"Luka"
Kemana jejak cinta? Kemana jejak rindu?
Angin tak pernah menjawab tentang semua pertanyaan..
Sedih berujung air mata
Ketika hati meredup
Disitulah kepahitan dan patah semangat terjadi..
Beberapa pilihan tergambar
Tak satupun memiliki karakter
Hingga memilih terjerumus
Dan tak ingin melompat keluar
Meski nafas masih menggebu mengharapkan sesuatu..
Lebih baik tetap menggenggam batu di dalam dasar jurang
Menutup mata dan berpura-pura buta selamanya..
Kinara Adnan Husein. 8 September 2019
Aku kembali menulis puisi di pagi ini. Dan itu memang hal yang biasa aku lakukan, ketika kegalauan di hati kembali menyibak begitu saja. Aku lebih suka menceritakan apa yang aku rasa dengan selembar kertas. Selain dengan teman dekat ku.
Aku bahkan sudah memakai seragam sekolah lengkap di pagi ini. Tapi aku lebih memilih untuk tetap duduk di dekat jendela kamar apartemen.
Sedikit mengecewakan tentang perilaku ku. Kebiasaan ku menyesap rokok. Aku benci dengan kehidupanku sekarang, tapi tidak. Sedari kecil memang aku sudah seperti ini. Dan hari ini, rasanya semua benar-benar sudah berakhir. Aku mendengar kabar kalau ayahku menikah besok. Iya, setelah ibu dan sekarang ayah.
Aku lebih memilih tinggal di apartemen milik ayah. Karena aku tidak bisa hidup satu rumah dengan saudara tiri dan ibuku sendiri. Rasanya sangat geli melihatnya bermesraan dengan orang lain yang dia sebut suaminya sekarang. Bahkan dengan ayahku dulu saja aku tak pernah melihat mereka melakukan hal itu. Benar-benar menjijikkan.
Aku kembali bangkit dari dudukku, mengambil sebuah photo di dalam laci lemari. Aku tersenyum, kembali duduk dan menghembuskan asap tipis ke udara. Bak membuang segala gundah yang ada. Haha, aku tak tahan rasanya jika mengingat masa kecilku. Pernah menyukai anak kecil yang waktu itu juga seusia denganku. Kepalanya botak, dan giginya ompong. Aku benar-benar menyukainya. Sekarang bahkan aku tak tau kabarnya. Setelah mereka pindah keluar kota.
"Hallo?" Aku meletakkan sebentar photo itu di samping jendela.
"Kau tidak masuk hari ini?" Hem, aku hanya bisa menjawab begitu.
"Nanti datang ya ke apartemen. Ajak juga Wahid."
"Iya. Kau lupa ya kalau kita sudah punya teman baru? Adam tidak boleh ikut?" Ah iya, aku hampir melupakannya.
Aku kembali meletakkan ponselku, dan mematik korek api lagi. Tak tau sudah berapa banyak aku menghabiskan rokok.
Dia Maemunah. Teman dekat, sahabat dekat. Dan Wahid, dia juga sama. Mereka yang mengerti kehidupanku. Mengerti tentang cerita keluarga ku. Dan baru-baru ini, aku juga mendapat teman baru. Dia Adam. Aku tak masalah berteman dengan siapapun. Asalkan tidak mengusik kehidupanku.
Ibu, dia seharusnya adalah wanita terlembut yang pernah aku kenal semasa hidup. Tapi, ibu tidak pernah peduli. Dan begitu juga dengan ayah. Mereka selalu bertengkar sejak aku kecil. Aku bahkan pernah di bawa ke psikiater, karena terkena trauma berat yang menganggu mentalku. Waktu itu aku masih umur 12 tahun. Ya, aku sangat ingat itu.
"Ayah janji sayang, ayah tidak akan ribut dengan ibu. Kau harus semangat untuk sembuh." Kata-kata ayah berdenging di telingaku.
"Nara, ibu juga sayang. Maafkan ibu ya nak." Dan itu hanya berlaku selama satu hari saja. Mereka terus saja bertengkar. Aku merasa, sebagai anak tidak bisa menyatukan cinta di antara mereka. Memang mungkin mereka tak pernah saling cinta. Dan pada suatu hari, ayah tertangkap basah tengah pergi berdua dengan wanita lain. Mereka memutuskan untuk bercerai.
"Ibu aku mohon, jangan Bu." Tak ada satu katapun yang membuat mereka terpengaruh atas keadaanku.
Semua terjadi satu tahun lalu, tepat dimana aku selesai mengambil raport kenaikan kelas. Semenjak itu, aku memutuskan untuk tidak pernah akan percaya cinta, mengenal cinta apalagi sampai berpikir untuk berumah tangga.
Aku kembali mengambil photo kecilku. Ya, aku hanya menyukainya dulu. Tapi kalau sekarang, jika aku bertemu dengannya pun aku hanya bisa suka sebagai teman. Aku benar-benar mengubur hatiku untuk cinta. Bukan aku yang pernah gagal, tapi ayah dan ibuku yang membuat pelajaran terbesar tentang berumah tangga. Dan traumaku tidak akan hilang sampai kapanpun. Berteman dengan lawan jenis bagiku tidak masalah, malah aku senang. Tapi untuk cinta, maaf. Aku mau hidup begini saja. Dengan kesendirian ku dan semua pilu yang ku punya. Menikmati harta orang tua, haha hanya itu. Tapi tidak kasih sayang dari mereka.
Aku berbaring di tempat tanpa mengganti seragam dahulu. Baru saja hendak memejamkan mata, aku mendengar ponselku berdering. Aku melihat ke arah layar. No, aku benci dia kan? Ku letakkan kembali. Dan sepertinya ayah tidak menyerah begitu saja. Sampai aku muak dan mengangkatnya.
"Nara, kau tidak masuk sekolah hari ini? Ayah ada di sekolah. Padahal, maksud ayah, kau pulang ikut ayah dan menginap. Karena besok pagi ayah akan melaksanakan pernikahannya." Deg. Dasar ayah bodoh! Aku memaki tanpa suara. Air mataku menetes, aku benci.
"Maaf yah. Aku tidak bisa datang. Tanpa aku juga semua akan terlaksana kan." Aku menekan layar dan meletakkannya kembali. UPS, aku hampir lupa. Jika tidak menonaktifkan ponsel. Aku yakin ayah akan terus membujukku.
Aku hanya bisa mendengar denting jam di dinding kamar. Tidak ada suara lain, aku sendiri disini. Setiap harinya, makan tidak makan juga itu urusanku. Toh ibu tak pernah menanyakan hal itu padaku. Entah berawal darimana aku tertidur. Dan terbangun karena mendengar suara bel berbunyi berkali-kali. Aku langsung meloncat, kaget. Aku yakin itu mereka yang datang. Aku bangkit dan langsung menyambar ponsel, berjalan sambil kembali mengaktifkannya.
"Kau tuli ya Nara?" Wahid sudah mulai protes begitu aku membuka pintu, dia masuk seenaknya sambil menggerutu dan menjatuhkan tubuhnya di sofa. Di susul dengan Munah dan Adam.
"Nara, haus." Maemunah, dia mengelus lehernya.
"Hei, kalian datang hanya membuatku seperti pembantu ya?" Bukan merasa bersalah, tapi malah mereka menertawakan aku yang berjalan menuju dapur.
"Gila ya! Masih pakai seragam, malah tidak masuk sekolah lagi. Ingat woi, sebentar lagi kita bakal lulus." Aku acuh saja, duduk menaikan satu kaki dan kembali mematik korek api.
"Kita nonton Drakor ya? Adam punya banyak loh filmnya di laptop." Ya ampun, mereka sudah merencanakan hal ini. Bahkan semua sudah di persiapkan. Dengan membawa beberapa cemilan dan laptop milik Adam.
"Sejak kapan kalian menyukai Drakor?" Huh, aku menghembuskan lagi asap ke arah atas.
"Sejak berteman dengan Adam. Kau lihat kan, dia bahkan style nya seperti Oppa Korea." Cih, aku hanya bisa mendengus. Kenapa? Karena aku tau, semua adegannya fulgar tanpa sensor. Ah aku benci semua yang berbau tentang cinta.
"Nara, aku mau numpang kamar mandi ya?" Aku tersenyum dan mengangguk. Kenapa begitu saja sepertinya Adam terlihat segan sih.
"Nara, kau tidak tau kan. Adam jadi rebutan ciwiciwi di sekolah loh. Kau juga tua Elena kan? Mereka dekat sekarang." Baru saja Adam pergi, Munah sudah langsung mengeluarkan uneg-uneg nya.
"Jangan gosip!" Memukul pelan kepala Munah dengan bantal sofa. "Ini gimana sih, malah pakai di kunci segala lagi." Wahid mulai kesal.
"Coba aja buka pakai tanggal lahirnya." Mereka malah menoleh ke arahku. Bertanya kapan Adam lahir, aku mengingat kembali sewaktu Adam memperkenalkan diri dan ada yang iseng menanyakan tanggal kelahiran serta lengkap dengan bulan dan tahunnya.
"Ah benar, ke buka." Wahid, dia anak orang kaya. Orang tuanya juga pengusaha seperti ayahku. Tapi dia super irit, dan pelit. "Eh ini apa? File kenangan." Aku dan Munah juga ikut melihat.
"Jangan di buka." Adam langsung menyambar laptop miliknya. Duh, pelit sekali. Aku juga penasaran. Pasti photonya sewaktu kecil.
"Pasti isinya photo kau bersama Elena ya Dam?" Adam diam tak menjawab, dan lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan. Bertanya padaku apakah punya infokus? Agar menontonnya lebih puas.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, dan kembali membawa infokus beserta kabelnya. Aku lebih memilih memainkan ponsel, daripada harus ikut melihat. Aku juga tidak peduli apa yang mereka lakukan saat ini.
"Nara, tutup tirainya dong." Aku benar-benar di buat seperti pembantu kalau mereka datang.
Berbicara tentang pembantu rumah, aku juga sepertinya ingin. Hanya saja aku gengsi dan selalu menolak jika ayah menawarkan. Karena aku merasa lebih nyaman tinggal sendiri. Aku tidak takut, meski mereka sering menakuti aku. Yang katanya ada hantu apartemen lah. Apa lah. Aku tetap tak peduli. Kata-kata aku tak peduli juga aku pelajari dari ayah dan ibu. Jika bertengkar, pasti selalu mengatakan hal itu.
Eh keadaan apartemennya ku sudah gelap. Dan aku bisa jelas mendengar suara-suara aneh. Iya, suara yang berasal dari film yang mereka tonton sekarang. Asli, aku tidak tau sama sekali artinya.
"Aaaa.. mereka ciuman." Tidak, aku benar-benar tidak tertarik walau hanya sekedar meliriknya.
"Cobain." Ha? Suara siapa itu, sialan! Aku berhasil menoleh, ternyata Wahid yang iseng berbicara dan akhirnya malah aduh bantal dengan Maemunah.
"Eh, kecilkan volumenya. Ayah aku telepon." Mereka serempak menoleh ke arahku. Lalu aku memasang telunjuk di bibir agar mereka tak mengeluarkan suara apapun. Meski ayah tau kalau mereka sering datang.
"Iya yah?"
"Nara, ayah akan datang ke apartemen." Tidak, aku menjerit dalam hati. Tidak, jangan sekarang.
"Aku tidak ada di apartemen yah. Aku lagi keluar." Maaf, aku harus berbohong.
"Kalau begitu, nanti kabari ayah jika kau sudah pulang." Baiklah, begitu aku menjawab dan langsung mematikan sambungan telepon.
Mau apalagi sih? Apa ayah tetap ngotot buat aku datang ke pernikannya? Dan melihatnya tersenyum bahagia bersama wanita lain yang jelas-jelas bukan ibuku? Apa tidak memikirkan perasaan ku?
"Nara? Sudah atau belum?" Aku terkesiap, kaget. Ternyata aku melamun. Mereka semua menatapku, menunggu berbicara. Aku hanya mengangguk. Dengan eksepsi wajahku yang bingung.
Tiba-tiba saja aku berdiri dan membuka tirai, menampakkan seluruh isi dari apartemen. Dan, mereka bertiga langsung menudingku. Menggerutu tidak jelas. Terserah!
"Kenapa kau buka tirainya?"
"Nara, ih sebentar lagi ada adegan kissing tau!"
"Kita party besok malam!" Mereka langsung terdiam. Memandangku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kenapa? Aku menatap tubuhku sendiri.
"Kau ulang tahun? Bukankah masih lama ya?" Munah menggaruk kepalanya. Aku tertawa kecil, lalu duduk di sampingnya. Aku mulai berbicara dengan menarik nafas.
"Besok ayahku menikah. Jadi, daripada aku harus hadir di pernikannya."
"Aku tau maksudnya." Wahid langsung memotong pembicaraan ku. Dia tersenyum senang, pasti berpikir kalau gratis dan aku yang bayar. Sudah bisa ku duga soal itu.
Rencana dan rencana sudah di atur. Jam dan tempat juga sudah di tentukan. Film yang harusnya mereka tonton sampai habis malah berisik tak berguna, terlupakan sudah. Suara yang aku sendiri tak tau artinya malah menjadi saingan dengan suara kami. Aku berhasil mengalihkan mereka dan mematikan film yang sedang di putar.
"Maaf ya, aku tidak bisa ikut!" Adam sepertinya memang tidak tertarik. Mungkin dia juga anak baik-baik.
"Kenapa?" Aku menatap Adam.
"Besok malam aku ada acara sama keluarga." Yaah.. kami serempak merasa kecewa.
"Eh tapi bisa aku usahakan. Aku bakal nyusul kalian setelah acara dengan keluargaku selesai. Soalnya di mulai dari sore hari."
"Jangan bohong kau Dam!" Wahid memperingatinya, mungkin dia juga takut kalau laki-laki sendiri di dalam club'.
Sore hari setelah mereka pulang. Aku tak langsung menelepon ayahku. Aku pergi keluar untuk bertemu kebahagian ku. Tidak ada yang tau hal ini. Maemunah atau Wahid sekalipun, mereka tidak ada yang tau.
Aku melajukan mobil, masuk ke dalam gang sempit yang ada di tengah kota ramai. Belok kanan dan kiri, memang agak jauh untuk bisa sampai. Padahal biasanya hanya di depan gang saja, tapi sepertinya mereka tidak ada. Adik-adikku, ya mereka lah kebahagian ku.
Aku membunyikan klakson, ketika mereka sedang duduk dan meminum es teh. Senyumnya mereka langsung mengembang, dengan penampilan mereka yang berantakan. Aku malah suka. Bagiku, aku sama dengan mereka. Hanya berbeda ekonomi.
Aku langsung membuka jok mobil, dimana sudah aku persiapkan jauh-jauh hari sebelum datang kesini. Pakaian, mainan, dan juga makanan. Mereka asli anak-anak jalanan yang tak memiliki orang tua. Hidup dengan kardus yang mereka susun, jika hujan mereka akan berlarian mencari tempat teduh. Jika siang hari mereka biasanya mencari barang-barang bekas atau mereka sering menyebutnya dengan butut.
Setelah mendapat bagian mereka masing-masing, kami duduk di bawah pohon besar. Anak perempuan pada bersandar denganku, sementara yang laki-laki duduk mengelilingi ku.
"Kak, ceritakan lagi dong kisah ibu waktu itu." Aku tersenyum dan mengusap pelan kepalanya. Entah kenapa rasanya sangat tenang dengan mereka. Tuhan, ku mohon panjangkan umurku untuk bisa melihat mereka.
"Oh iya, kakak lupa. Sebentar ya." Aku mengeluarkan buku kecil dari dalam tasku. Itu novel, novel yang sering aku baca. Lalu aku membagikan kisahnya kepada mereka. Novel yang berjudul ibu, ibu yang penuh perjuangan. Seperti ini kami, aku sayang sekali dengan mereka. Ah rasanya aku tak ingin hanya menulis puisi saja. Aku ingin menulis novel juga.
Aku bertemu mereka 2 tahun lalu. Waktu itu aku sudah di perbolehkan untuk membawa mobil karena aku berhasil lulus dari SMP dengan nilai yang bagus. Dan, aku bertemu mereka yang mengetuk kaca mobil mengarahkan kresek sebagian tempat penampung uang bagi siapa saja yang berniat memberi. Mataku langsung berkaca-kaca. Sebelum memberi uang aku menepikan mobilku. Lalu mengajak mereka berbincang. Saat itu hanya ada dua orang saja. Yang aku pikir mereka hanya anak jalanan yang di perbudak oleh preman. Karena yang aku tau di sinetron biasanya seperti itukan. Ternyata tidak, mereka memang hidup di jalanan. Ada yang memang orang tuanya pergi meninggalkan mereka karena bercerai, ada juga yang di antara mereka memang sudah tak memiliki siapa-siapa lagi. Jujur, hatiku pilu. Aku memiliki orang tua yang utuh, hanya kurang kasih sayang tapi tidak dengan uang. Bahkan aku merasa lebih. Dan semenjak saat itu, aku memutuskan untuk selalu membagi rezeki kepada mereka.
"Kak? Jadi sosok ibu itu sebenarnya baik ya kak? Tapi kenapa ibu ninggalin aku pergi bersama adik?" Dadaku sesak mendengar pertanyaan ini, aku harus jawab apa sekarang? Sementara aku saja tidak pernah merasakan hal itu. Mataku memanas, berusaha menahan agar tidak jatuh. Ku suplai lagi oksigen secara perlahan. Menatap langit yang mulai gelap. Angin tak bersahabat saat ini, dia berhasil membuat air mataku jatuh karena hembusannya.
Aku mengelus puncak kepala anak yang tengah menanti jawaban ku, sepertinya tidak hanya dia. Tapi semua yang ada disini.
"Tidak ada ibu yang tidak baik. Buktinya kalian dengarkan cerita tadi? Hanya saja cara mereka memberi kasih sayang berbeda." Aku sendiri tidak tau aku bicara apa sekarang. Apa mungkin ibu ku juga begitu?
"Berarti ibuku juga baik ya kak?" Aku mengangguk dan tersenyum. Mereka terlalu polos, tapi mereka juga anak-anak yang kuat. Berhasil bertahan hidup selama bertahun-tahun di jalanan.
Dalam waktu dekat ini aku berniat untuk membangun rumah kecil untuk mereka. Meminta uang kepada ayah. Dia juga tidak akan bangkrut, aku akan mencari alasan apapun. Bahkan kalau perlu aku akan menyisihkan uang jajanku, supaya keinginanku cepat terkabul.
"Kak? Pizza itu makanan apa?" Aku tertawa kecil. Mereka sering menanyakan makanan yang mungkin mereka lihat di baleho jalanan. Atau sponsor lainnya.
"Seperti roti. Makannya pakai saus. Kalian mau?" Mereka semua serempak mengangguk. Tersenyum dan membayangkan bagaimana rasanya makan pizza.
"Kakak bakal belikan, tapi tidak sekarang ya. Soalnya sudah sore." Wajah kusam mereka langsung pias. Ya Tuhan, sungguh aku tidak tega. Tapi mana mungkin aku disini sampai malam.
"Besok, kakak janji. Kalian tunggu kakak pulang sekolah ya?"
"Janji ya kak?" Aku mengangguk lagi. Mereka semua memelukku, aku juga membalasnya. Walau tanganku tak cukup untuk menangkup memeluk mereka semua yang berjumlah 10 orang. Bau mereka yang bermacam-macam. Aku sudah biasa menghirupnya. Tak ku bayangkan jika aku tak bisa berjumpa mereka lagi nantinya.
Sebelum pulang, aku juga meninggalkan uang untuk mereka. "Ini untuk beli makanan malam ini dan besok, jadi besok kalian tetap disini ya. Jangan ngamen dan jangan mencari barang bekas. Tunggu saja sampai kakak datang." Pesanku sebelum melajukan mobil. Yang tertua diantara mereka mengangguk, dan dia juga yang memegang uang.
Saat aku sampai di apartemen, mataku menangkap sosok berdiri di depan pintu. Tubuh tinggi tegap dan berwibawa. Aku sangat mengenalinya. Aku hanya bisa membuang nafas kasar, bagaimana bisa dia sudah ada disini sementara aku tak mengabarinya sejak tadi. Ku lirik ke arah samping yang masih menampakan halaman apartemen. Hari sudah mulai gelap.
"Kau darimana saja Nara? Ayah menunggumu disini sudah dari satu jam yang lalu." Kenapa tidak masuk saja? Begitu aku menjawab dengan malas. Ayah mengikuti langkahku masuk ke dalam. Beliau duduk di sofa yang keadaannya masih berantakan. Memang, aku belum membereskan sejak teman-teman ku pulang tadi. Itu juga karena aku malas.
"Kalau begini, kau harus memiliki pembantu Nara!" Aku masuk ke dalam kamar untuk mencuci muka. Dan kembali duduk di seberang sofa. Ku dengarkan apa maunya lelaki ini.
"Kau lihat kan. Semua berantakan. Bagaimana jika mau makan? Pasti makan mu tidak teratur." Ku akui itu, ayah lebih peduli denganku dari pada ibu. Alasan dia tak pernah menjengukku disini karena ini apartemen milik ayah. Semua yang berhubungan dengan ayah dia tak ingin menyentuh dan menginjakkan kakinya. Tapi seharusnya tidak begitu kan? Demi anak seharusnya ibu rela mengurangi sedikit egonya.
"Kemarin ada teman ayah yang bilang, kalau ada wanita paruh baya sangat membutuhkan pekerjaan." Aku masih diam mendengarkan.
"Dan nanti ayah akan membawanya datang kesini, setelah acara pernikahan ayah selesai."
"Maksud ayah asisten rumah tangga?" Ayah menjawab dengan anggukan.
"Iya aku mau, tapi dengan satu syarat." Ini saatnya aku memanfaatkan situasi. Otakku mulai bekerja dengan baik.
"Katakan, jika itu membuatmu senang."
"Aku mau minta uang bulanan ku ayah tambah. Dan aku juga mau minta uang untuk membeli sesuatu."
"Nara, kalau kau butuh sesuatu atau menginginkannya ayah bisa belikan." Aku langsung menggeleng.
"Tidak yah, aku mau membelinya sendiri." Ayah menghela nafas pasrah, dan setelah itu dia tersenyum.
"Katakan jumlahnya sayang." Hatinya melunak jika melihat wajahku langsung berubah cemberut. Itu kalau soal uang ya! Tapi jika aku meminta untuknya kembali dengan ibu, atau seperti waktu itu meminta untuk mereka tidak bercerai. Aku menangis dan mengancam akan bunuh diri sekalipun ayah tak pernah mau menurutinya.
"Aku minta tiga ratus juta yah." Ayah langsung membulatkan matanya. "Aku ingin membeli sesuatu yang penting yah."
"Nara, itu tidak sedikit."
"Aku tau, karena uang ayah memang banyak. Ayah pengusaha sukses." Ayah langsung terdiam.
"Iya nanti ayah transfer ke rekening kamu." Sudah ku bilang kan, kalau soal uang ayah pasti mau menuruti ku. Dan sepertinya aku memang terlahir hanya di beri kasih sayang dengan uang.
"Tapi kau juga harus datang besok Nara. Tante intan sangat menunggu kehadiran mu." Aku mengangguk saja daripada aku diminta menginap di rumahnya.
Satu rencana ku berhasil, akan membangun rumah kecil untuk adik-adik ku yang ada di jalanan. Membayangkan mereka tidak lagi akan merasa dingin ketika hujan turun membasahi bumi. Satu langkah memberi kebahagiaan orang lain sudah mulai terlaksana. Tuhan bantulah aku dalam hal ini.
Bersambung..
Aku sudah bersiap pergi untuk datang ke acara pernikannya ayah. Dan ayah sudah mengatakan kalau sudah meminta ijin langsung dengan wali kelas. Aku hanya sebentar disana, aku ingat hari ini aku memiliki janji dengan adik-adikku. Ayah sengaja menyuruh supir untuk menjemput ku. Padahal harusnya aku membawa mobil.
Aku hanya bisa menatap jalanan yang menampakkan pepohonan yang bergerak semakin menjauh. Membawa segenap luka dan kekecewaan. Memiliki dua orang ayah dan ibu sekaligus, lucu ya. Padahal, mempunyai satu ayah dan satu ibu saja aku tak pernah mendapatkan kasih sayang selayaknya seorang anak. Dan sekarang bertambah, keadaan bahkan tetap sama. Dan malah mereka semakin sibuk mengurus rumah tangga barunya. Apalagi ibu, dia sangat jauh terlihat lebih bahagia. Berkali-kali ku lihat postingannya di akun sosial media miliknya. Photo mereka liburan bersama suami dan anak tirinya. Yang seharusnya aku ada di posisi itu, sumpah aku tidak pernah merasakannya.
"Nona sudah sampai." Aku sedari tadi melamun, sudah sampai juga tidak tau. Supir membuka pintu untuk ku, aku turun dengan penampilan ku yang biasa saja. Itu sudah aku rencanakan, apa reaksi ayah nantinya.
"Selamat datang nona." Mereka menunduk sopan, para pelayan dirumah ayah. Bukan hanya satu dua orang, tapi sampai puluhan dengan berbagai bagian mereka masing-masing. Bisa di bayangkan sebesar apa rumah ayah dan sekaya apa ayahku.
"Ayah mana?" Aku bertanya saat akan melangkah masuk.
"Tuan ada di dalam nona. Mari saya antar." Aku mengangguk lagi, harusnya tidak perlu. Aku kan anaknya, kenapa seperti orang asing yang harus di antar menghadap ke tuan rumahnya.
"Tuan, ada nona Nara datang." Dia menundukkan tubuhnya dengan sopan.
"Pergilah." Ayah meminta pelayan segera pergi dengan mengunakan tangannya. Caranya mengusir secara halus.
"Nara?" Aku duduk sekarang. Di kursi sofa milik ayah.
"Kau tidak membawa baju ganti?" Aku menatap penampilan ku saat ini dan tersenyum dalam hati.
"Memangnya kenapa yah?" Aku berpura-pura saja tidak tau. Karena aku datang hanya menggunakan celana jeans dan kaus berwarna putih. Tak lupa tas selempang kecil yang aku bawa.
"Kau mau mempermalukan ayah? Sebentar lagi keluarga Tante intan akan datang."
"Memangnya kenapa?" Aku bertanya lagi. Wajah ayah memerah menahan emosi. Aku berharap dia marah dan mengusirku sekarang. Agar aku tak bersusah payah untuk menyaksikan pernikannya.
"Pelayan!" Ayah berteriak. Seseorang langsung masuk.
"Tolong siapkan pakaian yang pantas untuk putri saya." Dia mengangguk dan pergi. Aku diam saja menunggu reaksi ayah selanjutnya.
"Kau benar-benar ingin mempermalukan ayah dengan penampilan seperti ini? Nara, kau juga harus terima. Ibumu saja sudah menikah. Dan ayah juga harus melakukan itu, agar ada yang mengurus ayah!"
"Kenapa harus? Bukankah para pelayan juga sudah cukup bahkan lebih hanya sekedar mengurus ayah!" Ayah langsung berdiri dari duduknya, menunjuk wajahku dengan salah satu jari tangannya.
"Kau tidak mengerti Kinara!" Ayah meninggikan suaranya. Aku juga ikut berdiri, berhadapan dengannya.
"Ayah! Aku sudah dewasa sekarang. Berhenti menganggap ku tidak tau apa-apa. Berhenti menganggap ku seperti anak kecil yang bodoh! Dan berhenti menganggap ku yang tidak tau menahu ini! Aku tau yah, aku tau! Bukan itu tujuan ayah untuk menikah. Tapi karena ayah merasa malu dengan ibu, dia sudah lebih dulu menikah sementara ayah belum. Apa sih sebenarnya hal yang membuat kalian menikah? Ha? Apa yah? Dan akhirnya memiliki anak, yaitu aku yah!"
Aku menunjuk diriku sendiri, air mata sudah mengalir deras tanpa memberi Jedah untuk berhenti. Nafasku sesak, sudah lama aku ingin menanyakan hal ini. Pernikahan mereka, ya hanya itu. Kenapa bisa terjadi.
"Karena yang aku tau, kalian tak pernah saling cinta! Asal ayah tau, aku menyesal di lahirkan ke dunia ini. Menyesal memiliki orang tua seperti kalian." Aku melirik ke arah sudut ruangan, dimana sudah berdiri di sana seorang pelayan yang membawakan pakaian untukku. Dia bahkan terus menunduk, tak berani melihat ke arahku.
"Aku tak ingin memakai pakaian yang lain. Ini sebagai bentuk kalau aku hidup seorang diri. Hanya ditemani uang yang selalu ayah berikan. Benda mati yang hanya bisa bergerak membeli sesuatu. Tidak kebahagiaan seorang anak. Permisi tuan Husein yang terhormat!" Aku langsung menabrak bahu ayah dan berjalan keluar. Terserah? Mereka juga selalu mengatakan hal itu. Aku sempat memberi senyum kepada pelayan di rumah ayah. Walau air mata masih tersisa di pelupuk mataku.
"Nona, maaf anda tidak diperbolehkan untuk pulang." Dua orang bertubuh tegap memakai pakaian yang kompak berwarna hitam. Memegang kedua lenganku, aku seperti akan di culik jika diperlakukan seperti ini di luar rumah. Apa-apaan ini!
"Lepas atau saya akan teriak." Mereka saling pandang dan tersenyum. Aku lupa, mau teriak bagaimana juga tidak akan ada yang mendengar. Untuk masuk kerumah ayah saja meski menaiki kendaraan, jika berjalan akan pingsan karena jauhnya.
Aku sudah yakin kalau ini suruhan ayah! Lelaki itu, sama saja dengan ibu. Dasar, mereka selamanya akan tetap sama. Tak pernah memikirkan keinginan ku.
"Apa susahnya mengganti pakaian?" Aku tak mau menoleh, aku tau siapa yang berbicara.
"Lepaskan dia." Kedua tanganku langsung terlepas begitu saja ketika mendengar suara tuan mereka.
"Dengan satu syarat!" Lagi-lagi aku harus melakukan hal ini.
"Katakan." Jawabnya, kami saling berbicara tanpa tatapan. Aku dengan posisi berdiri ku, dan begitu juga dengan ayah.
"Suruh salah satu supir ayah untuk mengambil mobilku. Karena aku tidak mau pulang di antar. Aku juga memiliki keperluan setelah ini." Baik, begitu ayah menjawab. Dan ku dengar dia memanggil supir untuk langsung mengambil mobilku.
Jika benar dia orang tua yang baik, perhatian dengan anaknya. Pasti ayah juga akan bertanya aku mau kemana? Pergi sama siapa? Tapi tidak kan? Walau aku akan bilang nantinya pergi ke club, mungkin dia juga tidak akan melarang. Yang penting baginya pernikannya bisa berjalan lancar dan tidak ada kendala, itu saja. Aku yakin, ayah memaksa ku tetap disini karena ingin mencari nama baik. Pertama dengan kolega bisnis dan kedua dengan keluarga calon istrinya, dan yang ketiga. Ayah akan pamer dengan ibu kalau di hari pernikannya dia bisa membujukku untuk hadir disini. Sementara ibu tidak bisa mengajakku untuk hadir di hari pernikahannya. Kenapa aku bisa membuat opsi semacam itu? Karena aku sudah tau dan paham bagaimana sifat kedua orang tuaku. Meski kami tak dekat, tapi dari melihat mereka setiap emosi. Semuanya memiliki keinginan yang harus terwujud.
Aku sudah berganti pakaian, dan memakai makeup yang dimana dipoles oleh salah satu pelayan dirumah ayah. Tangannya memiliki seni, sehingga membuatku malah terlihat sangat cantik hari ini. Oke, karena syarat sudah di penuhi oleh ayah aku akan menurut dengannya walau hanya beberapa jam ke depan.
Aku berjalan menuju altar di halaman belakang rumah ayah. Jujur, aku saja memandang ini dengan takjub. Pernikahan ayah bukan seperti yang kedua, tetapi malah mirip seperti anak muda yang sedang melangsungkan pernikahan. Ih aku merinding dan juga geli, tak membayangkan kalau saat ini aku yang harus menikah. Mereka yang sudah hadir semua menatapku yang berjalan dan sedikit menyincing dress putih yang terbalut pas di tubuhku.
"Apa dia calon pengantinnya? Wah muda sekali, beruntung kalau Husein mendapatkannya."
"Cantik sekali ya." Aku jelas mendengar mereka berbicara ngawur. Tapi ketika mendengar suara derap langkah yang berasal dari belakang ku, bukan hanya aku yang menoleh. Tapi semua yang sudah hadir juga ikut menatap ke arah mereka.
Kedua pengantin yang akan menikah berjalan sambil bergandengan tangan. Menebar senyum kesana-kemari. Wajah mempelai wanita di tutup dengan jaring tipis, tapi tetap terlihat seluruh wajahnya. Aku berhenti sejenak, ikut terhanyut menatap orang tuaku saat ini. Ayah yang tampak gagah dan tampan memakai jas berwarna putih, dan ada pita kecil di tengahnya. Mereka melewati ku begitu saja, ayah dia bahkan tak menyapaku? Apa benar dia tak melihatku yang berdiri sebesar ini.
Aku hanya bisa mengikuti langkahnya, entah dimana nanti posisiku. Yang terpenting aku sudah hadir.
Janji pernikahan mulai terucap, aku duduk diantara orang-orang. Yang lebih tepatnya keluarga ayahku. Om ku dia selalu ingin melihatku, hanya saja keadaan rumah yang berbeda kota membuat kami tak bisa saling bertemu. Padahal, aku sangat ingin dekat dengannya sebagai pengganti seorang ayah. Anak-anaknya juga baik denganku.
Ayah hanya memiliki satu adik dan satu kakak. Namun, mereka tinggal masing-masing berbeda kota. Jadi tidak ada waktu untukku mengaduh kepada mereka. Tentangku, perjalanan ku. Bahkan mereka juga tidak tau kalau saat ini sebenarnya aku tinggal tidak dirumah ayah ataupun ibu.
Mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri, saat ayah mengecup kening istri barunya aku langsung memalingkan wajah. Sumpah, aku tidak ingin melihatnya.
"Nara, dia ibumu yang baru. Anggap juga dia seperti ibumu sendiri." Om mengelus puncak kepalaku. Aku hanya tersenyum kecut. Jika harus memperlakukan seperti seorang ibu, dan itu ibuku sendiri. Ya berarti aku harus bersikap tidak peduli dengannya. Karena memang hal itu yang selalu aku lakukan dengan ibu.
"Dia anakku, Kinara Adnan Husein. Ayo nak kemarilah." Aku membulatkan mata, lalu menatap ke arah omku. Dia mengangguk, yang berarti aku harus berdiri didekat ayah sekarang. Ayah apa-apaan sih. Kenapa harus mengundangku untuk datang kesana bersamanya. Lagian aku juga bodoh, kenapa tidak mendengarkan tadi ayah berbicara apa! Aku terus menggerutu, hingga sampai tepat di hadapan ayah.
"Kita berphoto ya nak." Aku tersenyum sekilas. Tepuk tangan meriah, padahal tidak ada pertunjukan apapun.
"Ternyata itu anaknya Husein. Pantas saja cantik."
"Iya-iya. Aku bahkan tak sempat mengenali wajahnya yang sangat mirip dengan ayahnya."
Kisak-kisuk itu masih terdengar, mereka menunjukku yang tengah berdiri di apit oleh kedua pengantin ini. Aku meliarkan pandanganku. Aku mencari, dimana anak dari tante Intan? Apa mereka juga tidak mau hadir disini? Ah tapi itu lebih bagus, sehingga aku tidak perlu menyesuaikan diri ketika ada mereka.
"Sekali lagi ya." Aku menebar senyum palsu disini, walau hanya beberapa detik dan itu akan awet hingga puluhan tahun. Bahkan jika di jadikan pajangan, senyumku tak akan hilang. Melekat begitu saja di setiap mata orang yang melihatnya. Tercetak sebagai photo yang tersusun rapi nantinya.
"Ayah sudah kan?" Aku sudah risih, melihat jam di tangan sudah pukul satu siang. Aku sudah ada janji dengan adik-adik jalanan.
"Kau mau pergi?" Aku mengangguk. Ayah langsung memberi ijin padaku. Dia sudah puas kan, aku sudah ikut berphoto dengannya. Lagi pula, sudah banyak wartawan yang datang. Mereka juga akan sibuk nantinya.
"Kinara." Aku menoleh mendengar suara lembut yang bukan berasal dari ayah. Wajahku tak berekspresi.
"Makasih sudah hadir. Sering main kerumah ayahmu ya." Aku tak menjawab, hanya diam dan langsung pergi. Hei kau orang asing, kenapa mau mengaturku?
Aku berjalan dengan tergesa-gesa, mencari mobilku di halaman rumah ayah. Siang ini panas sangat terik, membuatku juga tidak ingin berlama-lama di luar mobil. Aku langsung tancap gas dan membunyikan klakson berkali-kali agar gerbang segera terbuka. Mereka yang menyapa ku dengan sopan dan mengatakan hati-hati. Aku hanya mengangguk dan tersenyum saja.
Tujuan pertama tempat dimana menjual pizza. Ya ampun, semoga adik-adikku tidak menungguku terlalu lama.
Aku langsung masuk ke dalam untuk memesan. Tapi semua tatapan mata mengarah kepadaku. Mereka berbisik dan seakan-akan menertawakan aku. Kenapa sih? Begitu juga dengan kasir, saat aku membayar sekaligus memesan. Dia tersenyum seperti menahan tawa.
"Kak, apa lari dari pernikahan?" Ha? Aku langsung menatap penampilan ku saat ini, benar aku belum mengganti pakaian! Ya ampun, kenapa aku bisa melupakan itu.
"Hehe, tidak mbak. Tadi aku menghadiri pernikahan ayahku." UPS, aku langsung menutup mulut, ayah? Kenapa aku menyebutnya, membuatku semakin malu. Apalagi aku mengatakannya seperti ada kebanggaan tersendiri, padahal bukan itu. Aku hanya menyelamatkan diri dari rasa malu.
Aku kembali duduk di kursi tunggu setelah kasir mengatakan tunggu 15 menit. Aku hanya bisa menunduk dan memainkan ponsel.
Baiklah, aku harus tetap tenang. Mencoba tenang, walau semua sedang menatapku. Hingga namaku di panggil, aku menghela nafas lega. Aku segera pergi dengan membawa 5 kotak pizza beserta minumannya.
Aku sampai di gang, sepi. Sepertinya mereka benar-benar menungguku dan tidak melakukan aktifitas apapun. Aku tersenyum ketika mendapati mereka yang tengah duduk di bawah pohon dengan keringat mengucur. Mereka habis melakukan apa? Ketika aku membunyikan klakson mobil mereka juga tidak menyambut ku dengan antusias seperti biasanya. Mendekat ke mobil dan menunggu membuka pintu. Mereka hanya duduk dengan wajah melas.
"Hei, kakak datang. Lihat, kakak bawa apa." Mereka tersenyum kecut, wajahnya pucat. Mereka kenapa? Bukankah aku sudah memberikan uang untuk mereka makan semalam?
"Kalian tidak senang kakak datang ya?" Salah satu di antara mereka berdiri, lalu menarik tanganku untuk segera duduk.
"Kami yakin kakak akan datang. Datang dengan menepati janji kak. Tapi kami belum makan karena uang yang kakak beri semalam di ambil anak nakal." Apa? Aku juga ikut terduduk lemas, aku memeluk mereka. Ku usap kepalanya.
"Bagaimana bisa?" Lirihku bertanya.
"Tadi malam ada yang datang kak ketika kami sedang tidur. Mungkin mereka melihat ada uang yang tergeletak di sebelah kami. Lalu mengambilnya, aku sempat bangun. Tapi mereka malah mengancam akan membunuh jika kami berani berontak. Mataku memanas seketika, air mataku jatuh. Aku segera menghapusnya, sumpah tubuhku melemas. Berarti mereka belum makan sejak pagi.
Dan mereka juga mendengarkan perkataan ku semalam, yang meminta mereka untuk tidak mencari uang selama satu hari, mengamen dan semacamnya.
"Ya sudah, kalian makan ini ya." Aku langsung membuka kotak pizza. Mereka berebut untuk mengambil, aku tersenyum. Sebegitu kah rasa ingin tau mereka mengenai pizza ini. Aku jadi teringat masa dulu.
"Iam, bisakah kau mengambil pizza ini dari tanganku?" Tubuh ku yang lebih tinggi darinya mempersulitnya untuk mengambil.
Iam terus mengejar ku. Dia tak berhasil malah jatuh tersungkur. Aku panik, melihat bibirnya yang berdarah.
"Iam maaf, aku tak bermaksud-"
"Yes, dapat." Dia malah melompat girang tanpa mempedulikan bibirnya yang berdarah. Berhasil mengambil sepotong pizza dari tanganku. Yang sengaja di beli ayah karena mereka akan datang.
"Iam! Kau curang!" Dia berlari dan aku mengejarnya. Tapi saat suara yang memanggil namanya, kami langsung berhenti. Orang tuanya mengatakan kalau mereka akan segera pulang. Hal yang sangat aku benci, aku kembali merasakan kesepian. Aku hanya bisa berdiri memandang mobilnya yang semakin menjauh dari halaman rumahku. Sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Tak pernah sekalipun.
Aku sempat bertanya pada ayah dan ibu, tapi mereka hanya menjawab kalau keluarga mereka sudah pindah keluar kota. Karena bisnis keluarganya yang ada disana.
"Kak pizza-nya enak." Aku langsung menoleh, membuyarkan segala lamunan tentang masa kecilku.
"Kalian suka?" Mereka mengangguk antusias. Ya ampun melihat mereka tersenyum saja bisa membuatku terharu dan senang. Hanya memberikan sebagian kecil yang aku punya.
Melihat jam yang terus berjalan, aku pamit untuk pulang. Rasanya tubuhku sudah gerah. Dan tak lupa meninggalkan uang untuk mereka. Tetapi memberi tahu bagaimana cara menyimpannya. Agar tidak lagi di ambil oleh orang lain.
Saat sudah keluar dari dalam gang. Aku memasuki jalanan raya, mobilku terasa oleng. Sehingga aku turun untuk melihat keadaan ban mobilku. Dan ternyata, kempes. Ya ampun, mana aku tidak bisa mengganti ban mobil. Ku lihat lagi jam di tanganku. Sudah jam 4 sore. Mana aku aku harus bersiap untuk pergi nanti malam.
Aku hanya bisa garuk-garuk kepala saja, aku harus menghubungi siapa sekarang. Apa aku tinggalkan saja mobilnya dan pulang ke apartemen?
"Nara, kau sedang apa?" Aku langsung mencari sumber suara. Ada mobil yang mendekat ke arahku. Aku berjalan untuk melihat, ternyata itu Adam. Ya ampun, aku langsung mengucapakan syukur. Akhirnya akan ada bala bantuan. Jika hal begini, aku tidak mau menghubungi teman-temanku. Aku juga tidak ingin merepotkan mereka. Tapi kalau begini kan memang tidak sengaja bertemu.
"Hei, Dam. Mobilku bannya bocor deh kayaknya." Adam membuka pintu mobilnya dan turun.
"Hubungi montir saja. Aku ada nomornya, kau bisa pulang ikut aku. Nanti kalau sudah selesai juga bisa meminta mereka yang mengantarkan."
"Ya sudah." Adam menelpon seseorang, aku menunggunya dengan duduk di dalam mobilnya. Meski sudah sore matahari juga masih memberi sinar terbaiknya.
"Sudah Dam?" Dia mengangguk dan masuk ke dalam mobil.
"Kau dari mana?" Aku bertanya, lalu mataku menangkap selembar kertas, aku mengambilnya. Membaca isi surat, iseng-iseng seperti tidak mempunyai kerjaan.
"Ini surat cek up siapa?" Adam menoleh dan tiba-tiba mengerem mobilnya secara mendadak.
"Eh ini punya ibuku." Dia mengambilnya dari tanganku. Dan ikut membacanya, aku mengangguk saja dan tidak ingin bertanya lagi.
Saat kami sampai, aku meminta Adam untuk langsung pulang saja. Dan mengingatkan agar tidak lupa acara nanti malam. Begitu aku masuk ke dalam, barang yang aku cari di dalam lemari. Korek api dan rokok.
Aku sudah membuka pakaianku, dan hanya menggunakan hotpants dan tangtop. Seperti biasa, duduk di dekat jendela. Di sana sudah tersedia sofa khusus yang aku sendiri menggesernya kesini. Menaikan satu kaki, dan terus mengepulkan asap dari rokok. Eh, sebelumya aku juga sudah pernah mencoba menggunakan Vape. Tapi aku terbatuk-batuk, yang berarti memang aku tidak bisa. Padahal, jika aku mau saja. Aku bisa membelinya satu lusin sekaligus. Haha, aku sombong ya, padahal itu juga uang dari ayah.
Satu batang rokok sudah habis, aku beralih ke lemari pakaian. Untuk mencari baju mana yang akan aku pakai nanti malam. Semuanya sudah pernah ku pakai ketika memasuki club'. Hanya ada satu pakaian yang menggantung. Berwarna hitam yang terbuka di bagian leher. Cocok dengan tubuhku, aku memilihnya dan meletakkan di atas tempat tidur.
Melihat lagi, masih tersisa waktu. Suasana masih terang di luar. Jadi, aku kembali mengambil satu batang rokok dan kembali menyesapnya.
Tinggal menunggu waktu aku akan mandi, dan bersiap untuk pergi. Karena aku sendiri yang akan memboking tempat yang akan kami datangi nanti malam. Bukan satu dua kali aku melakukan ini, bahkan sering. Aku tidak takut kalau sampai ayah atau ibu ada yang tau. Iya, aku tidak takut. Kenapa? Mereka juga tidak akan peduli.
Pernah suatu malam aku bertemu dengan teman ayah, dia belum mengenaliku. Tapi aku mengenalinya. Dan dengan bodohnya dia malah merayuku. Aku yang merasa jijik dan ingin muntah, lelaki tidak tau umur. Semakin membuatku takut akan menikah kelak. Bagaimana jika semua lelaki sama sepertinya? Hingga aku mengatakan kalau aku anak dari Husein. Dia mengancam akan mengaduh kepada ayah. Tapi buktinya, sampai sekarang aku masih merasa aman.
Jika benar dia sudah mengaduh, berarti ayah tidak peduli dengan hidup atau matinya aku. Kalau pun aku meminta ayah untuk tidak menggangguku, pasti akan dia lakukan. Tapi masalahnya, aku masih membutuhkan banyak uang. Dengan alasan aku belum bekerja dan akan melanjutkan kuliahku. Tidak mungkin aku memiliki uang untuk mengikuti tuntutan hidup. Belum lagi adik-adikku yang ada di jalanan. Aku masih ingin terus bersama mereka.
Hah, sangking santainya aku duduk. Tak terasa, hari mulai gelap. Aku langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Ternyata aku juga sudah menghabiskan beberapa batang rokok. Ku tinggalkan begitu saja puntungan dan juga abunya. Jangan di tanya lagi bagaimana keadaan apartemen ku. Berantakkan seperti tak memiliki penghuni.
Bersambung...
Suara sorak dan jadag-jedug musik yang memekakkan telinga. Tangan melambaikan ke atas, tubuh meliak-liuk kesana-kemari. Aroma nafas mereka yang sudah berbau alkohol. Tak ada lagi beban pikiran ketika sudah berada di dalam sini.
Aku bahkan mengeluarkan uang puluhan juta malam ini. Menyewa club hanya khusus untuk kami berempat. Sehingga tidak ada orang lain yang mengganggu. Seperti orang jahil yang akan sengaja memasukkan obat perangsang ke minuman, lalu memanfaatkan situasinya. Semua sudah ku bereskan sebelum terjadi. Jadi hanya kami saja yang ada, aku, Maemunah, Adam dan Wahid.
"Aku harusnya ada janji malam ini dengan Elena." Samar-samar ku dengar Adam berbicara dengan Wahid. Lalu mereka duduk dan mengobrol berdua. Aku dan Munah yang masih heboh dalam jogetan kami. Tertawa bersama, room ini bebas untuk kami bertingkah apa saja.
"Sudah berapa uang kau habiskan?" Munah bertanya, aku tak menjawab dan menyambar gelas minumanku. Kenapa harus memikirkan hal itu, kan aku yang bayar, batinku. Aku belum merasa oleng. Aku masih bisa jelas melihat dan mendengar walau sudah menghabiskan beberapa gelas alkohol yang menjadi favorit ku.
"Kau tidak minum?" Aku bertanya dengan Adam. Duduk di sebelahnya dan menyandarkan tubuhku di sofa empuk.
"Minum, tapi tidak banyak."
"Ku dengar harusnya kau pergi malam ini dengan Elena?" Dia mengangguk. "Kalian pacaran?" Adam tersenyum tapi tidak menjawab. Aku tertawa, aku ikut senang kalau mendengar temanku mulai bermain cinta.
"Awas patah hati loh Dam!" Aku tertawa puas lalu berdiri lagi, bergoyang sesuka hati dan berteriak melepas beban. Lampu kelip semakin berputar dengan kecangnya, apa ini hanya karena pengaruh alkohol? Aku kembali duduk, memegang kepala yang mulai oyong. Aku harus berhenti minum dulu, sebelum aku teller dan tidak bisa pulang membawa mobil sendiri. Aku paling malas menyusahkan orang lain.
"Nara, kau tidak takut pulang dengan pakaian seperti ini? Kalau ada laki-laki yang menggodamu bagiamana?" Aku tertawa lagi. Pertanyaan yang konyol bagiku. Bukankah aku naik mobil dan mana mungkin orang lain bisa melihat. Orang-orang di apartemen juga bukan seperti warga kampung yang terkesan norak kan?
"Memangnya kenapa Dam?" Dia menatapku tanpa berkedip, lalu detik berikutnya menggeleng.
"Tidak apa-apa." Aku menganggukkan kepalaku, mengikuti musik yang terus semakin tinggi. Geleng kepala saja tidak cukup, aku kembali berdiri. Lalu mengambil gelas minumanku.
"Cheers dulu dong."
"Temanya apa?" Wahid bertanya, Munah juga mengangguk setuju.
"Untuk ayah jahat dan ibu jahat, haha." Aku tertawa. "Dam, sini dong kamu ikut." Adam berdiri.
Suara gelas yang beradu terdengar, kami tertawa dan langsung meneguknya secara bersamaan. Lalu melompat karena musik semakin menaikan gairah siapa saja untuk bergoyang.
Dan pada akhirnya, kami yang sama-sama sudah lemas duduk di sofa dengan malang melintang. Sepertinya tidak bisa dikatakan dengan duduk. Aku bersama Adam, kakiku bahkan naik ke atas pangkuannya. Dengan tubuh posisi tengkurap. Maemunah dan Wahid saling bersandar. Meski mata kami terpejam, musik tetap akan menyala. Dan akan mati ketika kami sudah keluar dari room ini. Adam yang masih bisa menahan kesadaran, memanggil salah satu pekerja bar. Dia meminta air dan jeruk nipis, hal yang biasa aku lakukan juga ketika sudah mabuk berat.
"Nara, ponselmu bergetar." Adam menggoyangkan kakiku. Aku hanya mengulurkan tangan agar meminta dia yang mengambilnya. Lagian siapa sih yang menganggu malam-malam begini.
"Ibu?" Aku mengucek lagi mataku. Mau apa dia?
"Ya?" Aku menjawab dengan memejamkan mata, hanya saja mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar di bahu Adam.
Ibu bertanya aku dimana, kenapa ramai sekali.
"Aku lagi di club'." Jawabku santai, mereka juga tak mendengar hanya Adam mungkin yang bisa mendengar. Aku tak tau ibu bicara apa, mana bisa aku mendengarnya mengomel atau menyampaikan sesuatu. Jelas-jelas musik di dalam masih memekakkan telinga.
Aku mematikan sambungan telepon. Tapi ibu langsung mengirimi ku pesan.
"Nara, jangan kelewat batas! Jika ada sesuatu terjadi ibu tidak tanggungjawab. Dan besok jangan lupa datang kerumah, Laras berulang tahun. Ibu mau kau datang!"
Cih, aku langsung meletakkan ponsel. Memegang kepala dengan kedua tanganku. Baru saja melupakan hal ini sebentar, kenapa sudah harus mengganggu! Apa dia bilang tidak tanggungjawab? Dan apa? Anak tirinya ulang tahun? Haha bahkan dirayakan, sementara ulang tahunku saja tidak pernah selama aku hidup di dunia. Bahkan aku yakin ibu tidak ingat.
Aku jadi ingin tertawa lepas sekarang, menertawakan nasibku sendiri sebelum orang lain yang tertawa.
"Kenapa Nara?" Adam bertanya lagi. Dua orang yang ada di depanku sepertinya sudah benar-benar tak sadar sekarang.
"Maaf aku tak sengaja membaca pesan dari ibumu tadi." Aku mengangguk saja. Lalu memeluknya, tangisku pecah. Bahkan aku langsung sesegukan.
"Orang tua macam apa yang tega mengatakan hal itu pada anaknya? Dan dia, bahkan tidak seperti mengundangku untuk datang tapi malah membuatku merasa iri, hiks." Adam mengusap punggungku. Lebih tepatnya langsung ke kulit tubuhku karena pakaianku malam ini yang sangat terbuka.
"Sudah lah. Bukannya kau datang kesini untuk melupakan itu semua?" Mana mungkin semudah itu aku langsung tenang. Aku meminta Adam menuangkan kembali minuman untukku, aku harus benar-benar mabuk agar langsung lupa dan terbangun besok pagi. Lumayan kan beberapa jam tidur bisa nyenyak.
"Kita harus pulang sekarang?" Adam berkata saat sudah melihat jam sudah pukul 01 malam.
Aku yang sudah tak sadar, dengan siapa aku pulang saja aku tidak tau.
Saat sudah sampai di apartemen. Aku merasa ada membawa ku masuk ke dalam kamar, membaringkan tubuhku. Tapi aku menariknya, memeluknya dengan erat. Seperti tak rela di tinggal sendiri. Dan, aku tak tau lagi apa yang terjadi. Sosok apa yang peluk, hantu sekalipun aku tak tau.
***
Pagi datang, sinar masuk dari celah jendela gorden yang tidak tertutup sempurna. Aku menggeliat, tulangku terasa sakit. Tubuhku lemas, aku mengucek mata. Berusaha mengembalikan kesadaran agar jelas melihat jam yang ada di dinding kamar. Aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Siapa yang mengantarku pulang? Apa Adam atau Wahid? Jika benar mereka aku masih bisa merasa lega, karena mereka temanku. Pasti tidak akan berbuat macam-macam.
Sudah jam 10? Ini tidak pagi lagi, sudah hampir siang. Gila, aku baru bangun. Untung ini libur sekolah akhir pekan. Detik berikutnya aku mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi.
Aku membuka selimut yang menutupi tubuhku, aku langsung menjerit ketika melihat tubuhku tak berbalut sehelai benangpun. Mataku membulat melihat becak darah. Sumpah, saat aku akan turun dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin tahu siapa yang ada di dalam kamar mandi. Daerah kewanitaan ku sangat sangit, perih, ngilu. Ya Tuhan, apa yang terjadi semalam? Apa yang terjadi denganku?
"Siapa di dalam?" Aku mengetuk pintu kamar mandi dengan suara gemetar menahan tangis. Aku benar-benar sudah kehilangan kesucian ku.
Aku tak berhenti mengetuk, hingga suara handle pintu terbuka. Mataku membulat, tak mungkin dia orangnya kan?
"Adam?"
"Nara?" Aku langsung berbalik, memegang erat-erat selimut yang ku balutkan di tubuh. Aku menggeleng pelan. Adam, dia Adam kan?
"Nara maaf." Hanya itu yang di ucapkan. Lalu kembali menutup pintu, mungkin akan memakai pakaiannya dulu. Karena tadi aku lihat hanya lilitan handuk di pinggangnya.
Ponselku berdering lagi. Aku ragu untuk mengangkat. Ku biarkan saja, hidup dan mati lagi. Terjadi sampai berkali-kali. Aku seperti orang tak berdaya. Duduk di tepi ranjang dengan keadaan yang sudah hancur. Hati dan kesucian. Bagiamana kalau aku hamil? Aku tidak ingin menikah. Perjalananku juga masih panjang, sekolah dan sebentar lagi akan lulus. Aku juga ingin kuliah. Aku langsung memikirkan hal yang masih jauh.
"Nara?" Adam berjalan mendekat. Aku hanya meliriknya dengan pandangan yang kabur karena air mata menutupinya.
"Nara, aku sudah berusaha menolak. Tapi, tapi aku laki-laki normal yang mana mungkin aku tidak bisa tergoda jika kau memelukku begitu erat!" Terangnya dan berusaha menenangkan aku.
"Aku akan tanggungjawab jika kau sampai hamil. Aku janji Nara!" Bukan itu bodoh! Aku tidak mau menikah! Tidak! Aku memang menyayangimu Adam, tapi hanya sebagai teman. Tidak lebih.
"Nara?" Aku menoleh sekilas. Aku juga tidak bisa menyalakan Adam sepenuhnya. Ini juga salahku kan? Dia benar, laki-laki normal mana yang mampu menolak?
"Pergilah Dam. Aku ingin sendiri." Ucapku lirih. Adam belum bergerak dari tempatnya. "Pergi!!" Aku berteriak. Adam ragu-ragu untuk melangkah. Dia mendekat dan cup, mengecup keningku, aku merasa kehangatan sekejab. Lalu Adam pergi dan menutup pintu kamarku.
Aku berjalan masuk ke dalam kamar mandi dengan memaksa kaki terus melangkah. Sakit, aku masih merasakannya. Aku terduduk di bawah shower, menangis lagi dan memukul kepalaku sendiri. Aku merutuki kebodohan ku. Aku harus mengaduh dengan siapa sekarang? Ya Tuhan, mana mungkin aku memberi tau hal ini dengan Munah ataupun Wahid. Aku malu.
Selesai mandi, aku merasa tubuhku lemas dan menggigil. Duduk menekuk kaki di atas tempat tidur. Ku biarkan saja rambut basahku menetes dengan wajah pucat yang seperti tak dialiri darah.
Jika aku mengaduh dengan siapapun pasti akan memintaku untuk menikah. Aku tidak mau. "Hiks.." Aku kembali menangis dalam kesendirian.
Ponselku berdering lagi. Ibu, aku yakin dia yang menelpon. Ku lihat ke arah layar ponsel, benar itu ibu.
"Nara, ibu sudah memintamu untuk datang kan hari ini? Apasih susahnya Nara? Kau bahkan bisa datang ke pernikahan ayahmu? Kenapa saat ibu memintamu untuk datang kau selalu tidak bisa? Apa karena ayah yang selalu memberimu uang? Kalau hanya itu, ibu juga bisa?" Ya ampun, kenapa ibu tega mengatakan hal itu pada ku?
"Bu, kalau sekarang aku minta ibu untuk datang kesini karena aku sakit? Apa ibu mau? Apa ibu akan datang, dan rela meninggalkan acara yang ada di rumah. Dia juga bukan anak kandung ibu kan?" Ibu terdiam di seberang telepon. Tak ada suara Omelan lagi.
"Bisa tidak Bu? Aku butuh ibu sekarang." Aku menunggu jawabannya.
"Nara, permintaan mu sungguh tidak masuk di akal. Kau sudah dewasa, kau juga bisa membeli obat sendiri kan?"
"Haha iyaa ibu benar." Aku tertawa sambil meneteskan air mata. Pahit sekali ya rasanya.
"Jadi kau benar-benar tidak bisa datang? Ibu mau kita berphoto bersama, dan mengabadikan momen keluarga kita Nara."
"Maaf Bu. Aku tidak punya keluarga!" Aku langsung mematikan sambungan telepon. Aku melempar barang apa saja yang ada di dekatku. Lampu tidur besar yang berada di atas meja juga sudah pecah. Kaca berserakan dimana-mana.
Sekarang aku tau, baik ayah ataupun ibu sama. Mereka hanya mau saling pamer. Bisa photo bersamaku, dan memamerkan. mereka mau menunjukan ke semua orang kalau aku sudah menerima keluarga baru.
Aku masih menangis, tanganku gemetar saat menulis pesan singkat yang aku kirim ke Munah. Aku memintanya untuk datang ke sini.
Satu jam kemudian, Maemunah benar datang. Aku memintanya untuk langsung masuk ke dalam kamar. Karena pintu apartemen tidak di kunci sejak Adam pulang tadi. Maemunah langsung menghentikan langkahnya, ketika melihat pecahan kaca yang bahaya jika terkena kaki. Dia menutup mulutnya melihat keadaanku yang sudah kacau.
"Kinara!!" Dia berteriak, lalu berhati-hati berjalan hingga naik ke atas tempat tidur. Dia memelukku, aku sudah lemas karena kelelahan menangis dan tak ada apapun yang aku makan. Bahkan aku tidak bisa membalas pelukannya. Aku kembali menangis tanpa suara. Tatapan ku kosong.
"Nara? Hei." Dia membingkai wajahku, memaksaku untuk melihatnya.
"Katakan ada apa? Ibu? Ayah? Siapa yang membuatmu begini?" Aku hanya bisa menjatuhkan air mata.
"Kita duduk di sofa saja, keadaan kamar mu berantakan." Munah membantuku, memapah ku berjalan. Untung saja dia tak melihat ada bercak darah di sprei. Karena aku belum menggantinya.
"Ibuku tega sekali berkata begitu denganku." Aku memeluknya, sebisa ku. Aku mengumpulkan tenaga untuk kembali membuka mulut dan berbicara.
"Ibumu? Apa yang dia katakan?"
Aku bercerita apa saja yang di katakan ibu barusan. Tapi tidak dengan kejadian tadi malam. Aku berusaha menutupinya dari siapapun. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri.
"Nara? Dengar aku?" Dia kembali membingkai wajahku. "Kita datang kerumah ibumu. Aku akan menemanimu datang kesana, kau mau kan? Mau bagaimana pun dia tetap ibumu. Ibu yang sudah melahirkan mu?" Boleh kah aku menyesal mendengar kalimat akhir yang di katakan Munah?
Terkadang aku iri dengannya. Walau Munah juga tidak berasal dari keluarga kaya raya. Ayahnya hanya karyawan kantor biasa, yang memiliki gajih cukup untuk membiayai sekolahnya. Bisa di bilang juga tidak kekurangan.
Tapi jika Munah sudah bercerita tentang keluarganya, dia bahkan mengatakan kalau ayahnya sampai pernah rela tidak tidur hanya menunggu jam 12 tepat untuk mengucapakan selamat ulang tahun. Aku begitu takjub, bagaimana rasanya ya? Aku benar-benar ingin merasakan ada di posisinya. Terkadang juga Munah sering membuat story di akun sosial media miliknya. Belanja ke pasar berdua dengan ibunya, tertawa dengan memamerkan keranjang yang berisi sayuran. Sederhana, tapi menurutku itu luar biasa.
"Kau sudah selesai?" Akhirnya aku mengalah, menuruti apa yang di katakan Munah. Datang ke rumah ibu. Sekedar menyapa dan memberikan selamat kepada saudara tiriku.
Munah juga membantu untuk membersihkan pecahan kaca yang berserakan di dalam kamar. Tapi aku tak memberi ijin untuknya menyentuh sprei tempat tidur. Bercak darah yang aku tutupi selimut bisa di pertanyakan Munah nantinya. Bisa saja aku memberi alasan kalau aku sedang datang bulan. Tapi aku tidak mau berbohong lagi, mending aku kubur ini sendiri.
"Kau tidak membawa kado? Hei, kau harus terlihat tegar di hadapan mereka?" Lagi-lagi Munah memberi peringatan. Aku mengangguk saja dan Munah yang menyetir mobil. Tujuan pertama kami harus mencari kado. Apa yang pantas untuknya? Baju kah atau apa?
Laras dia hanya berbeda satu tahun denganku. Sehingga dia memanggilku dengan sebutan kakak. Aku saja merasa geli, aku hanya anak satu-satunya dan tidak merasa kalau mempunyai adik.
"Ini, bagus nggak?" Bahkan yang memilih juga Munah. Aku benar-benar tak peduli tentang kado. Menurutku aku mau datang saja ibu sudah wajib bersyukur.
"Atau yang ini?"
"Menurutmu mana yang bagus." Aku berjalan keluar butik dan menyerahkan dompet kepada Munah. Ku serahkan semua padanya.
Aku menunggu di dalam mobil. Melihat Munah yang keluar dengan membawa paper bag bertuliskan logo butik terkenal. Aku langsung berpikir jelek, enak saja dia bisa mendapatkan kado mewah. Mahal loh harga gaun itu. Belum tentu ketika aku ulang tahun dia bisa membalasnya ataupun sekedar mengingat dan mengucapkan selamat ulang tahun.
"Jika kau merasa sudah tidak kuat, kita langsung pulang." Begitu yang di ucapkan Munah sebelum kami berangkat pergi kerumah ibu.
Rumah ibu, adalah rumah dimana aku tumbuh. Terakhir kali datang kesana lima bulan lalu, itu juga hanya mengambil raport sekolah yang harus di kumpul. Aku tidak merindukan suasana rumah itu, sama sekali tidak. Hingga kami sampai di depan gerbang. Securitty yang sudah mengenali mobilku langsung membukanya. Dia juga menyapaku, aku membalasnya dengan senyuman.
"Kita turun sekarang." Aku mengangguk. Yang aku kira ini hanya acara ulang tahun biasa. Ternyata tidak, bahkan para tamu juga sudah banyak yang berdatangan. Seistimewa inikah anak tiri?
Jelas para tamu tak ada yang mengenaliku dan Munah. Kami bak tamu asing yang jika masuk harus menunjukkan surat undangan. Hei, jika aku bisa berteriak, aku ingin memaki penjaga yang ada di depan pintu rumah utama. Mereka juga asing, mungkin ini anggota dari suami ibu.
"Begitu ya pak? Jadi kalau tidak ada undangan tidak boleh masuk?" Aku berakting bukan siapa-siapa disini.
"Iya, begitu peraturannya. Karena bisa saja kalian adalah penyelinap."
"Pak, dia ini-" Aku langsung menginjak kaki Munah agar tidak menyebutkan siapa aku. Aku menggeleng pelan saat Munah menatapku. Dia langsung terdiam. Penjaga semakin menatap kami dengan penuh curiga.
Ini kesempatan bagiku, jika tidak boleh masuk bukankah aku harus bersyukur. Iya, karena aku memang tidak ingin berada disini sekarang.
"Kenapa kalian masih berdiri disini? Sebaiknya kalian pergi." Tatapannya sangat tajam. Aku saja sampai bergidik ngerih.
"Baik pak kami akan pergi. Permisi." Aku menarik tangan Munah untuk segera menjauh dari rumah. Dia menghempaskan agar aku melepaskan tangannya.
"Nara, kau gila ya? Kau bukan orang asing!" Dia berjalan kembali, aku tak bisa lagi mencegahnya. Sekarang sudah antri kembali para tamu yang datang. Menunjukkan undangan dan baru di perbolehkan masuk. Munah langsung menghampiri tanpa mengantri lebih dulu. Aku hanya bisa menatapnya dari tempatku berdiri sekarang, di halaman rumah ibu. Sebenarnya ini juga rumahku.
"Hei, bapak penjaga yang terhormat!" Aku terkikik geli melihat ulahnya yang menunjuk wajah penjaga, belum lagi tatapan para orang-orang yang saat ini berdiri di sekitar Munah.
"Bagiamana bisa, kau tak memperbolehkan Kinara masuk ke dalam? Sementara dia juga tuan rumah dirumah ini." Kali ini wajah penjaga itu seperti tidak percaya, bahkan dia sampai menoleh ke arah temannya meminta jawaban.
"Kalau memang kami tidak di perbolehkan untuk masuk. Tolong sampaikan kepada ibu Namira. Anaknya di usir dari rumahnya." Munah Kembali berjalan ke arahku. Aku tersenyum menunduk, kali ini semua tatapan menatap ke arah kami. Sementara kami berdiri dengan santai menatap ke arah dua penjaga yang terlihat bingung. Yang satu berlari ke dalam, mungkin benar akan memanggil ibu.
Beberapa menit, setelah kami merasa sudah kering berdiri di halaman rumah. Ibu tampak berdiri di depan pintu, lalu mengedarkan pandangannya. Aku sengaja tak memanggilnya, dan hanya berdiri mematung. Membiarkannya mencari keberadaan ku.
Pandangan kami bertemu saat ibu berhasil melihatku. Dia buru-buru berjalan menghampiri ku.
"Nara, kau datang?" Dia tersenyum senang. Aku tak membalasnya dan hanya mengangguk. Lagi malas main drama.
"Ayo masuk. Ibu akan memberi hukuman untuk mereka berdua." Menunjuk ke arah penjaga yang menundukkan wajahnya saat aku dan Munah melewatinya.
"Dasar?" Munah bahkan sempat membentaknya lagi. Padahal, menurutku mereka tidak salah, wajar karena mereka tidak mengenaliku. Dan, mereka juga hanya menjalankan tugas dari tuan mereka.
"Kau disini dulu ya, ibu mau kesana." Aku mengangguk dan melihat ibu berjalan ke arah teman-temannya. Ah jadi merasa tidak enak, kehadiranku sepertinya mengganggunya.
"Nara, kau lihat itu." Munah menyenggol lenganku. Aku juga melihat kemana Munah menunjuk. Oh, ternyata disana sudah ada Laras yang berdiri bersama teman-temannya. Tertawa kecil sambil berbincang. Ku tatap lagi ke arah panggung mewah. Belum lagi dekorasi pesta ulangtahun. Ini sudah seperti di persiapkan jauh-jauh hari ya. Wah, istimewa sekali dia. Berpesta di dalam rumahku. Ini juga masih hak ku kan?
Aku menarik tangan Munah untuk segera berjalan ke arah Laras. Semua mata temannya langsung menatap ke arah kami.
"Laras, selamat ulang tahun." Aku menyerahkan paper bag padanya.
"Kakak, kau datang?" Dia sangat senang. "Makasih ya kak." Aku mengangguk dan mengulum senyum palsu.
"Dia kakakmu?" Laras mengangguk dan sepertinya malah bangga memperkenalkan aku dengan teman-temannya.
"Kak, kenalkan aku Marisah." Gadis itu mengulurkan tangan, dan bergilir satu persatu. Juga dengan Munah.
"Kakak cantik sekali. Bahkan jauh berbeda dengan yang ada di photo." Ucapnya lagi memuji. Tapi tunggu, photo? Photo apa?
"Laras sering memperlihatkan photo kakak lho. Kami juga tau akun sosial media milik kakak. Jangan lupa follback ya kak." Benarkah? Lalu maksudnya Laras apa menunjukan photo ku dengan teman-temannya?
"Kak, kita photo bersama ya?" Kali ini Laras yang mengajakku, dan meminta salah satu temannya untuk mengambilkan melalui ponselnya.
Bersambung..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!