Kriiinnngg…Kriiiiinnnggg… Gawai keluaran terbaru dari negeri ginseng itu menjerit panjang memecah keheningan petang.
Naya yang baru saja merebahkan tubuh penatnya, bangkit perlahan. Dengan sedikit bermalasa-malasan, ia menyeret langkahnya menuju sofa di ruangan keluarga.
Sebelum menyalin pakaiannya tadi, gadis itu sengaja menaruh gawainya di atas meja dekat sofa.
Tangannya meraih benda berbentuk persegi panjang dan langsung menempelkannya ditelinga, tanpa terlebih dahulu melihat id caller.
“Halo… Assalamualaikum, dengan Naya disini.. Ada yang bi..?”
“Wa’alaikumussalam, mon cheri. Tu me manques tellement. Honey, I miss you so much." (Sayang, Abang rindu sangat. Nih)
Ya Rabb. Dia lagi?! Maunya apa, sih?
“Kenapa diam saja? Tu ne me manques pas?”
“Maaf, salah sambung!” ketus Naya memutus panggilan.
Kriinng…Kriiiinnggg..! Nada panggilan dari gawai tersebut kembali memekik.
“Udah dibilangin salah samb….”
“Eit..ntar dulu. Kok hari ini Abang salah terus ya, tadi pagi ‘salah orang’, petang ini ‘salah sambung’… Ha..ha..ha..” Terdengar tawa renyah Kei diseberang.
“On s’en fout? I don’t care!" (Aku tidak peduli). Naya membanting gagang telepon. Ia benar-benar lepas menumpahkan akumulasi kekesalannya sepanjang hari ini.
Mak Midah yang sedang membersihkan meja makan terkejut. Perempuan tua enam puluh tahunan itu nampak mengernyitkan dahinya.
Selama tujuh tahun ikut dengan gadis muda ini, ia belum pernah menyaksikan Naya marah. Yang ia tahu, Naya adalah gadis yang penuh dengan kelembutan, sopan santun dan elok budi bahasa.
Dan hari ini gadis itu meradang, ada apa? Pasti sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Tapi apa?
“Siapa, puan?” Mak Midah mendekati Naya.
“Orang gila, mak!” Jawabnya masih dengan nada ketus.
“Orang gila? Iye, ke?” Tanya mak Midah dengan logat Melayunya.
Naya terdiam. Dadanya terasa sesak. Ia menungkupkan wajahnya dengan bertopang pada kedua lututnya.
Sesak di dadanya kian membuncah saat mak Midah mengusap lembut punggungnya. Mendadak bahunya terguncang, terdengar kemudian isak lirihnya.
“Mak..” Naya menjatuhkan tubuhnya di pangkuan perempuan tua itu. Ia tahu, sia-sia untuk berpura tegar di hadapan mak Midah, perempuan tua yang telah sekian lama menemaninya.
“Kalau menangis bisa melepaskan beban, menangis saja puan. Tidak perlu sungkan pada Mak. Puan Naya tahu kan, seperti apa Mak sayangkan, puan?”
Naya semakin tergugu mendengar perkataan mak Midah. Ia bersyukur sekali Puan Sri Latifah telah meminta mak Midah untuk menemaninya selama lima tahun ini.
Perempuan tua inilah tempatnya berbagi suka dan duka. Melewati hari-hari sulit di Paris, negeri yang belum diKeialnya sama sekali, jauh dari orang-orang terkasih.
“Kalau puan nak bercerita, mak siap mendengarkan." Mak Midah menatap Naya dengan pandangan penuh kasih sayang seorang ibu.
Naya balik menatap mak Midah. Haruskah ia ceritakan tentang pertemuannya dengan Kei pagi ini? Atau telepon Kei barusan? Tidak. Ia tidak ingin membuat mak Midah ikut resah. Biarlah ia menyelesaikan urusannya sendiri. Cukup sudah menyusahkan perempuan tua yang baik hati ini.
Naya menghela nafas panjang. Sejenak, ia menyeka sisa-sisa buliran air matanya. Senyum kecilnya berusaha menyamarkan kepedihannya.
“Ngga ada apa-apa, Mak. Nay hanya sedikit lelah mungkin. Jadi mudah tersulut emosi. Maaf, ya… Tadi Nay ketus pada Mak. Hari ini jadwal Nay padat sekali, mungkin Nay hanya perlu berehat."
Naya kembali tersenyum untuk meyakinkan mak Midah.
“Kalau macam tu, Mak siapkan air hangat untuk mandi puan, ya?” Mak Midah beranjak dari tempat duduknya.
Naya tidak menjawab, ia hanya tersenyum mengangguk.
...***...
Naya tersentak dari tidurnya. Pukul 02.10 dini hari. Perlahan ia bangkit dan duduk ditepi tempat tidur. Ia masih tersengal dengan nafas yang memburu. Mimpi itu terlihat begitu nyata. Ia berlari melewati hutan randu.
Di belakangnya seseorang dengan pakaian serba hitam masih terus mengejar dengan sebilah belati yang terhunus.
Naya terus berlari dengan langkah yang mulai tertatih. Terjatuh, ia bangkit lagi dan terus berlari. Langkahnya terhenti di tepi sebuah jurang terjal. Ia tergidik ketika menatap ke bawah. Deburan ombak menghempas seperti berusaha memecah tepian jurang tempatnya berpijak.
Sesosok berbaju hitam mendekat. Wajahnya tak terlihat jelas, tertutup oleh lilitan selendang yang juga berwarna hitam.
Naya berteriak minta tolong sekuatnya, namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Sosok itu semakin dekat. Seringainya seperti mengejek ketakutan Naya.
Ditengah temaram senja yang mulai merona, Naya menelisik sosok berpakaian serba hitam di depannya. Ia sepertinya mengenal sosok itu, tapi siapa?
Sosok itu sekarang kembali bergerak mendekatinya. Naya hanya bisa mundur selangkah saja ketika ia merasakan kakinya telah menyentuh bibir jurang.
Naya semakin panik saat matanya menangkap kilatan belati yang sekarang tepat menuju ulu hatinya.
Naya memejamkan matanya, saat ujung belati itu
hampir menyentuhnya. Tubuhnya terdorong kebelakang. Sesaat ia merasa tubuhnya melayang ringan laksana kapas.
Naya hampir saja terhempas, tatkala sebuah tangan kukuh sigap menangkap dan mendekap tubuhnya. Hangat. Hening. Naya belum berani membuka matanya, hingga terdengar bisikan lembut ditelinganya.
“Cherie, tu es en securite maintenant”. Honey, you're safe now." (Sayang, kamu aman sekarang).
Naya terkejut. Sontak ia membuka matanya. Dia lagi…?Lagi, lagi dia?! Huh! Dalam mimpikupun dia hadir menganggu! Seru batinnya kesal.
Pukul 02. 35 menjelang Subuh. Perlahan Naya melangkah menuju kamar mandi. Ia akan berwudhu sebelum bercengkerama dengan Rabb-nya.
Beberapa saat Naya tenggelam dalam sujud panjangnya. Hening. Sesekali yang terdengar hanyalah isaknya saat melafaskan ayat-ayat yang berkabar tentang siksa neraka.
Naya masih hanyut dalam romansa percintaan syahdu dengan Khaliq-nya saat terdengar lantunan azan dari masjid-mesjid sekitar Kemang. Subuh luruh bersama nafas jiwa-jiwa perindu surga. Pagi pun datang menjelang.
...***...
Naya baru saja dua langkah menuruni anak tangga dari kamarnya menuju ruang makan, ketika pekik nada panggilan dari gawainya bergema memecah keriuhan pagi.
Mak Midah yang sedang menyiapkan sarapan bergegas memutar tubuhnya, berniat untuk menjawab panggilan tersebut setelah beberapa saat tak terlihat gerakan dari sang puan untuk menjawabnya.
Langkahnya terhenti ketika Naya memberinya kode untuk mengabaikan panggilan tersebut. Serta merta perempuan tua itu berhenti, dengan kening yang sedikit berkerut mak Midah kembali berputar menuju meja makan, meneruskan pekerjaannya.
Nada panggilan gawai kembali memekik. Naya dan mak Midah yang baru saja memulai aktifitas sarapan mereka saling pandang. Kemudian hening kembali tercipta seiring pekikan nada gawai yang juga berhenti.
Mak Midah menghela nafas. Dengan memberanikan diri ia menatap gadis muda di depannya. Ada apa dengan menantu kesayangan Puan Sri Latifah ini?
Mak Midah menatap lekat Naya yang tampak menyibukkan diri dengan hidangan yang tadi disajikannya.
Gadis itu seperti begitu menikmati setiap kunyahannya. Sesekali merekah senyum indah dari wajah anggunnya.
Namun mata tua mak Midah yang telah kenyang melahap asam garam kehidupan, tak bisa dikelabuhi oleh indah senyum diwajah Naya. Mak Midah menangkap sekelebat kabut menodai mata beningnya.
Mata yang selama beberapa tahun ini begitu rajin mengeluarkan bulir-bulir dari telaganya, meluahkan sedih yang tak terperi.
Aih, apa lagi yang menyusahkan hatimu duhai, puan? Berharap pulang ke negeri ini membuatmu bisa melupakan masa lalu, mengobati luka yang pernah berdarah.
Keduanya masih larut dalam pikiran masing-masing ketika tiba-tiba gawai Naya kembali memekik kering.
Naya menyudahi makannya. Ia memberi tanda pada mak Midah bahwa dia yang akan menjawab panggilan itu.
Perlahan gadis cantik itu bergerak menuju tempat gawainya tadi ditaruh. Sebelum menekan tombol 'terima', ia memejamkan matanya sambil menghela nafas panjang.
Esperons que ce n’est pas lui! Kalau dia lagi, awas!
“Hallo, assalamualaikum."
“Wa’alaikumussalam, my little dove…”
“Mama? Is that you?”
“Of course I am, honey. Atau jangan-jangan…puteri cantik Mama ini sedang menunggu-nunggu telepon dari seseorang yang …”
Perempuan separuh baya di seberang sengaja mengantung kalimatnya diiringi dengan tawa renyahnya yang memikat.
“Mama…” Naya menjerit manja.
Terlihat kedekatan hatinya dengan perempuan itu. Mak Midah yang menyaksikannya, tersenyum bahagia. Pasti yang sedang berbicara lewat telepon dengan Naya adalah Puan Sri Latifah.
Mak Midah bangkit dari kursinya. Ia bergerak membereskan perkakas makan meeka. Masih dengan tanpa bersuara, mak Midah melangkah menuju dapur, seakan ingin memberi keleluasaan bagi kedua perempuan itu untuk berbual.
“Mama sehat? Papa bagaimana? Sehat juga, kan? Kak Ifah dah balik ke Trengganu, kah?”
Naya bertanya dengan semangatnya, tanpa memberi jeda Puan Sri Latifah untuk menjawab.
“Eits…tunggu. Mama harus jawab yang mana dulu, tuan putri?” Terdengar Puan Sri Latifah menggoda menantunya.
“Alhamdulillah, semua sihat. Mama sihat, Papa sihat, pun. Kak Ifah dah balik Trengganu, dah."
“Alhamdulillah… syukurlah sehat semuanya. Naya dan mak Midah di sini juga sehat, Ma."
“Alhamdulillah… Tapi kan, Mama nih sebenarnya agak sakit sikit..”
“Mama sakit? Sakit apa? Sudah berubat ke dokter, kah? Trus apa kata dokternya?” Suara Naya terdengar cemas.
“Sayang… soalannya janganlah banyak-banyak macam tu. Bertambah sakit Mama..” Puan Sri Latifah seperti sengaja memelaskan suaranya.
“Maaf, Mama. Nay cemas. Mama dah minum obat, kah?” Naya melambatkan suaranya. Masih tersirat kekhawatiran dalam nadanya.
“Kata dokter, sakit Mama nih lain sikit, sayang. Dokter manapun tak boleh sembuhkan."
“Maksud Mama?” Naya terdengar semakin khawatir. Memangnya Mama sakit apa?
Tiga bulan yang lalu perempuan yang sangat ia hormati dan sayangi itu kelihatan sehat dan baik saja?
“Kata dokter, kan… Obatnya satu saja, berjumpa dengan orang yang telah buat Mama sakit tu, lah." Puan Sri Latifah menjelaskan dengan sedikit menahan tawa.
“Berjumpa dengan orang yang buat sakit, tu? Ma.. Mama sakit apa, nih? Dan siapa orang yang buat Mama sakit, tu?”
“Sakit dirundung rindu lah, sayang… Dan orang penyebabnya, inilah yang sedang bicara dengan Mama, nih…” Terdengar lagi tawa Puan Sri Latifah.
“Macam mana tak buat Mama sakit menahan rindu, calling dah jarang, texting-pun, tak… Buat rindu lah, kan?”
“Duh, jadi ceritanya Puan Sri merajuklah, nih? Ha..ha..ha..”
“Merajuk sangat… tak lah, kan. Tapi kalau sikit, iya. Ha..ha..ha..”
Keduanya tertawa lepas. Sesaat Naya melupakan segala galau yang menderanya.
Entah kenapa setiap kali mendengar suara perempuan setengah baya ini hatinya senantiasa damai dan tentram. Mungkin karena bagi Naya, Puan Sri sudah seperti ibu sendiri, apalagi sejak kepergian Bunda tujuh tahun silam.
“My sweetheart… Hello… Mhm…lagi bermenung lah, tu. Aih..aih…siapalah agaknya yang telah membuat my little dove suka sekali bermenung sekarang, ya..”
Godaan Puan Sri Latifah membuyarkan lamunan Naya.
“Eh, Mama… Maaf, Nay tak mendengarkan. Mama cakap apa tadi?” Naya mencoba untuk kembali memfokuskan perhatiannya.
“Ah, tak. Mama nak menyampaikan undangan dari Mak Lung Salma, kakak Papa. Enam hari bulan June, Zahra anak bungsu Mak Lung Salma nak menikah. Jadi, keluarga besar kita pulang kampong lah semua ke Seremban”.
Tanggal 6 bulan Juni, berarti kurang lebih tujuh minggu dari sekarang. Rasanya ia free, karena sudah selesai jadwal ujian semester di kampusnya.
“Baik, Ma. Insyaa Allah Nay bisa pulang ke Seremban."
“Alhamdulillah… Baguslah macam tu, sejak Nay pulang dari out station hari tu, kita belum jadi sempat pulang kampong ke Seremban, kan? Dah rindu sangatlah, handai taulan kite kat kampong, tu..”
Naya hanya tersenyum mendengarkan Puan Sri Lathifah. Ia pun sudah sangat rindu dengan suasana Seremban, negeri tempat ia tumbuh dan besar bersama dengan ...
Naya mengibaskan tangannya, seakan ingin mengusir semua bayangan masa kecil yang tiba-tiba hadir menyapanya kembali.
“Dah, I won’t let my little dove fly high, again. Jangan terbang jauh-jauh lagi, ya.. Mama maunya Nay sentiasa dekat Mama saja, tapi Nay nak juga di Jakarta tu..”
“Ma…Jakarta dekat. Mama hanya duduk manis saja di kursi pesawat, it’s just about an hour, right?” Naya tertawa renyah.
Lagian sekarang sayap merpati Mama ini dah patah, Ma. Tinggal sebelah saja, bagaimana mau terbang tinggi? Naya membatin sendu.
...***...
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Siti Aminah
aku suka ceritamu thor
2024-11-06
0
Hanipah Fitri
masih nyimak, belum sangat paham
2023-11-17
0
Sri Widjiastuti
nyimak nihh
2023-07-20
0