapnya lekat.
"Bagaimana mungkin Syah Jahan melupakan Mumtaz Mahal? Takkan Qays tak mengenal Layla, kan?"
Oh sshhiitt! Kenapa kalimat murahan itu yang keluar?
Oh, it's really crazy. What's going on with me?
"Maaf, saya tidak mengerti apa yang sedang anda bicarakan. Anda salah orang, mungkin."
Dia bergegas menyusul Bundo Nilam. Mataku mengikuti kepergiannya hingga menghilang di balik pintu.
Aku tersenyum. Saya tidak mengerti apa yang anda bicarakan. Anda salah orang! Aku merasakan keresahan sekaligus kepedihan dalam kalimat itu.
Mhm... I love this game!
Namun entah kenapa seharian ini aku moody, kadang bad mood kadang good mood. Aku bahkan meminta Andrian untuk reschedule pertemuan dengan beberapa klien penting.
Aku terus membaca ulang berkas-berkas laporan lama dari Azki. Mulai dari kejadian di Museum Louvre, saat aku menemani Nadia pemotretan di sana, dan Naya menyaksikan langsung kebersamaanku dengan Nadia sesuai dengan yang aku rencanakan.
Juga laporan tentang Naya yang take double colleges dengan melanjutkan Master Degree untuk Pshycology sesuai passion-nya, dan sekaligus juga kuliah di jurusan Fashion Designer yang aku tahu pasti bukan pilihannya.
Ia hanya sedang memainkan perannya menjadi menantu yang baik untuk seorang Puan Sri Latifah dengan mengikuti keinginan Mamaku itu.
Aku masih mencari tahu apa yang sedang direncanakan Mama dan Papa dengan meminta Naya untuk kuliah di jurusan Fashion Designer.
Menjadi seorang desainer, sesuatu yang bertolak belakang dengan passion seorang Kanaya Khairunnisa. Meski harus ku akui Naya sangat totalitas dalam perannya sebagai seorang Fashion Designer, terbukti dengan keberhasilannya ikut serta dalam Paris Fashion Week tahun lalu.
Dan sekarang, dia memulai peran barunya di Jakarta sebagai seorang dosen di sebuah kampus ternama.
Itu laporan terbaru yang aku terima dari Azki beberapa menit yang lalu melalui sambungan telepon.
Aku jadi semakin tertarik untuk mengetahui permainan yang tengah dimainkan oleh Tan Sri Abdul Hamid, Puan Sri Latifah dan Kanaya Khairunnisa.
Perlahan aku menekan tombol angka-angka di gadget-ku. Terdengar nada sambung. Yes!
"Wa'alaikumussalam, mon cherie. Tu me manques tellement. I miss you so much."
Aku menjawab salamnya. Terdengar helaan kasar nafasnya mendengar kalimat terakhirku. Ha..ha..ha...
"Kenapa diam saja? Don't you miss me?"
"Maaf, salah sambung," ketusnya.
Kemudian langsung diganti dengan bunyi tuts...tuts... Ahai, dia menutup panggilanku, sepihak. Ha...ha...ha...
Entah kenapa aku merasa bahagia sekali mendengar nada suaranya yang kesal dan ketus. Kembali kuulang panggilan...
"Udah dibilangin salah samb.."
"Eits, ntar dulu. Kok hari ini Abang salah terus ya. Tadi pagi salah orang, petang ini salah sambung."
Sengaja kutekankan kata salah orang dan salah sambung, kemudian kuiringi dengan tawa.
Hei, sepertinya aku banyak sekali tertawa hari ini.
Entahlah, sepertinya permainan ini begitu menyenangkan.
Okay, Kanaya Khairunnisa... Let's play the game!
To be continued
Ayo jangan lupa like dan comment ya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Hanipah Fitri
perlu kerja keras untuk memahami tulisan nya
2023-11-17
2
Siti Aminah
sy bnr2 sukaaaa...sm cerita ny thooor...mk ny ku ulang2 trs ...entah sdh yg ke brp kali ny sy bc
2023-10-08
0
Siti Aminah
sdh brp kali sy ulang2 bc karyamu ini thor...tdk ad bosan2ny tp syng sy sngat kecewa krn ceritany menggantung sampai skrng...ibarat mkn..nyangkut d tenggorokan...kpn cerita ini akan d up lg yah.
2023-07-25
0