Pertanyaan masih banyak muncul di kepalaku. Kenapa Laras seperti pamer mempunyai saudara tiri? Padahal aku saja tak menganggapnya. Yang aku tidak suka kenapa dia seperti sudah akrab dan dekat denganku di hadapan teman-temannya?
"Nara, lihat ke arah kamera?" Ah aku bahkan melamun sedari tadi. Sudah berapa photo yang di ambil?
"Nanti aku upload ya kak, terus aku tag ke akun kakak." Aku hanya tersenyum kecut, lebih tepatnya terpaksa.
Iya memang Laras tidak bersalah, atas pernikahan orang tua kami. Bahkan ayahnya juga tidak bersalah. Karena mereka juga menikah bukan atas paksaan Laras, itu yang pertama. Dan yang kedua om Asraf menikah dengan ibu juga setelah ibu dan ayah bercerai. Aku hanya terus menyalahkan ibu dan ayah atas kebencian ku kepada orang lain. Karena mereka seperti mengajariku untuk itu, sedari kecil. Dan setelah tertanam, sekarang sudah tumbuh. Jadi siapapun orang yang berada di dekat ibu dan ayah. Aku pasti membencinya, tanpa alasan!
"Nara, kau lihat. Laras baik sekali. Ternyata dia baik."
"Stop puji dia! Kau mau seperti ibu yang memuji Laras di hadapan teman-temannya dan memperkenalkan sebagai seroang anak?" Aku menunjuk ke arah dimana saat ini ibu dan Laras berdiri, berjarak dua meter denganku. Di sana berkumpul rekan bisnis ibu dan teman-teman sosialitanya.
"Laras selalu mendapatkan juara kelas lho. Dia juga tidak pernah meninggalkan ibadahnya." Aku diam mendengarkan dari jarak yang tidak jauh. Kenapa nggak pakai Mikrofon saja sekalian. Supaya semua tamu mendengar.
"Oh iya jeng, wah sepertinya Laras anak baik ya." Ibu bahkan memeluk Laras seperti menyalurkan kasih sayangnya. Gimana dengan posisi ku saat ini? Apa mungkin aku akan baik-baik saja setelah mendengar ibu bicara begitu.
"Oh iya Mira? Laras ini anak dari suami barumu kan?" Aku sekarang ingin tertawa melihat reaksi wajah ibu. "Lalu dimana anak kandungmu?" Aku berpura-pura tidak melihat dan mengalihkan pandangan. Munah yang juga pintar langsung mengajakku bicara, seakan-akan kami berdua tidak melihat dan mendengar apa yang ada di depan.
"Eh itu dia, sebentar ya." Ibu berjalan ke arahku. Menarik lenganku tanpa berbicara ba bi bu terlebih dahulu. Memperkenalkan aku di hadapan temannya. Tapi pujian yang tidak di dapatkan oleh Laras langsung aku dapatkan.
"Cantik sekali, hidungnya mirip sepertimu Namira. Bentuk wajah seperti mantan suamimu." Hei, kenapa jadi peneliti begini? Ku lihat Laras hanya diam. Apa dia sekarang merasa iri karena tidak di puji cantik dengan penampilan yang sudah maksimal hari ini? Aku bahkan tidak memakai make up. Tapi memang dasar pandangan orang tidak bisa di bohongi.
"Maaf Tante, aku mau kesana dulu."
"Iya cantik. Eh tunggu, siapa namanya?" Aku berhenti dan menoleh.
"Kinara Tante."
"Nanti Tante kenalkan sama anak Tante ya?" Semakin ngawur dan aku harus segera pergi. Ini bukan jaman Siti Nurbaya yang apa-apa harus di jodohkan dengan anak rekan bisnis.
"Mira, kapan-kapan aku ajak anak ku kesini ya. Aku akan kenalkan Kinara dengan anakku." Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. "Kau harus janji lho."
Haha, mungkin harapan ibu itu mereka menjodohkan hanya dengan Laras. Apa-apa Laras. Ibu juga bilang kan, kalau Laras berprestasi di sekolahnya. Lalu aku apa? Bukankah aku juga begitu.
"Kita pulang saja!"
"Eh tunggu. Kau tidak pamit dengan ibumu?"
"Dia sibuk? Untuk apa?" Aku berjalan saja, Munah yang merasa kalah dan hanya bisa mengikuti langkahku.
"Nara, Nara." Kami serempak menoleh. "Nara, kau mau pulang?" Ini dia ayah dari anak yang bernama Laras. Mau apa dia sekarang.
"Iya." Wajahku tak berekspresi, senyum pun rasanya sayang aku berikan untuknya.
"Kita belum berphoto Nara. Tunggu sebentar ya."
"Maaf om. Photo apa ya?"
"Kita belum berphoto keluarga nak. Tunggu sebentar ya?"
"Om, tidak usah! Maaf ya om. Aku merasa tidak memiliki keluarga. Permisi." Ayo, begitu aku mengisyaratkan melalui pandangan mata, dan menarik lengan Munah agar dia tak protes dan memintaku menuruti kemauan om Asraf.
Sampai di dalam mobil, Munah juga tidak berani untuk mulai berbicara. Apapun itu, padahal aku tau dia sebenarnya ingin protes.
"Eh Nara, ayahmu telepon." Aku mengernyitkan dahi. Kenapa harus menelpon ke ponselnya Munah. Aku cepat-cepat mencari ponsel di dalam tas. Kasian jika Munah harus mengangkat telepon, dia juga sedang menyetir mobil.
"Ya ampun, ayah telepon aku sudah puluhan kali ternyata." Mungkin tidak mendengar karena suara musik tadi atau apa. Entah juga karena hatiku di penuhi amarah sehingga telingan menjadi tuli dan hanya fokus mendengarkan pembicaraan ibu.
"Angkat saja ini." Munah menyodorkan ponselnya padaku.
"Hallo yah? Ini aku Nara. Tadi tidak mendengar kalau ayah telepon."
"Memangnya kau dimana? Ayah di apartemen ini." Aku melirik ke arah Munah. Ayah pasti akan melihat keadaan apartemen yang kacau.
"Ini aku sudah jalan pulang. Bentar lagi sampai."
Aku meminta Munah untuk mempercepat laju mobilnya. Berarti sedari tadi ayah sudah menunggu. Sampai di apartemen aku berlari lebih dulu dan meminta Munah untuk memarkir mobil. Menaiki lift dan mempercepat langkahku. Aku menabrak seseorang karena berjalan tergesa-gesa.
"Maaf maaf, aku tidak melihat."
"Nara?" Aku mendongak saat tubuh yang ku tabrak berbalik.
"Adam?" Kami hanya berdua di dalam lift.
"Mau apa kau kesini?" Kenapa aku jadi trauma saat melihatnya?? Ya Tuhan, aku takut. Kami hanya berdua di dalam lift. Aku memejamkan mata, cepatlah sampai. Begitu doaku.
"Aku hanya ingin memastikan keadaanmu Nara. Hei tunggu." Dia menarik tanganku yang berjalan keluar dari lift.
"Tunggu."
"Semuanya kacau. Pergilah, ada ayahku di apartemen." Adam berdiri diam dan aku langsung pergi meninggalkannya. Aku yakin pasti nanti Adam akan bertemu dengan Munah.
Aku sudah kehilangan kesucian ku karenanya. Dia muncul lagi hanya dengan alasan ingin melihat keadaan ku. Bagiamana bisa aku akan baik-baik saja. Kalau Munah tidak datang tepat waktu, mungkin aku lebih memilih mengakhiri hidupku di apartemen. Menjadi bangkai yang akan membusuk dan entah sampai kapan orang akan tahu.
"Ayah." Ucapku lirih. Aku menatap sosok yang berdiri di belakangnya. Kenapa harus membawa istrinya datang kesini?
"Kau dari mana?" Ayah langsung bertanya. Aku diam tak menjawab dan membuka pintu lalu masuk ke dalam. "Kau tidak pernah membersihkan apartemen mu? Kau anak perempuan Nara, harusnya kau rajin." Aku diam, masuk ke kamar dan meletakkan tas ku.
"Ayah mau apa datang kesini?" Aku berdiri saja, enggan untuk duduk.
"Duduklah dulu, ayah ingin bicara." Aku masih berdiri. "Nara, duduklah. Kau sudah mengecek rekening atau belum? Ayah sudah transfer uang dengan jumlah yang kau minta. Dan uang bulanan akan ayah tambah mulai bulan depan." Aku melunak, aku senang. Dengan begitu, aku bisa mewujudkan impian untuk membangun rumah adik-adikku di jalanan.
"Terimakasih." Ucapku.
"Soal asisten rumah tangga yang ayah bicarakan semalam. Dia akan datang besok, mulai bekerja."
"Ayah harusnya tidak usah." Ayah mengangkat tangannya aku tidak menolak lagi apa yang sudah dia perbuat. Ku lihat Tante Intan berdiri dari duduknya. Lalu mengambil sapu dari dapur, dan membersihkan apartemen. Maksudnya dia mau mencari muka denganku? Pintu terbuka, dan sosok Munah muncul, aku berharap Adam tidak ikut. Aku menghela nafas lega saat Munah kembali menutup pintu, yang berarti benar Adam tidak ikut.
"Apa kau pergi bersama Munah ke pesta ulang tahun saudara tirimu?" Aku memukul sofa dengan bantal.
"Ayah, jangan pernah menyebut hal itu. Aku tidak merasa mempunyai saudara." Ayah malah tertawa meledekku. Entah kenapa, sejak kecil juga hanya ayah yang bisa membuatku tertawa dan juga dia yang membuatku menangis.
"Aku hanya anak yang terbuang. Dan sekarang, ayah juga sudah menemukan kebahagiaan bersama istri baru ayah." Wajah ayah langsung pias, dan ku dengar suara sapu yang tiba-tiba terjatuh di lantai. Munah menundukkan wajahnya, terkadang dia takut kalau mendengar aku berbicara asal. Takut kalau terjadi pertengkaran.
"Nara, kau sudah dewasa. Berhenti menyalahkan orang tuamu. Kau sudah harus berpikir!" Suara ayah mulai meninggi.
"Mas sudah." Tante Intan langsung mendekat, mengelus bahu ayah agar tidak emosi.
"Coba katakan, sebenarnya apa yang kau inginkan?" Kenapa baru bertanya sekarang? Kenapa yah? Apa aku harus menangis, dan mengaduh keluh kesah selama bertahun-tahun yang aku pendam sendirian. Dulu saja, setiap aku ingin berbicara ayah dan ibu selalu tak ingin mendengar. Jika sekarang aku berbicara, itu sudah terlambat. Aku hanya ingin mereka tidak bercerai, tidak bertengkar setiap harinya. Memberiku kasih sayang selayaknya seorang anak. Tidak meninggalkan aku bersama asisten rumah tangga, dan mereka pergi selama beberapa hari. Aku ingat itu! Ingat semuanya!! Sampai aku memergoki ibu sedang berada di dalam kamar berdua dengan lelaki lain sewaktu ayah pergi keluar kota. Apa itu pantas? Mengancam ku agar tidak berkata apapun kepada ayah. Lalu setelah ayah hanya ketahuan pergi berdua dengan wanita lain, ibu langsung menggugat cerai ayah.
Dan sampai saat ini aku belum tau apa alasan ayah dan ibu menikah?
"Kau tidak mau bicarakan? Bagaimana bisa masalah bisa kelar."
"Semua sudah terlambat yah. Biarkan aku hidup begini, aku mau sendiri."
"Itu kemauan mu kan? Lalu mau sampai kapan kau begini? Memusuhi ayah dan ibumu? Sampai kapan? Kau tidak bisa menerima keluarga yang baru. Kau lebih memilih tinggal di apartemen, ayah menurutinya. Tapi kau malah memberi jarak dengan ayah."
Aku menangis, air mataku langsung jatuh. Aku tau, posisi Munah saat ini sungguh tidak enak. Dan harusnya aku menghindari pertengkaran di depannya. Munah berusaha menenangkan aku tanpa suara, dia terus menepuk pundak ku. Tante Intan juga sudah duduk tepat di sebelah ayah. Ku dengar nafas ayah menggebu, dia menahan emosinya.
"Maafkan ayah Nara. Mungkin saat ini belum tepat kau harus tau semuanya." Ayah bangkit dari duduknya, menarik tangan istrinya.
"Aku sudah dewasa yah, sebentar lagi juga aku lulus. Dan harusnya aku sudah tau hal ini."
Ayah mendekat ke arahku, lalu mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Hatiku berdebar, apa ini? Aku sangat merasakan kenyamanan. Apa ayah hanya berakting di depan Tante Intan? Agar terlihat ayah seorang yang penyayang?
Aku juga baru tau Tante Intan ternyata masih gadis, dia belum menikah. Pantas saja dia tak memiliki anak. Yang aku kira Tante Intan juga janda.
"Suatu saat kau bakal tau kebenarannya. Maafkan ayah."
"Aku hanya butuh penjelasan. Sampai kapan aku menunggu? Dan hidup dalam rasa bersalah karena sudah di lahirkan dari rahim ibu. Hidup tanpa kasih sayang kalian." Aku Berteriak sampai tubuhku sendiri bergetar. Ayah kembali duduk, dia menarik ku dalam pelukannya. Aku semakin terisak. "Aku hanya butuh kasih sayang orang tua." Aku sesegukan, bahkan berbicara saja sudah terbata-bata.
"Nara, dulu ayah dan ibu belum siap memiliki anak." Apa? Aku bak di sambar petir. Lalu hanya itu alasannya ayah dan ibu sampai tidak bisa memberi ku kasih sayang?
"Ayah, aku ingin sendiri." Aku melepas pelukannya, mempersilahkan ayah untuk pergi. Lalu aku menyandarkan tubuhku di sofa. Tubuhku sudah benar-benar lemas sekarang.
Pandanganku kabur setelah kepergian ayah. Gelap, gelap semuanya.
"Dia belum makan sama sekali."
"Bagiamana bisa? Bukannya kau sendiri yang bilang kalau kalian habis pulang dari rumah ibunya?"
"Iya, tapi Nara tidak mau makan."
"Harusnya kau ajak dia!"
Aku samar-samar mendengar suara teman-temanku. Tapi bukankah hanya ada Munah tadi? Aku mengerjab, perlahan mengembalikan kesadaran ku. Tanganku terasa sangat lemas, hanya untuk sekedar mengucek mata juga tidak bisa.
"Nara? Hei? Kau sudah sadar?" Wajah itu, dia yang menyentuh wajahku dengan sangat lembut. Mengusap kepalaku. Aku berusaha untuk duduk tapi tidak bisa. Aku dimana sekarang? Ku lihat, oh ternyata di dalam kamarku sendiri.
"Apa yang kau lakukan sampai merusak semua barang yang ada di kamar?" Aku menatapnya dengan tajam. Dia berani bertanya setelah melakukan hal itu.
"Nara, kau makan dulu ya. Biar aku suapin. Adam tadi yang beli." Wahid dan Adam membantuku untuk duduk dan bersandar di kepala tempat tidur.
"Buka mulutmu." Aku menurut, bubur masuk ke dalam mulut, langsung ku telan tanpa aku kunyah. Terasa sangat pahit mulutku.
"Aku kenapa?" Akhirnya aku bisa bertanya setelah memiliki tenaga.
"Kau pingsan ketika ayahmu pulang. Dan sekarang baru sadar. Kau lihat ini sudah jam berapa? Aku panik, dan hanya bisa menghubungi Adam dan Wahid." Wahid mendekat ke arahku, matanya berkaca-kaca. Lalu mengelus puncak kepalaku. Wahid, dia memang baik. Sebelum ada Adam juga sudah ada dia di sampingku.
"Kenapa kau sampai seperti ini? Kau membuat kami semua khawatir?"
"Aku cuma punya kalian." Ucapku dengan nada bergetar. Wahid menggeleng, dia tak mau melihatku menangis lagi.
"Satu yang belum pernah kau coba." Aku terdiam menunggu Wahid melanjutkannya kata-katanya. "Kau harus bisa berdamai dengan keadaan." Deg. Hatiku mencelos. Jujur, aku belum pernah melakukan hal itu. Belum pernah sekalipun. Jangankan mencoba, berpikir juga belum.
"Menikmati hidupmu, dan menjalani semuanya tanpa lagi ada kesedihan dan beban. Nara, anak seusia kita memang harusnya menikmati kehidupan. Terima ayah dan ibumu, terima keluarga barumu. Meskipun kau hidup sendiri disini, tapi dengan begitu kau akan merasakan apa itu kasih sayang. Tidak selamanya kita bersama, kelak aku, Adam, dan Munah juga akan memiliki pasangan. Kita akan sibuk dengan urusan kita sendiri. Dan saat itu tiba, kau belum juga bisa menerima ini semua. Maka kau malah akan jauh lebih terpuruk dan merasa sendiri. Ayo bangkit." Aku tersenyum, tapi air mataku berhasil lolos. Aku harus mulai semuanya dari nol? Begitu? Tapi bagiamana dengan keadaan yang sudah tak suci lagi. Aku mau mulai semuanya. Mencoba mendengar apa yang akan di katakan ayah nantinya. Tentang alasan mereka yang katanya belum siap waktu itu memiliki anak, apa maksudnya ayah dan ibu melakukan sebelum menikah?
Lalu terpaksa menikah karena ibu sudah mengandung aku? Kalau iya, berarti aku juga akan mengalami hal itu? Jika aku hamil dan aku harus terpaksa menikah dengan Adam. Lalu anakku nantinya juga akan merasakan hal itu? Begitu??? Ya ampun. Banyak sekali yang harus aku lewati dan alami. Apa ini belum cukup menguji anak seusiaku.
"Nara? Apa kau mendengar apa yang aku katakan?" Aku hanya bisa mengangguk. Aku akan belajar menerimanya. Tidak bisa langsung aku mengatakan kalau aku benar-benar sudah menerimanya kan.
Mereka tak lagi mau membahas soal itu, setelah melihatku sudah mulai mau tersenyum melihat ulah mereka. Seperti ini, Wahid bisa dewasa pada waktu-waktu tertentu. Memberi ku nasehat terbaik yang dia bisa, lalu bertingkah konyol lagi ketika sudah kehilangan kewarasannya.
"Sudah Hid, aku lelah. Wajahmu jelek! Apa ada perempuan yang mau denganmu nantinya." Wahid langsung menoyor kepala Munah sampai terjungkal di atas tempat tidurku.
"Kalau mau bicara, kau lihat sekali lagi." Dia merapikan rambutnya yang semula berantakkan karena habis bergulat dengan bantal yang di pukul berulang-ulang oleh Munah.
"Nara, kau tau kan anak IPS yang kemarin? Yang kita jodohkan dengan Wahid?" Aku mengangguk. Iya aku mengingatnya, hanya saja lupa namanya. "Dia saja tidak mau denganmu. Kau pelit! Jangan-jangan pas pergi kencan wanita lagi yang disuruh bayarin." Wahid menatap Munah dengan tajam. Dia masih belum menghentikan mulutnya yang terus menghina Wahid.
"Kalau Adam, dia jelas sudah pacaran dengan Elena. Gadis cantik, cie." Deg. Benarkah? Eh kenapa aku merasa tidak nyaman Munah mengucapkan hal itu?
"Benarkah?" Wahid saja tak percaya. Adam hanya tersenyum tipis lalu menoleh ke arahku.
"Party dong Dam. Makan-makan gitu kek."
"Nah benar kan? Benar kan, kau lihat Nara. Dia senang sekali mendapatkan gratisan."
"Aw." Wahid mencubit kedua pipi Munah dan menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri.
"Sakit!" Dia membalas dan memukul paha Wahid dengan keras.
"Bedalah! Kalau untuk pacar ya aku mau bayarin!" Ucapnya bangga. Aku benar-benar tidak bisa menahan tawa jika mereka sudah adu mulut begini.
"Memangnya apa bedanya?" Munah bertanya.
"Ya beda! Kalau kau kan sudah dikasih uang jajan sama ayahmu. Jadi untuk apa uang itu, dia cari kan juga buat anak." Mengelak lagi.
"Lalu, apa pacarmu tidak memiliki ayah?" Wahid tak bisa menjawab. "Nah kalau begitu, kau pacaran saja dengan anak yatim, atau anak-anak jalanan yang memang tak punya orang tua. Kalau bisa sekaligus sedekah."
Anak-anak jalanan? Aku jadi teringat adik-adikku. Sedang apa mereka ya? Pasti sedang meringkuk kedinginan.
"Hei, Dam. Jawab dulu, kau benar pacaran dengan Elena?" Adam mengangguk lemah. Seperti biasa dia melirik ku. Kenapa sih? Apa dia merasa segan karena telah merenggut kesucian ku?
"Selamat ya Dam? Boleh dong sekali-kali kau bawa Elena nongkrong sama kita?" Wahid mulai menggoda, begitu juga dengan Munah. Dia tampak setuju dan antusias. Mereka memang senang memiliki teman baru.
"Nanti kalau dia mau." Aku tersenyum kecut.
"Nara, kalau kami pulang sekarang tidak apa-apa kan? Kau bisa ditinggal sendiri kan?" Aku mengangguk. Memangnya kenapa? Memang aku sudah terbiasa sendiri sepertinya.
Aku merasa sudah enakkan, dan bisa berjalan untuk mengantar mereka sampai di depan pintu. Aku juga harus menguncinya. Kalau tidak bisa saja Adam nekat dan kembali datang kesini.
"Nara, jika kau belum sehat. Sebaiknya besok kau tidak usah masuk dulu."
"Hem mana mungkin lah Munah. Aku sudah libur dua hari, masa iya mau libur lagi besok. Yang dikira itu sekolah ayahku apa."
"Bisa saja kalau ayahmu berniat membelinya." Haha, mereka serempak tertawa. Dan detik berikutnya setelah aku menutup pintu, tawa mereka hanya bisa samar-samar terdengar. Kembali sepi dan hening. Aku berjalan menyeret kaki yang masih lemas.
Tiba-tiba bayangan kejadian tadi malam mengusik pikiranku. Aku menandai tanggal di kalender, kapan tanggal aku terakhir kali mendapat menstruasi. Lalu aku beralih ke laptop. Di sana akan terlihat CCTV yang terekam. Mau tidak mau aku harus melihatnya. Walau tubuhku gemetar, tapi aku sangat ingin tau apa yang terjadi.
"Ha?" Aku menutup mulutku, dan menggeleng pelan. Aku saja merasa jijik melihatnya. Benar, itu aku yang mulai. Tapi bagiamana bisa? Meski sudah melihat jelas, Adam sempat menolak. Tapi, aku masih tetap tidak percaya dengan kelakuan yang sangat rendah ini.
Aku terus memutar rekaman yang merekam setiap detiknya yang terjadi di dalam kamar. Adam terlihat duduk frustasi, lalu dia berlari menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Dia duduk dengan menekuk kaki dan memeluknya. Sepanjang video rekaman CCTV. Tak memperlihatkan Adam tidur, setelah itu dia benar-benar tidak menyentuh ku. Adam malah berjalan keluar kamar setelah memakai pakaiannya kembali.
Aku tau, berarti Adam memang tidak meninggalkan ku malam itu. Mungkin dia memilih untuk tidur di sofa.
Dan setelah aku melihat semuanya. Aku menyalakan diriku sendiri, kebodohan ku. Lalu aku memutuskan untuk merusak CCTV dan tidak lagi mau menggunakannya. CCTV hanya berlaku di sudut lain tapi tidak di dalam kamar.
Besok aku harus masuk ke sekolah, menemui Adam dan mencoba untuk membahas masalah ini. Memintanya agar tidak berbicara kepada siapapun, termasuk Wahid dan Munah. Mereka jangan sampai tau, yang ada malah Munah merasa jijik untuk tetap berteman denganku.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments