°°°
Pulang dari kantor Mia langsung menuju apartemennya yang sekarang menjadi tempat tinggalnya beserta ibu dan satu adiknya yang masih kuliah.
Sudah Lima tahun Mia dan keluarga tinggal di sana. Setelah sebelumnya tinggal dengan berpindah-pindah tempat agar tidak diketahui ayahnya. Akhirnya Mia menemukan apartemen itu dengan keamanan yang ketat, setidaknya keluarganya akan aman bila tinggal di sana. Meskipun harga yang harus dibayar tidaklah murah, tapi itu sepadan dengan keamanan yang tinggi dari pihak apartement.
Mia menempelkan ibu jarinya pada gagang pintu sebagai sandi masuk ke apartemennya.
Klik
"Aku pulang," ujar Mia setiap kali ia baru saja masuk ke dalam apartemen nya. Dia melepaskan sepatu hak tingginya terlebih dahulu dan menggantinya dengan sandal rumahan.
"Kau sudah pulang nak, cucilah tanganmu. Kita makan bersama," ujar sang ibu yang bernama Emma.
Mia pun meletakkan tas kerjanya kemudian menuju tempat cuci tangan. Menuruti perintah sang ibu.
"Apa Felice sudah pulang, mah?" tanya Mia seraya mengeringkan tangannya dengan kain lap yang ada di dekat wastafel.
"Sudah, adikmu ada di kamar. Kamu panggilkan dia untuk makan," ujar ibu Emma yang sedang menata piring di atas meja makan.
Mia berjalan ke arah kamar adiknya, di depan pintu kamar yang bertuliskan Felice si anak manis itu, Mia berhenti saat mendengar suara cekikikan dari dalam kamar adiknya. Tanpa mengetuk pintu, Mia menerobos masuk dan tentu saja hal itu membuat si pemilik kamar protes keras.
"Kakak! Kenapa nggak ketuk pintu dulu," protes Felice seraya menyembunyikan ponselnya ke bawah bantal.
"Sedang apa kau tadi?" tanya Mia dengan tatapan penuh selidik, curiga dengan apa yang adiknya lakukan.
"Aku sudah besar Kak dan tidak perlu melaporkan apa saja yang aku lakukan pada kakak, aku juga butuh privasi." Felice tidak mau memberitahu kakaknya.
Mia menyipitkan matanya dan menatap adiknya, dia sadar kalau saat ini adiknya sudah mulai beranjak dewasa. Semakin dikekang maka akan semakin berontak, Mia harus bisa mendekati adiknya sebagai teman agar sang adik mau terbuka padanya.
"Keluarlah, mamah sudah menunggu di meja makan," ujar Mia kemudian dia keluar dari kamar adiknya. Salahnya yang terlalu sibuk bekerja sampai tidak punya waktu untuk sekedar menemani adiknya untuk berbagi cerita. Padahal diusianya sekarang, sang adik pasti sedang gampangnya mempunyai perasaan dengan lawan jenis.
"Sebentar lagi aku keluar," ujar Felice, dia kembali mengambil ponselnya yang tadi sempat ia sembunyikan.
Mia sudah bergabung bersama ibunya di meja makan. Dia yang sudah lelah dan lapar berniat ingin makan lebih dulu tanpa menunggu adiknya yang tak kunjung keluar dari kamarnya.
"Tunggulah adikmu, biar kita makan bersama," ujar ibu Emma pada putri tertuanya dan Mia pun kembali meletakkan sendok dan garpu yang sudah sempat ia pegang.
Tanpa rasa bersalah sudah membuat orang menunggu, gadis manis itu baru keluar dari kamarnya. Duduk di sebelah Mia dan langsung mengambil makanan di depannya.
Merasa sedang diperhatikan, Felice pun menoleh.
"Kalian tidak makan," ujarnya tanpa dosa.
"Kau datang terlambat lalu makan duluan mendahului kami. Sangat tidak sopan," sindir sang kakak yang sudah kelaparan sejak tadi.
"Hehe... maaf." Felice tersenyum memamerkan gigi kelincinya.
"Sudah sudah, ayo kita mulai makan," ujar ibu Emma menengahi kakak beradik itu.
Mereka akhirnya makan tanpa bersuara hingga selesai, hanya suara denting sendok dan garpu yang bersahutan.
Selesai makan, Mia membantu ibunya membereskan meja makan dan mencuci piring. Selelah apapun Mia, dia tetap tidak tega membiarkan ibunya melakukan pekerjaan rumah sendirian. Ya berbeda dengan Felice yang lebih cuek.
"Sampai kapan kau akan seperti ini nak?" tanya ibu Emma pada putrinya yang sedang mengelap piring yang telah dicucinya tadi.
"Seperti ini bagaimana mah, aku baik-baik saja dan aku cukup bahagia dengan seperti ini." Mia tau arah pembicaraan ibunya yang pasti mau membahas masalah pendamping hidup.
"Kau tidak mungkin seperti ini selamanya, carilah pria yang baik untuk menjaga kalian nantinya. Mamah tidak mungkin selamanya berada disisi kalian." Ibu Emma selalu mengkhawatirkan putri-putrinya, dia tau penyakitnya tidak mudah disembuhkan dan dia hanya berharap mempunyai waktu lebih lama untuk melihat putri-putrinya menikah.
"Mah, jangan membahasnya lagi. Aku sudah bilang kalau mamah pasti akan sembuh seperti sedia kala. Mamah akan selalu bersama kami selamanya." Mia meletakkan piring terakhir dan meninggalkan dapur, setiap kali berdua dengan ibunya pasti berakhir dengan membahas pasangan dan kematian.
Ibu Emma menatap putrinya dengan nanar, dia selalu merasa bersalah pada putri tertuanya. Karena dirinya sang putri harus bekerja keras bahkan terkadang pulang larut malam. Semua itu untuk biaya berobat dan terapi ibunya yang tidak murah. Sebenarnya ada opsi lain yaitu dengan jalan operasi tapi dokter di negara itu masih belum mumpuni untuk melakukannya.
,,,
Di dalam kamar Mia melepaskan jas dan kemeja nya, menyisakan baju mini nya saja dengan satu tali. Terlihat jelas tubuhnya sangat body goals, dengan bagian daaa da yang besarnya melebihi ukuran normal dengan perut yang kecil dan bo*ko ongnya yang padat berisi.
Aneh memang, dia lebih memilih untuk menutupi keindahan tubuhnya saat keluar dari rumah. Lebih memilih menggunakan kemeja yang ia kancing hingga leher dan jas yang kebesaran, ditambah rok yang panjangnya dibawah lutut. Sangat disayangkan wanita dengan tubuh indah seperti itu harus menutupi semuanya.
Ya sebenarnya bukan tanpa alasan, dulu Mia pernah berpacaran dengan teman sekantornya. Namun, dia selalu menatap ingin pada Mia yang dulu tidak berpenampilan seperti itu. Akhirnya Mia memilih untuk menutupi bagian tubuhnya yang mengundang gaa airah laki-laki.
Sayangnya si pria itu, lebih memilih wanita lain yang terlihat sek si dan mau menyerahkan tubuhnya. Padahal saat itu Mia dan pria itu sudah hampir menikah. Dengan teganya pria itu berselingkuh dengan alasan Mia terlalu sibuk dan kuno, karena tidak mau melakukan hubungan ba* daaan sebelum menikah.
Mia menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, jika mengingat hal itu bukannya marah karena telah dikhianati tapi marah pada dirinya sendiri yang sudah buang-buang waktu dan uang untuk berhubungan dengan laki-laki seperti itu. Mia malah bersyukur karena tak jadi menikah dengan pria itu.
Jika mengingat perkataan ibunya, Mia selalu gundah gulana. Ia sudah berjuang sejauh ini, ia tak akan membiarkan ibunya meninggalkan mereka dengan cepat. Mia terus mencari informasi mengenai dokter ahli bedah di negara itu. Mungkin bisa ke luar negeri, tapi uang yang Mia kumpulkan belum cukup kalau untuk hidup di luar negeri. Belum lagi adiknya sedang kuliah.
"Ayo Mia semangat... kamu pasti bisa mengumpulkan uang untuk mamah."
to be continue...
°°°
Jangan lupa tap love, like dan komen 😍😍
Sementara visual aku hapus dulu sampai lolos kontrak ini novel.🙏🙏
...Ini Mia Khalisa kalau lagi di rumah 😍😍...
...Beda lagi kalau lagi di kantor ya....
...Umurnya memang 35 tapi wajahnya baby face aslinya dan bodynya jelas adu hai 😘...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 227 Episodes
Comments
Marwan Mustofa
Mia malah memikirkan sosok dokter ahli bedah luar negeri yg ingin dikunjunginya untuk menyembuhkan ibunya.
Hehehe... gak tahu dia, lelaki dokter ahli bedah itu besok kan dijemputnya! Yaa, Daniel Starter pewaris tunggal tempat dia bekerja, putra tunggal Alex Starter. Gak tahu dia😊😊
2022-10-09
1
Marwan Mustofa
Banyak temannya yg tdk tahu keindahan tubuh Mia kecuali Catty, tubuhnya sangat proposional tinggi putih wajah cantik dada berukuran Size, sangat besar tapi perut rata bikin pada berisi kaki jenjang. Hmmm.... betul betul sangat menggoda bagi siapa saja yg melihatnya. Mia tdk perduli itu
2022-10-09
1
Marwan Mustofa
Ibunya selalu mengingatkan Mia agar segera mencari pasangan, agar ke depan ada yg melindungi nya, ibu juga sudah tua salit-salitan dan pengen seperti ibu lainnya yg sdh menggendong cucunya. Mia segera menghindar ken pasti itu yg di kepala ibunya. Kawin punya anak ada pendamping dan pelindung.
2022-10-09
1