Satu bulan telah berlalu, aku yang sudah memiliki pembantu di apartemen. Dan jam makan ku juga jauh lebih teratur. Setiap pagi sarapan sudah tersedia untukku, setiap pulang sekolah juga sudah ada makanan. Dan, sebelum pulang juga dia yang aku panggil bibi akan kembali memasak untuk makan malam ku.
Dia bi Gina. Seorang wanita paruh baya yang selama ini kulihat memiliki hati yang lembut dan penyayang. Aku bahkan tidak mau di panggil nona, aku minta dia hanya memanggilku dengan sebutan nama. Namaku Kinara! Bi Gina tidak memiliki anak, tapi dia harus mengurus suaminya yang sakit karena terkena struk. Dan hanya bisa duduk di kursi roda. Sebelum itu, suaminya seorang supir. Dia bernama pak Suryo. Itu yang bi Gina sebutkan padaku.
Kehidupan bi Gina berubah setelah suaminya harus berhenti bekerja menjadi supir pribadi saat tuannya mengalami kecelakaan dan meninggal. Itu sekitar dua tahun lalu. Dan tak lama, suaminya terjatuh di kamar mandi. Dan mengalami struk. Kelumpuhan di bagian kakinya. Membuat bi Gina harus bekerja, untuk kebutuhan sehari-hari dan juga terapi untuk suaminya. Bi Gina sangat mengharapkan kesembuhan pada suaminya.
"Bibi sangat mencintainya?" Bi Gina mengangguk.
Dia kembali bercerita tentang anak semata wayangnya, yang katanya meninggal saat usia 2 tahun. Karena mengalami kejang saat panas tinggi. Semenjak itu, Tuhan tak lagi memberi karunia seorang anak pada pasangan ini.
"Padahal, kami sangat berharap dapat menimang anak." Ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Mungkin jika mengingat kejadian puluhan tahun lalu membuatnya selalu sedih. Aku berusaha menghiburnya dengan mengatakan bisa menganggap ku anak mulai sekarang. Dengan begitu, aku juga bisa mendapat kasih sayang dari seorang ibu. Walau itu bukan ibu kandungku.
"Padahal, jika keluarga majikan suami bibi tau bibi yakin mereka juga mau membantu. Mereka keluarga yang baik. Hanya saja, suami bibi tak pernah mau memberi tau dimana alamatnya sekarang dan juga namanya." Mengingat biaya setiap terapi yang besar, bi Gina kadang rela hanya makan dengan telur ceplok. Yang terpenting kesembuhan suaminya.
"Apa bibi tidak tau bagaimana orangnya? Maksudnya mantan majikan suami bibi?" Bi Gina menggeleng.
Bi Gina bercerita, katanya suaminya tidak pernah mengijinkan bi Gina untuk datang kerumah majikannya, meski mereka sudah meminta suami bi Gina memperkenalkannya.
"Saat itu, suami bibi tidak di ijinkan mengantarnya pergi keluar kota saat akan mengurus pekerjaan. Itu juga perintah, walau di awal sempat suami bibi merasa tidak enak karena memang itu pekerjannya. Tapi setelah beberapa hari kemudian. Suami bibi mendengar kabar kalau beliau kecelakaan dan meninggal di tempat. Bibi turut berduka, tapi juga mengucap syukur. Karena tak bisa bibi bayangkan kalau suami bibi yang mengantar waktu itu. Bisa saja, suami bibi juga akan ikut meninggal dalam kecelakaan."
Tapi yang anehnya, setelah mendengar semua cerita tentang bi Gina dan keluarganya. Ada satu yang aku dengar itu seperti sebuah kejanggalan. Bi Gina mengatakan, kalau jangan memberi tau siapapun tentang kabar duka kematian itu. Dan sebenarnya suami bi Gina tidak di pecat, hanya saja mengundurkan diri karena keluarga mereka yang pindah keluar kota. Jadi, ini seperti ada masalah tersendiri.
"Padahal, bibi juga tidak akan memberi tau pada siapapun. Bibi hanya bisa mengenal kebaikan mereka melalui cerita suami bibi. Mereka sering memberi uang tambahan ataupun sembako kepada keluarga bibi. Maka dari itu, bibi berpikir bahwa jika bibi meminta bantuan mereka pasti bisa. Setidaknya bibi bisa bekerja dirumah mereka sebagai gantinya."
Aku mengelus lembut tangan bi Gina yang masih basah sehabis mencuci piring.
"Bi, sudah tidak perlu lagi memikirkan hal itu. Bibi juga sekarang sudah bekerja disini. Jadi kalau bibi perlu uang ataupun sesuatu dalam bentuk bantuan. Bibi bisa memintanya padaku."
"Makasih banyak Nara." Aku memeluknya, lalu segera pamit untuk pergi ke sekolah. Hari ini ada ulangan harian katanya. Jadi Munah berkali-kali memberi peringatan padaku untuk tetap datang ke sekolah.
***
Sudah dua hari ini, setiap aku datang ke sekolah. Selalu ada coklat di dalam laci meja ku. Aku merabanya saat hari ketiga, sebelum meletakkan tasku ke dalam. Ternyata benar, ada coklat. Siapa yang memberi? Kalau tidak sengaja mana mungkin sampai tiga hari berturut-turut. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling kelas. Semua tengah sibuk berbincang dan ada juga yang sedang menulis, aku yakin itu pasti contekan tugas yang tak sempat mereka kerjakan.
"Hei!" Munah datang dan menepuk pundak ku. Aku akan menanyakan padanya. Karena kemarin dia bilang mungkin itu hanya orang yang lupa. Sengaja meletakkan lalu lupa untuk mengambilnya kembali.
"Kau lihat." Aku menggoyangkan coklat tepat di hadapan wajahnya. Munah juga heran, sekarang dia sadar. Pasti ada yang sengaja meletakkan ini dimeja ku.
"Hei semua! Tolong perhatikan." Semua menoleh ke arahku dan Munah. Lihat, tingkahnya memang menjengkelkan. Apa tidak bisa bicara nanti saja.
"Siapa yang meletakkan coklat di meja Kinara? Atau kalian lupa untuk mengambilnya setelah meletakkannya disini?" Diam, hening tidak ada yang menjawab.
"Apaan sih, tidak penting. Seharunya bersyukur kalau ada yang kasih. Malah teriak-teriak!" Mida, dia memang selalu iri denganku. Seperti selalu mencari masalah, tapi aku tidak peduli. "Berarti masih ada yang peduli dengan temanmu, kan kasian orang tuanya pasti tidak pernah memberikannya coklat." Lanjutnya lagi. Brak! Aku langsung berdiri dan menggebrak meja.
"Jangan bawa-bawa orang tua!" Aku mendorong Munah menyingkir dan berjalan menuju meja Mida. Dia malah tersenyum mengejek membuatku emosi, kenapa harus bawa-bawa orang tua.
Jika selama ini aku masih sabar mendengar dia mengatakan ini itu tentangku. Tapi sekarang dia berani mengatakannya secara terang-terangan dan membuatku malu.
"Apa?" Dia berdiri dan mendorongku seperti menantang.
"Hei, sudah-sudah." Munah menarikku, tapi aku menghempaskan tangan Munah. Aku balik mendorong Mida hingga dia terduduk. Jangan kira aku tidak berani melawan dan hanya diam ketika harga diri sudah di injak-injak begini.
Pertengkaran terjadi, saat Mida yang mulai menarik rambutku. Kata-kata cacinya juga terdengar jelas di telingaku. Mengatakan aku anak haram. Apa maksudnya?
Aku semakin emosi, ku tampar wajahnya. Dia berhenti sejenak, memegang pipinya yang terasa panas terkena tamparan. Lalu maju dan menunjang perutku hingga aku jatuh terduduk. Sakit, aku memegang perutku, ini benar-benar sangat sakit.
"Nara?" Munah teriak panik dan membantuku berdiri.
"Apa-apaan ini!!" Wahid masuk bersama dengan Adam. Mereka langsung mendorong Mida dan memapah ku untuk kembali duduk.
"Munah, sebenarnya ada apa?" Munah menunjuk ke arah Mida.
"Dia menunjang Kinara. Dan memang dia yang mulai."
"Kau!" Adam menunjuk Mida yang saat ini penampilannya sudah berantakkan. Aku merintih menahan sakit, lalu Adam meminta untuk segera membawaku ke ruang UKS.
Aku berbaring, dan masih merintih menahan sakit. Salah satu guru sudah masuk dan menanyakan padaku bagaimana kejadiannya. Aku menceritakan dari awal, tak ada sedikitpun kata yang aku tambah, dan aku mengakui kalau aku menamparnya.
"Nara, sebaiknya kau pulang dan istirahat dirumah. Saya sarankan kau juga ke dokter, takut kalau ada apa-apa." Aku mengangguk lemah. Lalu Munah juga pergi meninggalkan ku untuk mengambil tas yang masih tertinggal di dalam kelas.
Munah membantuku berjalan untuk menuju parkiran mobil. Dia sangat mengkhawatirkan keadaanku.
"Apa kau bisa pulang membawa mobil?" Aku mengangguk.
"Bisa pelan-pelan." Munah menunggu ku sampai aku melajukan mobil, sakitnya berkurang tidak seperti di awal tadi.
Aku sempat berhenti di pinggir jalan raya, menepikan mobilku. Hanya untuk menjawab telepon dari ibu. Aku tidak ingin perjalananku terganggu karena menyetir sambil menerima telepon. Aku lupa bawa earphone soalnya.
"Hallo?" Suaraku masih lirih, ini juga pengaruh dari perutku yang sakit.
"Nara, ibu punya kabar gembira." Aku siap mendengarnya. "Ibu hamil Nara." Dia bahkan teriak kegirangan. "Kau bakal memiliki adik Nara. Ibu hamil." Dia mengulang kata-katanya lagi.
"Selamat ya Bu." Aku langsung menutup telepon. Aku diam sebentar, belum berniat untuk melajukan mobilku. Lalu aku kembali melihat tanggal. Astaga, seharusnya aku sudah mendapat menstruasi 5 hari lalu. Tapi kenapa belum? Kata-kata ibu malah mengingatkan ku. Aku langsung melajukan mobil dan mencari apotek terdekat. Melajukan mobil dengan sangat pelan. Hingga aku melihat ada papan kecil yang bertuliskan apotek. Aku langsung berbelok. Turun dan berjalan dengan sedikit membungkuk, agar rasa sakit di perutku tidak seperti ingin membunuhku.
"Kak testpack merk apa saja, dua ya." Penjual belum bergerak, dia malah melihat ku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Aku tersenyum dan menjawab. "Untuk ibuku kak." Dia mengangguk.
"Tunggu sebentar." Aku langsung membayar tanpa bertanya harga. Saat akan berbalik penjual kembali memanggilku, dan berteriak "kembaliannya" aku menoleh dan tersenyum.
"Ambil aja kak." Langsung ku tutup pintu mobil dan menghidupkan mesin.
Aku memasukannya kedalam tas. Akan aku coba nanti sewaktu bi Gina sudah pulang. Cemas, itu yang aku rasakan.
***
"Nara, kenapa sudah pulang? Kau sakit?" Aku meringis dan memegang perutku, duduk di sofa dan menyandarkan tubuhku.
"Sakit perut bi." Bi Gina langsung berjalan ke arah dapur. Kembali dengan membawa wedang jahe. Sangat enak mengirup aromanya. Bi Gina memintaku segera meminumnya.
"Kenapa bisa sakit? Apa telat makan?" Aku menggeleng, kalau pun aku ceritakan yang sebenarnya aku yakin bi Gina malah khawatir.
"Mau bibi pijat sedikit? Soalnya bibi juga bisa dan tau soal urat, kalau bagian perut ya juga bisa." Aku mengangguk, dan merebahkan tubuhku di sofa. Siapa tau sakitnya bisa berkurang, pikirku. Bi Gina mulai membuka kancing seragam sekolahku, agar tidak susah jika di urut. Saat sentuhan pertama aku merasa geli, tapi juga nyaman. Aku percaya kalau bi Gina memang padai memijat.
Detik berikutnya dia terdiam, saat menyentuh perutku di bagian kanan. Dia menatapku lalu kembali mengancing seragamku, dan memintaku untuk istirahat saja.
"Atau mau bibi panggilkan dokter?" Aku menggeleng cepat.
"Tidak usah bi. Memangnya ini sudah?" Bi Gina mengangguk, tapi dia diam dan tidak bicara lagi. Saat bi Gina pergi ke dapur, aku berjalan masuk ke kamar. Lalu mengunci pintu. Rasa penasaran yang tidak bisa menunggu bi Gina pulang, aku masuk ke kamar mandi. Bi Gina juga tidak bisa masuk ke kamarku kan.
Aku menampung air seni ku, lalu mengikuti petunjuk cara menggunakan testpack. Ku celup dan menunggu beberapa menit. Ku kibaskan agar cepat terlihat hasilnya. Mataku meneliti sebelum akhirnya tubuhku melemas. Melihat hasil yang saat ini ada di tanganku. Jadi aku bukan hanya memiliki adik tapi juga anak. Ya Tuhan, bagaimana ini? Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar mandi. Menggigit jari tangan, lalu berjalan lagi. Sampai ku dengar suara ketukan yang sangat keras di pintu kamar. Bi Gina berteriak memanggilku.
"Nara, apa kau baik-baik saja?" Aku langsung memasukkan testpack ke dalam kantung seragam. Buru-buru keluar dan bersikap seperti biasa saja.
"Iya bi? Kenapa?" Aku membuka pintu.
"Syukurlah. Bibi kira ada apa-apa, soalnya dari tadi di panggil di nyahut." Bi Gina berbalik setelah memastikan keadaan ku baik. Lalu dia berhenti melangkah sebelum aku menutup pintu kamar.
"Ganti baju dan istirahat lah Nara." Aku mengangguk dan kembali menutup pintu, kali ini aku tidak menguncinya.
Aku membuka seragam sekolah dan meletakkan di bawah. Kebiasaan ku tidur hanya dengan menggunakan hotpant dan kaus oblong. Malah lebih nyaman seperti ini.
Aku menggeliat saat pipiku di tepuk, merentangkan otot tubuh. Aw, aku masih merasakan sakit di perutku ketika asal bergerak.
"Nara?" Aku membuka mata lalu memahami siapa sosok yang saat ini berada di sampingku.
"Munah?" Dia mengangguk, aku melirik ke arah jam dinding. Masih pukul 01 siang. Berarti Munah baru pulang dari sekolah.
"Kau sendiri?"
"Tidak, aku bersama Adam dan Wahid. Mereka ada diluar mengobrol dengan bi Gina."
Mereka juga sudah mengenal bi Gina. Begitu dengan bibi, mereka bahkan cepat akrab. Mungkin karena mereka juga sering main kesini. Hanya saja mereka tidak tau latar belakang bi Gina seperti apa. Sebenarnya sore ini aku berniat untuk datang melihat adik-adik jalanan. Tapi melihat kondisi dan kenyataan yang baru saja aku lihat, rasanya aku masih ingin sendiri.
"Kau bisa berjalan keluar kan? Biar aku bantu." Aku berusaha untuk bangkit, bukan karena sakit di perutku. Tapi memang karena aku baru saja bangun tidur, jadi otot-otot tubuhku belum sepenuhnya singkron.
"Munah, aku bisa jalan sendiri." Aku tersenyum, sekhawatir itu dia padaku. Apa ibu akan begini juga kalau tau aku sakit? Ah tidak mungkin. Pasti ibu malah memintaku untuk pergi berobat ke dokter. Eh baru saja ingin berdamai dengan keadaan tapi ada saja masalahnya.
"Adam membawa Elena." Aku menghentikan langkah sebelum keluar pintu kamar. Menoleh ke arah Munah, padahal tadi dia tidak menyebut nama Elena. "Dia meminta ikut. Karena tadi sempat heboh saat kau berkelahi dengan Mida."
Mida, bagaimana dia sekarang? Perempuan yang tidak memiliki hati. Aku benci sekali dengannya.
Aku tersenyum ke arah mereka semua yang tengah duduk di sofa. Elena duduk di sebelah Adam, tangan mereka juga saling bertaut. Heh, aku tidak cemburu melihatnya. Tapi apa kabar dengan janin yang ada di perutku?
"Kak, sudah enakkan?" Aku menjawab dengan mengangguk dan tersenyum. Tatapan Adam ke arahku seperti sedang mengasihani.
Elena, dia gadis baik cantik, dan juga ramah. Itu menurutku, selain itu dia juga pintar. Tak heran jika Adam bisa suka padanya. Namanya begitu mencolok di sekolah. Wajahnya yang imut seperti anak-anak. Dia masih di bawah kami satu tahun.
"Ini di minum dulu, capek kan baru pulang sekolah." Bi Gina membawa nampan berisi minuman segar.
"Tidak lah bi, sekolah kok capek. Yang capek itu bibi kerja, mana repot-repot buat minuman lagi." Wahid, memang benar yang dia katakan. "Tapi kalau ada cemilan yang tidak apa-apa bi, sekalian aja di hidangkan." Munah langsung menarik rambut Wahid. Itu juga mewakilkan rasa jengkel ku saat ini. Sia-sia saja aku memujinya dalam hati tadi.
"Hehe iya tunggu sebentar ya. Bibi ambilkan."
"Dasar kau Hid. Lihat bi Gina jadi repot kan!" Munah masih tetap menghakimi Wahid.
Aku melirik ke arah dua sejoli yang asik berbicara berdua, berbisik dan sesekali tersenyum. Oh begitu indahnya dunia mereka berdua sepertinya. Haha, aku mengelus perut rata ini, jangan sampai kau terlahir dan menjadi sengsara seperti ku. Ya, setelah ini aku harus mencari cara bagaimana caranya menggugurkan kandungan ini. Aku tidak mau, aku belum siap. Apapun ceritanya, aku belum siap menjadi ibu. Aku tidak mau berumah tangga.
"Ini silahkan dimakan." Ucap bi Gina yang datang membawa cemilan, sepertinya dia membuatnya sendiri. Aku yakin, sebenarnya itu hanya untukku. Hanya saja kedatangan tamu yang tidak di undang. Ah, tapi tidak apa-apa mereka juga baik padaku.
"Itu pacarnya Adam ya?" Elena tersipu malu, wajahnya memerah saat bertatap muka dengan Adam. Lalu dia mengangguk lagi ke arah bi Gina. Aku sebenarnya tidak iri. Hanya saja, mungkin karena aku mengalami kejadian ini dengan Adam. Dan yang lebih parahnya aku tengah mengandung.
"Kalian sudah membaca selebaran di papan pengumuman sekolah?" Adam bertanya, aku hanya menguping. Sungguh, aku masih lemas. Syok yang terjadi padaku belum hilang setelah melihat testpack tadi.
"Memangnya apa?" Sambil mengunyah, membuka tutup mulutnya yang kepanasan. Aku memang tidak habis pikir melihat tingkah laku Wahid.
"Aku juga tidak tau." Jawab Munah dan mengikuti Wahid memakan cemilan yang di sediakan bi Gina.
"Itu lho, pengumuman tentang praktek kita nanti. Temanya tuh liburan. Kita di bagi beberapa kelompok. Seperti melakukan touring dan meng-upload videonya ke YouTube. Nah nanti soal penilaian di nilai Bu Rania sendiri."
"Temanya tentang alam kan?" Adam mengangguk. Aku juga ingin melihatnya besok. Sepertinya bakal seru.
"Kira-kira pemilihan kelompok Bu Rania yang pilih atau kita?"
"Kita sih tadi aku dengar dari murid yang lain. Tapi ya tidak tau juga."
"Aku boleh ikut tidak kak?" Manjanya suara Elena. Tapi kenapa aku malah ingin muntah mendengarnya, seperti di buat-buat.
"Ikut aja El. Tapi kau hanya pergi berdua dengan Adam." Garing tau nggak, mereka bisa tertawa tapi aku tidak.
"Party besok, mau nggak?" Aku menawarkan hal lain, membahas masalah lain. Mereka diam belum menjawab, hening. Aku melirik ke arah Elena yang menggelengkan kepalanya pelan. Ah aku tau maksudnya. Pasti dia tidak memberi ijin pada Adam.
"Kau juga bisa ikut Elena." Matanya berbinar. Tapi kali ini Adam yang menggeleng. Ha, susahnya jika memiliki pasangan begini.
"Nara, bibi mau bersihkan kamar ya?" Bi Gina selalu meminta ijin terlebih dahulu, padahal aku tidak masalah jika bi Gina masuk saja. Aku mengangguk dan tersenyum.
"Aku kalau besok malam, hem." Munah masih berpikir, Wahid tidak peduli dan hanya mengunyah.
"Memangnya kau ada masalah? Kau selalu begitu kalau ada masalah. Kondisimu juga belum terlalu sehat Nara." Aku terdiam mendengar Adam berbicara. Yang lain malah mengangguk setuju.
"Eh, gimana Mida tadi?" Secepat itu mengalihkan pembicaraan. Berarti mereka tidak setuju dengan permintaan ku. Hem baiklah.
"Dia di skors."
"Benarkah?" Aku sampai terlonjak kaget. "Lalu, apa aku juga diskors?" Wahid menggeleng.
"Kau kan korban. Aku sebenarnya juga tidak suka dengannya."
"Eleh itu juga karena kau pernah di tolak kan?" Aku menahan tawa, memang ya Munah tidak bisa menjaga sedikit saja rahasia Wahid. "Bagaimana mungkin Mida mau denganmu? Kau saja pelit!"
"Munah!"
"Apa?" Menantang balik.
"Mereka lucu." Bergelayut manja di lengan Adam. Cih, aku tidak cemburu. Tidak! Aku tidak memiliki perasaan apapun dengan Adam. Aku benci malah dengannya sekarang.
"Ahhhhhhhhh!!" Kami serempak menoleh ke arah pintu penghubung yang menuju dapur. Itu suara bi Gina, kenapa? Wahid dan Munah langsung beranjak berdiri dari duduknya. Mereka berlari kecil untuk melihat ke belakang.
Lalu kembali lagi dengan wajah tak berekspresi.
"Kenapa?" Aku bertanya.
"Cuma ada kecoa." Kembali duduk, aku malah heran. Belum pernah ada sih di dalam apartemen ku kecoa.
Mereka pamit untuk pulang, dan mengatakan kalau tidak ada party besok malam. Aku harus istirahat dirumah. Baiklah, mereka juga melakukan ini demi kebaikan ku. Aku kembali rebahan di atas tempat tidur. Menatap langit kamar dengan tatapan kosong. Pikiranku melayang jauh memikirkan bagaimana masa depanku nanti.
Mengingat lagi pesan Munah sebelum mereka keluar dari pintu. "Jangan lupa kabarin aku kalau kau kenapa-napa."
Apa aku harus menceritakan ini kepadanya? Aku tidak mungkin bisa menyimpan rahasia besar ini sendiri. Tidak mungkin bisa!
Suara ketukan pintu membuatku harus membuyarkan segala sesuatu yang aku pikirkan. "Nara, apa bibi boleh masuk?"
"Iya bi, masuk. Tidak di kunci." Ceklek, suara pintu terbuka. Wajah bi Gina sendu. Dia bahkan menunduk saat bertemu tatap denganku.
"Kenapa bi? Apa suami bibi sakit?" Hal yang pertama aku pikirkan. Aku mengubah posisi menjadi duduk dan menepuk ruang kosong. Mempersilahkan bi Gina untuk duduk di sebelahku. Tapi dia tak bergerak, dan hanya berdiri. Lalu menunjukan sesuatu oadaku.
"Apa ini milikmu Nara?" Deg. Aku terdiam. Tulang seperti tidak berfungsi saat ini. Lidahku keluh, aku berharap pandanganku tidak menjadi kabur. Bi Gina tau? Dia menemukan itu? Ibu, ayah, Tuhan aku harus apa sekarang?
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments