Hafalan Qur'An Untuk Afra
Masa depan adalah akhir dari masa lalu yang di ceritakan.
-
Seorang gadis nampak gelisah mondar-mandir dalam kamar miliknya, entah yang keberapa kali. Raut mukanya mencemaskan sesuatu hal yang beberapa jam lalu telah mengganggu ketenangannya. Sesekali dia berhenti dan menatap lurus ke arah cermin besar di depannya, tak lupa dua alis tebalnya bertaut nyaris bersentuhan. Lagi-lagi dia menghela nafas gusar sembari membasahi bibirnya yang pucat dengan mengingitnya.
"Ah,"
Dia terlihat sangat gugup.
"Afra?" Perhatiannya berpindah pada pintu kayu kamarnya yang ber-cat putih bersih, tepat di sampingnya. Itu Irana, uminya yang baru saja memanggilnya.
"Waduh, gawat!"
Ada yang aneh. Kenapa sekarang jantungnya malah senam aerobik? Baju gamis toskanya juga ikut basah karena berkeringat dingin sebab panggilan Uminya.
"Afra? Ini, Umi. Buka pintunya, nak." Irana mengetuk pintu anaknya beberapa kali namun, tidak ada jawaban dari dalam membuat Irana panik.
Baru saja Afra ingin loncat ke atas tempat tidur, berniat pura-pura tidur namun, kalah gesit dari ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar.
Aduh, kenapa sampai lupa di kunci, sih! Dia mengeram kesal pada dirinya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar.
"Astagfirullah, Afra. Kamu berani main-mainin Umi, ya? Mau pura-pura tidur lagi?"
Ketahuan!
Selama ini, tidur memang menjadi alasannya untuk menghindari sesuatu yang tidak di sukai. Sampai-sampai Irana sudah sangat hapal sifat buruk Afra yang satu itu.
Afra merubah gaya terjun bebasnya menjadi seperti harimau hendak memangsa, tambahkan juga cengiran tanpa dosanya.
"Hehe, Umi, nggak, kok. Afra cuman belajar akting, Umi. Ini sekarang lagi akting jadi kucing omnivora. Argrr ... Meow ... Meow ..." Afra cengengesan, gagal melancarkan siasatnya tadi.
Pikiran dan hatinya melakukan perdebatan hebat. Seperti satu iblis dan satu lagi malaikat tengah memperebutkannya untuk mengikuti salah satu ide mereka.
Satu sisi Otak jahatnya bilang, "Udah Afra, mending pura-pura sakit saja, tidak ada jalan lain. Memang kamu mau di jodohin?"
Dan Hati baiknya membalas, "Jangan di ajarin dosa dong, Otak! Udah Afra, ini memang yang terbaik untuk kamu, terima saja, yah."
Menggaruk alis, Afra malah semakin pusing mendengarnya.
"Ya, ampun nak, sampai keringatan gini. Huh, kamu gugup, yah? Tenang saja, ada Umi dan Abi di samping kamu, selalu ada untuk kamu. Umi juga kayak gini waktu di lamar Abi dulu, malah parahnya Umi sampai kabur karena gugup ketemu Abi kamu itu, loh."
Nah, Afra tadi juga niatnya gitu, Umi. Tapi karena jarak lantai dua dan tanah terbentang jauh ya, batal, deh. Batin Afra menggerutu.
Memang benar pepatah dulu mengatakan "Buah kelapa jatuh tak akan jauh dari pohonya." Itulah perumpamaan cocok untuk ibu dan anak ini, sama persis sifat dan jalan pikirnya.
Afra memberikan wajah senduh dengan ekspresi sedih yang di buat-buat. Afra mengira Irana akan luluh, tapi ternyata malah mendapat kekehan geli dari Uminya itu.
Afra merasakan tangan halus Irana mengusap-usap sayang puncuk kepalanya. Jilbabnya pun diperbaiki letaknya karena sedikit miring, tak lupa masukkan beberapa anak rambut Afra yang berhasil lolos dari sana. Kini Afra tersenyum pada Uminya yang tengah memperlakukannya seperti anak kecil lagi. Afra sayang, Umi.
Tapi Afra tidak melupakan tujuan utamanya. Dia harus mencari-cari alasan agar tidak jadi di lamar oleh orang yang tengah menunggu di ruang tamu keluarganya. Afra sama sekali belum pernah melihat orang itu.
"Umi, nanti saja ya, nikahnya. Kalau Afra sudah siap, pasti Afra nikah kok, tapi bukan sekarang ya, umi ... " Afra bermanja-manja dalam pelukan irana. Sesekali menggesekkan wajahnya di dada uminya seperti anak kucing. Irana balas memeluknya mengusap-usap lembut punggung anaknya, menenangkan.
"Afra, sayang. Taukan kalau jodoh itu sudah ada yang ngatur?" Pertanyaan Irana di balas anggukan dari Afra. Masih belum melepaskan pelukan manjanya, napas Afra terhela berat. " Ini takdir Allah, sudah saatnya kamu menikah, Nak."
"Tap ... "
"Afra masih ingat ucapan Umi waktu itu, tidak?" Irana belum mempersilahkan anaknya berbicara.
Afra pun memilih diam dan mendengarkan.
"Jika lelaki yang datang pertama itu adalah pemuda penuh tanggung jawab, berani, mapan, dan tentunya sholeh, nak. Kamu bisa melihat itu semua dari Abi kamu. Kalau kamu tanya mengapa? sebab dia datang meminang tau asal usul calonnya, tidak hanya asal memilih saja, Nak. Dia menginginkan istri sholihah, calon ibu yang baik, dan bidadari yang akan menemaninya di dunia hingga ke syurga nanti. Ingat, kan?"
Afra menarik diri dari pelukan, kemudian menatap Uminya masih dengan setengah semangatnya yang pergi. "Afra hanya takut, Umi. Bagaimana kalau dia terlalu mengekang? Afra tidak akan sebebas sekarang dan Afra belum siap untuk itu."
Itu pengaduan hati Afra yang sesungguhnya. Dia sama sekali tidak suka dikekang. Afra pecinta kebebasan hingga bisa hidup bersemangat. Dia sangat suka travel dan berpetualang. Itu hobi yang tidak bisa di bantah dan sulit pisahkan dari hidupnya.
"Umi tahu itu, nak. Siapa tau nak Ziran adalah orang yang pengertian, dia akan mengerti hobi kamu itu, atau bahkan dia bisa menjadi teman berpetualangmu nanti. Jadi umi dan abi tidak perlu lagi terlalu mencemaskan kamu yang setiap pergi menjelajah hanya bersama teman- teman kamu itu. Saat nanti nak Ziran menjadi suamimu, dia yang akan menjagamu dan menjadi pelindungmu, Sayang." Penjelasan Irana semakin memperburuk keadaan hatinya.
Afra mengusap sedikit kasar wajahnya yang telah memerah karena menahan sesuatu.
"Ah, umi ..., Itu masih 'Siapa Tahu' Belum pasti benar. Huaaa ... Hiks ... Hiks ..." Pecah sudah tangisan kesedihan Afra.
Dia sedih memikirkan nasibnya jika harus menyetujui lamaran itu. Bagaimana dia bisa berkeliling kota mencari tempat petualangan baru bersama teman-temannya, jika setiap keluar rumah saja harus izin pada suami. Astaga SUAMI? Memikirkannya saja sudah terbayang hobinya itu akan dikurung dalam angan-angannya saja.
"Hustt ... jangan sedih sayang. Iya mudah-mudahan dialah orang yang tepat. Sudah dong, jangan nangis anaknya Umi yang manis." Irana tau anaknya butuh pelampiasan perasaannya yang sedang kacau. Dia pun membiarkan Afra menangis hingga hatinya lebih tenang.
Setelah beberapa saat, Afra berhasil menghentikan tangisannya. Dia mulai menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap Uminya.
"Sudah enakan perasaannya, Sayang? Kita keluar sekarang, yah? Kasihan mereka sudah menunggu dari tadi ya, Sayang?"
Bahkan untuk bernapas pun rasanya sulit bagi Afra. jantungnya berdetak gila tak karuan, inilah saat paling menegangkan baginya selain mendaki gunung dengan jurang tebing di sampingnya.
Menutup mata dan menguatkan hati, Afra pun menjawab dengan suara rendah. "Bismillah, Umi."
Afra mendengar pekikan senang Irana yang langsung memeluknya semangat. Dia ikut tersenyum melihat tingkah uminya. "Ini baru anak, Umi!" Irana buru-buru melepas pelukanya seraya berkata lagi. "Anak Umi yang manis, mau yah, ganti pakaian dulu? Kan lucu kalau ketemu calon suami dan calon mertua bajunya keringatan gini? Yang cantik ya sayang, Umi tunggu di depan kamar, oke?"
Kini Afra mendesah kesal. Sudah bagus kan, dia mau menurut keluar kamar dan bertemu keluarga pelamar itu. Ini malah masih di suruh ganti pakaian dulu sama Uminya. Ah, sudahlah. Untuk menyelesaikan drama ini, Afra mengangguk pasrah menyetujui.
Irana semakin tersenyum lebar dan mencelos keluar dari kamar anaknya.
Sekali lagi Afra memastikan tampilan dirinya di depan cermin kamarnya. Suasana hati yang buruk sama dengan Pakaian yang dia pakai. Baju terusan panjang biru nafi serta jilbab serupa adalah pilihan hatinya. Rasanya ada awan gelap yang mengelilingi dirinya, merasakan tanda-tanda akan turunnya hujan. Afra mengambil napas panjang kemudian membuka pintu menemui Uminya.
Ceklek ...
Irana memperhatikan penampilan Afra dari bawah sampai atas.
"Subhanallah, anak Umi cantik sekali, sih. Umi rasanya makin tambah tua deh, dekat-dekat sama anak Umi. Pinter banget sih, pilih bajunya. Serasi sekali dengan wajah manisnya itu, loh."
Ah, uminya selalu memuji berlebihan. Padahal dia pilih baju ini untuk menggambarkan suasana hatinya yang kacau.
Umi tidak peka!
Afra cukup menyengir saja untuk menjawab pujian itu. Jika di ladeni akan semakin panjang ceritanya dan dia tetap kalah kalau berdebat.
"Ayo sayang kita cepetan turunnya. Umi tak sabar lihat muka mereka semua menatap putri cantik Umi Irana ini. Pasti mereka terkagum-kagum, deh sama kamu. Sini sayang, pegang tangan Umi."
Tangan Afra langsung diapit Irana dan di bawa untuk turun tangga. Saking semangatnya Irana berjalan tidak sabaran, seperti mengejar sesuatu. Afra menggelengkan kepala melihat tingkah Uminya yang kelewat bersemangat itu, beda sekali dengannya yang berwajah lesu.
Afra pelan-pelan memelankan langkahnya turut menarik lembut tangan Uminya agar berhenti sejenak.
"Umi .... Pelan-pelan saja, ya? Afra bisa mati muda kalau gini jalannya. Nanti Afra gak jadi nikah, loh, Umi." Dia menegur Uminya dengan suara yang di buat sehalus mungkin. Senang rasanya melihat Uminya sebahagia ini. Baiklah, telah di putuskan. Dia akan lakukan apapun itu untuk membuat wanita yang melahirkannya ini bahagia, meski jaminannya adalah kebebasannya.
"Hehe, maaf Sayang, maafin Umi. Umi suka lupa kalau lagi senang banget. Aduh, kok bisa ceroboh gini, ya. Maafin ya sayangnya, Umi. Ya sudah, kita jalannya pelan-pelan saja."
Afra tertawa geli melihat wajah pucat itu. Aduh, uminya selalu saja seperti ini, lupa dengan umurnya yang tidak muda lagi.
Mereka kembali berjalan di tangga, kali ini lebih pelan dan penuh kehati-hatian. Saat masih lima anak tangga dari bawah, dia sudah bisa melihat jelas tiga orang asing duduk di sofa ruang tamu depan Abinya. Sudah di tebak, itulah keluarga yang melamarnya. Sejak tadi pula, kedatangan dirinya dan Uminya telah menjadi sorotan di ruang tamu itu. Gugup! Arfa menangkap tatapan mata sehangat mentari pagi dengan senyum menawan itu. Satu detik, dua detik, sampai lima detik mereka masih tak melepaskan tumbukan tatapan itu.
Allahu Akbar!
"Astagfirullah, Umi ... " Dia berbalik menyembunyikan wajahnya di pundak uminya karena malu. Terdengar tawaan kecil keluar dari mulut Irana melihat tingkah putrinya yang terang-terangan menatap calon menantunya tanpa berkedib. "Umi, kok dia ganteng banget, sih. Afra sampai khilaf karena zina mata nih, Umi." Suara Afra hanya menyerupai bisikan agar tidak di dengar orang lain.
"Kan anak Umi cantik, calonnya juga harus tampan, dong. Haha, kok anak Umi jadi salah tingkah gini, sih?" Afra semakin malu di goda Uminya. Bagaimana keadaan wajahnya sekarang? Baik-baik saja, kah? Huh, pasti sudah merah seperti udang rebus buatan Uminya.
"Hais, Umi Ini, senangnya menggoda Anaknya. Liat tuh, anak kamu malu nggak mau nunjukin wajahnya." Itu suara Daud, Abi dari Afra.
Telinga Afra ikut bereaksi menjadi kepanasan mendengar banyak kekehan geli untuknya. Itu bukan hanya dari Umi dan Abinya saja, pasti satu keluarga itu ikut menertawainya juga. Ya, ampun! Panas! panas! Dia butuh es batu untuk mendinginkan wajahnya.
"Nak, sini duduk dekat, Abi." Wajah merah itu perlahan di angkat dari bahu Irana. Menatap tidak enak hati seraya menunduk sopan pada orang-orang di depannya. Dia berjalan dan duduk di tengah-tengah antar Abi dan Uminya.
"Perkenalkan, nak, ini keluarga pak Algaza. Beliau itu yang duduk di depan Abi sekarang. Di ujung sana beliau bernama Mara, istri dari pak Al. Dan di tengah itu anak mereka, namanya Muhammad Ziran Algaza, calon suami kamu."
Deg ...
Afra langsung menatap lantai setelah tak sengaja kembali bersitatap dengan lelaki itu, Ziran. Dia mengingit bibir, gugup dengan situasi sekarang. Lupakan yang itu! Kenapa dia malah bersikap tidak sopan begini di depan calonnya. Sedikit mengambil napas, dia beranikan diri menatap satu persatu orang tua Ziran dengan tersenyum sebisanya.
"Assalamualaikum, tante, Om dan ... " Dan siapa? Harus panggil apa? "Kakak!"
"Haha ..., tidak perlu canggung begitu, Nak. Kami tidak akan memakanmu, Sayang. Dan oh iya, panggil saya dan suami saya, Mama dan Papa saja, oke?" Elmara, ibu dari Ziran angkat bicara melihat calon menantunya seperti ketakutan pada mereka.
Algaza, yang tak lain suami Elmara, juga tersenyum menenangkan gadis manis di depannya. "Jangan takut, Nak."
"I, iya Tan ... Eh, Mama, Papa." Gematar! Dia tidak bisa mengendalikan diri untuk terlihat biasa saja di depan tiga orang ini. Dan mengapa lelaki itu terus menatapnya? Dia cukup risih dan tidak nyaman, pergerakannya juga jadi terbatas.
"Sayang, yang tenang, yah. Nggak apa-apa, kita semua akan jadi keluarga. Kamu hanya perlu membiasakan diri, yah." Umi Afra ikut menenangkan. Dan sepertinya berhasil, gadis bergingsul Itu sudah cukup tenang dan rileks.
"Afra? Nama kamu Afra, kan?"
Innalillah!
Jatung Afra kembali menggila setelah namanya di panggil pertama kali oleh lelaki bernama Ziran itu. Afra tersenyum kaku dan mengangguk menginyakan.
"Lebih lengkapnya, Afraza Humairah Addaud, kak Ziran."
Setelah dia menjawab, hening beberapa saat.
"Cantik. Seperti orangnya."
Tiga kata itu dari Ziran. Tidak ada nada menggoda dari sana, jujur dan apa adanya.
Ya, Rabbi! Dia sudah ingin melarikan diri dari situasi ini. Dia itu gadis normal, siapa saja bisa salah tingkah mendadak di perlakukan begitu oleh lelaki yang... Arrgg- sayangnya sangat tampan. Astagfirullah, tenang Afra, tenang! Kendalikan dirimu, kamu harus tahan ekspresi jangan sampai wajahmu merona lagi.
"Haha, kak Ziran juga sangat tampan, malah lebih tampan dari aku. Hehe..."
Ais, kacau! Afra baru tau mulutnya ini bisa bicara "ngaco" Kalau lagi grogi. Berginilah dia, malu tak tanggung-tanggung. Semua perempuan jelas-jelas cantik! memang ada yang tampan?
Semua orang sekarang menertawainya. Tak ketinggalan Ziran, lebih dulu menertawakan kebodohannya.
"Bismillahirrahmanirahim ... " Ziran mengucap Basmalah seperti akan memulai sesuatu.
"Baiklah, setelah melepaskan ketengagan tadi, sekarang bisakah kita semua serius?" Jeda beberapa detik. Tatapan tajam nan serius dari Ziran mengarah pada sosok Daud, Abi Afra.
"Aku Muhammad Ziran Algaza, ingin menyampaikan maksud niat baik aku sekeluarga datang kemari adalah untuk mengkhitbah putri Bapak. Dia adalah gadis di depan saya ini, Afraza Humairah Addaud."
Seketika ruang bernapas Afra semakin menipis. Semua karena perubahan kilat baik raut wajah juga tatapan hangat dari manik coklat terang milik lelaki bernama Ziran itu. Pengakuan langsung Ziran, membuat gadis itu terpaku menatap lurus ke dalam mata hangat itu.
Benarkan dia lelaki yang tadi? Yang membuatnya malu sampai merona itu? Kenapa sekarang dia berubah menjadi lelaki penuh wibawah dan mempesona di matanya saat ini? Yasalam, Jantungnya bergerilya aneh. Ada apa ini? kenapa dengan dirinya?
Tidak mungkin mitos "jatuh cinta pada pandangan pertama" Itu benar, kan?
-To Be Continue-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Radin Zakiyah Musbich
up up up.... 🎉🎉🎉
ijin promo thor 🍿🍿🍿
jgn lupa mampir di novelku dg judul "AMBIVALENSI LOVE",
kisah cinta beda agama 🍿🍿🍿
jgn lupa tinggalkan like and comment ya 🍿❤️❤️❤️
2020-10-16
0
Demons08
hae author,kenalin aghu Afra:v
2020-07-18
1
RatuKuyang 👻 ig @zariya_zaya
bgus bgt ka ceritanyaa q mssukin fV ya
2020-07-17
0