Hilangnya kesucian

Suara sorak dan jadag-jedug musik yang memekakkan telinga. Tangan melambaikan ke atas, tubuh meliak-liuk kesana-kemari. Aroma nafas mereka yang sudah berbau alkohol. Tak ada lagi beban pikiran ketika sudah berada di dalam sini.

Aku bahkan mengeluarkan uang puluhan juta malam ini. Menyewa club hanya khusus untuk kami berempat. Sehingga tidak ada orang lain yang mengganggu. Seperti orang jahil yang akan sengaja memasukkan obat perangsang ke minuman, lalu memanfaatkan situasinya. Semua sudah ku bereskan sebelum terjadi. Jadi hanya kami saja yang ada, aku, Maemunah, Adam dan Wahid.

"Aku harusnya ada janji malam ini dengan Elena." Samar-samar ku dengar Adam berbicara dengan Wahid. Lalu mereka duduk dan mengobrol berdua. Aku dan Munah yang masih heboh dalam jogetan kami. Tertawa bersama, room ini bebas untuk kami bertingkah apa saja.

"Sudah berapa uang kau habiskan?" Munah bertanya, aku tak menjawab dan menyambar gelas minumanku. Kenapa harus memikirkan hal itu, kan aku yang bayar, batinku. Aku belum merasa oleng. Aku masih bisa jelas melihat dan mendengar walau sudah menghabiskan beberapa gelas alkohol yang menjadi favorit ku.

"Kau tidak minum?" Aku bertanya dengan Adam. Duduk di sebelahnya dan menyandarkan tubuhku di sofa empuk.

"Minum, tapi tidak banyak."

"Ku dengar harusnya kau pergi malam ini dengan Elena?" Dia mengangguk. "Kalian pacaran?" Adam tersenyum tapi tidak menjawab. Aku tertawa, aku ikut senang kalau mendengar temanku mulai bermain cinta.

"Awas patah hati loh Dam!" Aku tertawa puas lalu berdiri lagi, bergoyang sesuka hati dan berteriak melepas beban. Lampu kelip semakin berputar dengan kecangnya, apa ini hanya karena pengaruh alkohol? Aku kembali duduk, memegang kepala yang mulai oyong. Aku harus berhenti minum dulu, sebelum aku teller dan tidak bisa pulang membawa mobil sendiri. Aku paling malas menyusahkan orang lain.

"Nara, kau tidak takut pulang dengan pakaian seperti ini? Kalau ada laki-laki yang menggodamu bagiamana?" Aku tertawa lagi. Pertanyaan yang konyol bagiku. Bukankah aku naik mobil dan mana mungkin orang lain bisa melihat. Orang-orang di apartemen juga bukan seperti warga kampung yang terkesan norak kan?

"Memangnya kenapa Dam?" Dia menatapku tanpa berkedip, lalu detik berikutnya menggeleng.

"Tidak apa-apa." Aku menganggukkan kepalaku, mengikuti musik yang terus semakin tinggi. Geleng kepala saja tidak cukup, aku kembali berdiri. Lalu mengambil gelas minumanku.

"Cheers dulu dong."

"Temanya apa?" Wahid bertanya, Munah juga mengangguk setuju.

"Untuk ayah jahat dan ibu jahat, haha." Aku tertawa. "Dam, sini dong kamu ikut." Adam berdiri.

Suara gelas yang beradu terdengar, kami tertawa dan langsung meneguknya secara bersamaan. Lalu melompat karena musik semakin menaikan gairah siapa saja untuk bergoyang.

Dan pada akhirnya, kami yang sama-sama sudah lemas duduk di sofa dengan malang melintang. Sepertinya tidak bisa dikatakan dengan duduk. Aku bersama Adam, kakiku bahkan naik ke atas pangkuannya. Dengan tubuh posisi tengkurap. Maemunah dan Wahid saling bersandar. Meski mata kami terpejam, musik tetap akan menyala. Dan akan mati ketika kami sudah keluar dari room ini. Adam yang masih bisa menahan kesadaran, memanggil salah satu pekerja bar. Dia meminta air dan jeruk nipis, hal yang biasa aku lakukan juga ketika sudah mabuk berat.

"Nara, ponselmu bergetar." Adam menggoyangkan kakiku. Aku hanya mengulurkan tangan agar meminta dia yang mengambilnya. Lagian siapa sih yang menganggu malam-malam begini.

"Ibu?" Aku mengucek lagi mataku. Mau apa dia?

"Ya?" Aku menjawab dengan memejamkan mata, hanya saja mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar di bahu Adam.

Ibu bertanya aku dimana, kenapa ramai sekali.

"Aku lagi di club'." Jawabku santai, mereka juga tak mendengar hanya Adam mungkin yang bisa mendengar. Aku tak tau ibu bicara apa, mana bisa aku mendengarnya mengomel atau menyampaikan sesuatu. Jelas-jelas musik di dalam masih memekakkan telinga.

Aku mematikan sambungan telepon. Tapi ibu langsung mengirimi ku pesan.

"Nara, jangan kelewat batas! Jika ada sesuatu terjadi ibu tidak tanggungjawab. Dan besok jangan lupa datang kerumah, Laras berulang tahun. Ibu mau kau datang!"

Cih, aku langsung meletakkan ponsel. Memegang kepala dengan kedua tanganku. Baru saja melupakan hal ini sebentar, kenapa sudah harus mengganggu! Apa dia bilang tidak tanggungjawab? Dan apa? Anak tirinya ulang tahun? Haha bahkan dirayakan, sementara ulang tahunku saja tidak pernah selama aku hidup di dunia. Bahkan aku yakin ibu tidak ingat.

Aku jadi ingin tertawa lepas sekarang, menertawakan nasibku sendiri sebelum orang lain yang tertawa.

"Kenapa Nara?" Adam bertanya lagi. Dua orang yang ada di depanku sepertinya sudah benar-benar tak sadar sekarang.

"Maaf aku tak sengaja membaca pesan dari ibumu tadi." Aku mengangguk saja. Lalu memeluknya, tangisku pecah. Bahkan aku langsung sesegukan.

"Orang tua macam apa yang tega mengatakan hal itu pada anaknya? Dan dia, bahkan tidak seperti mengundangku untuk datang tapi malah membuatku merasa iri, hiks." Adam mengusap punggungku. Lebih tepatnya langsung ke kulit tubuhku karena pakaianku malam ini yang sangat terbuka.

"Sudah lah. Bukannya kau datang kesini untuk melupakan itu semua?" Mana mungkin semudah itu aku langsung tenang. Aku meminta Adam menuangkan kembali minuman untukku, aku harus benar-benar mabuk agar langsung lupa dan terbangun besok pagi. Lumayan kan beberapa jam tidur bisa nyenyak.

"Kita harus pulang sekarang?" Adam berkata saat sudah melihat jam sudah pukul 01 malam.

Aku yang sudah tak sadar, dengan siapa aku pulang saja aku tidak tau.

Saat sudah sampai di apartemen. Aku merasa ada membawa ku masuk ke dalam kamar, membaringkan tubuhku. Tapi aku menariknya, memeluknya dengan erat. Seperti tak rela di tinggal sendiri. Dan, aku tak tau lagi apa yang terjadi. Sosok apa yang peluk, hantu sekalipun aku tak tau.

***

Pagi datang, sinar masuk dari celah jendela gorden yang tidak tertutup sempurna. Aku menggeliat, tulangku terasa sakit. Tubuhku lemas, aku mengucek mata. Berusaha mengembalikan kesadaran agar jelas melihat jam yang ada di dinding kamar. Aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Siapa yang mengantarku pulang? Apa Adam atau Wahid? Jika benar mereka aku masih bisa merasa lega, karena mereka temanku. Pasti tidak akan berbuat macam-macam.

Sudah jam 10? Ini tidak pagi lagi, sudah hampir siang. Gila, aku baru bangun. Untung ini libur sekolah akhir pekan. Detik berikutnya aku mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi.

Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku, aku langsung menjerit ketika melihat tubuhku tak berbalut sehelai benangpun. Mataku membulat melihat becak darah. Sumpah, saat aku akan turun dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin tahu siapa yang ada di dalam kamar mandi. Daerah kewanitaan ku sangat sangit, perih, ngilu. Ya Tuhan, apa yang terjadi semalam? Apa yang terjadi denganku?

"Siapa di dalam?" Aku mengetuk pintu kamar mandi dengan suara gemetar menahan tangis. Aku benar-benar sudah kehilangan kesucian ku.

Aku tak berhenti mengetuk, hingga suara handle pintu terbuka. Mataku membulat, tak mungkin dia orangnya kan?

"Adam?"

"Nara?" Aku langsung berbalik, memegang erat-erat selimut yang ku balutkan di tubuh. Aku menggeleng pelan. Adam, dia Adam kan?

"Nara maaf." Hanya itu yang di ucapkan. Lalu kembali menutup pintu, mungkin akan memakai pakaiannya dulu. Karena tadi aku lihat hanya lilitan handuk di pinggangnya.

Ponselku berdering lagi. Aku ragu untuk mengangkat. Ku biarkan saja, hidup dan mati lagi. Terjadi sampai berkali-kali. Aku seperti orang tak berdaya. Duduk di tepi ranjang dengan keadaan yang sudah hancur. Hati dan kesucian. Bagiamana kalau aku hamil? Aku tidak ingin menikah. Perjalananku juga masih panjang, sekolah dan sebentar lagi akan lulus. Aku juga ingin kuliah. Aku langsung memikirkan hal yang masih jauh.

"Nara?" Adam berjalan mendekat. Aku hanya meliriknya dengan pandangan yang kabur karena air mata menutupinya.

"Nara, aku sudah berusaha menolak. Tapi, tapi aku laki-laki normal yang mana mungkin aku tidak bisa tergoda jika kau memelukku begitu erat!" Terangnya dan berusaha menenangkan aku.

"Aku akan tanggungjawab jika kau sampai hamil. Aku janji Nara!" Bukan itu bodoh! Aku tidak mau menikah! Tidak! Aku memang menyayangimu Adam, tapi hanya sebagai teman. Tidak lebih.

"Nara?" Aku menoleh sekilas. Aku juga tidak bisa menyalakan Adam sepenuhnya. Ini juga salahku kan? Dia benar, laki-laki normal mana yang mampu menolak?

"Pergilah Dam. Aku ingin sendiri." Ucapku lirih. Adam belum bergerak dari tempatnya. "Pergi!!" Aku berteriak. Adam ragu-ragu untuk melangkah. Dia mendekat dan cup, mengecup keningku, aku merasa kehangatan sekejab. Lalu Adam pergi dan menutup pintu kamarku.

Aku berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan memaksa kaki terus melangkah. Sakit, aku masih merasakannya. Aku terduduk di bawah shower, menangis lagi dan memukul kepalaku sendiri. Aku merutuki kebodohan ku. Aku harus mengaduh dengan siapa sekarang? Ya Tuhan, mana mungkin aku memberi tau hal ini dengan Munah ataupun Wahid. Aku malu.

Selesai mandi, aku merasa tubuhku lemas dan menggigil. Duduk menekuk kaki di atas tempat tidur. Ku biarkan saja rambut basahku menetes dengan wajah pucat yang seperti tak dialiri darah.

Jika aku mengaduh dengan siapapun pasti akan memintaku untuk menikah. Aku tidak mau. "Hiks.." Aku kembali menangis dalam kesendirian.

Ponselku berdering lagi. Ibu, aku yakin dia yang menelpon. Ku lihat ke arah layar ponsel, benar itu ibu.

"Nara, ibu sudah memintamu untuk datang kan hari ini? Apasih susahnya Nara? Kau bahkan bisa datang ke pernikahan ayahmu? Kenapa saat ibu memintamu untuk datang kau selalu tidak bisa? Apa karena ayah yang selalu memberimu uang? Kalau hanya itu, ibu juga bisa?" Ya ampun, kenapa ibu tega mengatakan hal itu pada ku?

"Bu, kalau sekarang aku minta ibu untuk datang kesini karena aku sakit? Apa ibu mau? Apa ibu akan datang, dan rela meninggalkan acara yang ada di rumah. Dia juga bukan anak kandung ibu kan?" Ibu terdiam di seberang telepon. Tak ada suara Omelan lagi.

"Bisa tidak Bu? Aku butuh ibu sekarang." Aku menunggu jawabannya.

"Nara, permintaan mu sungguh tidak masuk di akal. Kau sudah dewasa, kau juga bisa membeli obat sendiri kan?"

"Haha iyaa ibu benar." Aku tertawa sambil meneteskan air mata. Pahit sekali ya rasanya.

"Jadi kau benar-benar tidak bisa datang? Ibu mau kita berphoto bersama, dan mengabadikan momen keluarga kita Nara."

"Maaf Bu. Aku tidak punya keluarga!" Aku langsung mematikan sambungan telepon. Aku melempar barang apa saja yang ada di dekatku. Lampu tidur besar yang berada di atas meja juga sudah pecah. Kaca berserakan dimana-mana.

Sekarang aku tau, baik ayah ataupun ibu sama. Mereka hanya mau saling pamer. Bisa photo bersamaku, dan memamerkan. mereka mau menunjukan ke semua orang kalau aku sudah menerima keluarga baru.

Aku masih menangis, tanganku gemetar saat menulis pesan singkat yang aku kirim ke Munah. Aku memintanya untuk datang ke sini.

Satu jam kemudian, Maemunah benar datang. Aku memintanya untuk langsung masuk ke dalam kamar. Karena pintu apartemen tidak di kunci sejak Adam pulang tadi. Maemunah langsung menghentikan langkahnya, ketika melihat pecahan kaca yang bahaya jika terkena kaki. Dia menutup mulutnya melihat keadaanku yang sudah kacau.

"Kinara!!" Dia berteriak, lalu berhati-hati berjalan hingga naik ke atas tempat tidur. Dia memelukku, aku sudah lemas karena kelelahan menangis dan tak ada apapun yang aku makan. Bahkan aku tidak bisa membalas pelukannya. Aku kembali menangis tanpa suara. Tatapan ku kosong.

"Nara? Hei." Dia membingkai wajahku, memaksaku untuk melihatnya.

"Katakan ada apa? Ibu? Ayah? Siapa yang membuatmu begini?" Aku hanya bisa menjatuhkan air mata.

"Kita duduk di sofa saja, keadaan kamar mu berantakan." Munah membantuku, memapah ku berjalan. Untung saja dia tak melihat ada bercak darah di sprei. Karena aku belum menggantinya.

"Ibuku tega sekali berkata begitu denganku." Aku memeluknya, sebisa ku. Aku mengumpulkan tenaga untuk kembali membuka mulut dan berbicara.

"Ibumu? Apa yang dia katakan?"

Aku bercerita apa saja yang di katakan ibu barusan. Tapi tidak dengan kejadian tadi malam. Aku berusaha menutupinya dari siapapun. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri.

"Nara? Dengar aku?" Dia kembali membingkai wajahku. "Kita datang kerumah ibumu. Aku akan menemanimu datang kesana, kau mau kan? Mau bagaimana pun dia tetap ibumu. Ibu yang sudah melahirkan mu?" Boleh kah aku menyesal mendengar kalimat akhir yang di katakan Munah?

Terkadang aku iri dengannya. Walau Munah juga tidak berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya hanya karyawan kantor biasa, yang memiliki gajih cukup untuk membiayai sekolahnya. Bisa di bilang juga tidak kekurangan.

Tapi jika Munah sudah bercerita tentang keluarganya, dia bahkan mengatakan kalau ayahnya sampai pernah rela tidak tidur hanya menunggu jam 12 tepat untuk mengucapakan selamat ulang tahun. Aku begitu takjub, bagaimana rasanya ya? Aku benar-benar ingin merasakan ada di posisinya. Terkadang juga Munah sering membuat story di akun sosial media miliknya. Belanja ke pasar berdua dengan ibunya, tertawa dengan memamerkan keranjang yang berisi sayuran. Sederhana, tapi menurutku itu luar biasa.

"Kau sudah selesai?" Akhirnya aku mengalah, menuruti apa yang di katakan Munah. Datang ke rumah ibu. Sekedar menyapa dan memberikan selamat kepada saudara tiriku.

Munah juga membantu untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di dalam kamar. Tapi aku tak memberi ijin untuknya menyentuh sprei tempat tidur. Bercak darah yang aku tutupi selimut bisa di pertanyakan Munah nantinya. Bisa saja aku memberi alasan kalau aku sedang datang bulan. Tapi aku tidak mau berbohong lagi, mending aku kubur ini sendiri.

"Kau tidak membawa kado? Hei, kau harus terlihat tegar di hadapan mereka?" Lagi-lagi Munah memberi peringatan. Aku mengangguk saja dan Munah yang menyetir mobil. Tujuan pertama kami harus mencari kado. Apa yang pantas untuknya? Baju kah atau apa?

Laras dia hanya berbeda satu tahun denganku. Sehingga dia memanggilku dengan sebutan kakak. Aku saja merasa geli, aku hanya anak satu-satunya dan tidak merasa kalau mempunyai adik.

"Ini, bagus nggak?" Bahkan yang memilih juga Munah. Aku benar-benar tak peduli tentang kado. Menurutku aku mau datang saja ibu sudah wajib bersyukur.

"Atau yang ini?"

"Menurutmu mana yang bagus." Aku berjalan keluar butik dan menyerahkan dompet kepada Munah. Ku serahkan semua padanya.

Aku menunggu di dalam mobil. Melihat Munah yang keluar dengan membawa paper bag bertuliskan logo butik terkenal. Aku langsung berpikir jelek, enak saja dia bisa mendapatkan kado mewah. Mahal loh harga gaun itu. Belum tentu ketika aku ulang tahun dia bisa membalasnya ataupun sekedar mengingat dan mengucapkan selamat ulang tahun.

"Jika kau merasa sudah tidak kuat, kita langsung pulang." Begitu yang di ucapkan Munah sebelum kami berangkat pergi kerumah ibu.

Rumah ibu, adalah rumah dimana aku tumbuh. Terakhir kali datang kesana lima bulan lalu, itu juga hanya mengambil raport sekolah yang harus di kumpul. Aku tidak merindukan suasana rumah itu, sama sekali tidak. Hingga kami sampai di depan gerbang. Securitty yang sudah mengenali mobilku langsung membukanya. Dia juga menyapaku, aku membalasnya dengan senyuman.

"Kita turun sekarang." Aku mengangguk. Yang aku kira ini hanya acara ulang tahun biasa. Ternyata tidak, bahkan para tamu juga sudah banyak yang berdatangan. Seistimewa inikah anak tiri?

Jelas para tamu tak ada yang mengenaliku dan Munah. Kami bak tamu asing yang jika masuk harus menunjukkan surat undangan. Hei, jika aku bisa berteriak, aku ingin memaki penjaga yang ada di depan pintu rumah utama. Mereka juga asing, mungkin ini anggota dari suami ibu.

"Begitu ya pak? Jadi kalau tidak ada undangan tidak boleh masuk?" Aku berakting bukan siapa-siapa disini.

"Iya, begitu peraturannya. Karena bisa saja kalian adalah penyelinap."

"Pak, dia ini-" Aku langsung menginjak kaki Munah agar tidak menyebutkan siapa aku. Aku menggeleng pelan saat Munah menatapku. Dia langsung terdiam. Penjaga semakin menatap kami dengan penuh curiga.

Ini kesempatan bagiku, jika tidak boleh masuk bukankah aku harus bersyukur. Iya, karena aku memang tidak ingin berada disini sekarang.

"Kenapa kalian masih berdiri disini? Sebaiknya kalian pergi." Tatapannya sangat tajam. Aku saja sampai bergidik ngerih.

"Baik pak kami akan pergi. Permisi." Aku menarik tangan Munah untuk segera menjauh dari rumah. Dia menghempaskan agar aku melepaskan tangannya.

"Nara, kau gila ya? Kau bukan orang asing!" Dia berjalan kembali, aku tak bisa lagi mencegahnya. Sekarang sudah antri kembali para tamu yang datang. Menunjukkan undangan dan baru di perbolehkan masuk. Munah langsung menghampiri tanpa mengantri lebih dulu. Aku hanya bisa menatapnya dari tempatku berdiri sekarang, di halaman rumah ibu. Sebenarnya ini juga rumahku.

"Hei, bapak penjaga yang terhormat!" Aku terkikik geli melihat ulahnya yang menunjuk wajah penjaga, belum lagi tatapan para orang-orang yang saat ini berdiri di sekitar Munah.

"Bagiamana bisa, kau tak memperbolehkan Kinara masuk ke dalam? Sementara dia juga tuan rumah dirumah ini." Kali ini wajah penjaga itu seperti tidak percaya, bahkan dia sampai menoleh ke arah temannya meminta jawaban.

"Kalau memang kami tidak di perbolehkan untuk masuk. Tolong sampaikan kepada ibu Namira. Anaknya di usir dari rumahnya." Munah Kembali berjalan ke arahku. Aku tersenyum menunduk, kali ini semua tatapan menatap ke arah kami. Sementara kami berdiri dengan santai menatap ke arah dua penjaga yang terlihat bingung. Yang satu berlari ke dalam, mungkin benar akan memanggil ibu.

Beberapa menit, setelah kami merasa sudah kering berdiri di halaman rumah. Ibu tampak berdiri di depan pintu, lalu mengedarkan pandangannya. Aku sengaja tak memanggilnya, dan hanya berdiri mematung. Membiarkannya mencari keberadaan ku.

Pandangan kami bertemu saat ibu berhasil melihatku. Dia buru-buru berjalan menghampiri ku.

"Nara, kau datang?" Dia tersenyum senang. Aku tak membalasnya dan hanya mengangguk. Lagi malas main drama.

"Ayo masuk. Ibu akan memberi hukuman untuk mereka berdua." Menunjuk ke arah penjaga yang menundukkan wajahnya saat aku dan Munah melewatinya.

"Dasar?" Munah bahkan sempat membentaknya lagi. Padahal, menurutku mereka tidak salah, wajar karena mereka tidak mengenaliku. Dan, mereka juga hanya menjalankan tugas dari tuan mereka.

"Kau disini dulu ya, ibu mau kesana." Aku mengangguk dan melihat ibu berjalan ke arah teman-temannya. Ah jadi merasa tidak enak, kehadiranku sepertinya mengganggunya.

"Nara, kau lihat itu." Munah menyenggol lenganku. Aku juga melihat kemana Munah menunjuk. Oh, ternyata disana sudah ada Laras yang berdiri bersama teman-temannya. Tertawa kecil sambil berbincang. Ku tatap lagi ke arah panggung mewah. Belum lagi dekorasi pesta ulangtahun. Ini sudah seperti di persiapkan jauh-jauh hari ya. Wah, istimewa sekali dia. Berpesta di dalam rumahku. Ini juga masih hak ku kan?

Aku menarik tangan Munah untuk segera berjalan ke arah Laras. Semua mata temannya langsung menatap ke arah kami.

"Laras, selamat ulang tahun." Aku menyerahkan paper bag padanya.

"Kakak, kau datang?" Dia sangat senang. "Makasih ya kak." Aku mengangguk dan mengulum senyum palsu.

"Dia kakakmu?" Laras mengangguk dan sepertinya malah bangga memperkenalkan aku dengan teman-temannya.

"Kak, kenalkan aku Marisah." Gadis itu mengulurkan tangan, dan bergilir satu persatu. Juga dengan Munah.

"Kakak cantik sekali. Bahkan jauh berbeda dengan yang ada di photo." Ucapnya lagi memuji. Tapi tunggu, photo? Photo apa?

"Laras sering memperlihatkan photo kakak lho. Kami juga tau akun sosial media milik kakak. Jangan lupa follback ya kak." Benarkah? Lalu maksudnya Laras apa menunjukan photo ku dengan teman-temannya?

"Kak, kita photo bersama ya?" Kali ini Laras yang mengajakku, dan meminta salah satu temannya untuk mengambilkan melalui ponselnya.

Bersambung..

Terpopuler

Comments

Mbak Dil

Mbak Dil

bagus, lanjuuuut

2023-07-16

0

lihat semua
Episodes
1 Luka
2 Pernikahan ayah
3 Hilangnya kesucian
4 Ulang tahun Laras
5 Aku hamil!
6 Bibi sudah tau?
7 Rasa yang hambar
8 Alkohol mengusik kandunganku
9 studi tour
10 Awal bertemu Satria
11 Rasanya sakit!
12 Munah berkhianat
13 Apa itu cinta??
14 Dua kabar duka sekaligus
15 Kabar duka yang sebenarnya
16 Satu rahasia terbongkar
17 Siapa Suryo?
18 Janin melemah
19 Rencana untuk Kinara
20 Kehancuran dimulai
21 Trik Adam
22 Pernyataan cinta
23 Mencari informasi tentang Iam
24 Satu malam dua kecupan
25 Prihal kematian ayah Adam
26 Puisi cinta untuk seorang istri
27 Dia menghubungiku
28 Kebenaran akan terbuka
29 Dialah orangnya!
30 Musibah datang lagi
31 Elena pelakunya
32 Penyakit Adam
33 Jenis kelamin sudah diketahui
34 Juanda
35 Perlengkapan bayi
36 Kebahagiaan dan duka dua keluarga
37 Tidak bisa menolak Satria
38 Hangatnya kasih sayang ibu
39 Kisah ayah dan ibu
40 Kakak tampan itu Satria
41 Kandungan melemah
42 Ada apa ini?
43 Menyambut Satria
44 Lukisan apa?
45 Hari berat selanjutnya
46 Apa kita akan mati?
47 Anak siapa ini?
48 Duka dua keluarga
49 Sebuah perpisahan
50 Hidup baru dimulai
51 Windu atau Satria?
52 Dilamar oleh Satria
53 Lukisan itu?
54 Melamar menjadi teman
55 Windu Satriawan Agustama
56 Arti dari lukisan Adam
57 Ayah mengetahuinya
58 Semua hanya karena rasa bersalah
59 Karena cinta
60 Menerima perjodohan
61 Mana yang aku pilih?
62 On the way liburan
63 Mimpi atau nyata?
64 Kejutan ulang tahun
65 Adam orangnya
66 Pengantin???
67 Kejutan dihari ulang tahun
68 Hari bahagia terselip duka mendalam
69 Adam pergi lagi
70 Malam pertama
71 Kebucinan dimulai
72 Prihal anak
73 Sakitnya di duakan
74 Hanya karena buku
75 Akhir bahagia
Episodes

Updated 75 Episodes

1
Luka
2
Pernikahan ayah
3
Hilangnya kesucian
4
Ulang tahun Laras
5
Aku hamil!
6
Bibi sudah tau?
7
Rasa yang hambar
8
Alkohol mengusik kandunganku
9
studi tour
10
Awal bertemu Satria
11
Rasanya sakit!
12
Munah berkhianat
13
Apa itu cinta??
14
Dua kabar duka sekaligus
15
Kabar duka yang sebenarnya
16
Satu rahasia terbongkar
17
Siapa Suryo?
18
Janin melemah
19
Rencana untuk Kinara
20
Kehancuran dimulai
21
Trik Adam
22
Pernyataan cinta
23
Mencari informasi tentang Iam
24
Satu malam dua kecupan
25
Prihal kematian ayah Adam
26
Puisi cinta untuk seorang istri
27
Dia menghubungiku
28
Kebenaran akan terbuka
29
Dialah orangnya!
30
Musibah datang lagi
31
Elena pelakunya
32
Penyakit Adam
33
Jenis kelamin sudah diketahui
34
Juanda
35
Perlengkapan bayi
36
Kebahagiaan dan duka dua keluarga
37
Tidak bisa menolak Satria
38
Hangatnya kasih sayang ibu
39
Kisah ayah dan ibu
40
Kakak tampan itu Satria
41
Kandungan melemah
42
Ada apa ini?
43
Menyambut Satria
44
Lukisan apa?
45
Hari berat selanjutnya
46
Apa kita akan mati?
47
Anak siapa ini?
48
Duka dua keluarga
49
Sebuah perpisahan
50
Hidup baru dimulai
51
Windu atau Satria?
52
Dilamar oleh Satria
53
Lukisan itu?
54
Melamar menjadi teman
55
Windu Satriawan Agustama
56
Arti dari lukisan Adam
57
Ayah mengetahuinya
58
Semua hanya karena rasa bersalah
59
Karena cinta
60
Menerima perjodohan
61
Mana yang aku pilih?
62
On the way liburan
63
Mimpi atau nyata?
64
Kejutan ulang tahun
65
Adam orangnya
66
Pengantin???
67
Kejutan dihari ulang tahun
68
Hari bahagia terselip duka mendalam
69
Adam pergi lagi
70
Malam pertama
71
Kebucinan dimulai
72
Prihal anak
73
Sakitnya di duakan
74
Hanya karena buku
75
Akhir bahagia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!