Pernikahan ayah

Aku sudah bersiap pergi untuk datang ke acara pernikannya ayah. Dan ayah sudah mengatakan kalau sudah meminta ijin langsung dengan wali kelas. Aku hanya sebentar disana, aku ingat hari ini aku memiliki janji dengan adik-adikku. Ayah sengaja menyuruh supir untuk menjemput ku. Padahal harusnya aku membawa mobil.

Aku hanya bisa menatap jalanan yang menampakkan pepohonan yang bergerak semakin menjauh. Membawa segenap luka dan kekecewaan. Memiliki dua orang ayah dan ibu sekaligus, lucu ya. Padahal, mempunyai satu ayah dan satu ibu saja aku tak pernah mendapatkan kasih sayang selayaknya seorang anak. Dan sekarang bertambah, keadaan bahkan tetap sama. Dan malah mereka semakin sibuk mengurus rumah tangga barunya. Apalagi ibu, dia sangat jauh terlihat lebih bahagia. Berkali-kali ku lihat postingannya di akun sosial media miliknya. Photo mereka liburan bersama suami dan anak tirinya. Yang seharusnya aku ada di posisi itu, sumpah aku tidak pernah merasakannya.

"Nona sudah sampai." Aku sedari tadi melamun, sudah sampai juga tidak tau. Supir membuka pintu untuk ku, aku turun dengan penampilan ku yang biasa saja. Itu sudah aku rencanakan, apa reaksi ayah nantinya.

"Selamat datang nona." Mereka menunduk sopan, para pelayan dirumah ayah. Bukan hanya satu dua orang, tapi sampai puluhan dengan berbagai bagian mereka masing-masing. Bisa di bayangkan sebesar apa rumah ayah dan sekaya apa ayahku.

"Ayah mana?" Aku bertanya saat akan melangkah masuk.

"Tuan ada di dalam nona. Mari saya antar." Aku mengangguk lagi, harusnya tidak perlu. Aku kan anaknya, kenapa seperti orang asing yang harus di antar menghadap ke tuan rumahnya.

"Tuan, ada nona Nara datang." Dia menundukkan tubuhnya dengan sopan.

"Pergilah." Ayah meminta pelayan segera pergi dengan mengunakan tangannya. Caranya mengusir secara halus.

"Nara?" Aku duduk sekarang. Di kursi sofa milik ayah.

"Kau tidak membawa baju ganti?" Aku menatap penampilan ku saat ini dan tersenyum dalam hati.

"Memangnya kenapa yah?" Aku berpura-pura saja tidak tau. Karena aku datang hanya menggunakan celana jeans dan kaus berwarna putih. Tak lupa tas selempang kecil yang aku bawa.

"Kau mau mempermalukan ayah? Sebentar lagi keluarga Tante intan akan datang."

"Memangnya kenapa?" Aku bertanya lagi. Wajah ayah memerah menahan emosi. Aku berharap dia marah dan mengusirku sekarang. Agar aku tak bersusah payah untuk menyaksikan pernikannya.

"Pelayan!" Ayah berteriak. Seseorang langsung masuk.

"Tolong siapkan pakaian yang pantas untuk putri saya." Dia mengangguk dan pergi. Aku diam saja menunggu reaksi ayah selanjutnya.

"Kau benar-benar ingin mempermalukan ayah dengan penampilan seperti ini? Nara, kau juga harus terima. Ibumu saja sudah menikah. Dan ayah juga harus melakukan itu, agar ada yang mengurus ayah!"

"Kenapa harus? Bukankah para pelayan juga sudah cukup bahkan lebih hanya sekedar mengurus ayah!" Ayah langsung berdiri dari duduknya, menunjuk wajahku dengan salah satu jari tangannya.

"Kau tidak mengerti Kinara!" Ayah meninggikan suaranya. Aku juga ikut berdiri, berhadapan dengannya.

"Ayah! Aku sudah dewasa sekarang. Berhenti menganggap ku tidak tau apa-apa. Berhenti menganggap ku seperti anak kecil yang bodoh! Dan berhenti menganggap ku yang tidak tau menahu ini! Aku tau yah, aku tau! Bukan itu tujuan ayah untuk menikah. Tapi karena ayah merasa malu dengan ibu, dia sudah lebih dulu menikah sementara ayah belum. Apa sih sebenarnya hal yang membuat kalian menikah? Ha? Apa yah? Dan akhirnya memiliki anak, yaitu aku yah!"

Aku menunjuk diriku sendiri, air mata sudah mengalir deras tanpa memberi Jedah untuk berhenti. Nafasku sesak, sudah lama aku ingin menanyakan hal ini. Pernikahan mereka, ya hanya itu. Kenapa bisa terjadi.

"Karena yang aku tau, kalian tak pernah saling cinta! Asal ayah tau, aku menyesal di lahirkan ke dunia ini. Menyesal memiliki orang tua seperti kalian." Aku melirik ke arah sudut ruangan, dimana sudah berdiri di sana seorang pelayan yang membawakan pakaian untukku. Dia bahkan terus menunduk, tak berani melihat ke arahku.

"Aku tak ingin memakai pakaian yang lain. Ini sebagai bentuk kalau aku hidup seorang diri. Hanya ditemani uang yang selalu ayah berikan. Benda mati yang hanya bisa bergerak membeli sesuatu. Tidak kebahagiaan seorang anak. Permisi tuan Husein yang terhormat!" Aku langsung menabrak bahu ayah dan berjalan keluar. Terserah? Mereka juga selalu mengatakan hal itu. Aku sempat memberi senyum kepada pelayan di rumah ayah. Walau air mata masih tersisa di pelupuk mataku.

"Nona, maaf anda tidak diperbolehkan untuk pulang." Dua orang bertubuh tegap memakai pakaian yang kompak berwarna hitam. Memegang kedua lenganku, aku seperti akan di culik jika diperlakukan seperti ini di luar rumah. Apa-apaan ini!

"Lepas atau saya akan teriak." Mereka saling pandang dan tersenyum. Aku lupa, mau teriak bagaimana juga tidak akan ada yang mendengar. Untuk masuk kerumah ayah saja meski menaiki kendaraan, jika berjalan akan pingsan karena jauhnya.

Aku sudah yakin kalau ini suruhan ayah! Lelaki itu, sama saja dengan ibu. Dasar, mereka selamanya akan tetap sama. Tak pernah memikirkan keinginan ku.

"Apa susahnya mengganti pakaian?" Aku tak mau menoleh, aku tau siapa yang berbicara.

"Lepaskan dia." Kedua tanganku langsung terlepas begitu saja ketika mendengar suara tuan mereka.

"Dengan satu syarat!" Lagi-lagi aku harus melakukan hal ini.

"Katakan." Jawabnya, kami saling berbicara tanpa tatapan. Aku dengan posisi berdiri ku, dan begitu juga dengan ayah.

"Suruh salah satu supir ayah untuk mengambil mobilku. Karena aku tidak mau pulang di antar. Aku juga memiliki keperluan setelah ini." Baik, begitu ayah menjawab. Dan ku dengar dia memanggil supir untuk langsung mengambil mobilku.

Jika benar dia orang tua yang baik, perhatian dengan anaknya. Pasti ayah juga akan bertanya aku mau kemana? Pergi sama siapa? Tapi tidak kan? Walau aku akan bilang nantinya pergi ke club, mungkin dia juga tidak akan melarang. Yang penting baginya pernikannya bisa berjalan lancar dan tidak ada kendala, itu saja. Aku yakin, ayah memaksa ku tetap disini karena ingin mencari nama baik. Pertama dengan kolega bisnis dan kedua dengan keluarga calon istrinya, dan yang ketiga. Ayah akan pamer dengan ibu kalau di hari pernikannya dia bisa membujukku untuk hadir disini. Sementara ibu tidak bisa mengajakku untuk hadir di hari pernikahannya. Kenapa aku bisa membuat opsi semacam itu? Karena aku sudah tau dan paham bagaimana sifat kedua orang tuaku. Meski kami tak dekat, tapi dari melihat mereka setiap emosi. Semuanya memiliki keinginan yang harus terwujud.

Aku sudah berganti pakaian, dan memakai makeup yang dimana dipoles oleh salah satu pelayan dirumah ayah. Tangannya memiliki seni, sehingga membuatku malah terlihat sangat cantik hari ini. Oke, karena syarat sudah di penuhi oleh ayah aku akan menurut dengannya walau hanya beberapa jam ke depan.

Aku berjalan menuju altar di halaman belakang rumah ayah. Jujur, aku saja memandang ini dengan takjub. Pernikahan ayah bukan seperti yang kedua, tetapi malah mirip seperti anak muda yang sedang melangsungkan pernikahan. Ih aku merinding dan juga geli, tak membayangkan kalau saat ini aku yang harus menikah. Mereka yang sudah hadir semua menatapku yang berjalan dan sedikit menyincing dress putih yang terbalut pas di tubuhku.

"Apa dia calon pengantinnya? Wah muda sekali, beruntung kalau Husein mendapatkannya."

"Cantik sekali ya." Aku jelas mendengar mereka berbicara ngawur. Tapi ketika mendengar suara derap langkah yang berasal dari belakang ku, bukan hanya aku yang menoleh. Tapi semua yang sudah hadir juga ikut menatap ke arah mereka.

Kedua pengantin yang akan menikah berjalan sambil bergandengan tangan. Menebar senyum kesana-kemari. Wajah mempelai wanita di tutup dengan jaring tipis, tapi tetap terlihat seluruh wajahnya. Aku berhenti sejenak, ikut terhanyut menatap orang tuaku saat ini. Ayah yang tampak gagah dan tampan memakai jas berwarna putih, dan ada pita kecil di tengahnya. Mereka melewati ku begitu saja, ayah dia bahkan tak menyapaku? Apa benar dia tak melihatku yang berdiri sebesar ini.

Aku hanya bisa mengikuti langkahnya, entah dimana nanti posisiku. Yang terpenting aku sudah hadir.

Janji pernikahan mulai terucap, aku duduk diantara orang-orang. Yang lebih tepatnya keluarga ayahku. Om ku dia selalu ingin melihatku, hanya saja keadaan rumah yang berbeda kota membuat kami tak bisa saling bertemu. Padahal, aku sangat ingin dekat dengannya sebagai pengganti seorang ayah. Anak-anaknya juga baik denganku.

Ayah hanya memiliki satu adik dan satu kakak. Namun, mereka tinggal masing-masing berbeda kota. Jadi tidak ada waktu untukku mengaduh kepada mereka. Tentangku, perjalanan ku. Bahkan mereka juga tidak tau kalau saat ini sebenarnya aku tinggal tidak dirumah ayah ataupun ibu.

Mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri, saat ayah mengecup kening istri barunya aku langsung memalingkan wajah. Sumpah, aku tidak ingin melihatnya.

"Nara, dia ibumu yang baru. Anggap juga dia seperti ibumu sendiri." Om mengelus puncak kepalaku. Aku hanya tersenyum kecut. Jika harus memperlakukan seperti seorang ibu, dan itu ibuku sendiri. Ya berarti aku harus bersikap tidak peduli dengannya. Karena memang hal itu yang selalu aku lakukan dengan ibu.

"Dia anakku, Kinara Adnan Husein. Ayo nak kemarilah." Aku membulatkan mata, lalu menatap ke arah omku. Dia mengangguk, yang berarti aku harus berdiri didekat ayah sekarang. Ayah apa-apaan sih. Kenapa harus mengundangku untuk datang kesana bersamanya. Lagian aku juga bodoh, kenapa tidak mendengarkan tadi ayah berbicara apa! Aku terus menggerutu, hingga sampai tepat di hadapan ayah.

"Kita berphoto ya nak." Aku tersenyum sekilas. Tepuk tangan meriah, padahal tidak ada pertunjukan apapun.

"Ternyata itu anaknya Husein. Pantas saja cantik."

"Iya-iya. Aku bahkan tak sempat mengenali wajahnya yang sangat mirip dengan ayahnya."

Kisak-kisuk itu masih terdengar, mereka menunjukku yang tengah berdiri di apit oleh kedua pengantin ini. Aku meliarkan pandanganku. Aku mencari, dimana anak dari tante Intan? Apa mereka juga tidak mau hadir disini? Ah tapi itu lebih bagus, sehingga aku tidak perlu menyesuaikan diri ketika ada mereka.

"Sekali lagi ya." Aku menebar senyum palsu disini, walau hanya beberapa detik dan itu akan awet hingga puluhan tahun. Bahkan jika di jadikan pajangan, senyumku tak akan hilang. Melekat begitu saja di setiap mata orang yang melihatnya. Tercetak sebagai photo yang tersusun rapi nantinya.

"Ayah sudah kan?" Aku sudah risih, melihat jam di tangan sudah pukul satu siang. Aku sudah ada janji dengan adik-adik jalanan.

"Kau mau pergi?" Aku mengangguk. Ayah langsung memberi ijin padaku. Dia sudah puas kan, aku sudah ikut berphoto dengannya. Lagi pula, sudah banyak wartawan yang datang. Mereka juga akan sibuk nantinya.

"Kinara." Aku menoleh mendengar suara lembut yang bukan berasal dari ayah. Wajahku tak berekspresi.

"Makasih sudah hadir. Sering main kerumah ayahmu ya." Aku tak menjawab, hanya diam dan langsung pergi. Hei kau orang asing, kenapa mau mengaturku?

Aku berjalan dengan tergesa-gesa, mencari mobilku di halaman rumah ayah. Siang ini panas sangat terik, membuatku juga tidak ingin berlama-lama di luar mobil. Aku langsung tancap gas dan membunyikan klakson berkali-kali agar gerbang segera terbuka. Mereka yang menyapa ku dengan sopan dan mengatakan hati-hati. Aku hanya mengangguk dan tersenyum saja.

Tujuan pertama tempat dimana menjual pizza. Ya ampun, semoga adik-adikku tidak menungguku terlalu lama.

Aku langsung masuk ke dalam untuk memesan. Tapi semua tatapan mata mengarah kepadaku. Mereka berbisik dan seakan-akan menertawakan aku. Kenapa sih? Begitu juga dengan kasir, saat aku membayar sekaligus memesan. Dia tersenyum seperti menahan tawa.

"Kak, apa lari dari pernikahan?" Ha? Aku langsung menatap penampilan ku saat ini, benar aku belum mengganti pakaian! Ya ampun, kenapa aku bisa melupakan itu.

"Hehe, tidak mbak. Tadi aku menghadiri pernikahan ayahku." UPS, aku langsung menutup mulut, ayah? Kenapa aku menyebutnya, membuatku semakin malu. Apalagi aku mengatakannya seperti ada kebanggaan tersendiri, padahal bukan itu. Aku hanya menyelamatkan diri dari rasa malu.

Aku kembali duduk di kursi tunggu setelah kasir mengatakan tunggu 15 menit. Aku hanya bisa menunduk dan memainkan ponsel.

Baiklah, aku harus tetap tenang. Mencoba tenang, walau semua sedang menatapku. Hingga namaku di panggil, aku menghela nafas lega. Aku segera pergi dengan membawa 5 kotak pizza beserta minumannya.

Aku sampai di gang, sepi. Sepertinya mereka benar-benar menungguku dan tidak melakukan aktifitas apapun. Aku tersenyum ketika mendapati mereka yang tengah duduk di bawah pohon dengan keringat mengucur. Mereka habis melakukan apa? Ketika aku membunyikan klakson mobil mereka juga tidak menyambut ku dengan antusias seperti biasanya. Mendekat ke mobil dan menunggu membuka pintu. Mereka hanya duduk dengan wajah melas.

"Hei, kakak datang. Lihat, kakak bawa apa." Mereka tersenyum kecut, wajahnya pucat. Mereka kenapa? Bukankah aku sudah memberikan uang untuk mereka makan semalam?

"Kalian tidak senang kakak datang ya?" Salah satu di antara mereka berdiri, lalu menarik tanganku untuk segera duduk.

"Kami yakin kakak akan datang. Datang dengan menepati janji kak. Tapi kami belum makan karena uang yang kakak beri semalam di ambil anak nakal." Apa? Aku juga ikut terduduk lemas, aku memeluk mereka. Ku usap kepalanya.

"Bagaimana bisa?" Lirihku bertanya.

"Tadi malam ada yang datang kak ketika kami sedang tidur. Mungkin mereka melihat ada uang yang tergeletak di sebelah kami. Lalu mengambilnya, aku sempat bangun. Tapi mereka malah mengancam akan membunuh jika kami berani berontak. Mataku memanas seketika, air mataku jatuh. Aku segera menghapusnya, sumpah tubuhku melemas. Berarti mereka belum makan sejak pagi.

Dan mereka juga mendengarkan perkataan ku semalam, yang meminta mereka untuk tidak mencari uang selama satu hari, mengamen dan semacamnya.

"Ya sudah, kalian makan ini ya." Aku langsung membuka kotak pizza. Mereka berebut untuk mengambil, aku tersenyum. Sebegitu kah rasa ingin tau mereka mengenai pizza ini. Aku jadi teringat masa dulu.

"Iam, bisakah kau mengambil pizza ini dari tanganku?" Tubuh ku yang lebih tinggi darinya mempersulitnya untuk mengambil.

Iam terus mengejar ku. Dia tak berhasil malah jatuh tersungkur. Aku panik, melihat bibirnya yang berdarah.

"Iam maaf, aku tak bermaksud-"

"Yes, dapat." Dia malah melompat girang tanpa mempedulikan bibirnya yang berdarah. Berhasil mengambil sepotong pizza dari tanganku. Yang sengaja di beli ayah karena mereka akan datang.

"Iam! Kau curang!" Dia berlari dan aku mengejarnya. Tapi saat suara yang memanggil namanya, kami langsung berhenti. Orang tuanya mengatakan kalau mereka akan segera pulang. Hal yang sangat aku benci, aku kembali merasakan kesepian. Aku hanya bisa berdiri memandang mobilnya yang semakin menjauh dari halaman rumahku. Sejak itu, aku tak pernah lagi bertemu dengannya. Tak pernah sekalipun.

Aku sempat bertanya pada ayah dan ibu, tapi mereka hanya menjawab kalau keluarga mereka sudah pindah keluar kota. Karena bisnis keluarganya yang ada disana.

"Kak pizza-nya enak." Aku langsung menoleh, membuyarkan segala lamunan tentang masa kecilku.

"Kalian suka?" Mereka mengangguk antusias. Ya ampun melihat mereka tersenyum saja bisa membuatku terharu dan senang. Hanya memberikan sebagian kecil yang aku punya.

Melihat jam yang terus berjalan, aku pamit untuk pulang. Rasanya tubuhku sudah gerah. Dan tak lupa meninggalkan uang untuk mereka. Tetapi memberi tahu bagaimana cara menyimpannya. Agar tidak lagi di ambil oleh orang lain.

Saat sudah keluar dari dalam gang. Aku memasuki jalanan raya, mobilku terasa oleng. Sehingga aku turun untuk melihat keadaan ban mobilku. Dan ternyata, kempes. Ya ampun, mana aku tidak bisa mengganti ban mobil. Ku lihat lagi jam di tanganku. Sudah jam 4 sore. Mana aku aku harus bersiap untuk pergi nanti malam.

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala saja, aku harus menghubungi siapa sekarang. Apa aku tinggalkan saja mobilnya dan pulang ke apartemen?

"Nara, kau sedang apa?" Aku langsung mencari sumber suara. Ada mobil yang mendekat ke arahku. Aku berjalan untuk melihat, ternyata itu Adam. Ya ampun, aku langsung mengucapakan syukur. Akhirnya akan ada bala bantuan. Jika hal begini, aku tidak mau menghubungi teman-temanku. Aku juga tidak ingin merepotkan mereka. Tapi kalau begini kan memang tidak sengaja bertemu.

"Hei, Dam. Mobilku bannya bocor deh kayaknya." Adam membuka pintu mobilnya dan turun.

"Hubungi montir saja. Aku ada nomornya, kau bisa pulang ikut aku. Nanti kalau sudah selesai juga bisa meminta mereka yang mengantarkan."

"Ya sudah." Adam menelpon seseorang, aku menunggunya dengan duduk di dalam mobilnya. Meski sudah sore matahari juga masih memberi sinar terbaiknya.

"Sudah Dam?" Dia mengangguk dan masuk ke dalam mobil.

"Kau dari mana?" Aku bertanya, lalu mataku menangkap selembar kertas, aku mengambilnya. Membaca isi surat, iseng-iseng seperti tidak mempunyai kerjaan.

"Ini surat cek up siapa?" Adam menoleh dan tiba-tiba mengerem mobilnya secara mendadak.

"Eh ini punya ibuku." Dia mengambilnya dari tanganku. Dan ikut membacanya, aku mengangguk saja dan tidak ingin bertanya lagi.

Saat kami sampai, aku meminta Adam untuk langsung pulang saja. Dan mengingatkan agar tidak lupa acara nanti malam. Begitu aku masuk ke dalam, barang yang aku cari di dalam lemari. Korek api dan rokok.

Aku sudah membuka pakaianku, dan hanya menggunakan hotpants dan tangtop. Seperti biasa, duduk di dekat jendela. Di sana sudah tersedia sofa khusus yang aku sendiri menggesernya kesini. Menaikan satu kaki, dan terus mengepulkan asap dari rokok. Eh, sebelumya aku juga sudah pernah mencoba menggunakan Vape. Tapi aku terbatuk-batuk, yang berarti memang aku tidak bisa. Padahal, jika aku mau saja. Aku bisa membelinya satu lusin sekaligus. Haha, aku sombong ya, padahal itu juga uang dari ayah.

Satu batang rokok sudah habis, aku beralih ke lemari pakaian. Untuk mencari baju mana yang akan aku pakai nanti malam. Semuanya sudah pernah ku pakai ketika memasuki club'. Hanya ada satu pakaian yang menggantung. Berwarna hitam yang terbuka di bagian leher. Cocok dengan tubuhku, aku memilihnya dan meletakkan di atas tempat tidur.

Melihat lagi, masih tersisa waktu. Suasana masih terang di luar. Jadi, aku kembali mengambil satu batang rokok dan kembali menyesapnya.

Tinggal menunggu waktu aku akan mandi, dan bersiap untuk pergi. Karena aku sendiri yang akan memboking tempat yang akan kami datangi nanti malam. Bukan satu dua kali aku melakukan ini, bahkan sering. Aku tidak takut kalau sampai ayah atau ibu ada yang tau. Iya, aku tidak takut. Kenapa? Mereka juga tidak akan peduli.

Pernah suatu malam aku bertemu dengan teman ayah, dia belum mengenaliku. Tapi aku mengenalinya. Dan dengan bodohnya dia malah merayuku. Aku yang merasa jijik dan ingin muntah, lelaki tidak tau umur. Semakin membuatku takut akan menikah kelak. Bagaimana jika semua lelaki sama sepertinya? Hingga aku mengatakan kalau aku anak dari Husein. Dia mengancam akan mengaduh kepada ayah. Tapi buktinya, sampai sekarang aku masih merasa aman.

Jika benar dia sudah mengaduh, berarti ayah tidak peduli dengan hidup atau matinya aku. Kalau pun aku meminta ayah untuk tidak menggangguku, pasti akan dia lakukan. Tapi masalahnya, aku masih membutuhkan banyak uang. Dengan alasan aku belum bekerja dan akan melanjutkan kuliahku. Tidak mungkin aku memiliki uang untuk mengikuti tuntutan hidup. Belum lagi adik-adikku yang ada di jalanan. Aku masih ingin terus bersama mereka.

Hah, sangking santainya aku duduk. Tak terasa, hari mulai gelap. Aku langsung bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Ternyata aku juga sudah menghabiskan beberapa batang rokok. Ku tinggalkan begitu saja puntungan dan juga abunya. Jangan di tanya lagi bagaimana keadaan apartemen ku. Berantakkan seperti tak memiliki penghuni.

Bersambung...

Episodes
1 Luka
2 Pernikahan ayah
3 Hilangnya kesucian
4 Ulang tahun Laras
5 Aku hamil!
6 Bibi sudah tau?
7 Rasa yang hambar
8 Alkohol mengusik kandunganku
9 studi tour
10 Awal bertemu Satria
11 Rasanya sakit!
12 Munah berkhianat
13 Apa itu cinta??
14 Dua kabar duka sekaligus
15 Kabar duka yang sebenarnya
16 Satu rahasia terbongkar
17 Siapa Suryo?
18 Janin melemah
19 Rencana untuk Kinara
20 Kehancuran dimulai
21 Trik Adam
22 Pernyataan cinta
23 Mencari informasi tentang Iam
24 Satu malam dua kecupan
25 Prihal kematian ayah Adam
26 Puisi cinta untuk seorang istri
27 Dia menghubungiku
28 Kebenaran akan terbuka
29 Dialah orangnya!
30 Musibah datang lagi
31 Elena pelakunya
32 Penyakit Adam
33 Jenis kelamin sudah diketahui
34 Juanda
35 Perlengkapan bayi
36 Kebahagiaan dan duka dua keluarga
37 Tidak bisa menolak Satria
38 Hangatnya kasih sayang ibu
39 Kisah ayah dan ibu
40 Kakak tampan itu Satria
41 Kandungan melemah
42 Ada apa ini?
43 Menyambut Satria
44 Lukisan apa?
45 Hari berat selanjutnya
46 Apa kita akan mati?
47 Anak siapa ini?
48 Duka dua keluarga
49 Sebuah perpisahan
50 Hidup baru dimulai
51 Windu atau Satria?
52 Dilamar oleh Satria
53 Lukisan itu?
54 Melamar menjadi teman
55 Windu Satriawan Agustama
56 Arti dari lukisan Adam
57 Ayah mengetahuinya
58 Semua hanya karena rasa bersalah
59 Karena cinta
60 Menerima perjodohan
61 Mana yang aku pilih?
62 On the way liburan
63 Mimpi atau nyata?
64 Kejutan ulang tahun
65 Adam orangnya
66 Pengantin???
67 Kejutan dihari ulang tahun
68 Hari bahagia terselip duka mendalam
69 Adam pergi lagi
70 Malam pertama
71 Kebucinan dimulai
72 Prihal anak
73 Sakitnya di duakan
74 Hanya karena buku
75 Akhir bahagia
Episodes

Updated 75 Episodes

1
Luka
2
Pernikahan ayah
3
Hilangnya kesucian
4
Ulang tahun Laras
5
Aku hamil!
6
Bibi sudah tau?
7
Rasa yang hambar
8
Alkohol mengusik kandunganku
9
studi tour
10
Awal bertemu Satria
11
Rasanya sakit!
12
Munah berkhianat
13
Apa itu cinta??
14
Dua kabar duka sekaligus
15
Kabar duka yang sebenarnya
16
Satu rahasia terbongkar
17
Siapa Suryo?
18
Janin melemah
19
Rencana untuk Kinara
20
Kehancuran dimulai
21
Trik Adam
22
Pernyataan cinta
23
Mencari informasi tentang Iam
24
Satu malam dua kecupan
25
Prihal kematian ayah Adam
26
Puisi cinta untuk seorang istri
27
Dia menghubungiku
28
Kebenaran akan terbuka
29
Dialah orangnya!
30
Musibah datang lagi
31
Elena pelakunya
32
Penyakit Adam
33
Jenis kelamin sudah diketahui
34
Juanda
35
Perlengkapan bayi
36
Kebahagiaan dan duka dua keluarga
37
Tidak bisa menolak Satria
38
Hangatnya kasih sayang ibu
39
Kisah ayah dan ibu
40
Kakak tampan itu Satria
41
Kandungan melemah
42
Ada apa ini?
43
Menyambut Satria
44
Lukisan apa?
45
Hari berat selanjutnya
46
Apa kita akan mati?
47
Anak siapa ini?
48
Duka dua keluarga
49
Sebuah perpisahan
50
Hidup baru dimulai
51
Windu atau Satria?
52
Dilamar oleh Satria
53
Lukisan itu?
54
Melamar menjadi teman
55
Windu Satriawan Agustama
56
Arti dari lukisan Adam
57
Ayah mengetahuinya
58
Semua hanya karena rasa bersalah
59
Karena cinta
60
Menerima perjodohan
61
Mana yang aku pilih?
62
On the way liburan
63
Mimpi atau nyata?
64
Kejutan ulang tahun
65
Adam orangnya
66
Pengantin???
67
Kejutan dihari ulang tahun
68
Hari bahagia terselip duka mendalam
69
Adam pergi lagi
70
Malam pertama
71
Kebucinan dimulai
72
Prihal anak
73
Sakitnya di duakan
74
Hanya karena buku
75
Akhir bahagia

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!