Langit Mendung
"Luka"
Kemana jejak cinta? Kemana jejak rindu?
Angin tak pernah menjawab tentang semua pertanyaan..
Sedih berujung air mata
Ketika hati meredup
Disitulah kepahitan dan patah semangat terjadi..
Beberapa pilihan tergambar
Tak satupun memiliki karakter
Hingga memilih terjerumus
Dan tak ingin melompat keluar
Meski nafas masih menggebu mengharapkan sesuatu..
Lebih baik tetap menggenggam batu di dalam dasar jurang
Menutup mata dan berpura-pura buta selamanya..
Kinara Adnan Husein. 8 September 2019
Aku kembali menulis puisi di pagi ini. Dan itu memang hal yang biasa aku lakukan, ketika kegalauan di hati kembali menyibak begitu saja. Aku lebih suka menceritakan apa yang aku rasa dengan selembar kertas. Selain dengan teman dekat ku.
Aku bahkan sudah memakai seragam sekolah lengkap di pagi ini. Tapi aku lebih memilih untuk tetap duduk di dekat jendela kamar apartemen.
Sedikit mengecewakan tentang perilaku ku. Kebiasaan ku menyesap rokok. Aku benci dengan kehidupanku sekarang, tapi tidak. Sedari kecil memang aku sudah seperti ini. Dan hari ini, rasanya semua benar-benar sudah berakhir. Aku mendengar kabar kalau ayahku menikah besok. Iya, setelah ibu dan sekarang ayah.
Aku lebih memilih tinggal di apartemen milik ayah. Karena aku tidak bisa hidup satu rumah dengan saudara tiri dan ibuku sendiri. Rasanya sangat geli melihatnya bermesraan dengan orang lain yang dia sebut suaminya sekarang. Bahkan dengan ayahku dulu saja aku tak pernah melihat mereka melakukan hal itu. Benar-benar menjijikkan.
Aku kembali bangkit dari dudukku, mengambil sebuah photo di dalam laci lemari. Aku tersenyum, kembali duduk dan menghembuskan asap tipis ke udara. Bak membuang segala gundah yang ada. Haha, aku tak tahan rasanya jika mengingat masa kecilku. Pernah menyukai anak kecil yang waktu itu juga seusia denganku. Kepalanya botak, dan giginya ompong. Aku benar-benar menyukainya. Sekarang bahkan aku tak tau kabarnya. Setelah mereka pindah keluar kota.
"Hallo?" Aku meletakkan sebentar photo itu di samping jendela.
"Kau tidak masuk hari ini?" Hem, aku hanya bisa menjawab begitu.
"Nanti datang ya ke apartemen. Ajak juga Wahid."
"Iya. Kau lupa ya kalau kita sudah punya teman baru? Adam tidak boleh ikut?" Ah iya, aku hampir melupakannya.
Aku kembali meletakkan ponselku, dan mematik korek api lagi. Tak tau sudah berapa banyak aku menghabiskan rokok.
Dia Maemunah. Teman dekat, sahabat dekat. Dan Wahid, dia juga sama. Mereka yang mengerti kehidupanku. Mengerti tentang cerita keluarga ku. Dan baru-baru ini, aku juga mendapat teman baru. Dia Adam. Aku tak masalah berteman dengan siapapun. Asalkan tidak mengusik kehidupanku.
Ibu, dia seharusnya adalah wanita terlembut yang pernah aku kenal semasa hidup. Tapi, ibu tidak pernah peduli. Dan begitu juga dengan ayah. Mereka selalu bertengkar sejak aku kecil. Aku bahkan pernah di bawa ke psikiater, karena terkena trauma berat yang menganggu mentalku. Waktu itu aku masih umur 12 tahun. Ya, aku sangat ingat itu.
"Ayah janji sayang, ayah tidak akan ribut dengan ibu. Kau harus semangat untuk sembuh." Kata-kata ayah berdenging di telingaku.
"Nara, ibu juga sayang. Maafkan ibu ya nak." Dan itu hanya berlaku selama satu hari saja. Mereka terus saja bertengkar. Aku merasa, sebagai anak tidak bisa menyatukan cinta di antara mereka. Memang mungkin mereka tak pernah saling cinta. Dan pada suatu hari, ayah tertangkap basah tengah pergi berdua dengan wanita lain. Mereka memutuskan untuk bercerai.
"Ibu aku mohon, jangan Bu." Tak ada satu katapun yang membuat mereka terpengaruh atas keadaanku.
Semua terjadi satu tahun lalu, tepat dimana aku selesai mengambil raport kenaikan kelas. Semenjak itu, aku memutuskan untuk tidak pernah akan percaya cinta, mengenal cinta apalagi sampai berpikir untuk berumah tangga.
Aku kembali mengambil photo kecilku. Ya, aku hanya menyukainya dulu. Tapi kalau sekarang, jika aku bertemu dengannya pun aku hanya bisa suka sebagai teman. Aku benar-benar mengubur hatiku untuk cinta. Bukan aku yang pernah gagal, tapi ayah dan ibuku yang membuat pelajaran terbesar tentang berumah tangga. Dan traumaku tidak akan hilang sampai kapanpun. Berteman dengan lawan jenis bagiku tidak masalah, malah aku senang. Tapi untuk cinta, maaf. Aku mau hidup begini saja. Dengan kesendirian ku dan semua pilu yang ku punya. Menikmati harta orang tua, haha hanya itu. Tapi tidak kasih sayang dari mereka.
Aku berbaring di tempat tanpa mengganti seragam dahulu. Baru saja hendak memejamkan mata, aku mendengar ponselku berdering. Aku melihat ke arah layar. No, aku benci dia kan? Ku letakkan kembali. Dan sepertinya ayah tidak menyerah begitu saja. Sampai aku muak dan mengangkatnya.
"Nara, kau tidak masuk sekolah hari ini? Ayah ada di sekolah. Padahal, maksud ayah, kau pulang ikut ayah dan menginap. Karena besok pagi ayah akan melaksanakan pernikahannya." Deg. Dasar ayah bodoh! Aku memaki tanpa suara. Air mataku menetes, aku benci.
"Maaf yah. Aku tidak bisa datang. Tanpa aku juga semua akan terlaksana kan." Aku menekan layar dan meletakkannya kembali. UPS, aku hampir lupa. Jika tidak menonaktifkan ponsel. Aku yakin ayah akan terus membujukku.
Aku hanya bisa mendengar denting jam di dinding kamar. Tidak ada suara lain, aku sendiri disini. Setiap harinya, makan tidak makan juga itu urusanku. Toh ibu tak pernah menanyakan hal itu padaku. Entah berawal darimana aku tertidur. Dan terbangun karena mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Aku langsung meloncat, kaget. Aku yakin itu mereka yang datang. Aku bangkit dan langsung menyambar ponsel, berjalan sambil kembali mengaktifkannya.
"Kau tuli ya Nara?" Wahid sudah mulai protes begitu aku membuka pintu, dia masuk seenaknya sambil menggerutu dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Di susul dengan Munah dan Adam.
"Nara, haus." Maemunah, dia mengelus lehernya.
"Hei, kalian datang hanya membuatku seperti pembantu ya?" Bukan merasa bersalah, tapi malah mereka menertawakan aku yang berjalan menuju dapur.
"Gila ya! Masih pakai seragam, malah tidak masuk sekolah lagi. Ingat woi, sebentar lagi kita bakal lulus." Aku acuh saja, duduk menaikan satu kaki dan kembali mematik korek api.
"Kita nonton Drakor ya? Adam punya banyak loh filmnya di laptop." Ya ampun, mereka sudah merencanakan hal ini. Bahkan semua sudah di persiapkan. Dengan membawa beberapa cemilan dan laptop milik Adam.
"Sejak kapan kalian menyukai Drakor?" Huh, aku menghembuskan lagi asap ke arah atas.
"Sejak berteman dengan Adam. Kau lihat kan, dia bahkan style nya seperti Oppa Korea." Cih, aku hanya bisa mendengus. Kenapa? Karena aku tau, semua adegannya fulgar tanpa sensor. Ah aku benci semua yang berbau tentang cinta.
"Nara, aku mau numpang kamar mandi ya?" Aku tersenyum dan mengangguk. Kenapa begitu saja sepertinya Adam terlihat segan sih.
"Nara, kau tidak tau kan. Adam jadi rebutan ciwiciwi di sekolah loh. Kau juga tua Elena kan? Mereka dekat sekarang." Baru saja Adam pergi, Munah sudah langsung mengeluarkan uneg-uneg nya.
"Jangan gosip!" Memukul pelan kepala Munah dengan bantal sofa. "Ini gimana sih, malah pakai di kunci segala lagi." Wahid mulai kesal.
"Coba aja buka pakai tanggal lahirnya." Mereka malah menoleh ke arahku. Bertanya kapan Adam lahir, aku mengingat kembali sewaktu Adam memperkenalkan diri dan ada yang iseng menanyakan tanggal kelahiran serta lengkap dengan bulan dan tahunnya.
"Ah benar, ke buka." Wahid, dia anak orang kaya. Orang tuanya juga pengusaha seperti ayahku. Tapi dia super irit, dan pelit. "Eh ini apa? File kenangan." Aku dan Munah juga ikut melihat.
"Jangan di buka." Adam langsung menyambar laptop miliknya. Duh, pelit sekali. Aku juga penasaran. Pasti photonya sewaktu kecil.
"Pasti isinya photo kau bersama Elena ya Dam?" Adam diam tak menjawab, dan lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan. Bertanya padaku apakah punya infokus? Agar menontonnya lebih puas.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, dan kembali membawa infokus beserta kabelnya. Aku lebih memilih memainkan ponsel, daripada harus ikut melihat. Aku juga tidak peduli apa yang mereka lakukan saat ini.
"Nara, tutup tirainya dong." Aku benar-benar di buat seperti pembantu kalau mereka datang.
Berbicara tentang pembantu rumah, aku juga sepertinya ingin. Hanya saja aku gengsi dan selalu menolak jika ayah menawarkan. Karena aku merasa lebih nyaman tinggal sendiri. Aku tidak takut, meski mereka sering menakuti aku. Yang katanya ada hantu apartemen lah. Apa lah. Aku tetap tak peduli. Kata-kata aku tak peduli juga aku pelajari dari ayah dan ibu. Jika bertengkar, pasti selalu mengatakan hal itu.
Eh keadaan apartemennya ku sudah gelap. Dan aku bisa jelas mendengar suara-suara aneh. Iya, suara yang berasal dari film yang mereka tonton sekarang. Asli, aku tidak tau sama sekali artinya.
"Aaaa.. mereka ciuman." Tidak, aku benar-benar tidak tertarik walau hanya sekedar meliriknya.
"Cobain." Ha? Suara siapa itu, sialan! Aku berhasil menoleh, ternyata Wahid yang iseng berbicara dan akhirnya malah aduh bantal dengan Maemunah.
"Eh, kecilkan volumenya. Ayah aku telepon." Mereka serempak menoleh ke arahku. Lalu aku memasang telunjuk di bibir agar mereka tak mengeluarkan suara apapun. Meski ayah tau kalau mereka sering datang.
"Iya yah?"
"Nara, ayah akan datang ke apartemen." Tidak, aku menjerit dalam hati. Tidak, jangan sekarang.
"Aku tidak ada di apartemen yah. Aku lagi keluar." Maaf, aku harus berbohong.
"Kalau begitu, nanti kabari ayah jika kau sudah pulang." Baiklah, begitu aku menjawab dan langsung mematikan sambungan telepon.
Mau apalagi sih? Apa ayah tetap ngotot buat aku datang ke pernikannya? Dan melihatnya tersenyum bahagia bersama wanita lain yang jelas-jelas bukan ibuku? Apa tidak memikirkan perasaan ku?
"Nara? Sudah atau belum?" Aku terkesiap, kaget. Ternyata aku melamun. Mereka semua menatapku, menunggu berbicara. Aku hanya mengangguk. Dengan eksepsi wajahku yang bingung.
Tiba-tiba saja aku berdiri dan membuka tirai, menampakkan seluruh isi dari apartemen. Dan, mereka bertiga langsung menudingku. Menggerutu tidak jelas. Terserah!
"Kenapa kau buka tirainya?"
"Nara, ih sebentar lagi ada adegan kissing tau!"
"Kita party besok malam!" Mereka langsung terdiam. Memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kenapa? Aku menatap tubuhku sendiri.
"Kau ulang tahun? Bukankah masih lama ya?" Munah menggaruk kepalanya. Aku tertawa kecil, lalu duduk di sampingnya. Aku mulai berbicara dengan menarik nafas.
"Besok ayahku menikah. Jadi, daripada aku harus hadir di pernikannya."
"Aku tau maksudnya." Wahid langsung memotong pembicaraan ku. Dia tersenyum senang, pasti berpikir kalau gratis dan aku yang bayar. Sudah bisa ku duga soal itu.
Rencana dan rencana sudah di atur. Jam dan tempat juga sudah di tentukan. Film yang harusnya mereka tonton sampai habis malah berisik tak berguna, terlupakan sudah. Suara yang aku sendiri tak tau artinya malah menjadi saingan dengan suara kami. Aku berhasil mengalihkan mereka dan mematikan film yang sedang di putar.
"Maaf ya, aku tidak bisa ikut!" Adam sepertinya memang tidak tertarik. Mungkin dia juga anak baik-baik.
"Kenapa?" Aku menatap Adam.
"Besok malam aku ada acara sama keluarga." Yaah.. kami serempak merasa kecewa.
"Eh tapi bisa aku usahakan. Aku bakal nyusul kalian setelah acara dengan keluargaku selesai. Soalnya di mulai dari sore hari."
"Jangan bohong kau Dam!" Wahid memperingatinya, mungkin dia juga takut kalau laki-laki sendiri di dalam club'.
Sore hari setelah mereka pulang. Aku tak langsung menelepon ayahku. Aku pergi keluar untuk bertemu kebahagian ku. Tidak ada yang tau hal ini. Maemunah atau Wahid sekalipun, mereka tidak ada yang tau.
Aku melajukan mobil, masuk ke dalam gang sempit yang ada di tengah kota ramai. Belok kanan dan kiri, memang agak jauh untuk bisa sampai. Padahal biasanya hanya di depan gang saja, tapi sepertinya mereka tidak ada. Adik-adikku, ya mereka lah kebahagian ku.
Aku membunyikan klakson, ketika mereka sedang duduk dan meminum es teh. Senyumnya mereka langsung mengembang, dengan penampilan mereka yang berantakan. Aku malah suka. Bagiku, aku sama dengan mereka. Hanya berbeda ekonomi.
Aku langsung membuka jok mobil, dimana sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelum datang kesini. Pakaian, mainan, dan juga makanan. Mereka asli anak-anak jalanan yang tak memiliki orang tua. Hidup dengan kardus yang mereka susun, jika hujan mereka akan berlarian mencari tempat teduh. Jika siang hari mereka biasanya mencari barang-barang bekas atau mereka sering menyebutnya dengan butut.
Setelah mendapat bagian mereka masing-masing, kami duduk di bawah pohon besar. Anak perempuan pada bersandar denganku, sementara yang laki-laki duduk mengelilingi ku.
"Kak, ceritakan lagi dong kisah ibu waktu itu." Aku tersenyum dan mengusap pelan kepalanya. Entah kenapa rasanya sangat tenang dengan mereka. Tuhan, ku mohon panjangkan umurku untuk bisa melihat mereka.
"Oh iya, kakak lupa. Sebentar ya." Aku mengeluarkan buku kecil dari dalam tasku. Itu novel, novel yang sering aku baca. Lalu aku membagikan kisahnya kepada mereka. Novel yang berjudul ibu, ibu yang penuh perjuangan. Seperti ini kami, aku sayang sekali dengan mereka. Ah rasanya aku tak ingin hanya menulis puisi saja. Aku ingin menulis novel juga.
Aku bertemu mereka 2 tahun lalu. Waktu itu aku sudah di perbolehkan untuk membawa mobil karena aku berhasil lulus dari SMP dengan nilai yang bagus. Dan, aku bertemu mereka yang mengetuk kaca mobil mengarahkan kresek sebagian tempat penampung uang bagi siapa saja yang berniat memberi. Mataku langsung berkaca-kaca. Sebelum memberi uang aku menepikan mobilku. Lalu mengajak mereka berbincang. Saat itu hanya ada dua orang saja. Yang aku pikir mereka hanya anak jalanan yang di perbudak oleh preman. Karena yang aku tau di sinetron biasanya seperti itukan. Ternyata tidak, mereka memang hidup di jalanan. Ada yang memang orang tuanya pergi meninggalkan mereka karena bercerai, ada juga yang di antara mereka memang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Jujur, hatiku pilu. Aku memiliki orang tua yang utuh, hanya kurang kasih sayang tapi tidak dengan uang. Bahkan aku merasa lebih. Dan semenjak saat itu, aku memutuskan untuk selalu membagi rezeki kepada mereka.
"Kak? Jadi sosok ibu itu sebenarnya baik ya kak? Tapi kenapa ibu ninggalin aku pergi bersama adik?" Dadaku sesak mendengar pertanyaan ini, aku harus jawab apa sekarang? Sementara aku saja tidak pernah merasakan hal itu. Mataku memanas, berusaha menahan agar tidak jatuh. Ku suplai lagi oksigen secara perlahan. Menatap langit yang mulai gelap. Angin tak bersahabat saat ini, dia berhasil membuat air mataku jatuh karena hembusannya.
Aku mengelus puncak kepala anak yang tengah menanti jawaban ku, sepertinya tidak hanya dia. Tapi semua yang ada disini.
"Tidak ada ibu yang tidak baik. Buktinya kalian dengarkan cerita tadi? Hanya saja cara mereka memberi kasih sayang berbeda." Aku sendiri tidak tau aku bicara apa sekarang. Apa mungkin ibu ku juga begitu?
"Berarti ibuku juga baik ya kak?" Aku mengangguk dan tersenyum. Mereka terlalu polos, tapi mereka juga anak-anak yang kuat. Berhasil bertahan hidup selama bertahun-tahun di jalanan.
Dalam waktu dekat ini aku berniat untuk membangun rumah kecil untuk mereka. Meminta uang kepada ayah. Dia juga tidak akan bangkrut, aku akan mencari alasan apapun. Bahkan kalau perlu aku akan menyisihkan uang jajanku, supaya keinginanku cepat terkabul.
"Kak? Pizza itu makanan apa?" Aku tertawa kecil. Mereka sering menanyakan makanan yang mungkin mereka lihat di baleho jalanan. Atau sponsor lainnya.
"Seperti roti. Makannya pakai saus. Kalian mau?" Mereka semua serempak mengangguk. Tersenyum dan membayangkan bagaimana rasanya makan pizza.
"Kakak bakal belikan, tapi tidak sekarang ya. Soalnya sudah sore." Wajah kusam mereka langsung pias. Ya Tuhan, sungguh aku tidak tega. Tapi mana mungkin aku disini sampai malam.
"Besok, kakak janji. Kalian tunggu kakak pulang sekolah ya?"
"Janji ya kak?" Aku mengangguk lagi. Mereka semua memelukku, aku juga membalasnya. Walau tanganku tak cukup untuk menangkup memeluk mereka semua yang berjumlah 10 orang. Bau mereka yang bermacam-macam. Aku sudah biasa menghirupnya. Tak ku bayangkan jika aku tak bisa berjumpa mereka lagi nantinya.
Sebelum pulang, aku juga meninggalkan uang untuk mereka. "Ini untuk beli makanan malam ini dan besok, jadi besok kalian tetap disini ya. Jangan ngamen dan jangan mencari barang bekas. Tunggu saja sampai kakak datang." Pesanku sebelum melajukan mobil. Yang tertua diantara mereka mengangguk, dan dia juga yang memegang uang.
Saat aku sampai di apartemen, mataku menangkap sosok berdiri di depan pintu. Tubuh tinggi tegap dan berwibawa. Aku sangat mengenalinya. Aku hanya bisa membuang nafas kasar, bagaimana bisa dia sudah ada disini sementara aku tak mengabarinya sejak tadi. Ku lirik ke arah samping yang masih menampakan halaman apartemen. Hari sudah mulai gelap.
"Kau darimana saja Nara? Ayah menunggumu disini sudah dari satu jam yang lalu." Kenapa tidak masuk saja? Begitu aku menjawab dengan malas. Ayah mengikuti langkahku masuk ke dalam. Beliau duduk di sofa yang keadaannya masih berantakan. Memang, aku belum membereskan sejak teman-teman ku pulang tadi. Itu juga karena aku malas.
"Kalau begini, kau harus memiliki pembantu Nara!" Aku masuk ke dalam kamar untuk mencuci muka. Dan kembali duduk di seberang sofa. Ku dengarkan apa maunya lelaki ini.
"Kau lihat kan. Semua berantakan. Bagaimana jika mau makan? Pasti makan mu tidak teratur." Ku akui itu, ayah lebih peduli denganku dari pada ibu. Alasan dia tak pernah menjengukku disini karena ini apartemen milik ayah. Semua yang berhubungan dengan ayah dia tak ingin menyentuh dan menginjakkan kakinya. Tapi seharusnya tidak begitu kan? Demi anak seharusnya ibu rela mengurangi sedikit egonya.
"Kemarin ada teman ayah yang bilang, kalau ada wanita paruh baya sangat membutuhkan pekerjaan." Aku masih diam mendengarkan.
"Dan nanti ayah akan membawanya datang kesini, setelah acara pernikahan ayah selesai."
"Maksud ayah asisten rumah tangga?" Ayah menjawab dengan anggukan.
"Iya aku mau, tapi dengan satu syarat." Ini saatnya aku memanfaatkan situasi. Otakku mulai bekerja dengan baik.
"Katakan, jika itu membuatmu senang."
"Aku mau minta uang bulanan ku ayah tambah. Dan aku juga mau minta uang untuk membeli sesuatu."
"Nara, kalau kau butuh sesuatu atau menginginkannya ayah bisa belikan." Aku langsung menggeleng.
"Tidak yah, aku mau membelinya sendiri." Ayah menghela nafas pasrah, dan setelah itu dia tersenyum.
"Katakan jumlahnya sayang." Hatinya melunak jika melihat wajahku langsung berubah cemberut. Itu kalau soal uang ya! Tapi jika aku meminta untuknya kembali dengan ibu, atau seperti waktu itu meminta untuk mereka tidak bercerai. Aku menangis dan mengancam akan bunuh diri sekalipun ayah tak pernah mau menurutinya.
"Aku minta tiga ratus juta yah." Ayah langsung membulatkan matanya. "Aku ingin membeli sesuatu yang penting yah."
"Nara, itu tidak sedikit."
"Aku tau, karena uang ayah memang banyak. Ayah pengusaha sukses." Ayah langsung terdiam.
"Iya nanti ayah transfer ke rekening kamu." Sudah ku bilang kan, kalau soal uang ayah pasti mau menuruti ku. Dan sepertinya aku memang terlahir hanya di beri kasih sayang dengan uang.
"Tapi kau juga harus datang besok Nara. Tante intan sangat menunggu kehadiran mu." Aku mengangguk saja daripada aku diminta menginap di rumahnya.
Satu rencana ku berhasil, akan membangun rumah kecil untuk adik-adik ku yang ada di jalanan. Membayangkan mereka tidak lagi akan merasa dingin ketika hujan turun membasahi bumi. Satu langkah memberi kebahagiaan orang lain sudah mulai terlaksana. Tuhan bantulah aku dalam hal ini.
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Anna Nuryani
semangatt kk
2022-09-14
0
Kinay naluw
absen aku ya, semangat berkarya thor.
2022-04-14
2
Aira💕
nyimak 😊 tetap semangat 💪💪sehat selalu 🤗
2022-04-03
2