Masa depan adalah akhir dari masa lalu yang di ceritakan.
-
Seorang gadis nampak gelisah mondar-mandir dalam kamar miliknya, entah yang keberapa kali. Raut mukanya mencemaskan sesuatu hal yang beberapa jam lalu telah mengganggu ketenangannya. Sesekali dia berhenti dan menatap lurus ke arah cermin besar di depannya, tak lupa dua alis tebalnya bertaut nyaris bersentuhan. Lagi-lagi dia menghela nafas gusar sembari membasahi bibirnya yang pucat dengan mengingitnya.
"Ah,"
Dia terlihat sangat gugup.
"Afra?" Perhatiannya berpindah pada pintu kayu kamarnya yang ber-cat putih bersih, tepat di sampingnya. Itu Irana, uminya yang baru saja memanggilnya.
"Waduh, gawat!"
Ada yang aneh. Kenapa sekarang jantungnya malah senam aerobik? Baju gamis toskanya juga ikut basah karena berkeringat dingin sebab panggilan Uminya.
"Afra? Ini, Umi. Buka pintunya, nak." Irana mengetuk pintu anaknya beberapa kali namun, tidak ada jawaban dari dalam membuat Irana panik.
Baru saja Afra ingin loncat ke atas tempat tidur, berniat pura-pura tidur namun, kalah gesit dari ibunya yang sudah masuk ke dalam kamar.
Aduh, kenapa sampai lupa di kunci, sih! Dia mengeram kesal pada dirinya sendiri yang lupa mengunci pintu kamar.
"Astagfirullah, Afra. Kamu berani main-mainin Umi, ya? Mau pura-pura tidur lagi?"
Ketahuan!
Selama ini, tidur memang menjadi alasannya untuk menghindari sesuatu yang tidak di sukai. Sampai-sampai Irana sudah sangat hapal sifat buruk Afra yang satu itu.
Afra merubah gaya terjun bebasnya menjadi seperti harimau hendak memangsa, tambahkan juga cengiran tanpa dosanya.
"Hehe, Umi, nggak, kok. Afra cuman belajar akting, Umi. Ini sekarang lagi akting jadi kucing omnivora. Argrr ... Meow ... Meow ..." Afra cengengesan, gagal melancarkan siasatnya tadi.
Pikiran dan hatinya melakukan perdebatan hebat. Seperti satu iblis dan satu lagi malaikat tengah memperebutkannya untuk mengikuti salah satu ide mereka.
Satu sisi Otak jahatnya bilang, "Udah Afra, mending pura-pura sakit saja, tidak ada jalan lain. Memang kamu mau di jodohin?"
Dan Hati baiknya membalas, "Jangan di ajarin dosa dong, Otak! Udah Afra, ini memang yang terbaik untuk kamu, terima saja, yah."
Menggaruk alis, Afra malah semakin pusing mendengarnya.
"Ya, ampun nak, sampai keringatan gini. Huh, kamu gugup, yah? Tenang saja, ada Umi dan Abi di samping kamu, selalu ada untuk kamu. Umi juga kayak gini waktu di lamar Abi dulu, malah parahnya Umi sampai kabur karena gugup ketemu Abi kamu itu, loh."
Nah, Afra tadi juga niatnya gitu, Umi. Tapi karena jarak lantai dua dan tanah terbentang jauh ya, batal, deh. Batin Afra menggerutu.
Memang benar pepatah dulu mengatakan "Buah kelapa jatuh tak akan jauh dari pohonya." Itulah perumpamaan cocok untuk ibu dan anak ini, sama persis sifat dan jalan pikirnya.
Afra memberikan wajah senduh dengan ekspresi sedih yang di buat-buat. Afra mengira Irana akan luluh, tapi ternyata malah mendapat kekehan geli dari Uminya itu.
Afra merasakan tangan halus Irana mengusap-usap sayang puncuk kepalanya. Jilbabnya pun diperbaiki letaknya karena sedikit miring, tak lupa masukkan beberapa anak rambut Afra yang berhasil lolos dari sana. Kini Afra tersenyum pada Uminya yang tengah memperlakukannya seperti anak kecil lagi. Afra sayang, Umi.
Tapi Afra tidak melupakan tujuan utamanya. Dia harus mencari-cari alasan agar tidak jadi di lamar oleh orang yang tengah menunggu di ruang tamu keluarganya. Afra sama sekali belum pernah melihat orang itu.
"Umi, nanti saja ya, nikahnya. Kalau Afra sudah siap, pasti Afra nikah kok, tapi bukan sekarang ya, umi ... " Afra bermanja-manja dalam pelukan irana. Sesekali menggesekkan wajahnya di dada uminya seperti anak kucing. Irana balas memeluknya mengusap-usap lembut punggung anaknya, menenangkan.
"Afra, sayang. Taukan kalau jodoh itu sudah ada yang ngatur?" Pertanyaan Irana di balas anggukan dari Afra. Masih belum melepaskan pelukan manjanya, napas Afra terhela berat. " Ini takdir Allah, sudah saatnya kamu menikah, Nak."
"Tap ... "
"Afra masih ingat ucapan Umi waktu itu, tidak?" Irana belum mempersilahkan anaknya berbicara.
Afra pun memilih diam dan mendengarkan.
"Jika lelaki yang datang pertama itu adalah pemuda penuh tanggung jawab, berani, mapan, dan tentunya sholeh, nak. Kamu bisa melihat itu semua dari Abi kamu. Kalau kamu tanya mengapa? sebab dia datang meminang tau asal usul calonnya, tidak hanya asal memilih saja, Nak. Dia menginginkan istri sholihah, calon ibu yang baik, dan bidadari yang akan menemaninya di dunia hingga ke syurga nanti. Ingat, kan?"
Afra menarik diri dari pelukan, kemudian menatap Uminya masih dengan setengah semangatnya yang pergi. "Afra hanya takut, Umi. Bagaimana kalau dia terlalu mengekang? Afra tidak akan sebebas sekarang dan Afra belum siap untuk itu."
Itu pengaduan hati Afra yang sesungguhnya. Dia sama sekali tidak suka dikekang. Afra pecinta kebebasan hingga bisa hidup bersemangat. Dia sangat suka travel dan berpetualang. Itu hobi yang tidak bisa di bantah dan sulit pisahkan dari hidupnya.
"Umi tahu itu, nak. Siapa tau nak Ziran adalah orang yang pengertian, dia akan mengerti hobi kamu itu, atau bahkan dia bisa menjadi teman berpetualangmu nanti. Jadi umi dan abi tidak perlu lagi terlalu mencemaskan kamu yang setiap pergi menjelajah hanya bersama teman- teman kamu itu. Saat nanti nak Ziran menjadi suamimu, dia yang akan menjagamu dan menjadi pelindungmu, Sayang." Penjelasan Irana semakin memperburuk keadaan hatinya.
Afra mengusap sedikit kasar wajahnya yang telah memerah karena menahan sesuatu.
"Ah, umi ..., Itu masih 'Siapa Tahu' Belum pasti benar. Huaaa ... Hiks ... Hiks ..." Pecah sudah tangisan kesedihan Afra.
Dia sedih memikirkan nasibnya jika harus menyetujui lamaran itu. Bagaimana dia bisa berkeliling kota mencari tempat petualangan baru bersama teman-temannya, jika setiap keluar rumah saja harus izin pada suami. Astaga SUAMI? Memikirkannya saja sudah terbayang hobinya itu akan dikurung dalam angan-angannya saja.
"Hustt ... jangan sedih sayang. Iya mudah-mudahan dialah orang yang tepat. Sudah dong, jangan nangis anaknya Umi yang manis." Irana tau anaknya butuh pelampiasan perasaannya yang sedang kacau. Dia pun membiarkan Afra menangis hingga hatinya lebih tenang.
Setelah beberapa saat, Afra berhasil menghentikan tangisannya. Dia mulai menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap Uminya.
"Sudah enakan perasaannya, Sayang? Kita keluar sekarang, yah? Kasihan mereka sudah menunggu dari tadi ya, Sayang?"
Bahkan untuk bernapas pun rasanya sulit bagi Afra. jantungnya berdetak gila tak karuan, inilah saat paling menegangkan baginya selain mendaki gunung dengan jurang tebing di sampingnya.
Menutup mata dan menguatkan hati, Afra pun menjawab dengan suara rendah. "Bismillah, Umi."
Afra mendengar pekikan senang Irana yang langsung memeluknya semangat. Dia ikut tersenyum melihat tingkah uminya. "Ini baru anak, Umi!" Irana buru-buru melepas pelukanya seraya berkata lagi. "Anak Umi yang manis, mau yah, ganti pakaian dulu? Kan lucu kalau ketemu calon suami dan calon mertua bajunya keringatan gini? Yang cantik ya sayang, Umi tunggu di depan kamar, oke?"
Kini Afra mendesah kesal. Sudah bagus kan, dia mau menurut keluar kamar dan bertemu keluarga pelamar itu. Ini malah masih di suruh ganti pakaian dulu sama Uminya. Ah, sudahlah. Untuk menyelesaikan drama ini, Afra mengangguk pasrah menyetujui.
Irana semakin tersenyum lebar dan mencelos keluar dari kamar anaknya.
Sekali lagi Afra memastikan tampilan dirinya di depan cermin kamarnya. Suasana hati yang buruk sama dengan Pakaian yang dia pakai. Baju terusan panjang biru nafi serta jilbab serupa adalah pilihan hatinya. Rasanya ada awan gelap yang mengelilingi dirinya, merasakan tanda-tanda akan turunnya hujan. Afra mengambil napas panjang kemudian membuka pintu menemui Uminya.
Ceklek ...
Irana memperhatikan penampilan Afra dari bawah sampai atas.
"Subhanallah, anak Umi cantik sekali, sih. Umi rasanya makin tambah tua deh, dekat-dekat sama anak Umi. Pinter banget sih, pilih bajunya. Serasi sekali dengan wajah manisnya itu, loh."
Ah, uminya selalu memuji berlebihan. Padahal dia pilih baju ini untuk menggambarkan suasana hatinya yang kacau.
Umi tidak peka!
Afra cukup menyengir saja untuk menjawab pujian itu. Jika di ladeni akan semakin panjang ceritanya dan dia tetap kalah kalau berdebat.
"Ayo sayang kita cepetan turunnya. Umi tak sabar lihat muka mereka semua menatap putri cantik Umi Irana ini. Pasti mereka terkagum-kagum, deh sama kamu. Sini sayang, pegang tangan Umi."
Tangan Afra langsung diapit Irana dan di bawa untuk turun tangga. Saking semangatnya Irana berjalan tidak sabaran, seperti mengejar sesuatu. Afra menggelengkan kepala melihat tingkah Uminya yang kelewat bersemangat itu, beda sekali dengannya yang berwajah lesu.
Afra pelan-pelan memelankan langkahnya turut menarik lembut tangan Uminya agar berhenti sejenak.
"Umi .... Pelan-pelan saja, ya? Afra bisa mati muda kalau gini jalannya. Nanti Afra gak jadi nikah, loh, Umi." Dia menegur Uminya dengan suara yang di buat sehalus mungkin. Senang rasanya melihat Uminya sebahagia ini. Baiklah, telah di putuskan. Dia akan lakukan apapun itu untuk membuat wanita yang melahirkannya ini bahagia, meski jaminannya adalah kebebasannya.
"Hehe, maaf Sayang, maafin Umi. Umi suka lupa kalau lagi senang banget. Aduh, kok bisa ceroboh gini, ya. Maafin ya sayangnya, Umi. Ya sudah, kita jalannya pelan-pelan saja."
Afra tertawa geli melihat wajah pucat itu. Aduh, uminya selalu saja seperti ini, lupa dengan umurnya yang tidak muda lagi.
Mereka kembali berjalan di tangga, kali ini lebih pelan dan penuh kehati-hatian. Saat masih lima anak tangga dari bawah, dia sudah bisa melihat jelas tiga orang asing duduk di sofa ruang tamu depan Abinya. Sudah di tebak, itulah keluarga yang melamarnya. Sejak tadi pula, kedatangan dirinya dan Uminya telah menjadi sorotan di ruang tamu itu. Gugup! Arfa menangkap tatapan mata sehangat mentari pagi dengan senyum menawan itu. Satu detik, dua detik, sampai lima detik mereka masih tak melepaskan tumbukan tatapan itu.
Allahu Akbar!
"Astagfirullah, Umi ... " Dia berbalik menyembunyikan wajahnya di pundak uminya karena malu. Terdengar tawaan kecil keluar dari mulut Irana melihat tingkah putrinya yang terang-terangan menatap calon menantunya tanpa berkedib. "Umi, kok dia ganteng banget, sih. Afra sampai khilaf karena zina mata nih, Umi." Suara Afra hanya menyerupai bisikan agar tidak di dengar orang lain.
"Kan anak Umi cantik, calonnya juga harus tampan, dong. Haha, kok anak Umi jadi salah tingkah gini, sih?" Afra semakin malu di goda Uminya. Bagaimana keadaan wajahnya sekarang? Baik-baik saja, kah? Huh, pasti sudah merah seperti udang rebus buatan Uminya.
"Hais, Umi Ini, senangnya menggoda Anaknya. Liat tuh, anak kamu malu nggak mau nunjukin wajahnya." Itu suara Daud, Abi dari Afra.
Telinga Afra ikut bereaksi menjadi kepanasan mendengar banyak kekehan geli untuknya. Itu bukan hanya dari Umi dan Abinya saja, pasti satu keluarga itu ikut menertawainya juga. Ya, ampun! Panas! panas! Dia butuh es batu untuk mendinginkan wajahnya.
"Nak, sini duduk dekat, Abi." Wajah merah itu perlahan di angkat dari bahu Irana. Menatap tidak enak hati seraya menunduk sopan pada orang-orang di depannya. Dia berjalan dan duduk di tengah-tengah antar Abi dan Uminya.
"Perkenalkan, nak, ini keluarga pak Algaza. Beliau itu yang duduk di depan Abi sekarang. Di ujung sana beliau bernama Mara, istri dari pak Al. Dan di tengah itu anak mereka, namanya Muhammad Ziran Algaza, calon suami kamu."
Deg ...
Afra langsung menatap lantai setelah tak sengaja kembali bersitatap dengan lelaki itu, Ziran. Dia mengingit bibir, gugup dengan situasi sekarang. Lupakan yang itu! Kenapa dia malah bersikap tidak sopan begini di depan calonnya. Sedikit mengambil napas, dia beranikan diri menatap satu persatu orang tua Ziran dengan tersenyum sebisanya.
"Assalamualaikum, tante, Om dan ... " Dan siapa? Harus panggil apa? "Kakak!"
"Haha ..., tidak perlu canggung begitu, Nak. Kami tidak akan memakanmu, Sayang. Dan oh iya, panggil saya dan suami saya, Mama dan Papa saja, oke?" Elmara, ibu dari Ziran angkat bicara melihat calon menantunya seperti ketakutan pada mereka.
Algaza, yang tak lain suami Elmara, juga tersenyum menenangkan gadis manis di depannya. "Jangan takut, Nak."
"I, iya Tan ... Eh, Mama, Papa." Gematar! Dia tidak bisa mengendalikan diri untuk terlihat biasa saja di depan tiga orang ini. Dan mengapa lelaki itu terus menatapnya? Dia cukup risih dan tidak nyaman, pergerakannya juga jadi terbatas.
"Sayang, yang tenang, yah. Nggak apa-apa, kita semua akan jadi keluarga. Kamu hanya perlu membiasakan diri, yah." Umi Afra ikut menenangkan. Dan sepertinya berhasil, gadis bergingsul Itu sudah cukup tenang dan rileks.
"Afra? Nama kamu Afra, kan?"
Innalillah!
Jatung Afra kembali menggila setelah namanya di panggil pertama kali oleh lelaki bernama Ziran itu. Afra tersenyum kaku dan mengangguk menginyakan.
"Lebih lengkapnya, Afraza Humairah Addaud, kak Ziran."
Setelah dia menjawab, hening beberapa saat.
"Cantik. Seperti orangnya."
Tiga kata itu dari Ziran. Tidak ada nada menggoda dari sana, jujur dan apa adanya.
Ya, Rabbi! Dia sudah ingin melarikan diri dari situasi ini. Dia itu gadis normal, siapa saja bisa salah tingkah mendadak di perlakukan begitu oleh lelaki yang... Arrgg- sayangnya sangat tampan. Astagfirullah, tenang Afra, tenang! Kendalikan dirimu, kamu harus tahan ekspresi jangan sampai wajahmu merona lagi.
"Haha, kak Ziran juga sangat tampan, malah lebih tampan dari aku. Hehe..."
Ais, kacau! Afra baru tau mulutnya ini bisa bicara "ngaco" Kalau lagi grogi. Berginilah dia, malu tak tanggung-tanggung. Semua perempuan jelas-jelas cantik! memang ada yang tampan?
Semua orang sekarang menertawainya. Tak ketinggalan Ziran, lebih dulu menertawakan kebodohannya.
"Bismillahirrahmanirahim ... " Ziran mengucap Basmalah seperti akan memulai sesuatu.
"Baiklah, setelah melepaskan ketengagan tadi, sekarang bisakah kita semua serius?" Jeda beberapa detik. Tatapan tajam nan serius dari Ziran mengarah pada sosok Daud, Abi Afra.
"Aku Muhammad Ziran Algaza, ingin menyampaikan maksud niat baik aku sekeluarga datang kemari adalah untuk mengkhitbah putri Bapak. Dia adalah gadis di depan saya ini, Afraza Humairah Addaud."
Seketika ruang bernapas Afra semakin menipis. Semua karena perubahan kilat baik raut wajah juga tatapan hangat dari manik coklat terang milik lelaki bernama Ziran itu. Pengakuan langsung Ziran, membuat gadis itu terpaku menatap lurus ke dalam mata hangat itu.
Benarkan dia lelaki yang tadi? Yang membuatnya malu sampai merona itu? Kenapa sekarang dia berubah menjadi lelaki penuh wibawah dan mempesona di matanya saat ini? Yasalam, Jantungnya bergerilya aneh. Ada apa ini? kenapa dengan dirinya?
Tidak mungkin mitos "jatuh cinta pada pandangan pertama" Itu benar, kan?
-To Be Continue-
Itukah persyaratan untuk mencintaimu? Jika memang itu caranya, akan ku kabulkan hanya untukmu! -ilewaing-
•••
"Nak? Bagaimana?"
Afra tersentak kaget karena usapan ringan Abinya pada bahu kanannya. Daud menatap putrinya meminta jawaban, tapi tidak ada satu katapun yang Afra ucapakan sebagai jawaban atas lamaran itu.
Ziran menatap lamat-lamat pada Afra. Dia tau, hal seperti ini tidak mudah di putuskan begitu saja. Menikah itu soal masa depan dan menyatukan dua manusia bukan hal yang main-main. Sulit! Siapa saja tidak mampu beradabtasi cepat setelah statusnya berubah. Prosesnya sangat panjang sehingga keseimbangan antara dua pasangan bisa stabil.
"Semua terserah padamu saja, Abi akan tetap mendukung. Tapi Abi sarankan, pikirkan baik-baik hal ini, nak. Kamu pasti tidak mau menyesalkan di akhir, kan?" Perkataan Abi membuat perasaan gadis itu semakin lesu. Pikiran dan hatinya berkecamuk memperdebatkan pilihan apa yang harus dia pilih. Dia butuh waktu berpikir!
Ziran adalah laki-laki yang baik. Dia bisa merasakan itu dari aura hangat dan bersahabat darinya. Sering terseyum membuat mata hangat itu menyipit dengan lesung di pipi kirinya semakin nampak, dan juga semakin tampan. Yang paling dia sukai adalah manik coklat terang itu, hangat dan menenangkan dipandang. Kulitnya tidak seputih orang korea, warna kulitnya sangat khas orang indonesia sawo matang. Afra mengira tingginya sekitar 180 cm atau mungkin bisa lebih lagi, di bandingkan dengan Afra yang hanya memiliki tinggi 160 cm yah, cukup ideal. Bentuk tumbuhnya ... ah, sudahlah Afra tidak mau berpikir terlalu jauh lebih dalam, intinya tubuh itu terlihat profesional.
Afra kembali diam. Semua orang menunggu, harap-harap cemas. Terutama Ziran, berada di posisinya tidak bisa di katakan baik. Wajahnya tegang namun dia berusaha tetap tenang, menanti kata "Iya, aku mau" Dan menyiapkan diri untuk jawaban "maaf, aku tidak bisa." dari Arfa, gadis yang dia lamar beberapa waktu lalu. Setiap lelaki pasti punya kegugupan, apalagi di hadapkan untuk meminta seorang gadis pada orang tuanya itu bukan hal mudah! Butuh keberanian dan mental baja. Syukur kalau lamaran itu di terima, tapi jika di tolak? Entah, bagaimana kabar hati lelaki?
"Bismillah. Aku menerima lamaran ini." Perkataan menyakinkan dari Afra membuat semua orang terkena serangan jantung. Mereka menatap antara takjub dan tidak percaya. Hasil dari kesabaran menunggu berbuah manis.
"Alhamdulillah." Syukur mereka semua.
Terlihat Ziran tengah bernapas lega dan sangat bersyukur. Dia di terima! Nikmat tuhan mana lagi yang dia dustakan!
Semua turut tersenyum penuh suka cita. Irana, saking senangnya memeluk putri kesayangnya lalu berbisik pelan. "Umi bahagia sekali, sayang. Semoga kamu juga selalu bahagia. Umi percaya dialah orang yang tepat untukmu, nak."
"Aminn, Umi." Rasanya tak rela melepaskan sesuatu yang telah lama kita miliki. Itulah orang tuanya. Namun Afra tak mau egois demi mempertahankan kebebasanya, orang tuanya yang berkorban. Dia sudah banyak menyusahkan dari lahir, sekarang waktunya balas budi. Uminya juga terlihat sangat menyukai Calon menantunya. Dia percaya "pilihan orang tua tak pernah salah"
Afra megalihkan atensi pada calon suaminya, Ziran.
"Tapi ... " Jeda yang cukup pajang membuat semua mata memandang was-was pada Afra. kesenangan yang baru tercipta beberapa detik lalu harus di renggut paksa moment ini. Tampak semuanya tengang, menduga-duga apa yang akan gadis itu katakan?
"Aku punya permintaan pada kak, Ziran. Apa kakak mau memenuhinya?"
Afra menatap Ziran, pemilik manik coklat sehangat mentari pagi. Sejak awal dia sudah terpesona dalam kelembutan mata itu, begitu nyaman dipandang. Lagi-lagi dia harus mengendalikan diri membuyarkan lamunannya mengagumi mata indah itu.
"Katakan! Aku tak mungkin pulang dengan tangan kosong, Humairah." Ucap Ziran menatap lurus ke arah mata Afra.
Afra tau ini gila, tapi untuk mengetahui seberapa besar kesungguhan lelaki di depannya, dia harus mengujinya. Dia mengambil langkah ini setelah beberapa kali pertimbangan dalam otaknya. "Baiklah kalau begitu."
"Aku tidak minta banyak, cukup 2 permintaan. Pertama aku mau surah An-Nisa sebagai mahar pernikahan. Dan yang kedua, hapalan 30 juz Al-Quran setelah kita menikah. Itu saja, apa kakak sanggup?"
Afra melihat jelas senyum rupawan Ziran yang menatapnya intens beberapa saat. Dan perkataan mantap Ziran menjawab semuanya, membuat kini dia telah sah menjadi menyandang status "Calon Istrinya."
Orang tua sepasang manusia itu sedari tadi menyimak, tentu saja sangat terkejut dengan pengajuan syarat gadis itu. Dan tak kalah terkagumnya mendengar jawaban sang lelaki.
"InsyaAllah, aku sanggup. Aku juga sudah memutuskan waktu dan tanggal pernikahan kita, tepatnya satu bulan lagi. Dua hari sebelum pernikahan, aku akan datang membawa hapalan surah An-Nisa dan ku dengarkan untukmu."
Perkataan mantap dan penuh kewibaaan itu membawa ketenangan tersendiri bagi Afra. Benar kata Uminya, lelaki ini sangat pemberani. Ziran bahkan tidak berpikir lama atau satu menit pun tak cukup menjawabnya penuh keyakinan bahwa dia bisa. Jangan-jangan Ziran adalah seorang Hafiz Quran? Dan jangan-jangan dia telah hapal 30 juz Alquran itu? Bisa jadi, kan? Ah, tapi itu sudah tidak penting. Rasanya permintaannya tidak salah, jika benar dugaannya bukankah berarti calon suaminya itu orang yang Sholeh?
"Alhamdulillah, aku akan sangat menantikan itu."
Masih ada rasa sedih pada batinnya mengenai Hobinya yang akan terancam hilang itu. Tapi semua ini di lakukan untuk kebahagian orang tuanya, terutama untuk Uminya, Irana. "Dan satu bulan lagi. I must say goodbye for my freedom," Lirihnya sangat-sangat pelan, mungkin hanya berupa gerakan bibir.
"Hais, ternyata Kak Afa di sini? Tadi Rian cariin di kamar loh, mau pinjam hp buat main Game gak ada. Hmp ... " Celoteh panjang anak umur 6 tahun tiba di ruang tamu dengan wajah super kesalnya. Bibirnya mengerucut dengan Kedua kakinya di sentak ke lantai. Anak itu bersedekap tangan di dada langsung memalingkan wajahnya ke kiri dengan muka di tekuk, merajuk.
Afra langsung bangkit dari duduknya dan berjalan cepat ke arah anak itu dengan tawa gelinya. Namanya Arian, adik kecilnya yang lucu dan sangat suka merajuk. Umi dan Abinya memperhatikan juga ikut terkekeh kecil. Sedangkan Ziran dan keluarganya memperhatikan serius drama yang anak kecil itu perbuat.
"Hehe, Rian ngambek lagi sama kak Afa, nih ceritanya?" Cubitan pelan di daratkan Afra di hidung mungil Rian, juga mencubit pipi cabi anak itu yang memerah karena kesal. Anak ini mulai lagi manjanya. Rian suka sekali di bujuk oleh Afra kalau sedang kesal seperti sekarang.
"Ya, Kakak sih di cariin gak ada. Rian kira kakak kemana? Kan, janjinya kak Afa hari ini bolehin Rian main game kalau sudah tidur siang." Rian kembali berceloteh panjang, membuatnya mendapat tambahan cubitan gemas dari Umi.
"Arian. Tadi Umi pinjam sebentar kakaknya, jadi bukan salah Kak Afa. Gak Apa-apa kan sayang?" Rian langsung merubah ekspresi kesalnya menjadi tersenyum lebar.
"Hehe, gak pa-pa kok Umi. Rian cuman kesal sedikit sama Kak Afa." Jawabnya lucu.
"Sedikit? Jadi masih marah, nih sama kakak? Yaudah, jatah main game Rian kakak batalkan saja." Afra balik pura-pura merajuk. Mata Rian membulat mendengat ancaman Kakaknya menjadi takut
"Eh, jangan dong, kak. Iya deh, gak ngambek lagi asal jatah main game Rian jangan di cabut ya, kak." Diam-diam Ziran tersenyum melihat interaksi kakak beradik itu. Apalagi saat melihat ekspesi Afra pura-pura marah pada adiknya, sangat manis. "Please..." Rian memohon dengan cepat mencium dua pipi Afra. Afra tersenyum penuh kemenangan. Rian hanya suka bermanja dan merajuk pada kakaknya itu. Umi dan Abinya tidak heran sama sekali Karena sedari kecinya Rian, Afra yang paling banyak mengurusinya.
"Oke. Tapi Rian harus nurut sama kakak, yah? Setelah urusan kakak selesai Rian boleh deh, main game. " Rian bersorak senang penuh semangat, mengangguk patuh.
"Yaudah kita semua duduk dekat Abi, yuk! Umi mau kenalin kakak baru sama kamu, Rian. Ayo, nak."
Semua heboh saat melihat Rian sangat cepat akrab dengan Ziran. Apalagi saat Rian mengajak Ziran "Mabar" FreeFire. Betapa lucunya wajah Rian mengetahui Ziran sangat Pro memainkan Game itu dan sudah mencapai Rank paling tinggi yaitu Grand Master. Mereka seperti saudara kembar. Lihat betapa hangatnya Ziran memperlakukan Rian. Afra sempat berpikir jauh, bagaimana mereka setelah menikah nanti? Setelah memiliki anak, Ziran pasti juga berlaku sedemikian rupa pada anak mereka, seperti yang dia lakukan pada Rian. Dia membayangkan keluarga kecil sederhana dan bahagia.
Astagfurullah ... Afra jangan terlalu berpikir jauh!
"Afra? Boleh aku meminta satu hal padamu?" Lamunannya buyar seketika saat mendengar suara Ziran yang bertanya padanya. Dia mengangkat pandangan kepada Ziran yang tengah memangku Rian dengan nyaman.
Terlihat Rian yang tengah asik memainkan ponsel Ziran yang baru di pinjamkannya.
"Iya, kak. Apa itu?" Rasanya tidak adil jika menolak. Dia sudah memberi 2 permintaan dan semuanya di sanggupi tanpa beban oleh Ziran. Dan ini hanya satu. Dia tidak boleh egois!
Semua orang menunggu hal yang ingin Ziran minta pada Afra, kecuali Rian. Anak itu terlalu fokus pada game di ponsel. Afra kembali fokus pada Ziran.
"Mari bertunangan! Sekarang, di hari ini!"
Afra melotot kaget, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ya Rabb, kenapa secepat ini? Jatungnya tidak bisa di kondisikan, debarannya terlalu liar untuk bisa ditenangkan. Dia ... Dia ... Rasa ingin mati!
"Aku ..."
"Harus mau, Afra. aku memaksa."
-To Be Continue-
Aku bukan lelaki hebat dan tak pantas dibandingkan oleh siapapun, namun izinkan aku berusaha agar pantas di sisimu! -Ilewaing-
•••
Sebentar lagi matahari akan tepat berada di atas kepala. Terik dan silaunya sang raja panas itu, membuat siapa saja memilih mencari tempat teduh untuk berlindung. Namun tidak untuk satu orang gadis, dia memilih bermandi keringat karena ingin menyelesaikan belanjanya sebelum Azan Zuhur berbunyi.
Yah, dia adalah Afraza Humairah. Memilih belanja di pasar tradisional terbuka karena menjadi kebiasaannya sejak dulu dibanding Berbelanja di swalayan atau pasar modern lainnya. Sudah setengah jam dia berkeliling namun masih belum mendapatkan yang dia cari. Jika yang dia cari tidak ada di sini, terpaksa dia harus ke Mol untuk mencari barang itu, masalahnya dia sudah berjanji akan memberinya hari ini pada seseorang. Afra hampir berjingkrak senang melihat barang itu tertangkap mata lincahnya. Itu dia! Dengan cepat dia berjalan ke arah objek itu.
"Assalamualaikum, Mas. Boneka beruangnya masih ada satu lagi, nggak? Yang coklat itu, Mas. Saya butuh sepasang." Lagi-lagi Afra harus menelan kecewa saat Mas penjual itu mengatakan boneka beruang itu hanya tinggal satu. Hais, ceritanya dia harus ke mol mencarinya kalau begini. Dia mulai beranjak untuk berbalik pergi.
"Neng! Neng yang pake jilbab pink! Sini neng, masih ada nih sepasang bonekanya." Afra yang belum jauh melangkah, berhenti sejenak setelah mendengar Mas penjual boneka itu berteriak memanggilnya. Buru-buru dia berlari kecil kembali ke tenda coklat itu dengan senyum bahagianya.
"Alhamdulillah. Ada ya, Mas?"
"Ada neng, tapi bukan warna coklat tinggal yang biru adanya. Gimana?" Afra tidak memusingkan warna bonekanya yang penting, boneka itu bentuk beruang! dia dengan cepat mengangguk berminat.
"Gak masalah. Saya beli itu, yah."
"Hati saya neng yang di beli?" Mas itu menunjuk dadanya.
"Ih, Mas! Bonekanya, lah!"
Mas penggombal!
Orang itu tertawa karena berhasil menggodanya. Setelahnya, Mas-nya langsung membungkus boneka beruang ukuran sedang itu menjadi dua kantung atas permintaannya. Dia pikir, biar lebih mudah langsung memberinya nanti. Setelah membayar, dia berterima kasih kemudian pergi dari sana.
Dia melihat jam tangan di pergelangan kanannya. Benapas lega, karena masih ada waktu sekitar 25 menit sebelum Zuhur. Dia memutuskan Mampir di kedainya dulu sekalian sholat di sana sebelum berangkat lagi ke tujuan utamanya.
***
Kaki gadis itu menepak di tanah setelah membuka pintu Taksi. Turun dari mobil menenteng belanjaanya masuk ke dalam kedai yang bertuliskan "MOCOCOLA" sebagai namanya.
"Assalamualaikum, siang kak Afa." Sapa Zeila gadis berkuncir kuda dengan senyuman manisnya. Zeila adalah salah satu penjaga kedai kepercayaannya dan masih ada dua orang lainnya. Dia hanya datang saat ada keperluan atau mengusir rasa bosannya dengan meminum coklat Mococola dingin kesukaannya.
"Waalaikumsalam, Zela. Yuna sama Zaka di mana?" Matanya melirik sekitar, berjalan menuju meja di kasir menaruh barang belanjaannya di atasnya. Zela mengikut dari belakang.
"Oh, mereka ada di dapur kak, lagi nyuci. Tadi lagi banyak pelanggan datang, biasa tanggal muda, kak." Afra tertawa kecil melihat wajah Zela yang cengar-cengir bahagia.
"Alhamdulillah. Lah, kamu kenapa senyam-senyum gitu? Aneh aku liatnya." Afra bertanya dengan langkah kecil pergi ke dapur belakang ingin menyapa dua pegawainya itu, Zela mengikuti.
"Kakak ada teman yang namanya Ziran tidak?Orangnya gaaaanteeng banget! Tadi dia nyariin kakak ke sini, aku bilang gak ada. Jadinya, dia minta nomor kakak, deh."
Langkah Afra tertahan di pintu dapur, belum membukanya. Benarkah Ziran kemari? "Kamu kasih?" Tanyanya penasaran.
"Iya kak, soalnya dia maksa, sih. Maaf ya kak." Pendengar Afra menajam. "Maksa? Ziran bisa maksa orang, yah? Astagfurullah, lupa. Kemarin waktu tunangan kan, Ziran maksa supaya aku terima." Dan sedikit demi sedikit dia mulai tau sifat asli Ziran, hangat namun pemaksa.
Afra memang melarang siapapun memberikan nomor ponselnya ke orang lain. Tapi sekarang, Ziran bukanlah sembarang orang. Status mereka sebentar lagi berubah menjadi suami istri? Ah, kenapa harus minta sama orang lain, sih? Dia kan ada. Waktu ngelamar kemarin kenapa tidak minta? Oh, atau mungkin, mereka sama-sama lupa? Bisa jadi juga.
"Kak? Gak pa-pa, kan?" Suara Zela cemas, menghawatirkan soal nomor ponsel Afra yang di berikan pada Ziran.
"Eh, udah gak masalah. Tapi jangan diulang lagi, yah!" Untung orang itu adalah, Ziran. Dia tidak suka memberikan nomornya ke orang yang tidak di kenal, selain tidak penting dia paling malas melayani orang yang mau sok kenal dengannya.
Pikirannya kembali melayang pada dua hari yang lalu, saat dirinya dilamar Ziran sekaligus mereka resmi bertunangan. Yah, Cincin di tangannya menjadi bukti. Perutnya tergelitik geli mengingat kata-kata lelaki itu saat dirinya hendak protes meminta waktu beberapa hari untuk bertunangan, tapi Ziran malah berkata. "Harus tunangan sekarang, takutnya diambil orang." Afra sedikit tahu, Ziran cukup konyol untuk masalah seperti itu.
"Afa? Dari tadi? Kok, gak kabarin kalau mau kesini?" Seketika sosok Zaka, pegaiwainya itu terkaget melihat dirinya mematung di pintu dapur saat dia membukanya. Yuna yang mendengar keributan kecil juga ikut mencari tahu.
"Astagfirullah, neng Afa. Baru kesini, lama banget? Kedai rasanya sepi gak ada neng tau." Suara Yuna tiba-tiba menghentikan Afra akan menjawab pertanyaan Zaka.
Seketika meja dapur menjadi bising karena mereka berbincang banyak di temani minuman Mococala coklat dingin kesukaan Afra yang baru di buatkan Zaka khusus untuknya. dan Afra hampir lupa tujuannya kemari hanya untuk Shalat, dia harus pergi setelahnya.
"Aku ke ruang kerja, mau sholat. Maaf gak bisa lama di sini, habis ini mau berangkat lagi soalnya." Afra berdiri dan menatap ketiga pegawainya. Anggukan dan jawaban ketiga orang di depannya, membuatnya bergegas ke ruang kerja.
Setelah selesai melaksanakan sholat dia bergegas keluar dari ruangan kerjannya menuju meja kasir tempat dia meletakkan belanjaannya tadi. Ketiga pegawainya kembali sibuk melayani pengunjung kedai yang cukup padat hari ini. Susah berpamitan pada ketiga pegaiwainya, dia mencari kertas dan menulikan kata,
"Maaf gak sempat pamit ke kalian, soalnya semua sibuk. Aku pergi, assalamualaikum."
Tidak ingin menanggu lama. Dia segera berjalan ke pintu keluar kedai, tapi tertahan melihat sosok yang baru saja masuk membuatnya mati kutu di tempat. Sosok itu tersenyum cerah mengalahkan matahari panas di luar yang sangat menyilaukan mata.
"Kak Ziran? Nga-ngapain di sini?" Cukup gugup bertemu langsung seperti ini. Tangannya meremas kantung boneka, mencoba tersenyum meski kaku.
"Nyariin kamu." Ziran tersenyum semakin lebar. "Akhirnya dapat. Tadi aku telfon, nomor kamu gak aktif."
Afra baru saja ingin membalas. Tapi suara pekikan dari dalam kedai membuatnya menoleh ke samping. Sosok cewek berambut lurus terus menatap ke arah Ziran penuh minat. Huh, ternyata pesona lelaki itu tidak bisa di bantah. Bukan hanya satu gadis, hampir semua gadis dalam kedai seperti itu.
Buru-buru Afra menatap serius Ziran yang tidak bergeming untuk menurunkan kadar kemanisan senyumannya. Sepertinya, dia tidak sadar di perhatikan banyak gadis, tatapan hangatnya hanya lurus teruntuk Afra.
"Ayo keluar. Dan, yah. Bisakah kak Ziran tidak tersenyum begitu? Gak liat kakak jadi pusat perhatian banyak gadis di sini?" Oh tidak! nada suara Afra sedikit ketus mengatakan itu.
Wajah tampan itu berubah total menatap ekspresi gadis di depannya yang terlihat seperti sedang CEMBURU?
Seketika senyum manis Ziran menjadi senyum mengoda. "Apa kamu ... Cemburu?"
Mata Afra melotot dan seketika berubah datar. Oh ayolah, tadi dia hanya refleks! "Tidak!"
Afra menerobos keluar kedai dengan pikiran kacau! Memalukan! Astaga mukanya pasti merah. Kenapa dia bisa bertingkah begitu? Dia belum menjadi bagian berarti di kehidupan Ziran tapi kenapa dia susah memiliki rasa itu? Cemburu? Astagfirullah, otaknya harus di cuci agar suci kembali.
Beristigfar beberapa kali baru membuat hatinya sedikit lebih tenang. Memejamkan mata sejenak, dia bersardar pada pohon mangga tidak jauh dari kedainya.
"Aku antar, kamu mau kemana?" Langsung bangkit dari sandaran, dia menatap horor ke orang yang membuatnya jantungan mendengar suaranya.
"Hum ... Gak usah kak, aku naik taksi saja."
"Tidak. Aku yang akan mengantar. Ayo!" Belanjaanya di ambil paksa dari tangan Afra, membawanya menuju mobil hitam di depan sana.
Afra mengejar dan menarik kantong di tangan kanan Ziran. " Balikin, Kak. Aku bisa pergi sendiri." Tatapan hangat itu lenyap dan berganti tajam.
"Tidak."
"Balikin gak kak, aku teriak nih?"
"Silahkan."
"Please kak, balikin. Serius aku bisa pergi sendiri."
"Tidak tetap tidak, Afra."
"Kak ... "
"Aku memaksa. Titik!"
Perdebatan berujung pada kemenangan Ziran. Sekarang mereka ada dalam mobil milik lelaki itu, berangkat ke tempat tujuan Afra. Jangan tanya bagaimana kesalnya Afra. Wajahnya memarah dan muka di tekuk muram. Apalagi saat mendengar tawa kemenangan Ziran di sampingnya, seperti ada asap panas meluap-luap di kepala. Afra yang tidak suka di paksa dan Ziran yang hobi memaksa!
Sifat keduanya adalah paket comlited limited edition.
"Masih kesal sama aku?"
"Sedikit." Cuek nadanya menjawab. Afra memilih menyibukkan diri dengan ponsel miliknya.
Tring ting
Nada notifikasi ponsel Afra, pertanda ada pesan yang masuk di app Whatsapp-nya. Dari Abika, salah satu teman SMA-nya sampai sekarang. Mereka memiliki hobi yang sama, suka Travel dan Berpetualang.
"Km ada di mana, Fra? Blh ketemu?"
Suasana hatinya sedikit membaik menerima pesan dari, Bika. Dia tersenyum kecil dan mulai mengetik balasan.
"Di manapun hatiku senang. Boleh, tpi tidak hari ini."
Dia tersenyum kecil membaca pesanya yang telah di baca oleh lawan chatnya.
"Serius??? Boleh, dong aku dtng bertamu di hatimu? Oke, besok kita ketemu di tempat biasa ^_^"
Selalu saja menggombal. Afra selalu jengah ketika Bika menjadi cowok agresif lagi, senyumnya kembali hilang.
"Oke!"
Dia putuskan mengakhiri pesan itu dengan singkat dan jelas.
"Pacar kamu?"
"Astaga Ular Naga! Ih, kak Ziran! Ngagetin aja! Kepo!."
Dia mendapati Ziran ada dekat dengan jaraknya, mobilnya sudah terparkir di pinggir jalan dan Afra tidak sadar. Ziran menguntik isi pesannya tadi dengan Bika. Apa orang ini tidak tau yang namanya, PRIVASI!
"Oh, jadi benar pacar kamu. Putusin gih, calon suami kamu cemburu." Tak ada beban lelaki itu berkata seperti itu. Tapi dampaknya ke Afra, mukanya seketika bersemu merah.
"Apasih, ayo kak cepat jalanin mobilnya." Afra memalingkan wajah ke arah samping, menatap jalanan di depannya. Afra tidak mendengar jawaban dari samping dan tidak mau juga berbalik melihat. Hanya mobil mereka telah kembali melaju sedang di jalan.
"Marah, yah?"
"Sedikit."
Hais, satu lagi sifat menyebalkan seorang Ziran Algaza, suka mengocopy ucapannya. Dia tidak membalas lagi, nanti makin panjang ceritanya, afra menatap jalan saja. Percakapan terahir mereka hanya begini.
"Arah mana?"
"Di perempatan nanti, belok kiri."
Kemudian,
Hening
Afra melirik sesekali pada Ziran kemudian menatap jalan lagi. Begitu terus sampai Afra pasrah bertingkah seperti anak kecil begini. Sejak dia tidak menjelaskan sebenarnya siapa Bika itu padanya? Ziran memilih menutup dua telinganya dengan Headset hitamnya. Ziran lebih asik komat-kamit tanpa suara mengikuti apa yang terdengar di headset itu.
Berani, dia mencabut salah satu headset di telinga Ziran dan mendengarkannya.
Subhanallah ...
Ingin rasanya dia menangis sedih karena tersentuh. Lelaki itu sedang asik mendengarkan murotal Alquran surah An-Nisa, mengikutinya dengan gerakan bibir. Pelan-pelan, Lelaki itu berbalik menatapnya dengan senyuman hangat yang di sukainya karena sangat menawan.
"Aku bermimpi, suatu hari nanti kau akan tersentuh melihat perjuanganku untukmu. Aku ... Bukanlah lelaki yang sempurna. Aku bahkan tidak paham agama apalagi sering mendengarkan Alquran. Tapi Allah mempertemukanku denganmu. Lewat kamu, aku berjuang keras untuk menjadi imam terbaik dunia dan akhiratmu. Kamu maukan menunggu saat hari itu tiba?"
Entah kapan air matanya meleleh seperti larva panas. "Ya Allah, apakah ini jodoh terbaik yang engkau janjikan untukku? Jika ia, aku sangat mensyukurinya. Lelaki yang berjuang untuk mendapatkannya dengan banyak pengorbanan, dialah Muhammad Ziran Algaza. Calon Suaminya."
"Aku menunggu, maka datanglah." Pilihan menikah dengan Ziran untuk masa depannya, pasti sudah benar.
-To Be Continue-
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!